Chereads / Vampir yang Kesepian / Chapter 9 - Hey! Say.....

Chapter 9 - Hey! Say.....

Dialah sang penguasa. Penguasa jagad raya. Raja dari segala raja. Dialah yang menciptakan alam semesta dan seisinya. Dia yang tak pernah tidur. Jika ia tertidur maka hancurlah sudah jagad raya ini beserta isinya.

Kulangkahkan kakiku ini menuju halaman istana. Baru kemarin aku dan ayah duduk di kursi ini. Sekarang tinggallah aku sendiri. Kubersihkan kursi ini dari dedaunan yang telah menguning. Melihat sepotong pemandangan, merasakan hembusan angin. Sejenak kututup pelupuk mataku yang hangat. Membiarkan suara-suara teduh memasuki kepalaku. Mengapa ini semua harus terjadi? Mengapa aku dilahirkan? Kalau bukan karena kuasa-Mu, ini semua takkan terjadi. Kubuka perlahan kedua mataku ini. Hal yang pertama kali kulihat adalah seperangkat busur dan panah beserta papan targetnya. Benda-benda itu menarikku kembali pada kenangan bersama Dake.

"Untuk apa kita dilatih teknik memanah?", tanyaku polos pada anak laki-laki yang kupanggil Dake itu. "Untuk melumpuhkan objek yang jauh contohnya seperti burung ataupun hewan liar yang larinya cepat. Didalam peperangan, keberadaan pemanah tidak bisa dianggap sepele karena ia juga berperan penting untuk melumpuhkan musuh dari jarak bermeter-meter jauhnya." Kulihat ia berkonsentrasi pada papan target yang letaknya jauh didepan sana. "Memanah juga dapat melatih daya konsentrasi dan kesabaran kita." Lalu kulihat ia melepaskan senar busurnya dan dalam sekali meluncur anak panah itu berhasil menancap pada titik merah ditengah-tengah papan itu. Seperti biasanya, ia selalu berhasil melakukannya dengan sempurna.

"Kenapa kau suka memanah? Bukankah ini membosankan?", tanyaku penasaran. Ia meraih anak panah selanjutnya untuk ia luncurkan. "Membosankan? Memanah akan menjadi membosankan jika kau tidak menikmatinya", ucapnya. Ia melepaskan senar busur itu lagi dan memantulkan anak panahnya menuju papan target. Mata panah itu membelah batang panah sebelumnya menjadi dua bagian. "Lalu, apa arti memanah bagimu?", tanyaku. Ia mengambil anak panah untuk yang ketiga kalinya. Ia tak langsung menjawabku. Kulihat ia memfokuskan pandangannya pada titik merah didepan kemudian tatapannya berubah menjadi begitu tajam. Seperti mata elang.

"Aku menekuni ini untuk melindungimu, Hiro_kun", ucapnya. "Melindungiku?", ulangku sekali lagi. "Iya. Nanti kau akan menjadi Raja Vampir Chizu dan saat itulah aku akan menjadi pengawalmu. Melindungimu dalam segala bentuk ancaman, pangeran." Bersamaan dengan itu, ia melepaskan senar busurnya dan anak panah itu melesat secepat kilat. Kali ini kecepatannya lebih kuat dari dua anak panah sebelumnya. Anak panah itu mendarat di titik yang sama dan membelah dua batang panah yang sebelumnya.

Panah itu seakan-akan menembus relung jantungku dan menyadarkanku dari lamunanku. Aku bangkit dari tempat dudukku dan meraih busur beserta anak panahnya. Kutarik senarnya beserta pangkal panah yang kuapit diantara jari-jariku lalu kufokuskan pandanganku pada titik merah di papan target di depan sana. "Melindungiku? Bahkan kau sekarang ingin menghancurkanku." Kulepaskan senar itu dan kulihat anak panahku terbang melesat menuju papan di ujung sana. Dengan pasti mata panah itu menancap tepat pada titik merah ditengah. Kulempar busur itu ke tanah dan membuat patah menjadi dua bagian. "Semua perkataanmu adalah sebuah dusta. Dusta besar."

Dalam langkahku, aku melamun tentang anak laki-laki bernama Dake itu. Kemarahan dan kekecewaan terkadang menyelimuti hatiku. Dake, apakah ini akhir dari semuanya? Apakah ini akhir dari kisah persahabatan kita? Apakah ini yang kau inginkan? Tetapi mengapa. Mengapa kau sungguh tega. Kau telah membuang semua kenangan persahabatan kita.

"Apa rencana kita selanjutnya? Mereka semakin memperkuat pertahanan Kerajaan Vampir Chizu. Sudah jelas kita tak akan bisa menembusnya untuk yang kedua kalinya. Terlebih lagi kita telah kehilangan banyak sekali prajurit. Ini akan lebih parah lagi jika mereka berhasil menemukan tempat persembunyian kita", kata salah seorang prajurit Vampir Souka. "Tenang. Selama kita berada di hutan ini dan tidak menyalakan api, mereka tak akan menemukan kita", kata pemimpin pasukan itu. "Lalu apa yang akan kita lakukan? Menunggu disini hingga mati kedinginan? Bahkan kita sekarang tidak bisa kembali ke Kerajaan Vampir Souka ataupun melanjutkan penyerangan ke Kerajaan Vampir Chizu. Jika kita kembali, raja pasti akan membunuh kita karena idemu lah yang membuat kita kehilangan banyak prajurit. Jika kita maju ke Kerajaan Vampir Chizu, mereka pasti akan langsung membunuh kita ditempat karena panah beracunmu yang telah melumpuhkan raja mereka. Saat ini nasib kita benar-benar berada diujung gerbang kematian." Hening sejenak diantara mereka. "Kita akan kembali pada rencana awal. Kita sudah mengetahui situasi saat ini seperti apa. Jadi, kita akan berkemah disini dan menunggu Pangeran Hiro keluar. Pasti cepat atau lambat para petinggi istana akan menyuruhnya bersembunyi lagi di balik portal itu karena mereka khawatir akan nyawanya dan saat itulah aku akan mengikutinya secara diam-diam. Jika aku sudah berhasil mendapatkannya, kalian bisa kembali ke kerajaan dan sampaikan berita menggembirakan ini pada raja."

"Tolong katakan padaku bahwa semua ini tidak nyata. Tolong katakan padaku bahwa semua ini hanya mimpi. Siapa saja... tolong..... katakan bahwa semua ini tidak pernah terjadi." Beton yang kutiduri ini terasa mulai menghangat. Aku berbaring ditepian air mancur. Tepatnya diatas beton putih yang berdiameter lebar ini. Aku berbaring sambil menatap langit biru yang cerah sambil memainkan ujung-ujung jemariku pada air disampingku. Membiarkan cahaya mentari menghangatkan tubuhku dari ujung rambut hingga ujung kakiku. Mendengarkan suara gemericik air mancur dan riak air yang dikibas-kibaskan oleh ikan-ikan yang berenang mengitari kolam. Terkadang ikan-ikan itu seperti berbisik padaku dengan bahasa mereka. Terkadang pula dapat kudengar suara yang menyerupai alunan musik yang lemah. Entah dari mana dan siapa yang memainkannya. Ada yang mengatakan bahwa itu hanyalah suara angin yang menerpa dedaudan dan bebatuan sehingga membentuk sebuah susunan nada. Sungguh hari yang indah, tetapi tak seindah suasana hatiku. Dake, apa yang terjadi? Apa yang telah merubahmu? Monster apa yang telah merasukimu?Aku beranjak berdiri saat kusadari panasnya matahari yang semakin menyengat.

