Siang telah berganti sore. Dan keramaian sekolah menutup aktifitas di lingkungan Horikoshi Gakuen itu. Namun, beberapa dari mereka masih melakukan aktifitasnya. Diantaranya seperti ekstra dan kerja kelompok ataupun kegiatan OSIS. "Well, semangat Hiro_kun! Sampai jumpa nanti", lambaian tangan Sato terlihat oleh Hiro. Tak lama kemudian, Sato berbalik, "Kenapa kau tidak mengatakan perasaanmu padanya?" Kalimat Sato membuat pemuda itu terdiam sejenak. Perlahan terlihat senyuman kecil dibibirnya. "Bukan hanya Kina yang ada didalam pikiranku saat ini. Semua ada waktunya, Sato."
Disisi lain, saat Sato mengambil sepedanya yang terparkir dihalaman sekolah, dilihatnya Yumi yang berjalan tertatih-tatih. "Yumi!", pemuda itu memanggil namanya dari kejauhan. Tampak gadis itu tengah menoleh ke arahnya. Dengan cepat Sato menaiki sepedanya dan menggayuhnya menghampiri gadis itu. "Kenapa dengan kakimu?", tanya Sato sambil mengernyitkan alisnya yang disilaukan oleh sinar mentari sore itu. "Tidak apa-apa", singkatnya. "Pasti karena gadis-gadis yang memukulimu kemarin itu kan? Awas saja mereka. Mau kuantar pulang?", ajak Sato. Gadis itu menggeleng dan berkata, "Tetapi ayahku akan menjemputku. Terimakasih, senpai." Seketika, gadis itu mendapat telepon dari ayahnya dan mendadak ayahnya tak bisa menjemputnya karena ada suatu kepentingan. Yumi memandang Sato yang masih menatapnya. Sepertinya Sato mengerti akan arti pandangan gadis itu. "Naiklah", katanya dengan seulas senyuman yang menghiasi bibirnya. Di jalan, ia melihat Kina yang berjalan di terotoar. Seketika ia membunyikan lonceng sepedanya tanda menyapanya. Gadis yang digoncengnya pun ikut menyapa Kina. Terlihat senyuman kecil Kina membalas sapaan mereka.
"Senpai, dipersimpangan depan belok kiri. Rumahku urutan kelima dari persimpangan itu", Yumi menunjuk jalan didepannya. Setelah melewati persimpangan jalan, Sato mulai menghitung rumah-rumah yang berjajar itu. Dan pada saat hitungan ke-lima, betapa terkejutnya ia. "I-ini rumahmu?", tanya pemuda itu masih menatap rumah yang berdiri megah didepan matanya. Yumi mengangguk pasti. "Terimakasih, senpai", ia segera membuka gerbang berdesain modern itu. Tak lama kemudian, seseorang keluar dari rumah yang dikelilingi oleh pagar berdinding beton itu. "Yumi_chan, ajak temanmu masuk", kata orang itu yang ternyata adalah ibunya. "Senpai, ayo mampir dulu", ajak gadis itu padanya. Dengan cepat Sato menggeleng lalu berkata, "Lain kali saja, aku sudah ada janji dengan teman." Dilihatnya ekspresi kecewa dari Yumi. "Oke. Tak apa. Sampai jumpa, senpai...", gadis itu melampaikan tangannya pada pemuda berkacamata itu. Sato tersenyum sejenak lalu mulai menggayuh sepedanya berputar arah.
Pertanyaan Sato saat itu membuatku terkejut. Membuatku terdiam untuk beberapa saat. Bukannya aku tak mau menyatakan perasaanku, hanya saja disisi lain bagaimana dengan ayah? Aku belum membahas tentang ini sedikitpun padanya. Walaupun ia sudah merencanakan perjodohanku. Masih ada rasa bimbang dihati.
