Kami tiba di rumput hijau itu. Tampak lampu-lampu besar yang menerangi arena ini. Kami tengah duduk di tribun penonton. Di deretan kursi paling atas. Membiarkan angin menyapu hawa panas yang menyelimuti hati kami masing-masing. Memandang jauh kedepan, membuang semua penat didada sejauh mungkin. Berharap takkan pernah kembali lagi. "Apa Kina mengetahui semua ini?", kupecah keheningan yang telah beberapa saat menyelimuti. Kulihat ia menggeleng pelan. "Tidak ada gunanya gadis itu mengetahuinya. Walau Kina nantinya mengetahui hal itu, pasti ia akan bertambah sedih saat mengetahui pula bahwa aku sangat membenci ayahnya." Aku tersenyum kecil seraya berkata padanya, "Baguslah kalau begitu. Aku tak ingin Kina terkena serangan jantung diusia semuda itu."
Ia tersenyum kecil, lalu tak lama kemudian ia menghela nafas panjangnya lalu berteriak sekencang-kencangnya. Mengeluarkan semua udara yang menyesakkan dadanya. Menumpahkan semua air matanya yang telah lama terpendam. Aku tersenyum kecil memandanginya. Pemuda yang duduk disampingku ini, pemuda yang terlahir dengan nama Sato ini, dipenuhi dengan amarahnya yang sangat besar dan ia telah menunjukkannya padaku. Sejenak kemudian, ia menghentikan teriakannya. Lalu dengan cepat menghapus butiran air matanya yang membasahi kedua pipinya itu dan bangkit berdiri. Kulihat ia mulai berlari mengelilingi lapangan luas itu sambil berteriak, "Hiro, aku membencimuuuuuuuu! Sangat sangat sangat membencimu!"
Aku tertawa mendengar ucapannya itu. Pemuda yang selama ini kukenal..... Pemuda yang selama ini hanya menunjukkan sisi cerianya, ternyata... Ternyata, ia hanyalah pemuda yang lemah sepertiku. Begitu rapuh dan mudah hancur. Inikah rasanya mempunyai sahabat? Berbagi duka dan suka. Sudah lama sekali aku tidak merasakannya. Begitu nyaman dan......
Aku memutuskan untuk berlari menyusulnya. Berlari menuruni tribun dan turun ke lapangan hijau itu. "Ayolah, Hiro. Kau adalah vampir. Kau bisa melakukannya lebih dari itu", teriaknya saat melihatku masih jauh tertinggal dibelakangnya. Melihat ekspresi bahagianya didepan sana, tak ragu-ragu kupacu kecepatan lariku. Inilah yang disebut dengan kecepatan vampir. Namun sekilas terlihat diujung sana seseorang yang tengah berdiri seorang diri di tengah-tengah kegelapan malam sambil memandang kearah kita. Entah siapa itu. Sosoknya tak jelas. Ia kemudian pergi saat menyadari bahwa aku tengah memperhatikannya.
"Tunggu aku. Vampir akan segera menangkapmu." Kulihat ia mempercepat larinya saat mendapati aku yang hampir menyusulnya. Jarakku dan Sato semakin dekat, semakin dekat, dan semakin dekat. Hingga aku berhasil meraih tubuhnya. Mendekapnya dengan kedua tanganku seperti singa yang mencengkeram mangsanya. Aku dan sato jatuh bergulung-gulung di rumput hijau itu. Kami berdua tertawa terbahak-bahak disana. "Itu..... adalah kecepatan vampir yang dasyat", ucapnya terbata-bata diantara nafasnya yang tersendat-sendat. Aku tertawa sambil berbaring diatas rumput ini. Padanganku jernih keatas memandangi bintang-bintang yang kerlap-kerlip diatas sana diantara langit yang berwarna hitam pekat itu. Tanpa matahari, melainkan bulan. Namun, bulan itu sungguh terang kali ini dan besar, tak seperti biasanya. Masih dapat kudengar dengan jelas tawa Sato diiringi dengan nafasnya yang berpacu itu. "Ini adalah pertama kalinya aku melihat kecepatan lari vampir asli selain di film-film Hollywood." Aku menoleh kearah Sato.
Entah mengapa, kata-kata 'vampir' yang diucapkannya mendengung diantara gendang telingaku. Semakin lama, semakin kuat. Dan aku merasakan rasa haus yang teramat sangat disertai dengan dadaku yang sesak. Dapat kudengar pula suara detak jantung sato. Suara aliran darahnya yang cepat seakan memburu nafasku. Perlahan fokus mataku tertuju pada urat nadi dilehernya yang putih. Kulihat aliran darahnya yang mendesir cepat.
Seketika itu tawanya terhenti dan memandangku dengan tatapan kosong. Kemudian ia bangkit berdiri dengan cepat. Ekspresi wajahnya yang ketakutan membuatku heran. Aku mengerutkan kedua alisku. "Kenapa?", aku bangkit duduk. Sato melangkahkan kakinya mundur. Matanya masih membelalak. Kemudian ia mulai membuka bibirnya yang gemetaran itu. "Hi-Hi-Hiro... Hi-Hiro... Ta-taringmu...", Aku masih tak dapat memahami ucapannya. Taring.....? "Apa… apa yang terjadi? Warna matamu juga berubah menjadi merah." Bulan purnama! Itulah mengapa bulan itu terlihat sangat terang dan besar. Menyadarinya, rasa hausku semakin lama semakin kuat. Kerongkonganku terasa kering dan panas. Pendengaranku semakin tajam dan yang kudengar hanyalah desiran darah pemuda ini. Aroma manisnya merebak masuk kehidungku. Aroma manis itu memabukkanku. Dimana aku? Apakah aku di surga? Siapa dia? Pemuda ini sungguh membuatku tergiur. Aroma darahnya sangat harum. "Hi-Hiro, a-ada apa denganmu.....?" "Sato?", seketika kesadaranku kembali. "Lari, Sato! Kumohon, larilah! Menjauhlah dariku! Aku tak ingin menyakitimu!"
Kulihat ia yang masih membeku ditempat. Detakan jantungnya yang berpacu terdengar sangat jelas olehku. Aku menatap lekat-lekat kulit wajahnya yang memerah itu. Aliran darah yang mengalir dibawah kulitnya membuatku tak tahan lagi. Tetesan keringat yang menetes di lehernya tampak mengundangku, merayuku, dan melambaikan aroma-aroma surga yang lezat. Aku mengerjapkan mataku beberapa kali, membuatku tersadar. Begitu banyak suara-suara yang berbisik padaku. Tapi... aku bukanlah monster. Aku tidak akan memangsa sahabatku sendiri. Aku segera mendorong tubuh Sato hingga ia terlempar beberapa meter diujung sana. Lalu secepat mungkin aku berlari menjauh dari pemuda itu sebelum kebuasanku ini menguasai diriku dan menghilangkan semua akal pikiranku.
Hiro..... Hiro saat ini telah berubah menjadi vampir seutuhnya. Tatapannya seperti iblis. Aku dibuatnya membeku. Rasa takutku seakan-akan menggiringku ke gerbang kematian. Pemuda tampan itu telah berubah menjadi sosok yang sangat menyeramkan. Mata merahnya yang tak pernah sedetikpun ia lepaskan dariku, membuatku kehilangan fungsi saraf dikedua kakiku. Dari tatapan itu dapat kulihat ia yang terus bertarung didalam lubuk hatinya. Sesekali ia sadar, namun tak jarang juga ia ikut mengalir kedalam jiwanya yang buas itu. Hiro, sahabatku... adalah vampir.
Aku duduk seorang diri di lapangan luas ini. Merasakan sakit disekujur tubuhku. Mengatur nafasku dan berusaha menata kembali pikiranku. Kulihat baju dan celana yang kukenakan ini telah ternodai oleh tanah coklat yang basah atas kejadian beberapa menit yang lalu. Kuputuskan untuk berlari mengikuti Hiro. Memastikannya baik-baik saja. Namun, aku menghentikan langkahku sejenak. Lalu apa yang akan kulakukan jika aku menemukannya? Dia adalah vampir.
Waktu sudah melayang terbuang sia-sia. Aku tak dapat menemukannya di hutan yang gelap ini. Hanya suara-suara kelelawar dan auman serigala di kejauhan sana. Sesekali bulu kudukku merinding dibuatnya. Kakiku lelah dan lemas. Seketika itu aku mencium bau anyir darah yang sangat pekat. Pikiranku telah membayangkal hal-hal buruk yang akan terjadi. Tubuhku membeku untuk kesekian kalinya. Bahkan bola mataku tak bisa memutar melihat sosok apakah yang berdiri dibelakangku ini. Bau anyir darah itu membuat bulu kudukku berdiri kaku. "Sato…." Muncul suara yang taka sing di telingaku. Namun suara itu semakin membuatku mati rasa di sekujur tubuhku. Detak jantugku semakin cepat dan nafasku tercekat. Seketika sosok itu terjatuh. Sontak aku memutar badanku untuk melihat keadaan Hiro.
Kondisinya terluka parah. Kulitnya yang pucat terkoyak oleh cakar-cakar tajam. Bajunya telah tak berbentuk lagi. Bibirnya terlumuri oleh darah hewan yang segar. Sang pangeran kegelapan telah kalah dalam pertarungan kali ini. Entah berapa banyak serigala yang mengeroyokinya. Beberapa bekas cakarannya begitu dalam. Beberapa detik kemudian, mata merah itu terbuka secara perlahan. Ia menyentuh pelan tanganku yang menyanggah kepalanya. Kurasakan tenaganya sangat lemah terkuras habis. Entah betapa sengitnya pertarungan yang baru saja ia hadapi. "Sato…. Maafkan aku. Aku telah menunjukkan sisi menyeramkan dari diriku padamu. Kau tak seharusnya melihatku dalam keadaan seperti ini….. karena malam ini adalah malam bulan purnama." Ia tak sadarkan diri lagi.
Kudorong pintu kayu ini dengan satu tangan, sedangkan satu tangan lainnya berusaha menyanggah tubuh hiro agar tetap stabil diatas punggungku. Jam telah menunjukkan lewat waktu tengah malam. Tidak ada seorangpun di sepanjang jalan tadi. Hanya seorang pemuda yang menggendong tubuh sosok vampir dan membawanya pulang ke rumah tua itu. Darah dari mulut vampir ini terus menetes satu per satu memberi noda berwarna merah ke bajuku. Gigi taringnya yang tajam masih terlihat. Kubaringkan tubuhnya kedalam air yang hangat di bak mandi. Membersihkan darah hewan yang melumuri bibirnya. Terlihat pula cipratan darah dimana-mana. Terutama pada cakarnya yang tajam. Tangannya yang pucat dipenuhi oleh warna merah. Perlahan muncul cahaya biru pada tanda lahir yang berbentuk salib pada punggungnya. Tanda salib yang besar itu membentang disepanjang tulang belakangnya. Tanda salib itu menyerupai seperti pedang yang panjang dengan gagang yang kecil. Kemudian kurasakan hawa dingin yang menjalar dari kulitnya dan luka-luka pada tubuhnya itupun perlahan menutup seperti semula. Tak meninggalkan bekas sedikitpun.
Dimalam yang sama.
Dimanakah aku? Tempat apakah ini? Langkahku terus mengikuti jejak kaki pangeran muda itu. Hingga pada akhirnya kulihat ia berhenti di depan rumah tua itu. Tak lama kemudian kulihat dari kejauhan seseorang tengah menghampirinya. Mereka tampak begitu akrab. Pemuda berkacamata itu tampak sebaya denganku. Aku terus memupuk kesabaranku. Ini adalah kesempatan emas. Waktu yang sangat tepat. Tidak ada yang bisa melindunginya disini. Hanya ada aku dan dia. Sekarang, kau tak akan pernah bisa kembali lagi, Hiro. Kau tak akan bisa lari dariku kali ini. Mari kita tuntaskan kenangan lama kita kawan, lalu menguburnya dalam-dalam. Akan kubuat kau tak bisa membuka kedua matamu lagi seperti ayahmu.