Meja makan ini terlihat sangat luas hanya untuk satu orang yang akan menikmati makanannya. Begitu kosong dan menyedihkan. Hanya ditemani lilin-lilin putih dan suara-suara peralatan masak yang beradu dari bilik dapur. "Bawakan makananku ke kamar", perintahku pada pelayan. Sesaat aku beranjak berdiri, seorang menteri menghampiriku, "Pangeran, ini ada surat dari kerajaan-kerajaan negeri sebrang." Tanpa pikir panjang segera kubuka setiap surat yang memiliki sampul yang berbeda-beda itu dengan cap resmi kerajaan. Yang pertama kubuka adalah surat dari Kerajaan Vampir Anderra.

Yth.

Pangeran Dai Akihiro

Kerajaan Vampir Chizu

Dengan hormat,

Mendengar berita buruk yang telah menimpa kerajaan anda, saya sebagai Raja Kerajaan Vampir Anderra menyampaikan rasa simpati dan empati yang terbesar dari lubuk hati saya yang terdalam. Saya selalu mendoakan yang terbaik untuk anda dan kerajaan. Rakyat Vampir Anderra juga menunjukkan rasa sedihnya atas apa yang telah terjadi. Saya sangat mendukung perdamaian antar kerajaan demi membebaskan penderitaan rakyat dari teror yang telah terjadi selama berabad-abad ini dan kami juga akan berkontribusi untuk mencari titik tengah diantara permasalahan yang sedang terjadi. Secepatnya kami akan mengirimkan bantuan berupa alat-alat perang dan juga pasukan khusus yang kami miliki untuk membantu mengamankan situasi Istana. Terlebih juga kami akan mengirimkan bahan pangan untuk kebutuhan sehari-hari rakyat Vampir Chizu yang terkena dampak peperangan. Kami akan memastikan bahwa anak-anak tak akan kelaparan dan para ayah tak akan khawatir akan kelangsungan hidup keluarganya. Sekian dari saya, semoga kita bisa bertemu di lain hari.

Raja Kerajaan Vampir Anderra

Raja Vonti

Kerajaan Anderra. Dulu, aku beberapa kali diajak untuk bergabung di rapat besar ketika aku masih kecil. Aku sudah siap dengan setelan kemejaku dan jas kerajaan yang ukurannya sangat pas di badanku yang mungil kala itu. Aku selalu bersemangat ketika ayah sesekali mengajakku ke acara formal dan mengunjungi kerajaan-kerajaan hebat diluar sana walaupun aku tak dapat memahami apa yang tengah mereka bicarakan selama forum berlangsung. Aku duduk diam disebelah ayah sambil mengamati orang yang bergiliran berbicara. Cara mereka berbicara terdengar sangat berwibawa terutama Raja Vonti. Kemudian beliau memandang kearahku dan memberi sebuah isyarat, "Apakah pangeran tidak bosan?" Kira-kira seperti itu arti dari isyaratnya. Aku hanya tersenyum dan menggeleng.

Seusai rapat besar itu, kita semua dijamu makan siang oleh Raja Vonti. Mataku terbelalak lebar ketika melihat banyaknya hidangan diatas meja panjang itu. Ini adalah pengalamanku pertama kalinya dijamu oleh kerajaan negeri seberang. Kulihat pula ada susu coklat hangat favoritku disana. "Untuk rasa terimakasih saya atas kedatangan tamu spesial diantara kita saat ini, saya memesankan khusus susu coklat untuk pangeran kecil yang tampan kita." Sontak semua pasang mata tertuju padaku dan tersenyum padaku. Itu membuatku sedikit canggung. "Cheiden, ajak pangeran Hiro duduk disini bersama kita." Ucapnya pada seorang anak laki-lakinya yang seumuran denganku. Ia berpenampilan rapi bak anak bangsawan-bangsawan lainnya. "Ayo Hiro, makan denganku. Pasti tadi sangat membosankan menghadiri forum resmi itu kan? Mendengarkan hal-hal yang tidak kita pahami. Makanya aku tidak pernah mau jika diajak ayah." Celotehnya sambil merangkul bahuku. Seisi ruangan dibuatnya tertawa oleh perkataannya. Aku hanya tersenyum menanggapinya.

Di meja makan itu, aku duduk terpisah dengan ayah. Aku duduk dengan Raja Vonti dan Cheiden. Ayah terlihat sangat menikmati obrolan dengan orang-orang lainnya yang duduk bersebelahan dengannya. "Hiro, apakah kamu bisa menunggangi kuda?" tanyanya. "Iya, bisa. Aku bahkan bisa memanah sasaran dengan tepat sambil menunggangi kuda." "Wah hebat. Setelah ini ayo kita main ke taman sebelah istana. Akan kutunjukkan padamu kuda favoritku."

Kubuka surat kedua. Surat ini bertuliskan dikirim dari Kerajaan Vampir Shamus.

Yth.

Pangeran Dai Akihiro

Kerajaan Vampir Chizu

Dengan hormat,

Telah sampai kepada saya berita bahwa Vampir Souka telah meluncurkan serangannya pada Vampir Chizu dan melumpuhkan Raja Keiji. Itu sungguh membuat saya dan petinggi lainnya terkejut dan tak menduga akan hal ini. Pangeran, saya yakin bahwa ini hanyalah jebakan untuk membuat anda keluar dari persembunyian. Saya dapat menebak taktik mereka. Saya harap anda dapat bijak menanggapinya dan doa saya selalu menyertai anda.

Raja Kerajaan Vampir Shamus

Raja Devian

Kututup surat itu dan membuka surat yang terakhir.

Yth.

Pangeran Dai Akihiro

Kerajaan Vampir Chizu

Dengan hormat,

Saya beserta segenap rakyat Vampir Andalson turut berduka atas apa yg menimpa kerajaan Vampir Chizu. Saya harap pangeran tabah dan sabar menghadapi ini semua. Para dewa tidak akan menutup kedua matanya dan Ia akan memenangkan keadilan suatu hari nanti. Jangan khawatir pangeran. Kami akan siap di garda terdepan melindungi anda dan kerajaan. Secepatnya kami akan mengirimkan pasukan-pasukan terbaik kami. Jika anda butuh bantuan, jangan segan-segan menghubungi saya. Saya beserta petinggi Kerajaan Vampir Andalson dengan senang hati membantu anda sekuat tenaga kami. Sekian, Salam hangat dari saya.

Raja Kerajaan Vampir Adalson

Raja Aaric

Aku segera membalas satu per satu surat itu dengan kertas dan tinta yang sudah disiapkan. Ucapan terimakasih atas rasa simpati mereka dan segenap bantuan mereka aku sampaikan di kertas resmi ini. Segera kulipat dengan rapih dan kusisipkan pada sampul yang berlabelkan simbol Kerajaan Vampir Chizu.

Kuhembuskan nafasku pelan seraya duduk ditepian tempat tidurku. Kuamati sekeliling ruangan ini yang masih tetap sama selama beberapa tahun sebelumnya. Kurebahkan tubuhku dan memandang kearah langit-langit kamarku. Kudengar pintu kamarku diketuk dari luar. "Masuk." Posisiku masih tetap berbaring dan tak mengalihkan pandanganku kearah pintu. "Maaf, pangeran. Ada surat terakhir yang belum anda baca." Katanya seraya melangkahkan kaki mendekat kearahku. Aku segera bangkit duduk dan meraih surat itu. "Surat dari siapa?", tanyaku spontan. "Dari Raja Ateron."

Yth.

Pangeran Dai Akihiro

Kerajaan Vampir Chizu

Dengan hormat,

Perkenankanlah kami dari keluarga besar Kerajaan Vampir Roman mengucapkan duka yg sedalam dalamnya atas keadaan Baginda Raja. Saya harap pangeran menghadapi cobaan ini dengan tabah. Sebenarnya tanpa sepengetahuan anda kami telah memborbardir Kerajaan Vampir Souka sehari setelah kejadian itu. Kami berhasil menangkap beberapa orang yang kami duga sebagai pelakunya. Untuk membahasnya lebih lanjut, saya harap anda bersedia datang ke kerajaan kami. Kami akan menyiapkan segala sesuatu untuk keselamatan anda selama diperjalanan dan kami pastikan anda aman hingga perjalanan pulang ke Kerajaan Vampir Chizu. Atas segala perhatiannya saya ucapkan terima kasih.