Langkah demi langkahku telah memasuki ruangan luas itu. Namun, lampu-lampu belum menerangi sudut-sudut lapangan sehingga membuat suasana gelap didalamnya. Didalam ruangan yang gelap itu, kudengar seseorang mengeja namaku. Dan aku tau betul siapa pemilik suara itu. Perlahan, lampu dihidupkan dengan sengaja satu per satu.
"Kau tau kan kalau aku benci menunggu", langkahnya mendekatiku. Aku hanya terdiam sambil memandangnya. Seketika ia menendang bola yang menghalangi langkahnya itu kearahku dengan keras. Aku terkejut dan langsung memiringkan kepalaku dan membiarkan bola melambung melewatiku. Aku tersenyum masam menyadarinya. "Apakah ini sebuah pembalasan atas perbuatanku tadi siang?" "Lupakan semua masalah diantara kita untuk saat ini. Aku hanya punya waktu yang sangat singkat untuk melatihmu. Dan waktumu juga tinggal beberapa hari lagi", kudengar itu darinya. "Sekarang untuk permulaan, larilah sebanyak tiga kali mengitari lapangan ini dalam kurun waktu dua menit." "Tunggu, bagaimana bisa? Lapangan ini sangat luas." Aku terkejut saat mendengar waktu yang diberikannya untuk mengitari lapangan yang berdiameter cukup luas ini. "Bahkan itu tidak akan menjadi masalah bagi sosok iblis sepertimu. Maaf, maksudku vampir. Sekarang, larilah..." Aku melihatnya tengah menekan tombol stopwatch tanda hitungan waktu dimulai. Aku berdecak lidah dan mulai memacu kecepatan lariku.
Dua menit kemudian....
"Hasil yang sungguh mengecewakan. Kau terlambat lima detik. Dan itu akan menjadi masalah jika kau tetap seperti itu didalam perlombaan nanti. Kau bisa lari lebih cepat dari ini, Hiro", suaranya terdengar samar-samar ditelingaku. Sosoknya terlihat oleh ekor mataku. Kini aku terbaring lemas diatas lantai yang terasa dingin ini. Nafasku berpacu dengan detak jantungku. Mulutku terbuka untuk mengambil sebanyak-banyaknya oksigen yang sanggup kuhirup. Kurasakan keringatku menetes satu per satu. Salah satu tanganku kugunakan untuk menutup kedua mataku yang mulai memburam itu. "Bangunlah. Hanya sebatas itukah kekuatan yang kau miliki? Vampir kelas apa kau ini...", kulihat senyuman masam disudut bibirnya. Dan mungkin suasananya akan terasa seperti ini selama pelatihanku berlangsung. Dipacu dan dikuras semua tenagaku. Amarah dan lelah membaur menjadi satu. Namun, tak ada yang dapat kulakukan sekarang ini. Hanya bisa menuruti semua perintahnya.
Waktu berjalan begitu lama. Terasa detik enggan untuk berpindah. Selama latihan berlangsung, kedua kakiku dibuatnya lemas dan tulang punggungku serasa nyaris patah. Aku menyumpahinya terus menerus didalam hati. "Pelatihan ini akan berlangsung setiap tiga kali dalam seminggu selama dua jam, ditempat yang sama. Bagaimana? Apa kau keberatan atas keputusanku?", sosoknya muncul dari belakangku. Kemudian aku berdiri dari posisi dudukku. Berusaha memulihkan kembali tenagaku. "Ini baru permulaan, Hiro... bertahanlah", bisiknya sinis pada telinga kiriku.
Aku segera mengambil tas ku yang berada disisi lapangan. Terlihat bayanganku di cermin lebar itu. Keadaanku sekarang adalah yang terparah yang pernah kulihat. Seragamku yang telah dibanjiri oleh keringat, terlihat begitu lusuh dan kusam. Rambut hitamku yang basah dan berantakan. Wajahku yang penuh keringat membuatku muak. Kulihat jam dinding telah menunjukkan pukul lima sore. Waktunya untuk segera pulang. Lalu kumatikan lampu-lampu yang menerangi ruangan luas itu. Kakiku masih terasa nyeri untuk digunakan berjalan.