Beberapa menit kemudian, kulihat mereka keluar lagi dari rumah itu. Kini Hiro berjalan dibelakang pemuda berkacamata itu. Aku bangkit untuk mengikuti mereka berdua. Dan akhirnya perjalanan mereka sampailah di sebuah lahan yang luas dengan rerumputan hijau disana. Kulihat mereka duduk berdampingan di kursi itu. Aku mengamati mereka dari kejauhan. Pemandangan itu mendorongku dengan paksa ke ingatan masa lalu. Masa dimana masih ada embun yang menyejukkan di malam hari. Udara malam yang menyapu kulitku dengan ramah. Udara yang masuk ke relung dadaku dengan sopan. Masa dimana masih kurasakan damai dihati dan cita-cita besar digenggaman tangan. Kala itu aku duduk disebelah Hiro di tangga teras luar istana. Kita sedang menantikan datangnya komet biru Halley yang munculnya hanya tujuh puluh tahun sekali. Itu bukanlah hal yang baru bagi mereka karena mereka telah berkali-kali melihatnya. Tetapi berbeda dengan kami yang masih berusia anak-anak. Kami ingin sekali melihatnya. "Daisuke, ayo masuk. Kau harus membantu ayah memasang stempel pada surat-surat kerajaan." Aku memasang wajah cemberutku. "Ayolah ayah. Apakah ayah lupa malam apakah ini?" Mendengarnya, ayahku seketika teringat akan sesuatu. "Baiklah kalau begitu. Tetap disitu oke. Jagalah pangeran Hiro. Kalau ada apa-apa segera panggil penjaga." Aku mengangguk mengiyakan. Kulihat ayahku merapikan jas formalnya lalu melangkah masuk ke dalam istana. Pangeran Hiro menyikut lenganku pelan sambil berkata, "Apa harapanmu ketika komet itu muncul?" Aku berpikir sejenak. "Aku ingin selalu bersamamu. Kalau kau apa, Hiro?" Kulihat ia menunduk dan tersenyum pasi. "Entahlah. Aku tak punya siapa-siapa sekarang. Ayahpun selalu disibukkan oleh kepentingan kerajaan. Keinginanku terlalu banyak. Apakah itu akan terkabulkan?"
Aku mengerjapkan kedua mataku berulang kali, memaksa kesadaranku kembali. Aku melipat kedua tanganku didepan dadaku sambil melihat kedua pemuda yang duduk disana. Sudah lama sekali aku tak melihat pangeran muda itu. Ingatanku padanya sudah terasa hambar. Indahnya persahabatan kita sudah kubakar. Hidupku sekarang adalah sebuah hadiah dari Kerajaan Vampir Souka, mereka telah membiarkanku tetap hidup dan melatihku sebagai pembunuh dan juga sebagai senjata ampuh. Salah besar, kau dan bangsamu telah membuangku. Salah besar, Hiro. Karena aku sekarang telah menjadi sebuah senjata yang sangat berbahaya dan nantinya kau juga akan menyadari seberapakah bahayanya senjata itu.
Semenit kemudian, mereka berlarian mengitari lahan luas itu. Kulihat senyuman bahagia tertera diwajahnya. Sampai kapan kau bisa bertahan dengan senyuman itu, Hiro? Ayahmu telah kulumpuhkan dan tak lama lagi giliranmu akan segera tiba. Beberapa saat kemudian, kurasakan sesuatu yang aneh terjadi didalam tubuhku. Leherku terasa panas, dadaku terasa sesak, dan kurasakan rasa haus yang teramat sangat. Sebenarnya apa yang terjadi padaku? Aku segera berlari untuk mencari air. Hingga kulihat cahaya lampu diujung sana namun aku tak sengaja menabrak tubuh seseorang. "Tolong.... tolong.....", kataku dengan nafas yang berpacu.
Hingga akhirnya aku tak sengaja menabrak seseorang diujung terotoar ini. Ia adalah seorang wanita muda. Rambutnya panjang terikat dan kedua matanya yang bulat. "Apa yang bisa kubantu.....? Apakah anda terluka?", dapat kulihat jelas kepanikan yang tertera diwajahnya. "Aku butuh air, nona. Tolong..... aku kehausan", kataku dengan nafas yang terengah-engah. Dengan segera ia mengeluarkan botol yang berisi air mineral dari tasnya. Seketika itu fokus mataku tertuju pada leher putihnya. Terlihat begitu jelas aliran darah merah dibawah urat nadinya. Entah mengapa hal itu membuat gigi taringku semakin memanjang. Tanpa pikir panjang aku segera menyambar lehernya dan kutancapkan gigi taringku diatas kulit putihnya. Menembus dagingnya dan menghisap darahnya. Kelezatannya memabukkanku. Tak pernah kurasakan darah senikmat ini seumur hidupku. Kudengar jeritannya sesaat lalu ia jatuh pingsan. Aku sekilas melirik pada buku yang terjatuh dari tasnya. Mataku terbelalak ketika melihat sebuah nama yang tertera disampulnya.
Segera aku menarik kembali gigi taringku. "Dai Akihiro? Kau mengenalnya? Betapa serunya kisah ini jika aku memanfaatkanmu untuk menuntaskan misiku. Bukankah itu ide yang bagus?", ucapku dengan seulas senyuman. "Sungguh disayangkan sekali aku tak bisa menghisap darahmu itu sepuasku. Darahmu sungguh manis rasanya. Namun, demi Hiro, aku akan melepaskanmu. Sekarang, pergilah dan bawakan Hiro padaku. Akan kuberikan sebuah kejutan istimewa untuknya", kuserahkan sebuah pisau belati padanya.
"Jadi, kau melihat semuanya?", tanyaku pada pemuda yang bernama Sato itu. Ia mengangguk tanpa ekspresi sambil menyerahkan secangkir teh padaku. "Kau terluka parah. Kulihat banyak bekas cakaran hewan buas di beberapa bagian tubuhmu. Saat itu kondisimu sangat mengenaskan. Lalu ketika kau kubaringkan ke bak mandi, tiba-tiba cahaya biru muncul dari balik punggungmu. Perlahan luka-luka itu menutup tanpa meninggalkan bekas sedikitpun." Kuangkat pandanganku dan menatap langsung kearah kedua matanya, "Kau…. tidak takut padaku kan? Apakah kau tidak terluka?" Ia diam sejenak. Tiba-tiba lembaran-lembaran koran dilemparnya tepat kearah wajahku. "Kau…. jangan pernah menatapku seperti itu! Lihatlah, siapa yang tidak takut melihatmu saat ini? Bahkan kedua matamu dan gigi taringmu masih belum kembali seperti semula. Kau benar-benar vampir yang menyeramkan, Hiro." Aku tertawa terbahak-bahak mendengarnya. Tawaku diikuti oleh riuhnya suara dedaunan yang tiba-tiba muncul dan suara kepakan sayap sekumpulan burung gagak di halaman rumah tua ini. Suasana itu membuat aku dan Sato terdiam sesaat. "A-apa yang baru saja terjadi? Kau tertawa bersama mereka?" tanya Sato dengan nada yang gemetaran. Akupun tak tahu apa yang baru saja terjadi dan bagaimana itu bisa terjadi. "Kadang-kadang…. Mereka tampak hidup dan berbicara padaku." Ucapku sambil memandang keluar jendela. "Pepohonan itu?" tanya Sato. Sepertinya bulu kuduknya berdiri. Aku mengangguk mengiyakan. Kemudian, kudengar tawanya yang terlalu dipaksakannya. Ia berusaha mencairkan suasana. "Kau ada-ada saja, Hiro. Mana mungkin pohon-pohon itu berbicara padamu." Aku mengangkat kedua bahuku bersamaan. Tiba-tiba muncul ide jahilku untuk mengerjainya. "Kau tau, Sato? Saat ini aku masih dapat mendengar jelas suara detak jantungmu. Aliran darahmu terekam didalam pikiranku. Aroma darahmu yang lezat masih bisa kucium." Kulihat senyumnya berhenti dan ia mematung ditempat. "Ini takkan terasa sakit." Ucapku. Wajahnya semakin pucat dan ia tak dapat berkata apa-apa. Kemudian, aku tertawa melihatnya seperti itu. "Aku hanya bercanda. Aku baik-baik saja sekarang. Darahmu tak menggairahkanku lagi. Tenang saja." Kulihat ekspresi kesalnya lalu ia berdiri menghampiriku dan diraihnya apel diatas meja. "Sesekali kau harus mencoba apel ini untuk menghilangkan sifat buasmu." Ia menancapkan apel merah itu pada gigi taringku yang tajam. Seketika apel itu terbelah menjadi dua bagian. "Hei, ini sebuah penghinaan." Kita tertawa bersama-sama. "Awalnya kukira itu taring palsu."
Sesaat kemudian, terdengar suara pintu yang diketuk. Terlihat seorang gadis yang tak asing bagi kedua pemuda itu. Dia adalah Kina. Seorang gadis yang telah berhasil menaklukkan hati Pangeran Hiro. Namun kali ini ia tampak begitu lemas dan pandangannya tertunduk kebawah. "Kina? Kenapa kau kemari? Apa yang telah terjadi padamu?", ucap Sato yang terkejut dengan kehadiran gadis itu secara tiba-tiba. Kemudian, gadis itu mengangkat pandangannya lalu menatap kearah Pangeran Hiro yang masih duduk dengan tatapan kosongnya.
Terlihat bekas luka gigitan yang terselip dilehernya. Tanpa sepengetahuan Sato, L muncul dengan tergesa-gesa dan mengatakan sesuatu pada Hiro. Kedua mata merahnya terbelalak dan sedetik kemudian gadis itu berlari sambil mengarahkan pisau belatinya kearah Hiro. Dengan tanggap Hiro berhasil menangkis serangan itu. Namun ia meluncurkan serangan bertubi-tubi dan mengarahkan mata pisau itu kesegala arah. Dengan gesit, sekali lagi Hiro dapat menghindar. Duel antara Hiro dan Kina terjadi selama beberapa menit diruangan luas itu. Kina seperti kerasukan sesuatu. Kekuatannya melebihi kekuatan gadis pada umumnya. Ia menyerang Hiro secara menggila dengan ekspresi datar dan tatapan kosongnya. Seakan-akan sesuatu telah mengambil akal sehatnya. Hiro meraih benda tumpul untuk menangkis pisau itu. Sesekali ia mencoba melumpuhkan pergerakan Kina, namun sekali lagi gadis itu bangkit dan meluncurkan serangannya lagi. Gerakan Kina sangat lincah seperti halnya prajurit. Hingga akhirnya, pisau itu menancap kuat pada tongkat kayu sepanjang tongkat baseball yang dipegang Hiro dan ia mengunci pergerakan Kina. Terlihat beberapa lebam di lengan dan betis gadis itu. Gadis itu melemah dan jatuh pingsan.
"Cepat baringkan Kina di sofa", perintahku pada Sato. Dengan segera pemuda berkacamata itu mengangkat tubuh Kina dan membawanya ke sofa. Perlahan dapat kurasakan taringku yang menyusut lalu gigiku kembali seperti semula. Aku meraih pisau belati itu dan mengamatinya secara detail. Aku sangat mengenali senjata tajam itu. Senjata itu adalah buatan bangsa Vampir Souka dengan bahan logam spesial sebagai ciri khas mereka. Pisau belati itu dibuat sekitar dua tahun yang lalu sesuai dengan tekstur ganggangnya yang masih mulus.
"Kau baik-baik saja, Hiro?", tanyanya padaku. Aku mengangguk mengiyakan. "Apa yang baru saja terjadi pada Kina?" kulihat ekspresi khawatir diwajahnya. Mengingat sosok Kina yang sangat berbeda beberapa menit yang lalu. "Ada yang berhasil mengikutiku kesini." "Siapa dia? Dake?" ia hampir tak percaya. "Kemungkinan itu adalah dia. Kerajaan masih belum berhasil melacak keberadaannya." Kami terdiam sejenak. Pikiran kami sedang berkecamuk membayangkan apa sedang menanti didepan sana. "Lalu, apa yang harus kita lakukan, Hiro?"