Raja Kerajaan Vampir Roman

Raja Ateron

Matanya terbelalak lebar. Ia seketika teringat tentang Dake. Apakah benar mereka telah berhasil menangkapnya? Isi surat itu bagaikan petir yang menyambar dan menghilangkan kantuk dan lelah yang dirasakannya seketika. Ia beranjak berdiri dengan mata yang masih terpaku pada surat itu. Dengan yakin ia akan memenuhi undangan Raja Ateron untuk datang ke Kerajaan Vampir Roman.

Jam berputar terlalu cepat semenjak surat itu mendarat ditangannya. Ia hanya berdiam diri di kamarnya yang senyap itu sambil terus memikirkannya. Terkadang jantungnya berdegub kencang saat mengingat isi surat itu. Saat ini ia tengah berdiri disamping jendela besar kamarnya. Melihat ke luar yang diselimuti oleh cahaya jingga. Dilihatnya burung-burung yang berterbangan pulang kesarangnya masing-masing. Tak lama kemudian, ia memejamkan matanya yang terasa panas. Hembusan angin yang semula tenang, dirasakannya sedikit lebih kencang sekarang. Membuat helaian rambutnya berpindah posisi dari zona nyamannya dan menyapu lembut kulit pucatnya. Beberapa detik kemudian, didengarnya suara yang sangat familiar memasuki gendang telinganya. Suara yang selama belasan tahun terakhir tak pernah ia dengar. Suara yang sangat dirindukannya.

"Bagaimana mungkin?", ucapnya terkejut ketika ia membuka matanya. Kemudian, dilihatnya senyuman manis wanita itu, "Bagaimana apanya? Bukankah ibu sudah mengatakan bahwa ibu tidak akan pernah pergi." Saat ini, pemuda itu terdiam seribu bahasa. Tak dapat merangkai kata-kata yang telah memenuhi otaknya untuk diutarakannya. Akhirnya hanyalah air mata yang dapat mengartikan semua yang ada hatinya. Saat Hiro membuka bibirnya untuk mulai berbicara, wanita itu menyela, "Kau tak perlu mengatakan apa-apa, Hiro. Ibu telah mengetahui semuanya." Pemuda itu menutup kembali bibirnya dan terus menangis sambil memandang wanita yang berdiri dihadapannya. "Katakan..... Katakan kalau ini bukan mimpi." Hiro meraih kedua tangan ibunya yang terlihat sangat nyata itu dan digenggamnya erat-erat. Wanita itu masih terdiam sambil tersenyum. Menyadari ibunya yang tak kunjung bicara, ia segera memeluk wanita itu. "Katakan.... Walau hanya sekali saja." Sekali lagi ia menyadari bahwa ini sangatlah nyata. "Ibu memang disini, Hiro. Didalam hatimu dan akan selalu disana. Selamanya", wanita itu melepaskan pelukan putranya.

Lalu ia memandang kearah pipi Hiro yang basah oleh air mata. "Lihatlah wajahmu sekarang. Pangeran kecil ibu sangat jelek ketika menangis." Wanita itu mengusap air mata Hiro. Bahkan sentuhannya juga terasa sangat nyata. Hiro mengangguk lalu tersenyum kecil. "Lalu mengapa kau terus menangis?", wanita itu mencubit pelan lengannya. Sekali lagi, ini terasa begitu nyata. "Kau sudah banyak berubah, Hiro. Terlihat semakin tampan seperti ayahmu." "Dan ibu masih sama seperti yang dulu." "Dan lihat, rambutmu juga sudah tumbuh memanjang dari yang ibu ingat. Itu tidak bagus." Dilihatnya wanita itu tengah meraih sebuah gunting di laci seperti yang biasa dilakukannya dulu. "Duduklah disini", wanita itu mengambil kursi pendek disamping laci itu. Lalu ia meraih helaian demi helaian rambut hitam Hiro lalu memotongnya dengan seksama. Pemuda itu hanya bisa menahan tangisnya saat dirasakan tangan wanita itu yang menyentuh kepalanya dengan sangat nyata. Luapan rasa rindu tak bisa ia utarakan dengan jelas.

"Apa kabarmu, Hiro?", wanita itu mulai berbicara, memecah keheningan diantara mereka. "Luar biasa", suara Hiro terdengar parau. Itulah yang selalu menjadi jawabannya dahulu ketika ibunya menanyakan kabarnya setiap selesai dari rangkaian pelatihannya. Sehingga ia tak perlu bercerita lebih lanjut tentang hal-hal yang tak mengenakkan selama pelatihan berlangsung. Tak jarang ia mengalami luka kecil akibat tergores pedang atau beberapa pukulan karena ia kehilangan konsentrasinya ketika berduel. "Syukurlah", ibunya tersenyum mendengar jawaban anaknya itu. "Ibu yakin kau akan mampu menghadapi semuanya. Ibu sangat percaya atas apa saja yang akan kau putuskan ketika kau bertemu Dake nanti."

Seketika dirasakannya seperti ada aliran listrik yang mengalir dari bahu kirinya perlahan. Ia tersentak kesakitan. Kemudian ia membuka kedua pelupuk matanya yang semula menutup itu. Didapatinya ia yang duduk di kursi sebelah laci. Bayangan sosok ibunya dicermin telah menghilang. "Ternyata, itu hanya.....", tanpa sadar ia melihat potongan helaian rambutnya yang tergeletak diatas lantai kamarnya. Perlahan ia berjongkok lalu meraih helaian rambut itu. "Ini.... Rambutku?" Sebuah senyuman tersirat disudut bibirnya. "Ternyata, itu nyata."

Beberapa menit kemudian, terlihat ia yang tengah berlari-lari kecil di lorong istana dengan senyuman yang mengembang. Beberapa pelayan keheranan saat berpapasan dengannya. "Pangeran baik-baik saja?", tanya salah satu dari mereka. "Sangat sangat sangat baik sekali", jawabnya singkat dengan seulas senyuman manisnya. "Apapun itu, aku sangat senang bisa melihat pangeran sebahagia ini." Dengan pasti ia membuka tuas pintu kamar ayahnya. Ia berjalan menuju kearah tempat tidur letak ayahnya berbaring. Masih dengan seulas senyuman yang tersirat dibibirnya, ia memasuki ruangan yang tenang itu. Lalu ia duduk dikursi samping tempat tidur ayahnya. Hiro meraih tangan ayahnya dan menggenggamnya. "Ibu datang. Ibu datang, ayah."

Seorang pemuda dengan warna rambutnya yang kecoklatan dan memakai seragam militernya, terlihat tengah menancapkan sebatang besi diatas tanah datar. Besi itu berukuran sekitar 15 cm. Lalu diamatinya bayangan besi itu yang condong melewati garis yang dibuatnya. Itu menandakan bahwa waktu saat ini menunjukkan pukul lima sore. Lalu ia berdiri dari posisi jongkoknya saat mendengar seseorang menyebut namanya. "Bagaimana?", tangkasnya saat melihat utusannya itu datang menghampirinya. Dilihatnya rekannya itu yang hanya menggeleng. Layaknya ia mengerti akan maksud itu, lalu ia berkata pada rekan-rekannya yang lain, "Baiklah. Kemungkinan besar Pangeran Hiro tak akan keluar hingga beberapa hari kedepan. Jadi kita akan menetap disini untuk sementara waktu." Semua regu tampak ragu akan perintahnya. Prajurit yang berjumlah sekitar 532 orang itu masih memandang rendah pada pemuda yang mendapatkan titah dari Raja Vampir Souka. "Kalau bukan karena perintah Raja, kami tak akan percaya padamu, pemuda yang masih arogan dan minim pengalaman sepertimu."