"Aku akan bersiap-siap menghadapi apapun yang akan terjadi. Tidak ada yang bisa menjamin keselamatanku di sini maupun di dunia vampir." Aku melangkahkan kakiku menuju Kina yang belum sadarkan diri. Perlahan kusentuh lehernya tepat pada bekas gigitan itu, lalu aku netralkan racun dari Dake. Ini adalah pertama kalinya dalam hidupku. Awalnya aku tak tahu bagaimana. Namun dengan petunjuk L, aku berusaha untuk menetralkan sisa-sisa racun itu. Kemudian dengan hentakan dari jari telunjukku pada bagian bahu Kina, gadis itu mulai sadarkan diri dan membuka matanya. Setelah kesadarannya kembali seutuhnya, ia tampak sangat kaget menyadari dirinya yang tengah terbaring di rumahku. "Apa yang terjadi? Bagaimana bisa aku disini?" Sato membuka mulutnya hendak menjawab. "Ada orang yang hendak menyelakaimu." Kemudian gadis itu melihat pada bagian tubuhnya yang memar-memar. Ia meringis kesakitan. "Akan aku ambilkan air hangat. Itu akan sedikit membantu menghilangkan rasa sakitmu", ucap Sato.
Sekarang, tinggallah aku dan Kina diruangan ini. Kita berdua diam tak bersuara. Tercipta suasana canggung untuk sesaat. Aku tak mengangkat pandanganku dari lantai. "Kau kemana saja akhir-akhir ini?" Mendengarnya, aku segera menatap kedua matanya yang bulat itu. Aku berpikir sejenak lalu berkata, "Aku pulang kerumah. Ayahku sedang sakit keras." Kulihat ia menunduk. "Aku turut bersedih mendengarnya. Tapi….. tak bisakah kau berpamitan?" Aku hanya menggeleng sebagai jawabannya. Sato datang dengan membawa baskom berisi air hangat.
Beberapa menit kemudian setelah keadaan Kina membaik, kami mengantarnya pulang. Sejak saat kejadian itu, aku selalu membawa sesuatu dibalik bajuku untuk berjaga-jaga. Sesuatu itu adalah pedang yang didesain khusus sehingga ia dapat menyusut secara otomatis sekecil ukuran bolpoin. Jika kau menekan sesuatu pada bagian sisinya, maka pedang itu dengan cepat akan memanjang layaknya samurai. Kina menekan bel yang terletak disebelah pintu kayu itu. Aku dan Sato berdiri dibelakang Kina. Sesaat kemudian, seorang lelaki paruh baya membukakan pintu. Sepertinya aku pernah bertemu dengannya, namun aku tak mengingatnya.
Lelaki itu terkejut melihat putrinya yang datang bersama kami. Waktu telah menunjukkan pukul dua malam dan putri semata wayangnya pulang bersama dua pria. Sato membuang muka dan tak berbicara sepatah katapun. "Selamat malam, paman." Sapaku ramah. "Tadi Kina diserang oleh orang yang tak dikenal, lalu kami menolongnya dan membawanya kerumah saya", lanjutku. "Astaga! Bagaimana itu bisa terjadi, Kina?"
"Entahlah ayah. Aku tak mengingatnya. Ketika aku sadar, aku sudah dirumah Hiro." Terlihat jelas raut kecemasan di wajahnya. Kemudian lelaki itu mempersilahkan kami berdua untuk masuk ke ruangan hangat itu. Foto-foto yang terpajang di dinding menarik perhatianku. Foto-foto keluarga yang harmonis. Baru kuketahui bahwa ibu Kina bukanlah asli Jepang. Kina sangat mirip dengannya. Mata hitamnya yang bulat dan wajah yang oval. Aku suka cara Kina memandang. Sejenak kulirik pemuda itu. Ia hanya terdiam sambil memandang kebawah. Sekali lagi, aku dapat memahaminya. Sesuatu yang belum pernah dirasakannya selama belasan tahun terakhir.
"Kau pasti teman sekelasnya Kina dan Sato. Namamu Dai Akihiro kan?", sejenak itu menyadarkanku dari lamunanku. "Iya, paman." "Kina sudah menceritakan banyak hal tentang dirimu", ucapnya seraya tersenyum. "Saya harap Kina tidak menceritakan hal yang buruk juga tentang saya." "Tidak. Kina tidak pernah membicarakan hal yang buruk tentangmu. Yang paman tahu hanyalah hal-hal yang baik saja." Sejenak terdiam diantara kita. Sesekali lelaki itu melirik kearah Sato. Namun Sato hanya membuang muka.
Akhirnya kami berdua pamit pulang. Aku dan Sato tak bersuara selama di perjalanan. Dinginnya malam menambah suasana sunyi diantara kita. Kami berjalan sambil memandang jauh kedepan. Saling tak bersuara dan membiarkan angina malam yang dingin lewat dengan permisi diantara kita. Aku terdiam seperti halnya mengerti tentang apa yang ada dipikiran Sato dan apa yang ia rasakan. Kudengar ia menghela nafasnya panjang lalu mendongakkan kepalanya keatas. Menatap gelapnya langit malam itu tanpa awan. Aku dapat merasakan apa yang dirasakannya. "Kau butuh pelukan?" Ia menoleh kearahku. Kulihat senyuman tipisnya lalu mengangguk pelan. Kami berpelukan dibawah sinar lampu yang menerangi jalan terotoar. Membiarkan semuanya mengalir begitu saja seperti air sungai. Memberi ruang pada relung dada yang menyempit. Memberi harapan baru pada hati yang terluka. Aku menepuk-nepuk pelan punggungnya. "Tak apa kawan. Kau akan baik-baik saja. Jangan biarkan masa lalumu mengurungmu. Lepaskanlah belenggu itu dan berdamailah dengan masa depan. Aku tau kau akan baik-baik saja."
Beberapa menit kemudian, kami tiba didepan rumahku. Kemudian Sato meraih tuas kayu itu terlebih dahulu dan membuka pintu besar itu. "Hiro, malam ini aku tidur disini ya", kulihat Sato yang merebahkan badannya di sofa panjang itu. Tanpa pikir panjang aku mengiyakannya. "Tidurlah dahulu. Nanti aku akan menyusulmu keatas", lanjutnya.
Keesokan harinya.
"Hiro..... Hiro!", terdengar sebuah suara memecahkan keheningan kamarku. Aku masih belum seratus persen sadar dari alam mimpiku. Suara itu terdengar semakin keras digendang telingaku. "Hiro! Bangun! Kita sudah terlambat!" Suaranya kali ini membuatku spontan terduduk dari posisi berbaringku lalu segera aku bangkit berdiri. "Terlambat?!", akupun terkejut ketika menoleh kearah jam yang bertengger didinding kamarku. Dengan segera aku menuju kamar mandi. "Cepat, Hiro. Sensei Fujikawa akan mengajar di jam pelajaran pertama hari ini!"
Seusai dari kamar mandi, kulihat Sato yang sibuk berlarian di lantai bawah. Aku segera menghidupkan kompor untuk membuat teh. Ada beberapa roti yang tersimpan di rak lemari lalu kuhidangkan diatas meja. "Duduklah dan makan", ucapku pada Sato. "Kita sudah terlambat, Hiro", responnya dengan wajah cemas. "Kita akan tetap terlambat jika berangkat sekarang ataupun nanti. Jadi isilah dulu perut kosong kita."
Beberapa menit kemudian.
Terlihat kedua pemuda itu yang tengah berlarian di lorong kelas yang lenggang. Pelajaran untuk pagi itu telah dimulai sejak tadi. Mereka sekarang tengah berlari menuju gedung olahraga sebelum guru mata pelajaran pagi itu mengetahui keterlambatan mereka. Diantara pacuan nafas mereka, dilihatnya gedung olahraga didepan sana. Namun seketika itu terdengar sebuah suara dari arah belakang. Suara sensei Fujikawa. "Mitsuo Masato, Dai Akihiro." Mendengar nama mereka disebut, seketika kedua siswa itu berhenti dengan ekspresi terkejutnya. Firasat buruk telah hinggap dan berputar-putar dibenak mereka masing-masing. "Lihat, siapa yang terlambat hari ini. Mitsuo dan…. selebriti kita yang baru", ucapnya dengan kedua tangan yang dilipat didepan dadanya. Guru itu berjalan menuju kedua siswa itu. "Sato, lari kelilingi lapangan sebanyak sepuluh kali. Dan kau, Hiro, ikut denganku", ucapnya tegas.
Dengan segera Sato menuruti perintah sensei Fujikawa dan hanya menyisakan mereka berdua disana. "Vampir brengsek! Masih saja kau membuatku susah", guru itu berpaling lalu menuju suatu ruangan dengan membiarkan Hiro mengikuti dibelakangnya. "Vampir brengsek katanya???", Hiro menggerutu didalam hatinya. Sampai akhirnya mereka tiba diruangan kosong itu. Tak ada siapapun disana, hanya mereka berdua. Guru itupun membiarkan Hiro masuk lalu menutup pintunya. Pemuda pucat itu mempersiapkan diri untuk mendengar semua ucapan kemarahan sensei Fujikawa yang akan dilayangkan kepadanya. Namun ternyata dugaannya salah. Tanpa berbicara sepatah katapun, guru itu langsung melayangkan pukulan demi pukulan kepada Hiro sebagai permulaan amarahnya. Hiro sama sekali tak berniat untuk membalas semua pukulan itu. Ia menyadari bahwa kesalahan terletak pada dirinya. Akhirnya, Hiro jatuh berlutut merasakan sakit disekujur badannya.
"Kau pikir ini sekolahmu?! Kau menghilang seenaknya dan meninggalkan latihanmu. Walaupun kau adalah siswa terpintar disini, itu semua tetap tak ada gunanya dengan sikapmu yang seperti itu. Kau memang seorang pangeran disana, namun disini kau bukanlah apa-apa. Jadi, jaga sikapmu dan patuhi aturan sekolah." Setelah menuangkan semua kemurkaannya, ia berjalan meninggalkan pemuda pucat itu. Ketika ia hendak menarik tuas pintu, suara Hiro mulai terdengar samar-samar. "Ayahku tak sadarkan diri. Kerajaan dalam keadaan genting." Mendengarnya, lelaki itu menghentikan langkahnya dan berbalik memandang kearah Hiro yang masih berlutut dengan tatapan kosong kebawah.
"Apa yang terjadi?", ucap sensei dengan wajah khawatir. "Pada malam penyerangan itu, ayah terkena panah beracun tepat disebelah jantungnya. Hingga saat ini ia masih belum sadarkan diri dan tidak ada yang tahu kapan ia akan bangun." "Aku turut sedih mendengarnya. Kau tengah melewati cobaan yang sangat sulit saat ini. Kalau begitu.... aku akan mencarikan penggantimu untuk lomba nanti. Semoga….. keadaan ayahmu membaik dan segera pulih." Kali ini suaranya terdengar sedikit berat dan canggung. Hiro mengangkat pandangannya dan menatap sensei Fujikawa. "Ja-jangan salah paham padaku. Aku masih membencimu." Hiro tersenyum kecil mendengarnya. Tanpa sebuah kata yang terucap, sensei Fujikawa meninggalkan Hiro sendiri di ruangan itu. Pemuda pucat itupun berbaring terlentang diatas lantai yang dingin itu. Masih dirasakan sakit disekujur badannya. Sesaat kemudian terlihat senyuman kecil disudut bibirnya. "Sampai saat ini.... Mana ada yang berani memukuli seorang pangeran? Prajurit, panglima perang, bahkan jendral pun tak ada yang berani melawanku. Kecuali dia, bajingan gila. Dia menghajarku sampai seperti ini."
Yang kurasakan saat ini adalah..... Sakit. Pukulan-pukulannya begitu kuat. Dia telah menghajarku habis-habisan. Aku seolah-olah sorang pangeran yang diasingkan disini. Jauh dari kemewahan dan kemuliaan. Aku bangkit berdiri lalu merapikan seragamku.
Terdengar suara pantulan bola basket kesana-kemari. Teman-teman sekelasku terlihat tengah berlatih. Seperti yang telah diberitahukan Sato padaku, tak ada satupun dari mereka yang akan menanyakan tentang kepergianku. Tampaknya Sato telah melakukan tugasnya dengan baik. Kulihat Sato yang masih berlari mengelilingi tepian lapangan ini. Ia terlihat begitu lelah dan sesekali ia memegangi lututnya yang dirasakan nyeri. "Berapa putaran lagi?", aku menyusulnya dan mengimbangi larinya. Tak lama kemudian ia mengisyaratkan padaku angka 'tiga' dengan jarinya. Nafasnya sudah tak karuan. "Maaf dan terimakasih, Sato." "Simpan terimakasih mu untuk lain waktu." Ucapnya dengan nafas yang terengah-engah. Aku tersenyum mendengarnya.