Sedangkan di tempat yang berbeda, di kamar Baginda Kerajaan Vampir Chizu, pangeran muda itu terlihat masih ada senyuman yang mengembang dibibirnya jika mengingat kejadian beberapa waktu yang lalu di kamarnya. Ia masih menggenggam erat tangan ayahnya yang terbaring koma itu. Ia tengah bercengkrama dengan ayahnya seolah-olah ayahnya dapat mendengar semua yang diucapkannya. Pada akhir ceritanya, ia menutup dengan kalimat, "Ibu tidak pernah benar-benar pergi. Ia selalu bersama kita, ayah. Ia menyaksikan semuanya. Kita tidak sendirian." Ia memandangi ayahnya yang masih terdiam. Lalu Hiro tersenyum sambil memperlihatkan gigi kelincinya. "Aku yakin, ayah bisa mendengarku. Aku sangat yakin akan hal itu."

Beberapa saat kemudian, ia mengambil ramuan yang diberi oleh Tuan Kazu. Lalu dibakarnya didalam tungku. Ia meletakkan tungku itu diatas meja yang letaknya tak jauh di samping tempat tidur ayahnya. Kemudian ia duduk kembali dikursi itu. "Aku yakin pasti ayah sangat merasa bosan berada di kamar ini selama berhari-hari. Maka ijinkanlah aku mengisi hari-hari ayah dengan cerita-ceritaku. Tentang dunia manusia, tentang kisah persahabatanku dengan manusia, tentang aku yang secara tidak sengaja telah melabuhkan hatiku pada Kina, dan tentang.... Dake."

***

"Bagaimana perasaanmu saat itu? Aku dapat melihat dengan jelas kedua kakimu yang bergemetar di depan kelas." Celotehan Sato dari via telepon. "Baiklah. Kau menang. Aku memang sangat sial. Harusnya Hiro yang mempresentasikannya. Awas saja kalau dia muncul", kata Kina sebal. Tawa pemuda itu terdengar dari sana. "Apakah menurutmu ini lucu?", Kina hendak menutup teleponnya karena kesal dengan sikap Sato. "Tunggu, tunggu. Jangan marah dulu. Kau tau kan kalau aku hanya bercanda." Pemuda itu terdiam sejenak lalu berkata lagi, "Dan tentang Hiro, bukankah aku pernah mengatakan padamu, jangan sekali-kali menyebut nama Hiro didepanku. Aku cemburu. Aku menyukaimu, Kina." "Ya. Aku tau itu. Maaf." Kina merasa bersalah. "A-ku men-cin-ta-i-mu, Kina...", suara tawa pemuda itu terdengar ketika Kina hendak memutus sambungan teleponnya.

Sesaat kemudian, gadis itu membanting ponselnya keatas tempat tidur. Lalu ia berbaring disana. Terlentang berbantalkan gulingnya yang berwarna biru muda itu. Mengamati langit-langit kamarnya yang teduh dan diterangi oleh lampu putih ditengahnya. Ia melirik jam dinding yang bertengger diatas lemari bajunya itu yang tengah menunjukkan pukul 7 malam. Kemudian ia bangkit dari tempat tidurnya lalu menarik tuas pintu kamarnya dan menyusul ayahnya untuk menyantap makan malam.

***

"Pagi itu adalah pertama kalinya aku bertemu dengannya. Rambut hitam panjangnya yang terjuntai dengan indahnya dan paras cantiknya yang berbeda dari orang Jepang lainnya. Awalnya aku tidak merasakan apa-apa kepadanya. Yang kurasakan hanyalah bahwa Kina adalah gadis yang berbeda. Logat bahasa Jepangnya pun sedikit berbeda dengan orang Jepang asli. Hingga akhirnya dia sekelas denganku dan duduk sebangku denganku. Minggu ke minggu, aku mulai merasakan perasaan itu, ayah. Apakah seperti ini yang ayah rasakan kepada ibu? Aku tahu ini salah. Tak seharusnya aku menyukainya. Tetapi bagaimana bisa aku dijodohkan dengan seorang gadis yang akupun tidak tahu dia siapa dan aku tidak memiliki perasaan padanya? Itu juga salah, ayah. Aku tidak bisa memaksakan perasaanku. Aku tahu Kina bukanlah dari kalangan bangsawan dan dia mungkin tidak akan memahami budaya dan bangsa kita, tetapi ijinkanlah aku sekali ini saja untuk mencintainya. Berikanlah aku satu kesempatan, ayah", suaranya terasa semakin berat untuk dikeluarkannya. "Aku.... Aku menginginkannya, ayah."

Hiro kembali mengatur nafasnya kali ini. Merasa lega dan tidak ada beban lagi yang menyesakkan dadanya. "Maafkan aku, ayah. Aku, Dai Akihiro, putra mahkota Kerajaan Vampir Chizu telah jatuh hati pada gadis biasa dari bangsa manusia. Apakah aku berdosa? Sejak awal aku takut mengatakan ini padamu. Aku takut mengecewakanmu. Tapi, aku bukanlah robot, ayah. Aku punya hati dan perasaan. Aku juga berhak untuk memilih. Aku tak bisa menerima perjodohan itu, ayah."

Hiro bangkit lalu keluar dari kamar ayahnya. Dengan langkah yang cepat ia menuju meja makan untuk mengambil segelas air putih. Dari kejauhan, sudah tercium aroma sedap dari sisi dapur. Ruangan luas itu dilengkapi oleh peralatan masak yang lengkap dan dilengkapi pula meja makan sederhana untuk para pelayan. Diliriknya ruangan itu yang dipenuhi oleh pelayan-pelayan istana yang sedang menyantap makan malam mereka. Spontan mereka menghentikan aktifitas makan mereka saat melihat kedatangan Pangeran Hiro. Kini, puluhan pasang mata itu memandang kearah Hiro. Suasana canggung tercipta dalam waktu yang singkat itu. Biasanya etika makan 'ala bangsawan' tidak membunyikan sendok dan garpu ketika makan. Hal itu adalah hal yang tabu bagi mereka. Tetapi hal itu berbeda sekali dengan rakyat kalangan bawah. Mereka tidak memperhatikan tentang etika makan dan sebagainya. Hiro terdiam sejenak lalu berkata, "Jangan bersikap formal. Silahkan dilanjutkan makan malamnya." Semenit kemudian, mereka melanjutkan aktifitas makan mereka seperti semula. "Pangeran tidak makan malam?", tanya seorang pelayan. "Tidak. Aku masih kenyang", jawab singkat Hiro. "Saya perhatikan pangeran jarang sekali makan. Ada apa, pangeran? Maafkan saya kalau saya tidak sopan tetapi mohon diingat satu hal, pangeran. Anda adalah calon pemimpin negeri ini. Kalau anda tidak bisa memimpin tubuh anda sendiri, bagaimana anda bisa memimpin tubuh lima ratus juta jiwa diluar sana. Kalau anda sakit, anda tidak bisa memimpin bangsa ini dengan maksimal."

Entah mengapa, kalimat itu langsung menancap kuat kedalam hatiku. "Kami hanyalah rakyat biasa, pangeran. Kami tak mampu untuk membalik sebuah keadaan. Hanyalah seorang pemimpin yang bisa melakukannya dan kesempatan itu jatuh ketangan anda, pangeran. Saya selalu mengharapkan sesuatu yang baik terjadi pada anda. Semoga para dewa tak henti-hentinya menyertai anda."

Keesokan harinya, pukul 9 pagi.