Sedari tadi aku tidak melihat sosok Kina. "Dimana Kina?", tanyaku pada ketua kelas. "Kina? Tadi ayahnya datang ke sekolah dan mengatakan bahwa Kina sedang sakit. Sehingga dia tidak bisa mengikuti pelajaran hari ini." Sakit? Apakah mungkin karena kejadian semalam? Beberapa saat kemudian terdengar bel dibunyikan tanda pergantian mata pelajaran pagi itu. Aku dan yang lainnya pun bersiap untuk berganti seragam. Selama di ruangan ganti, aku dapat mendengar mereka membicarakan tentang perlombaan marathon yang akan dilaksanakan. Suara mereka bersahutan saling merespons. Aku terus mendengarkan sambil melepaskan satu per satu kaos olahragaku yang kugantung dibalik pintu. Aku adalah satu dari beberapa siswa yang selalu berganti didalam ruangan tertutup karena tanda lahir yang berbentuk pedang di balik punggungku.
"Kau dengar tadi? Sensei Fujikawa mencari seseorang untuk menggantikan Hiro dalam lomba marathon. Siapa yang ingin mendaftar bersamaku?" "Aku ingin sekali berpartisipasi, namun aku tak yakin bisa mengharumkan nama sekolah. Kalau Hiro yang melakukannya, tentu kemenangan akan diraihnya. Aku sangat pesimis atas diriku", sahut salah satu diantara mereka. "Aku juga pesimis. Siapa yang tidak tahu tentang Hiro. Ia selalu unggul di semua bidang. Jangankan marathon, ia bahkan unggul dalam menakhlukan hati para wanita. Bukan hanya di sekolah ini, bahkan sekolah lain juga mengaguminya", suara yang berbeda kini terdengar. "Itu benar sekali. Bahkan adikku pun sangat ingin bertemu dengannya setelah melihatnya di pertandingan sepak bola antar sekolah waktu itu. Ia selalu ingin pergi sekolah bersamaku untuk melihatnya. Ia selalu mengatakan bahwa hiro adalah sosok pangeran dari langit. Ketampanannya selalu menghantuinya." Aku tersenyum mendengarnya.
Beberapa menit kemudian, aku telah selesai berganti seragam dan keluar. "Iya kan, Hiro? Semuanya tengah mengagumi dirimu. Tidak ada yang tidak tahu tentangmu. Ngomong-ngomong kenapa kau berhenti dari pelatihan itu? Sangat disayangkan sekali. Pasti tahun ini sekolah kita akan kalah." Seseorang merangkul bahuku dari belakang. "Hanya ada masalah sedikit. Aku tidak bisa meneruskan pelatihan itu." Ia bergumam panjang lalu berkata, "Pasti pelatihan dari sensei Fujikawa sangat berat ya?" Aku hanya mengangguk sebagai jawabannya. "Tak heran kalau kau berhenti."
Suasana kelas tampak lenggang. Hanya ada beberapa siswa di ruangan itu yang telah berganti seragam dan duduk di kursi. "Mana Sato?", tanya salah seorang dari mereka."Mungkin masih di ruang ganti. Tadi aku melihatnya sekilas." Aku meletakkan tasku diatas meja. Aku pun melepaskan sepatu putihku dan mengeluarkan sepatu hitam dari dalam tasku. "Ketika ayah Kina tadi datang ke sekolah, ia mencari Sato. Aneh sekali. Apakah mereka saling mengenal?" sahutnya. Aku hanya mengangkat kedua bahuku.
Seseorang datang dan duduk di sebelah kursiku. "Hiro, tentang marathon itu, sekolah mana saja yang berpartisipasi? Siapa tanding yang berat?" Mendengarnya, teman-teman kelasku yang lainnya juga antusias ingin mengetahuinya. Mereka bangkit lalu mendekat kearah bangkuku. "Peserta lari marathon dari sekolah di kota Chiba, Yokohama, Nagano, Shizuoka, Nagoya, dan Kobe. Mereka adalah pesaing yang berat. Tetapi menurutku pesaing yang terberat adalah Akimoto Ryutaro dari SMA ternama di Kota Yokohama." "Ryutaro. Dia pernah membobol gawangku dua kali dan membuat mentalku mati. Kalian mengingat pertandingan itu kan?", ucap Yamada. Mereka semua mengangguk mengiyakan. "Larinya dan tendangannya begitu kuat dan sangat akurat. Yamada bahkan tidak bisa melihat bola yang ditendangnya. Melesat seperti kilat."
Terdengar suara sepatu melangkah memasuki ruangan kelas. Guru fisika telah datang dan ia membuka tasnya lalu mengeluarkan laptonya. Tangannya berkutat pada laptopnya untuk mencari file dokumen bahan materinya untuk hari ini sambil menunggu siswa-siswanya datang. Ia memang selalu seperti itu, selalu datang lebih awal dari waktu yang sudah ditentukan. Ketika kelas sudah dipenuhi para siswa, ia membuka suaranya dan berkata, "Baiklah. Apakah kalian siap untuk ujian hari ini?" Seketika semua siswa terkejut mendengarnya. Kemudian sebuah suara muncul dari arah belakang. "Sensei, saya belum belajar tadi malam." Semua siswa setuju dengannya. "Ini hanya beberapa soal. Kalian jangan khawatir." Lembaran-lembaran soalpun segera dibagikan ke seluruh kelas. Selama mengerjakannya, aku merasakan kantuk yang luar biasa mengingat bahwa semalam aku tidak memiliki waktu yang cukup untuk tidur. Tulisan didepanku tampak buram dan pikiranku tak bisa fokus. Aku menguap beberapa kali dan kurasakan kedua mataku semakin berat. Beberapa detik kemudian aku jatuh tertidur dalam keadaan duduk. "Waktu tinggal lima menit lagi", mendengarnya aku langsung membuka mataku dan meraih bolpoin. Aku terus berpacu dengan dentingan waktu. Aku terus menguap selama mengerjakan soal-soal itu. Pikiranku benar-benar tidak bisa fokus. Aku mengerjakan soal-soal itu dengan apa adanya.
Lembaran jawaban itupun dikumpulkan ke meja sensei dan sensei memeriksanya satu per satu. Sementara sensei menilai lembar jawaban kami, kami kembali pada perbincangan sebelumnya yang membahas tentang lomba marathon itu. Banyak dari mereka yang ingin mendaftar menjadi penggantiku. Akupun memberikan mereka tips dan trik untuk menghadapi pesaing-pesaing handal dari sekolah lain.
"Kalian sepertinya benar-benar tidak belajar." Sensei tersenyum sambil merapikan lembaran jawaban kami yang telah dibacanya. "Hanya Hiro yang mendapatkan nilai sempurna." Itu adalah hal yang biasa bagi mereka, mereka tidak heran. Namun bagiku hal itu adalah hal yang luar biasa. Mengingat bahwa aku hanya menjawab dengan jawaban apa adanya dalam waktu yang singkat. Aku benar-benar tidak menyangkanya. "Baiklah, buka buku kalian pada halaman 73."
Sepulang sekolah, aku dan Sato mengunjungi Kina dirumahnya. Ayahnya menyambut kami dengan baik seperti biasanya. Sato masih saja terdiam dan tak mengucapkan apa-apa selama dirumah itu, terutama pada ayah Kina. Ia bahkan tak menatap wajah lelaki paruh baya itu walau hanya sepersekian detik. Beberapa kali ayah Kina berusaha mengajaknya berbicara, namun Sato hanya menjawabnya dengan acuh tak acuh. Aku berusaha mencairkan suasana dengan menanyakan kabar Kina. "Kina sedang demam sejak tadi pagi. Dokter telah memberikan resep obat tetapi itu sama sekali tidak menurunkan demamnya. Besok paman akan membawanya lagi kesana. Kalian boleh menjenguknya dikamarnya."
Lelaki itu membuka pintu kamar putrinya secara perlahan. Berharap tidak menimbulkan suara decitan. "Kina, Hiro dan Sato datang untuk menjengukmu." Mendengar suara ayahnya, gadis itu membuka matanya. Lebih tepatnya mendengar nama Hiro disebut. Kepala gadis itu masih terasa sangat berat dan sakit. Mata bulatnya hanya bisa membuka setengah. Ia terlihat sangat lemah. Hiro dan Sato duduk di kursi tepat disebelah ranjang Kina. "Bagaimana keadaanmu?", sapa Sato. Gadis itu tersenyum pasi, "Sangat buruk." "Apakah kau makan dengan baik?", tanya Hiro. Gadis itu hanya mengangguk sebagai jawabannya. "Kina, kau tahu? Selama aku pergi, kau selalu ada dibenakku. Aku tak henti-hentinya memikirkanmu. Aku sangat ingin bertemu denganmu. Tetapi ketika aku kembali, kau jatuh sakit seperti ini. Aku…. Aku merindukanmu Kina. Maaf jika selama ini aku tidak pernah mengatakannya padamu." Mendengarnya, Kina terdiam sesaat menatap kearah Hiro. Kedua mata laki-laki itu terlihat sangat serius. Tidak ada kebohongan pada tatapannya. "Ayah, Sato, bisa tolong tinggalkan aku dan Hiro sebentar? Aku ingin mengatakan sesuatu padanya."
"Hiro, aku tak tahu apa isi hatimu. Tetapi selama ini aku telah sakit hati padamu. Kau telah memiliki kekasih, Hiro. Benar, aku memang menyukaimu. Dan mungkin akan tetap seperti itu. Tapi apa yang bisa kulakukan saat ini? Cinta ini hanya bertepuk sebelah tangan. Kau tak pernah memandang balik padaku. Kau hanya bermain-main dengan perasaanku." Kina berusaha menahan air matanya. "Kekasih? Siapa? Aku tidak memiliki kekasih", Hiro mengernyitkan dahinya. "Saki. Gadis yang waktu itu datang kerumahmu untuk diajari bermain piano. Kau tampak sangat bahagia ketika bersamanya. Bahkan dia juga menciummu saat di perpustakaan." Suara Kina terdengar sangat lemah.
Mendengarnya, Hiro tak dapat menahan tawanya. Giliran Kina yang mengernyitkan dahinya sekarang. "Dia yang menciumku. Aku tidak pernah menduga bahwa ia akan melakukannya. Dia memang begitu, suka sekali menggodaku. Tetapi aku tidak pernah memperdulikannya. Aku dan Saki hanya sebatas teman, seperti kau dan Sato." Mereka terdiam sejenak saling berpandangan. Lalu Hiro menyentuh jemari Kina sambil berkata, "Sejak awal kau telah menarik perhatianku, Kina. Di hari pertama ketika kau datang sebagai siswa baru di sekolah, aku menemukan sesuatu yang menarikku didalam dirimu." Melihat kedua mata Hiro yang tak berkedip itu, membuat ada sekumpulan kembang api yang meledak-ledak didadanya. Wajahnya terasa memanas dan memerah. "Kau baru saja menyatakan perasaanmu padaku?" lelaki itu hanya mengangguk dengan sebuah senyuman. "Kenapa kau sembunyikan selama ini?" tanya Kina malu-malu. "Entahlah. Awalnya aku pikir perasaanku itu hanyalah sementara. Ternyata aku salah. Sekarang aku yakin bahwa aku..... Bahwa aku menyukaimu." Satu detik..... Dua detik.... Bahkan sampai detik ketiga Kina masih terdiam. Meyakinkan dirinya sendiri bahwa apa yang didengarnya tidak salah. Ia meyakinkan dirinya sendiri bahwa sosok malaikat depannya benar-benar nyata, bukanlah mimpi. Jikalau itu mimpi, ia berharap tidak akan bangun darinya. Sosok yang ia kagumi selama ini, sosok yang sangat dekat dengannya, sosok yang dipuja oleh semua mata, kini melantunkan kalimat-kalimat surga. Kalimat cinta. Ia berharap bahwa langit juga mendengar dan merestuinya. Sosok indah didepan matanya kini telah menyatakan perasaannya. Detik keempat..... Air mata gadis itu mulai jatuh.