Aku sudah siap dengan kemeja biru tuaku yang kukenakan dengan rapi. Pagi ini aku akan menghadiri undangan Raja Ateron. Awalnya banyak dari para petinggi Vampir Chizu menghawatirkanku. Mengingat situasi saat ini masih belum terkendali. Bisa saja ada sesuatu diluar sana yang tak terduga ataupun Dake dan pasukannya kembali untuk meluncurkan serangannya. Aku yakin Dake telah bersiap-siap dan telah mengincarku sejak lama. Dia adalah pemanah handal di era ini. Keahliannya tak dapat diragukan lagi. Aku berusaha meredam kecemasan mereka di rapat tadi malam. Akhirnya dengan sedikit perdebatan, mereka melepasku pergi dengan syarat beberapa prajurit tim alpha akan menyertaiku kemanapun kakiku melangkah. Tak lama kemudian, terdengar suara kereta kencana di bawah sana. Suara hentakan sepatu kudanya terdengar jelas ketelingaku. Aku melirik dari jendela besar kamarku ini untuk memastikannya. Persis seperti apa yang telah ditulis oleh Raja Ateron, mereka telah mempersiapkan semuanya untuk keselamatanku. Pengawalan yang ketat dan tingkat kemananan yang luar biasa. Terlihat disana ada beberapa kereta kencana. Satu diantaranya yang terlihat berbeda dan aku mengira bahwa itu yang akan aku tunggangi. Depan dan belakang kereta kencana itu diapit oleh kereta-kereta kencana lainnya yang tunggangi oleh beberapa prajurit kelas atas. Aku dapat mengenali beberapa dari mereka. Mereka adalah prajurit yang namanya telah diukir oleh tinta emas karena keahliannya. Salah satunya adalah Gresham. Ia memiliki kekuatan bagaikan seratus prajurit. Keberaniannya dan ketangkasannya tidak dapat dipandang sebelah mata. Didalam suatu peperangan beberapa tahun silam, Gresham tak segan-segan maju menembus ribuan pasukan musuh seorang diri dan kembali ke rombongan dengan keadaan selamat. Jika ia sudah mengeluarkan pedang dari sarungnya, kemenangan pasti diraihnya.

Aku berjalan menuju lantai bawah. "Sudah siap, pangeran?", tanya salah satu pengawal padaku. Aku mengangguk pasti. Para menteri hanya mengantarkanku hingga pintu utama istana. Setelah itu aku didampingi oleh lima prajurit tim alpha menuju kereta kencana. "Selamat pagi, Pangeran Hiro", sapa salah satu prajurit Kerajaan Vampir Roman padaku dengan penuh hormat. "Selamat pagi."

Dari dalam sini, aku dapat melihat sekilas setiap jalan yang dilalui oleh kereta ini. Kuda-kuda putih ini menggiring kami melewati sebuah jalan yang besar dan tidak ramai dilewati oleh orang-orang berjalan. Hentakan sepatu kuda itu beriringan dengan detak jantungku. Setiap pasang mata yang menyadari keberadaan rombongan ini, mereka langsung dapat mengenali siapa yang ada didalamnya. Rakyat Vampir Chizu mengelu-elukan namaku dari tepian jalan. Kabar ini menyebar dengan cepat di kalangan mereka dan beberapa menit setelah itu ribuan orang datang satu per satu dan berdiri di tepian jalan tanpa menghalangi lajunya kuda ini.

"Yang mana Pangeran Hiro?"

"Pangeran Hiro sangat tampan sekali. Sampai-sampai aku tak mempercayai apa yang kulihat."

"Disanakah pangeran Hiro?", beberapa orang menunjuk kereta kuda yang kutunggangi.

"Pangeran Hiro telah kembali?", kudengar samar-samar dari mereka.

"Pangeran Hiro melihat kearahku!"

"Ayah, ayah, itu Pangeran Hiro." Kata seorang anak laki-laki yang digendong dipundak ayahnya.

Senyumanku mengembang selama perjalanan ini. Riuhnya tepuh tangan dan suara mereka memenuhi sepanjang jalan. Telah lama aku tak melihat rakyatku. Telah lama pula aku bersembunyi di dunia manusia. Kini kurasakan perasaan itu kembali. Aku sangat merindukan mereka. Aku sangat rindu pada rakyatku. "Berhenti." Perintahku pada kusir kereta kencana. "Ada apa, pangeran?", tanya pengawalku. "Aku ingin keluar sejenak dan menyapa mereka." "Tetapi pangeran, itu berbahaya sekali. Siapa tahu disana ada seseorang yang berniat jahat pada anda. Kami sarankan anda jangan turun demi keselamatan anda." Mendengarnya, aku berdehem lalu berkata, "Bukankah itu tugas kalian? Saya tidak mau tahu. Urusan keamanan adalah kewajiban kalian." Tanpa menunggu respon mereka, aku segera membuka pintu kencana dan menapakkan kakiku di jalan ini.

Seketika para prajurit Vampir Roman dan Vampir Chizu keluar dari kereta kencana mereka dan berjaga disekitarku. Riuhnya suara mereka bertambah saat menyadari aku keluar dari kereta kencana. "Pangeran Hiro, Pangeran Hiro, Pangeran Hiro, Pangeran Hiro." Mereka berlarian kearahku dengan ekspresi gembiranya. Tentu saja itu sangat merepotkan bagi para prajurit. Dengan sigap mereka memberi jarak antara aku dan masyarakat. Sekarang jalan raya ini dipenuhi oleh lautan masyarakat. Ada remaja, orang tua, orang yang sudah lanjut usia, bahkan anak-anak kecil pun ada disini. Mereka semua datang untuk menyambutku. "Ayah, ayah, ayo kesana. Aku ingin mencium Pangeran Hiro." Kudengar samar-samar suara anak laki-laki yang tengah digendong oleh ayahnya. Kulihat kedua mata anak laki-laki itu yang berbinar-binar memandang kearahku. Rambut hitamnya menari-nari tertiup oleh angin. Aku mengangkat tangan kananku mengisyaratkan untuk diam. Seketika suasana yang ramai itu berubah menjadi hening. "Tolong beri jalan untuk ayah yang menggendong anak laki-laki itu." Aku menunjuk padanya. Ribuan pasang mata kemudian melihat kearah anak itu dan memberinya ruang untuk mendekat kearahku. "Sini", ucapku ketika kulihat ayahnya ragu untuk melangkah lebih dekat lagi menembus penjagaan pengawal. Kemudian kuraih anak kecil itu lalu kugendong.

"Hai, apa kabar?", senyumanku mengembang ketika melihatnya yang tersipu malu.

"Baik, pangeran. Pangeran Hiro apa kabar?", ia masih menunduk malu, tak berani menatap langsung kedua mataku.

"Aku baik-baik saja. Siapa namamu?"

"Lankford Bloomer."

"Nama yang bagus, Lankford. Lalu kenapa kau malu-malu seperti ini? Bukankah kau ingin menciumku?"

"Apakah saya boleh?", dia mengangkat pandangannya dan menatap kearah kedua mataku.

"Tentu. Tidak ada yang melarangmu." Kulihat senyumnya mengembang lalu mencium pipi kiriku.

"Itu saja? Sudah cukup?" Kulihat ia mengangguk.

"Baiklah, tunggu sebentar ya anak tampan. Aku ingin mengatakan sesuatu." Kuserahkan anak kecil ini ke pelukan ayahnya. "Terima kasih banyak, Pangeran Hiro. Ini sungguh berharga bagi kami." Ucap ayahnya dengan hormat. Aku hanya tersenyum padanya. Kemudian kualihkan pandanganku lalu menatap lautan masyarakat yang berdiri didepanku. "Bangsaku, masyarakat Vampir Chizu yang saya sayangi. Pertama-tama, saya ingin mengucapkan terimakasih banyak atas rasa cinta yang kalian berikan pada kerajaan selama ini. Itu sangatlah berarti dan tak akan tergantikan sampai kapanpun juga. Saya memohon maaf jika selama ini ada kebijakan kerajaan yang merugikan kalian. Kami akan selalu berusaha melakukan yang terbaik kedepannya. Kita tak terpisahkan. Kita adalah satu. Mari bersama-sama menjaga satu sama yang lainnya. Saya tahu betul banyak diantara kalian yang menderita akibat perang ini. Saya berjanji bahwa kita akan meraih kemenangan tersebut dan menjadi bangsa yang berjaya. Kita buktikan bahwa kita masih bisa berdiri tegak walaupun keadaan raja keiji belum pulih. Selama ada saya dan kalian semua, kita akan bangkit bersama dan berlari menuju kejayaan didepan sana." Kalimat terakhirku ditutup oleh sorak-sorai.

Akupun melangkah masuk ke kereta kencana dan mereka menepi untuk memberi ruang. Singkat cerita, kami sudah sampai di depan gerbang Kerajaan Roman. Tak lama kemudian, gerbang besar itu terbuka lebar mempersilahkanku untuk masuk. Kedua penjaga gerbang itu membungkukkan setengah badannya tanda memberi hormat padaku. Kereta ini kemudian melaju melintasi halaman hijau yang luas, menuju bangunan megah diujung sana. Terlihat olehku beberapa orang yang telah menantiku didepan sana.

Seseorang tengah berjalan menghampiriku dan menyambut kedatanganku untuk pertama kalinya. Mungkin ialah Raja Ateron. Berperawakan tinggi, besar dan tidak terlalu gemuk. "Selamat datang, Pangeran Hiro", sapanya terlebih dahulu. "Apakah perjalanan anda menyenangkan?" "Tentu, sangat menyenangkan." Jawabku sambil menyambut tangannya untuk bersalaman. "Syukurlah kalau begitu. Apakah salah satu dari prajurit kami ada yang membuat anda kesal?", tawanya terdengar. Aku masih ingat kejadian beberapa tahun yang lalu. Aku pun tertawa mengingatnya. "Mereka masih menyebalkan sampai saat ini." Tawa kami menggema di ruangan luas nan megah ini. Kelima prajuritku mengikutiku beberapa meter di belakang. "Apakah tidak lebih menyebalkan dari mereka?", Raja Ateron melirik kearah belakang. "Mereka sama-sama menyebalkan."

Sampailah kami di ruangan dengan meja dan kursi-kursi. Ia mempersilahkanku duduk disebelah kanannya. Kelima pengawalku berdiri siaga didekat pintu. "Apakah anda sudah sarapan?", tanyanya. "Sudah. Anda tidak perlu repot-repot." Kemudian ia memanggil pelayan untuk menghidangkan kami teh hangat. "Seperti yang telah saya tuliskan disurat itu, kami berhasil menangkap orang-orang yang kami duga telah menyerang Raja Keiji. Semoga anda mengenali salah satu dari mereka." Ia memulai ke topik inti pembicaraan. "Saya juga berharap seperti itu." Kemudian ia mengisyaratkan pada penjaga untuk membawa seseorang masuk ke ruangan ini. Saat itulah aku mulai merasa gugup. Apakah benar salah satu dari mereka adalah Dake. Setelah bertahun-tahun tidak bertemu, apa yang akan aku rasakan ketika melihat wajahnya untuk yang pertama kalinya. Beberapa menit kemudian, terdengar beberapa langkah kaki mendekat kearah pintu besar itu. Detak jantungku semakin tak karuan.

Yang pertama kali mendorong tuas pintu itu adalah penjaga istana lengkap dengan seragam formalnya dan diikuti beberapa orang di belakangnya. Sepasang tangan mereka diborgol besi. Aku memandangi satu per satu wajah mereka. Benar, aku mengenali tiga orang diantara mereka. Salah satunya adalah orang yang menculikku sewaktu kecil. Aku sangat mengingat wajah itu. Namun, tidak ada sosok Dake diantara mereka.

Beberapa jam yang lalu.

"Daisuke, aku melihat rombongan kereta kencana memasuki wilayah kerajaan", kata seorang mata-mata yang ditugaskannya. "Benarkah?", pemuda itu segera meraih teropong yang dipengangnya. Kereta kencana itu melewati gerbang istana. Namun kereta kencana dari manakah itu. Tak lama kemudian, ia memutuskan untuk mengikuti mereka dan menyampingkan segala resiko yang mungkin akan terjadi padanya. Ia meraih pedal kuda lalu menaikinya tanpa rasa ragu sedikitpun. Ia yakin bahwa mereka diutus untuk menjemput Hiro karena beberapa menit kemudian ia melihat pangeran muda itu muncul dari balik pintu istana. "Kau yakin akan pergi seorang diri?", tanya rekannya. Ia mengangguk pasti lalu berkata, "Aku hanya ingin tahu apa yang tengah mereka rencanakan. Walaupun dia benar-benar ada disana, kita tak akan bisa membunuhnya. Penjagaannya begitu ketat. Maka dari itu, kalian tetap disini agar tidak menimbulkan kecurigaan."

Ia memacu kecepatan kudanya lebih cepat lagi disaat kereta kencana itu semakin jauh didepan. Ia mengikuti mereka dari jalur yang berbeda. Ditengah-tengah perjalanan, rombongan kereta kencana itu tiba-tiba berhenti. Apa yang terjadi, pikirnya. Kemudian tak lama setelah itu, dilihatnya Hiro yang keluar dari keretanya. Pemuda itu jauh berbeda dengan apa yang diingatnya dahulu. Pangeran kecil itu telah tumbuh sebagai pangeran yang gagah, tampan, berkharisma, dan penuh kasih sayang. Sungguhlah mirip dengan ayahnya. "Pangeran yang terlalu polos." Terlihat senyuman sinisnya di sudut bibir itu. Pelan tapi pasti, ia berhasil mengikuti mereka hingga tiba di Kerajaan Vampir Roman. "Mereka pasti menuju ruang rapat."

Beberapa jam kemudian.

Ia melirik jam dinding di ruang tengah itu yang menunjukkan pukul dua siang. Ia tampak sangat lelah. Terlebih lagi orang-orang yang ditangkap oleh Kerajaan Vampir Roman itu bukanlah Dake. Beban pikirannya bertambah dan membuatnya pusing. Ia membuka dua kancing paling atas pada kemejanya dan menyisakan empat kancing terakhir. Kemudian ia mengacak-acak rambut hitamnya yang tersisir rapi itu dan duduk disalah satu kursi di ruangan itu. "Ada yang perlu saya bantu, pangeran?", tanya salah satu pelayan. "Tolong ambilkan segelas air putih." Dengan segera permintaannya dilakukan oleh pelayan itu. Lalu Hiro menghabiskan minumannya dengan terburu-buru. Setelahnya ia mengambil nafas panjangnya dan menenangkan kembali pikirannya. "Bagaimana, pangeran? Apakah semua berjalan dengan lancar?", tanya salah satu menteri padanya. Hiro ragu untuk menjawabnya kali ini. "Seseorang yang mereka tangkap bukanlah yang kita cari", singkatnya.

"Ayah, pagi ini aku pergi ke Kerajaan Vampir Roman." Pemuda itu duduk dikursi sebelah tempat tidur ayahnya seperti biasanya. "Raja Ateron mengirimi aku surat dan memintaku datang kesana untuk mendiskusikan sesuatu hal yang penting. Kerajaan-kerajaan negeri seberang juga mengirimkan surat dan menyampaikan rasa prihatinnya atas apa yang telah terjadi pada kita. Tadi pagi, rombongan kereta kencana datang untuk mejemputku. Pengawalannya begitu ketat, berbeda dari biasanya. Ingatkah ayah kapan terakhir kita kesana? Saat itu aku masih berumur sepuluh tahun dan ayah terlihat jauh lebih muda." Ia tersenyum sejenak. "Aku tidak mengatakan bahwa ayah semakin tua. Bahkan ayah masih terlihat muda sekarang. Tetapi itu bohong." Ia memandang bibir ayahnya yang tak merespon apapun yang dikatakannya.