Sedangkan diluar ruangan, tepatnya diruang tamu, Sato duduk berhadapan dengan ayahnya. Laki-laki paruh baya itu berusaha untuk memulai percakapan. "Bagaimana kabarmu? Apakah kau makan dengan teratur? Apakah kau tidur tepat waktu? Apakah kau belajar dengan baik di sekolah?" Pertanyaan biasa yang sering diutarakan dari seorang ayah pada anaknya. Namun Sato sudah lama sekali tak mendengar pertanyaan semacam itu. Sato memalingkan wajahnya dan menahan air matanya agar tak jatuh. "Kau pasti masih sering membaca buku sambil tiduran kan? Sedari dulu sudah berapa kali ayah bilang padamu untuk menghentikan kebiasaan buruk itu. Lihatlah sekarang kacamatamu semakin tebal. Itu tidak baik untuk matamu, Sato." Suara laki-laki itu mulai bergetar menahan tangis ketika mengingat masa-masa bersama putranya. Sato yang menunduk mulai menangis sesenggukan. Ayahnya mendekat lalu memeluk tubuh putranya erat. Sato membalas pelukan hangat itu dan melepaskan belenggu masa lalunya yang suram. Ia siap merajut kenangan indah yang baru bersama ayahnya.
Mereka berdua saling berpelukan dan menangis. "Tolong berilah ayah satu kesempatan lagi untuk menjadi ayah yang baik untukmu. Ayah sangat ingin bersamamu seperti halnya ayah yang selalu ada untuk Kina. Kalian berdua adalah putra dan putri ayah. Kalian adalah harta berharga ayah. Sato mulai membuka suaranya yang serak, "Kenapa ayah tak pernah mencariku?" "Ayah selalu mencarimu. Ayah selalu berusaha menemuimu. Tetapi ibumu dan pamanmu selalu menghadang ayah. Ayah sangat merindukanmu, Sato."
"Apa yang terjadi ketika aku dan ayahku meninggalkan kalian berdua?" tanya Sato. "Aku menyatakan perasaanku padanya." Hiro menatap lurus pada jalan terotoar didepannya. Mereka berdua jalan beriringan. "Secepat itu?" tanya Sato dengan seulas senyuman. Hiro menoleh kearahnya, "Bagiku, ini adalah waktu yang lama. Aku bahkan tidak berani mengatakannya pada ayahku." Sato bergeming sejenak. "Hidupmu sungguh rumit. Tidak ada yang salah dengan jatuh cinta. Tetapi bagi seorang pangeran itu akan sangat berpengaruh pada masa depan pemerintahan. Tidak sembarang orang yang layak bersanding dengan pewaris tahta. Itu adalah posisi yang berat. Kina tidak tahu tentang budayamu disana. Ia tak mengerti apa-apa tentang dunia vampir. Tak ada yang bisa menjamin Kina bisa menjalani kehidupannya disana nanti. Apakah ia dapat menyesuaikan diri? Kau bahkan tidak dapat menjamin itu." Hati Hiro membenarkan setiap ucapan kawannya itu. Namun ia tak dapat berkata apa-apa. "Lalu bagaimana dengan Ruka? Ayah kalian telah menjodohkan kalian bukan? Bahkan hubungan ayahmu dan ayahnya telah sangat serius."
Keesokan harinya.
Sesaat jam pelajaran berganti, gosip itu dengan cepat menyebar keseluruh sudut sekolah. Bahkan, rumput yang bergoyang pun mengetahui bahwa saat ini Kina telah menjadi pacarku. "Lihat, lihat, julietmu datang", temanku menyentuh lenganku. Aku pun segera mengangkat pandanganku kearah pintu. Kulihat Kina berjalan memasuki ruang kelas dengan wajah yang merah karena malu. Kelas semakin ramai dengan sorakan teman-teman. Semua mata kini tertuju pada kami berdua. Suasana itu membuat kami merasa canggung sejenak dan ragu untuk saling bertatapan. Ketika Kina hendak duduk di kursinya, seketika salah satu siswa menahan lengannya. "Kau sekarang tidak boleh duduk dengannya lagi, Kina. Nanti kau terkena serangan jantung karena pesona pacarmu itu", godanya. "Sini Kina, duduklah denganku", seru Ayase dengan senyuman khasnya. Seisi ruangan sedang menjaili sang bintang kelas.
Semenit kemudian, siswa-siswa perempuan mengelilingi mejanya. "Bagaimana ceritanya?" "Apakah Hiro menyatakan perasaannya dengan cara yang sangat romantis? Kapan kejadiannya?" Kina tersenyum malu dan mulai mengulang kembali saat saat itu. Sedangkan para siswa laki-laki menanyakan kepada Hiro, "Sejak kapan kau menyukainya? Tingkah lakumu selama ini tidak pernah menunjukkannya, Hiro." Hiro tersenyum lalu menjawab, "Aku menyukainya sejak awal ia datang sebagai murid baru disini." "Benarkah?", teman-temannya nyaris tak percaya akan hal itu. Selama pelajaran berlangsung, Hiro sesekali menoleh karah belakang dan memandang kearah Kina. Terlihat senyuman manis Hiro yang tak pernah dilihat oleh siapapun sebelumnya. Kina merasakan aliran listrik yang lembut seperti halnya ia menyadari bahwa Hiro sedang memandang kearahnya. Iapun mengangkat pandangannya dan mata mereka bertemu. Hawa hangat terasa kembali di wajah Kina. Melihat pemuda itu tersenyum manis membuat Kina spontan tersenyum padanya.
Ketika jam istirahat, semua pasang mata memandangi kearah Kina ketika mereka bertiga melintasi lorong kelas. Hiro, Kina dan Sato hendak menuju kantin. Mereka menatap kearah Kina dengan tatapan sinis dan sesekali berbisik pelan dengan teman disebelahnya. "Apa spesialnya dari gadis pindahan itu?" "Dia bahkan tidak cantik." "Apakah dia pintar?" "Wajahnya yang bukan asli Jepang sungguh membuatku muak." Kina tak berani mengangkat pandangannya. Ia hanya menunduk di sepanjang langkahnya. Seketika dirasakannya kedua telapak tangan Hiro menutupi telinga Kina. Sato dengan jengkelnya mulai berkata keras, "Apakah kalian pikir kalian juga pintar? Apakah kalian pikir kalian sangat cantik? Apakah kalian pikir kalian lebih pantas dengan Hiro?" Mereka semua terdiam. Hari-hari pertama mereka berdua sungguh menjadi sorotan banyak pasang mata. Terasa berat untuk Kina. Terlebih lagi ketika ia tak bersama Hiro, beberapa siswi datang melabraknya atau hanya menyenggol keras bahunya ketika berpapasan.
Aku menghembuskan nafasku panjang. Mataku menerawang jauh kearah depan. Sesekali cahaya matahari yang hampir tenggelam itu menyilaukan mataku. Tak lama kemudian aku tersadar dari lamunanku. Aku berdecak lidah saat menyadari bahwa sedari tadi aku dan Hiro berjalan didalam keheningan. Aku sibuk dengan pikiranku sendiri. Beberapa saat kemudian, kudengar ia bersenandung pelan.
My Girl usube ni iro shite iru, Your Lips furue teru yo
(My Girl yang kemerahan tersipu malu, Your lips yang bergemetar)
Iron na koto kangae sugite
(Tengah memikirkan sesuatu terlalu serius)
Tatta hito koto ga
(Hanya satu kata itu)
Umaku ienai to
(Aku tak bisa mengatakannya dengan baik)
Nani mo kamo ga karamawari
(Dan itu membuat semuanya musnah)
Song by: @NYC Boys_Sky High
Bab X
Pengorbanan
Hari ini aku dan Hiro pulang terlambat karena harus menyelesaikan piket kelas. Jalan terotoar ini tampak lenggang. Aku sudah terbiasa mengimbangi langkahnya yang lebar. Tiba-tiba ia berhenti dan meraih kedua tanganku. Terasa begitu hangat diantara telapak tangannya yang pucat. Kutatap langsung pada kedua mata hitamnya itu. Kulihat ia menghembuskan nafas pendeknya disertai kepulan asap putih disekitar wajahnya. Kurasakan wajahku semakin memanas melihat tatapannya yang meneduhkan jiwa itu. "Kina, maafkan aku. Aku telah menarikmu kedalam situasi seperti ini. Maafkan aku jika aku menyusahkanmu. Kau tak apa-apa kan?" Aku mengangguk tanpa suara "Mungkin aku terkadang akan bersikap gegabah, apakah itu tidak apa-apa?" Aku mengangguk sekali lagi. Dari tatapan mataku kuharap ia mengerti dan berhenti untuk meminta maaf. Kulihat ia menunduk lalu memejamkan matanya. Seperti ada sesuatu yang berat untuk dikatakannya. "Dulu aku adalah orang yang pecundang, Kina. Dulu aku sangat hancur. Mungkin kau melihatku baik-baik saja, tetapi hatiku, ia sudah remuk. Masa laluku sangat buruk, Kina. Aku mungkin bukanlah orang yang terbaik untukmu, tetapi aku akan berusaha menjadi yang terbaik." Mendengarnya, air mataku jatuh membasahi pipi. "Semua akan baik-baik saja, Hiro. Masa lalu biarlah berlalu. Sekarang ada aku yang akan membantumu. Aku akan selalu ada untukmu, juga Sato."
"Aku tak tahu harus bilang bagaimana padamu. Aku bingung untuk mengungkapkannya. Namun cepat atau lambat kau harus mengetahuinya karena kau adalah segalanya bagiku. Kau tahu itu kan? Namun apakah kau akan pergi dariku setelah kau tau semuanya? Aku takut, Kina. Aku takut." Ia mengangkat pandangannya dan menatap kedua mataku. "Apa yang terjadi?" Kulihat ia meragu untuk sesaat. "Katakan, Hiro. Katakanlah. Aku ingin mendengarnya." "Aku tak yakin bahwa kau siap atau tidak untuk mengetahuinya. Tapi aku rasa saat ini adalah waktu yang tepat untuk mengatakannya padamu, Kina." Ia terdiam sejenak sambil menggenggam erat kedua tanganku.
"Aku….. Aku adalah vampir, Kina." Aku terdiam sejenak. Dahiku mengernyit, "Bagaimana mungkin?" kupaksakan senyumku. Namun melihat wajah seriusnya itu membuat kaku semua sendi-sendiku. "Tidak mungkin." Tanpa berkata sedikitpun, ia kemudian meraih sesuatu dibalik rompi seragamnya, sebuah bolpoin. Ketika ia menekannya, kemudian bolpoin itu berubah cepat menjadi sebuah pedang. Aku mundur selangkah sambil menutup mulutku, terkejut. Lalu ia menggores tipis telapak tangannya. Spontan aku menjerit. "Aku bukanlah manusia, Kina." Ia menunjukkan bekas sayatan itu. Terlihat tidak ada setetes darahpun disana. Sayatan itu pucat sepucat mayat. "Si-siapa kau?"
"Kau tau kalau aku tak akan pernah menyakitimu, bukan?", ucapnya. Aku masih terdiam seribu bahasa. Aku masih terkejut dan tak bisa mempercayai mataku apa yang sedang kusaksikan. Kali ini ia menatapku dalam-dalam. Seperti tengah mencari sesuatu didalam tatapan mataku. Suaraku tercekat. Kemudian diraihnya kedua tanganku untuk mendekat kearahnya. "Apakah kau takut padaku?" Detak jantungku berdebar kencang membuat aliran darahku berlari cepat. Aku menunduk memandang jemarinya yang pucat dibandingkan dengan jemariku. Itulah mengapa ia tampak sangat berbeda. Itulah mengapa ia tak seperti orang Jepang lainnya karena Hiro adalah vampir, bukan manusia. "Tidak." Mendengar jawaban dariku, Hiro terdiam sejenak. Merasuk kedalam tatapan mataku, mencari sesuatu apakah aku berbohong atau tidak. "Aku tidak takut padamu." Aku berhenti sejenak lalu tak lama kemudian kulanjutkan kalimatku. "Aku menyukaimu tanpa syarat, Hiro. Tak peduli kau manusia atau bukan. Orang Jepang atau bukan. Vampir atau unicorn. Hati ini telah memilihmu sejak pertama kali kita bertemu. Aku tak pernah memikirkan siapakah dirimu, darimanakah kau berasal, siapakah orang tuamu. Yang kulihat hanyalah sebuah karya Tuhan yang sangat indah dan sempurna didalam dirimu, Hiro."
Hiro kemudian mendekat kearahku dan memelukku. Perasaaan hangat menyeruak memenuhi dada. Wajahku memerah karena malu. "Bernafaslah atau kau akan jatuh pingsan." Waktu serasa berhenti sejenak. Dedaunan yang jatuh seakan-akan melambatkan ayunannya. Angin yang bertiup hening untuk sesaat. Saat itu dunia seperti berhenti berputar dan memberikan ruang untuk kami. Musim semi datang lebih cepat padaku. Pelukan itu menggambarkan banyak warna. Merah, putih, kuning, biru, ungu, dan semua warna di bumi berkumpul menjadi satu diantara bibir kita. Waktu ke waktu, wajahku semakin memanas dan memerah.
Ketika kubuka mataku, tiba-tiba aku sudah berada dirumah Hiro. Kedua mataku terbuka lebar dan terkejut. "Bagaimana ini bisa terjadi?" "Keajaiban vampir." Kita berdua tersenyum bersamaan. Mataku menusuri setiap senti wajahnya yang putih itu. Kulitnya putih seputih salju. Vampir yang pucat dan dingin ini mengapa sangat menggairahkan? Beberapa detik kemudian ia melepaskan pelukannya lalu berjalan menuju dapur. Kulihat punggungnya menghilang dibalik dapur. Ia kembali dengan dua cangkir teh dan meletakkannya di meja.
Kami duduk membisu untuk sesaat. Mengingal hal yang baru saja terjadi. Tercipta suasana canggung di ruangan luas ini. Aku memutuskan untuk memulai pembicaraan. "Tanganmu tidak apa-apa?" Ia mengangguk pasti dan menunjukkannya padaku. Terlihat tidak ada bekas sedikitpun yang tertinggal. "Ini juga salah satu dari keajaiban vampir?" Ia tersenyum lalu berkata, "Tidak Kina, tidak semua vampir bisa melakukannya. Hanya sedikit dari kami memiliki tanda lahir di punggung yang dapat melakukannya. Kau melihatnya kan?" Aku mengangguk. "Tanda lahir yang berbentuk pedang itu?" Kulihat ia mengangguk. "Beritahu aku lebih tentang vampir. Beritahu aku lebih tentangmu."
Ia mulai menceritakannya. Menit ke menit, aku seperti masuk ke dunia yang berbeda. Dunia yang gelap dan pepohonan dimana-mana. Dunia vampir. Bulan diatas sungguh terang. Kemudian Hiro menggandeng tanganku dan menembus pepohonan itu. Kali ini aku untuk sekian kalinya tak mempercayai mataku untuk apa yang dilihatnya. Berdiri tegak disana bangunan besar dan mewah bak istana di negeri dogeng. Taman hijau yang luas dihiasi oleh bermacam bunga yang entah apa namanya. Aku tak pernah melihat bunga-bunga itu sebelumnya. Terlihat sekumpulan kumbang dan kupu-kupu berterbangan ketika Hiro menepuk kedua tangannya ke atas. Taman itu juga dihiasi oleh air mancur ditengah-tengahnya. Diatas bangunan itu terlihat sebuah bendera dengan lambang yang asing bagiku. Kupandang sosok Hiro yang berdiri dengan baju kebangsawanannya. Terlihat sangat berbeda dan mempesona. Sosok disampingku kini tak terlihat seperti Hiro yang kukenal melainkan bak pangeran di negeri kayangan. Kemudian ia menuntunku memasuki halaman istana dan ia meneruskan ceritanya. Sambil mendengarkannya, aku melihat prajurit-prajurit yang berlalu lalang dengan pedang disarungnya. Mereka berbicara dengan bahasa yang sangat aneh. Aku sama sekali tak mengerti apa yang sedang mereka bicarakan.
Aku sungguh takjub bahkan aku lupa untuk mengedipkan mataku. Hiro kemudian membuka pintu besar itu dan menuntunku masuk. Tak sadar aku membuka mulutku, terkejut. "Kau tinggal disini?" "Tidak, aku bekerja disini", ia tertawa jail lalu memelukku. "Hiro, aku tak pernah tahu tentang semua ini. Aku tak pernah tau tentang dirimu. Ternyata kau sungguh…." "Sungguh apa?", ia memandangku dengan senyuman nakalnya. "Entahlah. Aku tak tahu bagaimana mengungkapkannya. Ini semua tampak luar biasa." Kemudian, pemuda itu membawaku menyusuri setiap jengkal istana. "Dulu aku dan ibuku sering menghabiskan waktu disini ketika matahari terbenam. Beliau sering menceritakan dongeng padaku." Ditunjuknya ruangan yang dilengkapi perapian api dan kursi-kursi yang nyaman. "Kau pasti selalu merindukannya." Aku menyentuh bahunya lembut.
Kemudian ia melanjutkan langkahnya ke ruangan lain. Ia membuka pintu besar lainnya, terlihatlah ruangan dengan meja panjang dan kursi-kursi yang mengelilinginya. Terlihat sangat formal. Itu adalah ruang rapat. Beberapa kali ia ikut dalam pertemuan penting didampingi oleh ayahnya. Tak heran jika ia sungguh pintar. Ia selalu belajar di setiap detik hidupnya. Di kehidupan ini ia dituntut untuk belajar dan mengambil banyak pengalaman. Ia terjun langsung ke lapangan dan menimba ilmu langsung pada sumbernya. Berbeda denganku, yang kudapatkan selama ini hanyalah teori.
"Itu ruangan apa?" Tunjukku pada salah satu pintu diujung sana. "Itu…. Kamar ayahku." Kulihat ekspresinya yang berubah sedih. Dia terdiam sesaat lalu berkata, "Aku ingin kau menemuinya." Aku mengangguk dan mengikuti langkahnya. Ruangan hangat itu beraroma lavender yang menenangkan. Warna dinding yang teduh membuat suasana sedih tiba-tiba datang. Kulihat pemuda itu berdiri dengan tatapan pilu memandang kearah seseorang yang terbaring di kasur. Sang raja tengah mengarungi lautan mimpinya tanpa tahu kapan ia akan tiba di dermaga dan menyambut seseorang disini yang setiap saat menantinya. "Aku lupa hangatnya pelukannya. Aku lupa bagaimana suaranya. Aku lupa bagaimana tatapannya ketika memandangku. Aku merindukan semua itu." Hiro menahan tangisnya. Aku tak tahu harus berkata apa saat ini. Aku tak tahu bagaimana menghiburnya. Aku hanya bisa mengelus pelan pungungnya. Pemuda itupun keluar dari ruangan itu. Ia sekilas menghapus air matanya diujung matanya. Aku mengikuti langkahnya yang lemas.
Hiro menghela nafasnya panjang lalu ia mengajakku ke suatu tempat di samping istana. Langkah demi langkah menjahui kamar itu, perlahan ekspresi sedih di wajahnya memudar. Rumput yang menghijau dengan suburnya tampak sangat asri. Sepertinya seseorang merawatnya setiap hari. "Tempat apa ini?" tanyaku sambil mengamati sekitar. "Lihatlah. Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu." Hiro meraih panah dan busurnya lalu menata fokusnya pada titik merah di papan target yang jauh disana. Tatapan matanya setajam mata elang bak ia tengah men-zoom pandangannya. Kemudian dalam hitungan detik, ia melepaskan pangkal panah itu dan panah itu melesat cepat lalu menancap pada titik merah disana. Aku takjub dan bertepuk-tangan dengan gembira. "Aku tak pernah tau kau ahli memanah." Ia meletakkan busur panah itu ke tempatnya. "Bukan hanya memanah, tetapi semua hal." Ia menunjuk pada kandang kuda. Aku tersenyum takjub memandang kearahnya. Mengapa pangeran muda ini terlihat sangat sempurna?
Perlahan aku kembali dari angan-anganku. Kesadaranku telah kembali. Hiro telah sampai diujung ceritanya. Aku memandangnya yang duduk disampingku. Aku terdiam sejenak lalu berkata, "Bawalah aku bersamamu. Aku akan berusaha menghapus luka-luka mu. Aku tak akan pernah membuatmu bersedih lagi." "Tidak, Kina. Aku tidak bisa membawamu. Itu terlalu berbahaya untuk saat ini." Itu terlalu berbahaya untukmu..... terlalu... terlalu berbahaya..... berbahaya untukmu..... untukmu, Kina. Entah mengapa kalimat Hiro terus mendengung ditelingaku. Dan yang kurasakan saat ini seperti semua aliran darahku menuju kearah atas. Terasa begitu ringan dan ringan. Hingga perlahan kurasakan dingin disekitar wajahku. Apa yang tengah terjadi? Rasanya begitu ringan dan seakan-akan.... "Kuharap kau dapat memahami keputusanku ini", suara Hiro menyadarkanku kembali. Suaranya seperti menarik sukmaku masuk kedalam tubuhku. Kurasakan suhu tubuhku hangat seperti sedia kala. Kemudian ia menyentuh lembut kedua tanganku. "Aku hanya ingin kau selamat. Suatu hari nanti aku pasti akan memperkenalkanmu pada ayah." Detik ini dunia kurasakan hanya milik kita berdua. "Yuki?", kataku lirih saat memandang keluar jendela. Salju pun mulai berguguran di sore itu. Menambah dinginnya udara.
"Jadi.... Anda sudah berpacaran dengan gadis itu?", kulihat keterkejutan L dan J. Aku mengangguk tanpa dosa. "Bukankah saya sudah memberitahu anda, bahwa...." "Ya aku masih mengingatnya J. Bahwa Kina bukanlah yang ditakdirkan untukku", tungkasku. "Lalu?", mereka berdua tampak tengah menunggu jawabanku. "Aku..... hanya jatuh cinta. Jadi biarkanlah aku menikmati saat-saat seperti ini. Semuanya akan baik-baik saja." "Tetapi dia bisa saja membahayakan nyawa anda, pangeran. Anda seharusnya menjauh dari gadis itu", lanjut J. "Berbahaya? Seberapakah bahayanya dia? Seorang manusia biasa dibandingkan dengan bangsa vampir, tentu kekuatannya tak berarti apa-apa. Aku mampu menanganinya sendiri", tungkasku. "Anda ingat kejadian semalam?" "Semua akan baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan."
Kulihat J menghela nafas panjangnya lalu berkata dengan nada tinggi, "Baiklah jika itu keputusan anda. Tetapi jika nanti dugaan kami terbukti nyata, maka ijinkanlah hamba untuk menampar anda, Pangeran Hiro." Kulihat J pergi dengan sangat marah. "Tolong maafkan perkataan J tadi, pangeran. Ia tidak bersungguh-sungguh tentang apa yang telah dikatakannya. Saya harap anda tidak memasukkannya kedalam hati. Saya yakin bahwa ia hanya menginginkan keselamatan anda", kata L berusaha menenangkanku. "Permintaan maaf kuterima", jawabku singkat.
Sesaat kemudian, aku sudah berganti baju di kamarku. Perlahan kusentuh bahu kiriku. Kurasakan sedikit sakit pada daerah tertentu. Aku menghela nafas pendekku lalu segera menuju lantai bawah. "Bagaimana keadaan di dunia vampir?", tanyaku pada L saat kulihat sosoknya disebelah sana. "Para prajurit Vampir Roman turut serta membantu didalam pencarian Dake dan kawan-kawannya, pangeran. Namun, sampai saat ini masih belum membuahkan hasil", ucapnya. "Lalu bagaimana dengan ayah?", lanjutku. "Masih sama, tak ada perkembangan dari kondisinya." Aku terdiam sejenak lalu melangkah keluar rumah. "Aku mempunyai janji dengan Kina. Tolong nanti jika J kembali, sampaikan permintaan maafku padanya." "Pangeran, tidak seharusnya anda bermain-main seperti ini. Seluruh nyawa di negeri vampir membutuhkan anda."
Butiran es itu masih menghujani kota ini. Kali ini semakin lebat dan membuat rambutku basah karenanya. Matahari sudah terbenam sejak semenit yang lalu. Jadi kutinggalkan topiku dirumah. Beberapa menit kemudian, aku telah sampai didepan rumah gadis itu. Sesaat kemudian ia menyadari akan kedatanganku dan ia segera membukakan pintu untukku. Tentu dengan senyuman manis khasnya. Akupun tersenyum padanya. "Sudah lama menunggu?", sapanya. Aku hanya menggeleng sambil mengelus lembut kepalanya. Kulihat ia tersenyum dengan wajah memerahnya. "Saljunya lebat ya?", tanyanya padaku. "Lumayan." Gadis yang lebih pendek dariku ini kemudian membersihkan rambutku dari butiran salju yang masih menempel. "Mau minum apa?", ia mempersilahkanku duduk di ruangan hangat itu. "Apapun yang kau suguhkan pasti akan ku minum", aku tersenyum nakal.