Aku masih mengingatnya dengan jelas. Saat itu ayah sedang berdiskusi dengan Raja Ateron dan aku memutuskan untuk meninggalkan ruangan itu sejenak. Aku berjalan kesisi belakang istana dan melihat para prajurit yang sedang berlatih di atas rumput yang hijau itu. Mereka memegang pedangnya masing-masing dan berduel. Sebagian dari mereka duduk memperhatikan dan mempelajari teknik-teknik baru. Aku memperhatikan mereka dari atas balkon. Mereka begitu lincah dan tanggap layaknya prajurit pilihan. Seseorang yang memimpin mereka meneriakkan satu dan dua perintah dengan suara yang tegas. "Pangeran Hiro." Beberapa menit kemudian, salah satu dari mereka menyadari keberadaanku. Lalu belasan pasang mata itu spontan menoleh kearah balkon dan berdiri untuk memberi salam. Mereka menjatuhkan pedang-pedang yang mereka genggam lalu membungkuk padaku dengan tangan kanan yang diletakkan di dada. "Bolehkah aku ikut?" tanpa menunggu jawaban, aku langsung berlari turun menuruni tangga.

"Keren! Kalian bahkan juga memiliki pedang bermata dua. Aku belum berani menggunakannya selama berlatih." Aku meraih pedang salah satu prajurit . "Cobalah, pangeran." Kulihat ia tersenyum lalu bersiap untuk menyerang. Aku tertawa lalu berkata, "Kau menantangku?" Kukatupkan rahangku dan kuposisikan pedangku dalam posisi siaga.

Sementara itu di lantai atas, "Saya sangat senang atas kunjungan anda kemari, Tuan Keiji." Ucap lawan bicaranya. "Saya juga senang atas jamuan yang anda berikan. Saya berharap hubungan hangat ini terus berlanjut dan semakin erat." Kedua pemimpin itu menuruni tangga sambil berbincang-bincang ringan. Mereka tampak sangat akrab bagaikan kakak dan adik. Hubungan kedua raja itu telah terjalin selama ratusan tahun dan terlihat semakin akrab dari waktu ke waktu. Namun dikarenakan kesibukan masing-masing beberapa bulan terakhir, mereka jarang bertemu. Terdengar oleh mereka suara pedang yang beradu dari arah belakang istana. "Hanya itukah kemampuan yang kau miliki?" didengarnya samar-samar suara anak laki-lakinya. Kemudian ada suara lain yang menyahut, "Saya hanya berusaha untuk bersikap lembut pada anda, pangeran. Lihatlah, begini saja keringat anda sudah mengucur deras. Mengapa anda tidak menyerah saja?" Didengarnya suara tawa dari mereka berdua.

Kemudian terdengar sesuatu yang jatuh dan pecah. Semenit sebelumnya ketika Hiro hendak menyerang lawan tandingnya itu, laki-laki itu mampu menangkis pedang Hiro dan menghempasnya hingga terlepas dari genggaman pangeran muda itu. Pedang itu melayang jauh dan menembus guci keramik lalu membuatnya pecah berantakan. Pedang bermata dua itu menancap kuat pada dinding istana yang bercat putih itu. "Hiro, apa yang terjadi disini?!" tegur Raja Keiji pada putranya. Situasi berubah drastis. Ekspresi wajah Raja Keiji berubah menjadi masam. "Maafkan sa….." Kalimat laki-laki itu diputus oleh Hiro, "Maafkan aku, ayah. Aku tidak sengaja." "Tidak sengaja? Kalau begitu jangan salahkan ayah jika ayah tidak sengaja memberimu hukuman nanti. Ayah sudah berapa kali mengatakan padamu untuk menjaga sikap." Kemarahan ayahnya itu segera dihentikan oleh Raja Ateron. "Sudahlah, ini hanyalah masalah sepele. Anda sungguh tega memarahi putra setampan Pangeran Hiro. Lihat betapa tangguhnya dia, dia bahkan berani berduel dengan prajurit terbaik yang kami miliki." Ia menepuk-nepuk pundak sahabat karibnya itu sambil tertawa berusaha mencairkan suasana.

"Kapan ayah akan bangun? Aku sudah kembali, ayah. Aku sudah pulang dan aku sangat merindukan suaramu." Pemuda itu berbaring disamping ayahnya. Melihat paras ayahnya lekat-lekat dari sisi samping. Melihat kedua matanya yang menutup dengan tenang. Memandangi setiap inci kulit wajahnya yang pucat itu. "Sebut namaku sekali saja, ayah. Hanya sekali saja. Aku sangat ingin mendengarnya."

Hari demi hari telah berlalu di dunia Dai Akihiro. Ia menghabiskan hari-harinya di lingkungan istana. Tidak ada yang istimewa. Sang raja pun masih belum bangun dari tidurnya. Saat ini sang pangeran terlihat tengah duduk di kursi kayu yang panjang yang terletak di antara taman bunga yang bermekaran. Terkadang angin sepoi-sepoi bertiup kearahnya secara berirama. Namun kini helaian rambut depannya tak lagi menghalangi pandangannya. Rambut hitamnya telah dipotong rapi oleh ibunya, lebih tepatnya arwah ibunya. "Selamat sore, pangeran." Terlihat beberapa pekerja yang tengah merapikan rumput hijau itu yang mulai memanjang. Hari mulai petang dan bangunan bertingkat empat dihadapannya itu terlihat berkilauan seperti berlian. Langit yang berwarna biru tua dengan tanpa adanya sinar mentari, membuat potret istana itu terlihat semakin megah. Bendera diatas istana itupun tampak melambai padanya.

"Pangeran." Hiro menoleh sesaat seseorang menyebut namanya. Dilihatnya panglima perang itu tengah berjalan menuju kearahnya. Pemuda itu membiarkannya berbicara terlebih dahulu. "Bisa kita berbicara sebentar?" Mendengar nada serius itu, Hiro mengangguk mengiyakan. Panglima itu kemudian duduk disebelah Hiro. "Pangeran, anda harus segera kembali ke dunia manusia." Seketika, pemuda itu menoleh ke arah lawan bicaranya dan menatap kedua matanya. "Kenapa?", Hiro mulai membuka bibirnya yang nyaris kering. "Kenapa aku harus kembali? Aku ingin tetap disini menemani ayah. Aku ingin ketika ayah bangun akulah yang disampingnya pertama kali." "Begini, pangeran. Demi kepentingan bersama dan keselamatan anda juga, alangkah baiknya...", perkatannya terputus sesaat Hiro menyelanya. "Baiklah, aku paham. Aku akan pergi malam ini juga", kata Hiro lalu bangkit berdiri dan meninggalkannya.

"Ayah, aku harus pergi malam ini juga. Demi kepentingan bersama dan keselamatan kita semua. Tapi jangan khawatir, ayah. Aku akan selalu bersamamu. Akan selalu ada untukmu dan selalu melindungimu karena disetiap hembusan nafamu disitulah aku ada. Kita saling terhubung satu sama lain." Hiro beranjak dari duduknya lalu menghidupkan lampu di ruangan itu. "Tentang Vampir Roman, mereka tetap menahan orang-orang itu. Jangan khawatir ayah. Kerajaan-kerajaan negeri seberang juga akan segera mengirim pasukan-pasukan mereka, peralatan perang mereka, dan sebagainya kemari. Ayah akan aman." Pemuda itu bersiap-siap akan meninggalkan ruangan kamar yang bernuansa lavender itu. "Selamat malam, ayah. Sampai jumpa lagi. Semoga Allah menyatukan kita kembali." Pemuda yang bernama Hiro itu menarik tuas pintu kamar lalu keluar meninggalkan ayahnya yang masih terbaring koma. "Semoga Allah menyatukan kita lagi, Hiro."

"Tolong jaga ayah. Jika ada sesuatu terjadi padanya, tolong sampaikan padaku segera", pesan singkat Hiro pada panglima perangnya. "Baiklah, pangeran." Pemuda itu lalu keluar dari pintu samping istana. Hari-harinya di dunia vampir terasa begitu singkat. Kini ia harus menggunakan prisma itu lagi.

Perasaanku sekarang bercampur sedih, cemas dan..... Entahlah. Aku bingung mendeskripsikan perasaanku saat ini. Aku memandangi bulan yang bersinar terang diatas sana. Dunia manusia ini tampak begitu asing. Demi kepentingan bersama dan demi keselamatanku, aku memutuskan untuk membuka portal itu untuk kesekian kalinya. Berapa lama lagi aku harus bersembunyi? Namun aku berusaha untuk berpikiran positif untuk saat ini. Menghadang semua prasangka aneh yang menghinggapi otakku. Aku menghela nafas panjangku sambil mengelus-elus dadaku berusaha menenangkan diri kembali. Kemudian aku segera berjalan pulang menuju rumahku.

***

Aku telah sampai didepan gerbang besi ini. Saat aku hendak menarik tuas gerbang ini, kudengar seseorang memanggil namaku. Aku sudah dapat mengenalinya dari suaranya. Dengan cepat aku menoleh kearah pemuda yang bernama Sato itu. Aku terdiam membiarkannya berbicara terlebih dahulu.

"Hai, Hiro. A-apa kabar?", kudengar suaranya yang bergetar. "Baik, seperti biasanya", jawabku singkat sambil memandangnya. Lalu ia tersenyum canggung padaku. Melihat senyuman itu, aku segera merangkul bahunya, "Jangan takut. Aku masih Hiro seperti yang selama ini kau kenal." Aku mengajaknya masuk kedalam. Sato masih terdiam mengikuti langkahku. "Apakah kau mengalami insomnia lagi?", tanyaku sambil tersenyum kearahnya. Seketika kulihat ekspresi ketakutan diwajahnya. Entah apa yang membuatnya seperti itu. Aku berusaha menyadarkannya. "Jangan tersenyum seperti itu, Hiro. Kau tampak mengerikan", katanya. Aku dibuatnya tertawa mendengar kalimatnya. "Mengerikan?"

"Lalu, bagaimana keadaan di....... dunia vampir?", kali ini nadanya terdengar bergetar. Aku bergumam sejenak lalu berkata, "Mereka menyerang kerajaan dan memanah ayahku dengan panah beracun. Ayahku jatuh koma hingga saat ini. Keadaan pemerintahan sedang tidak stabil dan...", aku menghela nafasku yang terasa berat. Lalu aku memandang keatas melihat langit yang gelap itu sambil berusaha melanjutkan kalimatku, "Dan aku tak tahu sampai kapan ayah tak sadarkan diri." Percakapan ini membuatku teringat lagi pada kejadian itu. Begitu menyakitkan tepat direlung hatiku.

Tiba-tiba Sato memeluk erat tubuhku dan berkata, "Ayahmu akan baik-baik saja, Hiro. Kau harus meyakinkan dirimu bahwa namamu lah yang akan diucapkannya ketika beliau bangun." Aku melepaskan pelukannya. "Aku tak mau menangis malam ini." Aku memaksakan senyumanku. "Menangislah. Tak ada yang melarangmu." "Tidak. Tidak akan lagi."

Aku menginjakkan kakiku pada lantai teras rumah tua ini. Lalu kudengar Sato bersuara lagi, "Siapa pelakunya?", tanyanya ragu. Mungkin sebaiknya ia tak bertanya tentang itu. Seketika itu aku menghentikan langkahku saat mendengar pertanyaannya. "Maafkan aku, Hiro. Jika itu terlalu menyakitkan, kau tak perlu menjawabnya. Lagipula aku hanya....." "Dake", jawabku singkat lalu membuka pintu besar ini. "Si-siapa?", tanyanya memastikan sekali lagi. "Dia Dake", aku tersenyum pasi. Kulihat Sato yang terdiam seribu bahasa. Tampaknya ia merasakan apa yang kurasakan saat ini. Aku menghela nafasku panjang lalu berkata, "Ya, yang telah memanah ayahku adalah Dake." "Jangan menceritakannya padaku, Hiro. Itu terlalu menyakitkan", ia mengangkat pandangannya lalu menatap kedua mataku. "Bagaimana kau bisa menjalani hidup seperti ini? Mengapa hidupmu begitu menyedihkan?", kulihat kedua matanya yang berkaca-kaca itu. "Seperti inilah hidup sebagai anggota kerajaan. Hidupku tidak pernah tenang dan damai, akan selalu ada yang dikorbankan." "Kau..... Kau adalah vampir yang kesepian, pangeran." Ucapnya. Bersamaan dengan itu, angin malam yang semula pelan seketika bertiup semakin kencang dan terdengar suara gemerisik dedaunan yang bergesekan.

"Bagaimana keadaan di sekolah?", aku berusaha mengganti topik pembicaraan sambil mempersilahkannya duduk. "Sedikit rumit. Semua menanyakan kemana perginya dirimu dan aku hanya menjawab bahwa kau ada acara keluarga", katanya singkat. "Lalu, bagaimana Kina?" Kulihat ia terdiam sejenak. Tampak seperti tengah merangkai kata-katanya dan perasaannya. "Apakah Kina menghawatirkanku?", tanyaku sambil menatapnya lekat-lekat. Mendengar kalimatku itu, ia spontan mengangkat pandangannya lalu menatapku. Kulihat seulas senyuman yang terlalu dipaksakan olehnya."Kau akan segera menemukan jawabannya."

"Apa kau..... masih menyukainya?", aku membenarkan posisi dudukku. Tak lama kemudian ia berdiri dari duduknya. "Disini panas sekali ya. Aku akan mencari angin sebentar", katanya. "Tunggu. Aku ikut. Aku juga kepanasan di ruangan ini", aku tak akan membiarkannya lari. Aku tau pasti itu hanyalah alasannya saja. Malam ini adalah malam Rabu, tepat dimana aku dan Sato bertemu diwaktu itu untuk pertama kalinya. Sunyi, sepi, dan dingin. Kami menyusuri jalan terotoar dan menuju kearah lapangan baseball. "Jika kau menanyakan padaku tentang hal itu, sejujurnya aku masih menyukainya." Ia mulai membuka suaranya. "Aku menyukainya. Namun sekarang rasa suka itu berubah. Bukan rasa suka pada seorang gadis, melainkan rasa sayangku pada seorang adik." Mendengarnya, dengan cepat aku menoleh kearahnya dan mengernyitkan dahiku. "Benar, Hiro. Dia adalah adikku. Aku berusaha untuk menerima semua kenyataan ini. Ayah Kina adalah ayahku. Laki-laki yang sangat kubenci itu kembali kedalam hidupku." Ia mengakhiri kalimatnya dengan setetes air mata yang mengalir dipipi kirinya. "Maafkan aku, Sato", nadaku sedikit tercekat. Kudengar ia menghela nafas panjangnya lalu tersenyum kecil. "Maafkan aku, Sato", hanya itu yang dapat kukatakan untuk melegakan hatinya. "Tidak, Hiro. Jangan meminta maaf padaku. Tak ada yang berhak disalahkan didalam situasi seperti ini. Ini hanya masalah waktu saja. Seandainya, aku tak bertemu denganmu malam itu. Seandainya, Kina tak bersekolah disekolah yang sama dengan kita. Pasti semuanya akan baik-baik saja." Ia terdiam sejenak. Kulihat hidungnya yang memerah karena dinginnya udara malam ini. Aku menunduk lalu berkata didalam hatiku. "Seandainya, aku adalah manusia..." "Dan tentang Kina, kau berhak merebutnya dariku. Aku menginjinkanmu, Hiro. Lagipula, gadis itu hanya memandangku sebagai sahabatnya, tak lebih dari itu."