Kala itu, kita berbincang-bincang dengan hangatnya. Sesaat kemudian, kulihat tatapan yang berbeda darinya. Menatapku dengan tatapan kosong. Persis seperti di malam itu. Seketika aku terperanjat dari dudukku. "Kina, kau... baik-baik saja?", tanyaku meyakinkan. "Ya, aku baik-baik saja", kudengar responnya yang dingin. Setelah itu ia menghempas tubuhku hingga aku terpental dan membentur tembok. "Tenang saja. Ini tak akan terasa sakit, Hiro. Akan kulakukan dengan lembut. Aku janji", ucapnya. Ia membanting gelas yang ada diatas meja sehingga menyisakan pecahan-pecahan yang sisinya tajam.
Beberapa serangannya dapat kutangkis. Terlihat beberapa sayatan dilenganku, pelipis, dan dipipi kananku. Terasa begitu perih dan sakit. Terlebih punggungku yang terasa remuk. Aku tak sampai hati untuk menggunakan pedangku karena yang kulihat adalah sosok Kina. Diakhir pertarungan ini, aku tersudutkan lagi ke dinding dengan pecahan gelas yang beberapa senti dari leherku. Aku berusaha menahan pergerakan tangan Kina. Entah darimana dia mendapatkan kekuatan ini.
"Kina.... Tolong.... Hentikan ini semua", aku menatap kedua matanya dalam-dalam. Perlahan tatapan matanya berubah seraya menurunkan benda tajam itu. "Hiro? A-apa y-yang ter-terjadi?", ia melihat kedua telapak tangannya yang berlumuran darah. Lalu ia menatapku pilu. Aku hanya terdiam seribu kata. Tak tau harus berkata apa. Kemudian air mata mulai membasahi pipinya. "Maaf..... Maaf, Hiro. Aku.... Aku...", hanya itu yang dapat keluar dari bibir merahnya. Kemudian ia berlari keluar rumah. Dengan segera aku mengejarnya sambil memanggil-manggil namanya. Di persimpangan jalan aku bertemu dengan Sato. Pemuda itu terkejut saat melihat Kina dengan kedua tangannya yang berlumuran darah itu. "Apa yang terjadi??", pemuda berkacamata itu semakin terkejut saat melihatku yang penuh dengan luka. "Itu terjadi lagi!", tanggapku singkat padanya. Spontan Sato pun mengikutiku mengejar Kina. Masih terdengar lirih isak tangisnya dari kejauhan. Satu per satu tetesan darah dari telapak tangannya mulai mewarnai terotoar ini.
"Kina, berhentilah. Kau tidak bersalah. Lihatlah, Hiro baik-baik saja", kata Sato ditengah-tengah larinya. "Maaf.... Maafkan aku, Hiro", ucap lirih gadis itu sambil terus berlari. "Aku baik-baik saja Kina! Berhentilah meminta maaf padaku", aku berteriak berharap ia mendengarnya. Namun ia masih terus berlari, menghindar dari ku dan Sato. Sampai akhirnya kita memasuki sebuah hutan dan pelarian Kina terhenti di tepi jurang yang sangat curam.
"Sungguh aku baik-baik saja Kina", aku berusaha menenangkannya. "Kau terluka. Dan akulah yang telah membuatmu terluka. Aku tak ingin menyakitimu, Hiro", masih terlihat butiran air matanya yang membasahi pipinya satu per satu. "Ini akan segera sembuh. Tenanglah. Luka ini sama sekali tak berarti bagiku. Aku baik-baik saja, Kina." "Apa yang harus kulakukan? Sebenarnya apa yang terjadi padaku??" Dia mengutuk dirinya sendiri. Perlahan kulihat tatapan mata Kina berubah lagi. "Tidak, Hiro. Aku akan membunuhmu." Ia berlari menuju kearahku lalu mencekik leherku dengan sangat kuat. Dengan bersusah payah aku mencoba melepaskan cengkraman tangannya itu. Perlahan aku mulai kehabisan nafas. "Kina! Hentikan!", Sato mencoba menghentikan gadis ini. Namun tidak berhasil. Kina menghempaskan tubuh Sato hingga membentur pohon besar. Kini tinggal kami berdua yang bertaruh. "Kina, tolong sadarlah!", masih terlihat tatapan matanya yang kosong. Lagi-lagi sesuatu telah merasuki dirinya. Mengambil alih jiwanya."Dia bagaikan mesin pembunuh, pangeran. Suatu saat dia akan diaktifkan lagi. Jauhi dia. Kapanpun dia bisa menyelakai anda. Tak peduli seberapa besar cintanya pada anda. Dia tak akan bisa mengendalikan itu semua disaat sesuatu terjadi padanya." Masih kuingat jelas ucapan J.
Tak lama kemudian, aku berhasil melepaskan cengkraman tangannya dari leherku. Lalu, tamparan keras melayang ke pipi Kina dari tangan Sato. "Kau tau? Selama ini aku bahagia saat bersamamu. Bahkan aku sempat berpikir untuk memilikimu sepenuhnya seperti Hiro. Tapi aku mengalah demi persahabatan ini. Aku telah mendengarkan semua keluh-kesahmu, Kina. Aku sangat mengenalmu. Kau adalah wanita yang kuat dan pantang menyerah menghadapi apapun itu.", ucap Sato. Kulihat tamparan Sato yang membekas di pipinya. Kina memegangi pipi kiri nya yang dirasakan panas itu. "Maaf, maafkan aku. Aku tak bisa menahannya lagi. Aku tak ingin membiarkan sesuatu yang lebih buruk terjadi. Terutama padamu, Hiro", Kina menyentuh lembut pipi kiriku. Satu butir air mata keluar lagi darinya. Tampak penyesalan yang teramat dalam darinya. Beberapa kali ia hanya dapat mengatakan kata maaf. Seperti halnya sebuah ucapan selamat tinggal. Setelah itu ia berpaling dariku dan menuju ujung tebing curam itu. "Kina! Tolong jangan lakukan itu!", aku berusaha untuk meraihnya, namun... "Mungkin hanya sampai disini kisah kita. Kau dan aku tidak ditakdirkan untuk bersama. Namun.... aku sangat bersyukur telah dipertemukan denganmu, Hiro. Sejak hari itu, aku selalu mengagumimu. Sampai saat ini pun aku masih merindukanmu. Sangat-sangat merindu. Aku hanya berharap suatu hari nanti kau akan mengenangku sebagai Kina yang selalu ada untukmu dan selalu mengagumimu sejak pertemuan pertama kita. Aku akan selalu ada setiap kau menutup matamu. Maafkan aku, Hiro", kulihat senyuman tipis itu darinya.
Boku ni wa, kimi ni shika miserarenai kao ga aru
(Bagiku, tak ada lukisan wajah seseorang dipikiranku selain kamu)
Hito no mae de wa kuuki wo yonde
Tsukuri warai wo tsuzuketeru
Motto ganbare to iwaretara
Sunao ni unazui tari mo suru
(Membaca atmosfer orang-orang disekelilingmu)
(Sedang melanjutkan senyuman palsunya)
(Aku berusaha berjuang lebih keras lagi)
(Beberapa orang hanya mengangguk dengan patuhnya)
Kodomo no koro wa shiranakatta
Jibun ga konna ni okubyou da nante
Nakitai yo, nakenai yo
Kono mune ga harisake sou sa
(Ketika aku masih kecil, aku tak dapat memahaminya)
(Bagaimana aku bisa tersipu malu seperti ini)
(Aku ingin menangis, tetapi aku tidak bisa menangis)
(Dada ini terasa seperti tercabik-cabik)
Kimi ni shika miserarenai kao ga aru
Kimi ni shika miserarenai kao ga aru
Daijoubu to, waratte kureta
Boku ni wa, kimi ni shika miserarenai kao ga aru
(Tak ada lukisan wajah seseorang dipikiranku selain kamu)
(Tak ada lukisan wajah seseorang dipikiranku selain kamu)
("Tidak apa-apa", dan kau tersenyum untukku)
(Bagiku, tidak ada lukisan wajah seseorang dipikiranku selain kamu)
Otona ni naru to gakushuu wo shite
Guuzen nanka ni tayonarai
Dakedo moshikashitara sore wa
Kiseki dattari shinai darou ka
(Aku tumbuh dewasa dan mempelajarinya)
(Sebuah kebetulan ini entah mengapa tidak dapat diandalkan)
(Tetapi semoga saja kalau itu yang akan terjadi)
(Itu bukanlah mimpi kan?)
Fushigi na chikara ga waitekuru
Kimi ga yuuki wo kuretanda ne
Aishiteru, aishiterun da
Kono mune ga harisake sou sa
(Kau telah memberikanku anugerah)
(Kau telah memberikanku sebuah keberanian, bukankah begitu?)
(Aku mencintaimu, aku mencintaimu)
(Dada ini terasa seperti tercabik-cabik)
Kimi ni shika miserarenai kao ga aru
Boku ni shika miserarenai kao ga aru?
Itsumade mo itsumade mo
Te wo tsunaide ita
(Tak ada lukisan wajah seseorang dipikiranku selain kamu)
(Apakah dipikiranmu juga hanya ada lukisan wajahku?)
(Selalu dan sampai kapanpun itu)
(Kita akan selalu bergandengan tangan)
Boku ni wa, kimi ni shika miserarenai kao ga aru
(Bagiku, tak ada lukisan wajah seseorang dipikiranku selain kamu)
Song by: @Hey! Say! JUMP_Super Delicate
Terkadang aku menunjukkan senyuman palsuku, pada saat itu aku masih mencintaimu. Saat kupaksakan diri untuk bangkit berdiri dari sebuah keterpurukan, saat itu pula aku mencintaimu, dan hanya demi dirimu. Saat kulihat kau tersipu malu, saat itulah aku mencintaimu. Entah sudah berapa kali kau membuat hatiku bergetar dan membuat jantung ini berdegub kencang. Mungkin setelahnya serasa ingin menangis, namun air mata tak kunjung keluar. Dan dada ini serasa terkoyak saat menyadari suatu kenyataan yang pahit saat aku terbangunkan dari mimpi indahku. Sangat menyakitkan, bukan? Namun kita sudah berjanji untuk menjalaninya bersama-sama. Menentang aturan yang ada dan menghancurkan dinding pembatas diantara kita berdua.
Benar, hanya kau yang telah memenuhi pikiranku. Hanya kau yang telah mengisi pikiranku, Kina. Menghantuiku dan menguasai akal sehatku. Mungkin aku tak bisa dengan mudah menghapusnya. Apakah kau juga seperti itu? Disaat aku membutuhkan keajaiban dan kau telah memberikanku sebuah kekuatan untuk meneruskannya. Apakah kau juga seperti itu? Walaupun hanya kata "Daijoubu", itu sudah cukup dari apapun dan janganlah meminta maaf akan hal itu. Itu lebih dari cukup, Kina. Lebih dari cukup. Semuanya akan baik-baik saja. Kita telah sepakat untuk mempercayainya, iya kan? Aku mencintaimu dan akan selalu seperti itu. Maaf jika hanya itu yang dapat kuberikan padamu saat ini. Tak bisa menghiburmu dan tak mampu untuk menghapus air matamu. Dada ini terasa sakit saat mengetahui bahwa kau menangis karenaku. Selamanya dan selalu akan kupegang erat tanganmu. Bukankah aku telah berjanji padamu? Lalu bukankah kau seharusnya selalu disisi ku, bersamaku. Agar aku bisa memenuhi semua janjiku itu padamu.
Tetapi ia mengakhirinya dengan melepaskan itu semua. Nyaris saja aku dapat meraih tangannya namun itu terjadi terlalu cepat. Kulihat dengan kedua mataku sendiri tubuhnya yang jatuh kebawah tebing. Kurasakan seluruh tubuhku yang lemas menyadari bahwa ini semua adalah kenyataan. Sampai-sampai air mataku membeku, tak mau menetes. Aku masih belum bisa mempercayai kedua mataku ini.
Sejenak kemudian, terdengar suara seseorang yang tengah bertepuk-tangan dengan tempo pelan. "Pertunjukan yang sangat bagus sekali. Dahulu kau meninggalkan sahabatmu, lalu mengorbankan Y untuk menyelamatkanmu, dan sekarang kau telah membunuh pacarmu. Sungguh peningkatan yang drastis!" Terlihat siluet seseorang didepan sana yang tengah berjalan pelan kemari. Perlahan mulai kulihat jelas seseorang itu. Seorang pemuda dengan kulit pucatnya. Warna kulitnya begitu pucat nyaris seperti... vampir.... Spontan aku bangkit didalam keterkejutanku. "Siapa kau?!", kulangkahkan kakiku mundur. Kulihat ia memberikan salam formal padaku dengan membungkukkan setengah badannya. "Maafkan hamba jika kedatangan hamba telah mengganggu malam yang hikmad ini..... pangeran. Inikah waktu yang tepat untukku memperkenalkan diri? Lupakan itu!", kulihat ia melangkah kearahku dengan langkah yang cepat. Namun langkahnya terhambat oleh Sato yang seketika menghadangnya. "Urusan Hiro adalah urusanku juga saat ini?!" nada tinggi Sato mulai terdengar. Terlihat senyuman kecil dibibir pemuda asing itu. "Baiklah jika kau memaksa." Ia mulai menghajar Sato dengan tangan kosong. Sato terlihat terpontang-panting kesana dan kemari. Tubuh lemasnya terhuyung-huyung mencoba mengimbangi serangan pemuda asing itu. Namun ia bukanlah tandingan Sato.
"Hentikan! Aku lawanmu." Kuraih pedang dibalik bajuku lalu kuacungkan padanya. Ia melepaskan Sato dan tersenyum masam padaku. "Ini akan sangat menarik." Duel pun tak dapat dihindari. Suara hantaman pedang beberapa kali terdengar diantara gelapnya malam. Cahaya perak bulan memantulkan sinarnya di permukaan logam pedang kami. Namun aku tak mampu mengimbangi serangannya yang cepat dan gesit. Sehingga ujung samurainya berhasil menancap pada bahu kiriku dan nyaris menembusnya. Aku menjerit kesakitan. Aku berusaha untuk mencabutnya. Ia tersenyum masam. "Aku lupa, aku belum memperkenalkan diriku. Apakah anda masih mengingat nama Daisuke?" Terucap sebuah nama darinya. Sesuatu melintas dengan cepat didalam benakku. "Daisuke?", aku mencoba mengingat-ingat nama itu diantara rasa sakitku. Nama itu tampak asing sekali bagiku. Aku mengumpulkan tenagaku lalu kudorong tubuhnya hingga terpental jauh. Kemudian kucabut pedangnya dari bahuku dan kulempar ke tanah.
"Sangat disayangkan sekali." Kulihat ia bangkit lalu kita berduel menggunakan tangan kosong. Sesekali ia mengenaiku dan sesekali aku mengenainya. Selebihnya aku bisa menangkis serangannya. "Sepertinya latihanmu selama ini sangat bagus, pangeran." Terlihat senyuman sinisnya.
"Kenapa kau terus memanggilku dengan nama Dake? Kau tau kan kalau aku tak menyukainya?"
"Itu adalah nama spesial dariku karena kau sahabat terbaikku. Aku menyayangimu seperti halnya matahari yang tak lelah menyinari bumi. Daisuke…. Dake."
"Mana mungkin aku melupakannya, ayah. Aku mempunyai ingatan yang tajam. Benar kan Daisuke_kun"
Daisuke....? Tatapan mata itu. Sepertinya aku pernah melihatnya. Tatapannya begitu khas. Sorot matanya terngiang-ngiang di sudut ingatan masa kecilku. Itu sama sekali tidak pernah berubah darinya. Pemilik mata yang tengah mengacungkan ujung pedangnya kepadaku sekali lagi. Ia berhasil meraih pedangnya dan berusaha untuk menumbangkanku. Dengan sigap aku meraih pedangku yang tertancap di atas tanah dan bersiap untuk berduel lagi. Sosok yang beberapa hari ini telah membuat hari-hariku tidak tenang. Kini aku berhadapan dengannya. Iya, aku mengingatnya. Daisuke. Pemuda itu adalah Dake. Bagaimana bisa aku melupakan nama itu. Ayah, apa yang harus kulakukan? "Dake?"
"Benar, pangeran. Dake, sahabat lamamu. Aku sangat mengharapkan sambutan hangat darimu, Hiro. Namun tak apa. Aku bisa memaafkanmu. Kau tahu? Aku adalah Dake yang telah menerima sebuah penghinaan besar dari kerajaanmu, Vampir Chizu. Maafkan aku karena kalian telah membuatku menjadi seorang penghianat." Ia terdiam sejenak lalu tak lama kemudian ia melanjutkan kalimatnya. "Akulah Dake yang telah memendam dendam lama padamu, Pangeran Dai Akihiro. Dake yang telah berhasil melumpuhkan ayahmu, Sang Baginda Raja Keiji. Dake yang saat ini datang untuk membunuhmu. Jadi....." Ia menunduk sejenak. "Jadi, jangan coba-coba untuk menghalangiku karena langkahku sudah terlalu jauh untuk berhenti."
"Kau salah Dake. Kau salah besar. Kita tidak pernah membuangmu. Kita selalu menyayangimu. Ini hanyalah kesalahpahaman. Kau telah dicuci otak oleh mereka. Lihatlah, kau dengan teganya melakukan ini semua. Bahkan dengan semua kekuatan yang kau dan anak buahmu miliki, kau masih terlihat sangat menyedihkan. Aku ingin sekali membagi kebahagiaanku padamu, Dake. Mari kita ciptakan dunia yang damai. Mari kita mulai dari awal lagi dan menciptakan kehidupan yang aman bagi bangsa kita"
Ia terdiam sejenak sambil menatapku. "Kenapa kau tiba-tiba menjadi sok suci seperti ini, Hiro. Lucu ketika mendengarmu berbicara tentang dunia dan bangsa. Apa kebaikan dunia ini padamu?! Kenapa kau ingin menyelamatkannya?! Jangan sok naif. Kau sekarang bertindak seperti pria hebat. Tapi itu sama sekali tak mengurungkan niatku untuk membunuhmu, Hiro. Menyerahlah, dan mati saja bersama ayahmu!" Sekarang aku tersudutkan dipohon besar ini. Terasa sakit disekujur tubuhku.
"Kenapa aku peduli atas dunia ini…. Kenapa aku sangat mengkhawatirkan ketentraman bangsa kita…. Karena aku masih ingin tinggal didalamnya." Aku terdiam sejenak ketika melihat tatapan matanya yang berubah. "Bagaimana aku bisa hidup di dunia yang kacau seperti itu, Dake? Bagaimana aku bisa nyaman tinggal di dunia yang banyak terjadi teror?" Kulihat ia menunduk. Sepertinya ia memahami setiap perkataanku itu. Kusentuh bahu kanannya, "Ayo kita tata semuanya dari awal. Ayo kita maafkan semua masa lalu. Ayo kita persatukan kedua kerajaan. Aku sangat membutuhkan bantuanmu kali ini, Dake." Kulihat ia menjatuhkan pedangnya lalu terlihat butiran air mata disudut matanya.
"Aku..... Aku tidak bisa. Aku telah menjadi vampir terburuk didalam sejarah dunia vampir. Penghianatanku pada kerajaanmu, usahaku membunuh Raja, dan juga sekarang. Tindakanku ini sangat terhina. Aku merasa malu jika disandingkan denganmu." Tak kusangka seketika ia meraih pedang yang ada di genggamanku lalu menusukkannya pada tubuhnya sendiri. Pedangku menembus perutnya hingga ke punggungnya. Sangat dalam. Aku terkejut lalu aku menarik pedangku kemudian ia jatuh tersungkur. Aku menopang badannya yang sekarat. Nafasnya naik turun tak beraturan. Aku memeluknya dan ia memelukku. Kami larut dalam tangisan yang haru pada malam itu. "Beginikah akhirnya? Beginikah akhir kisah persahabatan kita?" ucapku diantara tangisku. "Aku sangat senang bisa bertemu denganmu lagi. Aku sangat senang kembali padamu…. Sahabat. Aku akan selalu mengingatmu seperti bulan yang tak pernah terbenam. Aku akan selalu melihatmu hingga saatnya kau menjadi seorang pria hebat dan memimpin kerajaan dengan gagahnya. Aku harap aku bisa menyaksikannya langsung dengan kedua mataku. Masa-masa kepemimpinan Raja Dai Akihiro. Aku sangat ingin bersamamu di hari-hari itu. Melihatmu memakai mahkota kerajaan. Namun aku tak mampu. Entah bagaimana aku harus menyembunyikan jasadku dan kehinaanku ini. Bahkan mungkin tanah tak akan menerimanya."
Tubuhnya terkulai lemas dipelukanku. "Wujudkan dunia yang damai untuk kita semua. Hantarkan jasadku ke tanah yang merdeka." Ia melepaskan pelukannya demi melihat wajahku untuk yang terakhir kalinya. "Tetaplah menjadi Hiro yang selalu keren di mataku. Tetaplah menjadi Hiro yang tetap kuat walau badai menghantam. Aku sangat senang terlahir ke dunia ini dan bertemu denganmu, Hiro. Dai..... Akihiro."
Senyumannya terhenti dan hanya menyisakan satu hembusan nafas panjang. "Aku juga senang bisa bertemu denganmu, Dake." Aku berusaha untuk mengendalikan diriku. Kuhela nafas panjangku untuk menenangkan diri. Semakin berlipat-lipat kesedihanku yang kurasakan. Malam ini, dua orang sekaligus telah pergi dari dunia ini.
Sesaat aku bangkit berdiri, datanglah sosok J. Ia terdiam sambil memandangi Sato yang memar-memar dan jasad Dake yang tergeletak di sampingku. Lalu setelah itu ia memandang kearahku. Melihat keadaanku yang mengenaskan, ia berkata dengan nada dingin, "Bagaimana dengan Kina?" Aku hanya menunduk lesu. Tak mampu berkata apa-apa. Sedari awal harusnya aku mendengar nasehatnya. Kali ini aku tak berani mengangkat pandanganku kearah J. Tiba-tiba kurasakan tamparan keras mengenai pipiku. Sakit sekali. Rasanya bagai sebuah tamparan sebanyak sepuluh kali. Mulutku benar-benar terkunci saat ini. "Seperti janjiku pada anda. Hamba akan menampar anda jika ini terjadi. Maafkan jika tidak sopan, pangeran. Semoga ini akan menjadi pelajaran bagi anda." Aku masih tertunduk sambil merasakan pipiku yang perih dan panas. Seketika J memelukku erat sambil mengelus-elus kepalaku.
"Anda melewati masa-masa yang terberat, pangeran. Satu kali lagi dan satu kali lagi. Menangislah, pangeran. Tak apa-apa." Aku menghapus air mataku dan berkata, "Tidak. Aku tidak akan menangis lagi. Aku sudah berjanji pada ayah." J melepaskan pelukannya lalu menunduk. "Baginda sudah tiada, pangeran." Mendengar hal itu terucap darinya, seketika dunia dan seisinya seperti runtuh menimpa diriku. Kakiku terasa lemas dan aku jatuh berlutut. "J, itu… tidak benar kan? Ayah tak mungkin meninggal begitu saja. Ayah sangat kuat. Ia bisa melawan apapun. Bahkan hanya sebuah panah. Ia mampu menghadapi apapun itu. Kau pasti berbohong padaku kan J? ", ungkapku tak percaya. J membuang pandangannya kearah lain dan itu semakin memperkuat pernyataannya itu. Aku menatap kosong kedepan. "Pangeran....", J mendekat kearahku dan memelukku. "Sabar dan tabahkanlah hati anda." Ia hanya bisa membisikkan kedua kata itu ditelingaku. Berkali-kali. Terus menerus. "Katakan bahwa itu tidak benar, J. Rasanya baru kemarin aku bertemu dengannya. Katakan bahwa itu tidak benar. Katakan... walau hanya sekali saja. Katakan.... bahwa itu semua bohong. Katakan bahwa ayah masih ada."