"Hiro_kun, bagaimana ini? Apakah mereka akan membunuh kita?", kudengar tangisan Dake sedari tadi. "Berhentilah menangis.... Aku tak tahu. Aku juga takut sekali", kataku yang tak kalah gemetarannya. Ia mulai mengurangi suara tangisnya. Ruangan berdinding beton ini sungguh gelap. Hanya ada secercah cahaya dari fertilasi udara yang berada diatas sana. Tempat yang tak sepantasnya bagi seorang pangeran sepertiku. Aku berusaha mengintip keluar lewat lubang kunci dipintu besi. Namun, aku tak dapat melihat apapun diluar sana. Entah apa yang mereka inginkan dari kami, seorang anak kecil yang lemah. Mereka menculik ku dan Dake saat kami bermain tanah liat. Penyelundup itu terasa tak asing bagiku. Sesekali kulihat sosoknya yang sedang bertugas di lingkungan Istana Vampir Chizu. "Hiro, kau tidak takut?", suaranya terdengar gemetar. "Tentu aku takut. Lebih takut darimu. Tetapi sekarang hanya ada kau dan aku. Kita akan saling menguatkan", jawabku singkat dengan nada gemetar. "Apakah kita bisa pulang?", tanyanya dengan kedua mata yang berkaca-kaca. Aku hanya bergeming tak berkata apa-apa. Kurasakan udara ini yang semakin dingin. Entah telah pukul berapa saat ini. Kutiup-tiup kedua telapak tanganku untuk menghilangkan rasa dingin itu. Terlihat Dake yang duduk meringkuk disudut ruangan sempit ini. Ia tampak memeluk erat tubuhnya agar tetap hangat. Matanya terpejam, mungkin ia tertidur. Sesaat kemudian, kudengar suaranya, "Hiro, kenapa kau terus memanggilku dengan nama Dake? Kau tau kan kalau aku tak menyukainya? Nama itu terdengar aneh." "Karena kau sahabat terbaikku. Aku menyayangimu seperti halnya matahari yang tak lelah menyinari bumi. Jadi kuputuskan untuk memanggilmu Dake saja. Nama spesial dariku. Daisuke…. Dake."
Terdengar suara air mengalir di kamar mandi. Air yang mengalir diatas kepalanya itu membuatnya terbangun dari ingatan masa lalunya. Akhir-akhir ini kenangan itu sering muncul dibenaknya. Ia dapat bernafas lega sekarang setelah menjalani pelatihan yang menyebalkan itu. Siraman air yang membasahi rambutnya itu membuatnya dapat berfikiran jernih seperti biasanya. Diraihnya handuk yang letaknya tak jauh dari tempatnya berendam. Iapun melilitkan handuk itu mengitari pinganggnya. Kemudian Hiro melihat wajahnya dicermin. Terlihat tetesan air yang jatuh dari ujung-ujung rambutnya yang basah kearah wajahnya yang pucat itu. "Dake, bagaimana kabarmu sekarang? Dimana kau sekarang? Apa yang kau lakukan saat ini? Aku ingin bertemu denganmu. Walau hanya sekali saja", katanya sambil menerawang jauh kedepan. Terdengar ia yang tengah menghela nafasnya. Tampak sebuah penyesalan pada raut wajahnya. Tak lama kemudian, ia segera mengeringkan tubuhnya lalu mengenakan kembali pakaiannya. Seperti biasa, ia segera menuruni tangga menuju perapian tanpa merapikan rambutnya yang basah itu terlebih dahulu. Ia menyapa Sato dan Kina yang sedari tadi sudah memulai mengerjakan soal-soal sambil menanti Hiro. Kina tertegun sesaat melihat Hiro dengan rambut hitamnya yang setengah basah itu. Sesekali air menetes ke pipinya dan bajunya, terlihat sangat seksi. "Maaf membuat kalian menunggu lama. Bagaimana soal-soalnya?", Hiro memulai pembicaraan terlebih dahulu ketika melihat wajah Sato yang mulai putus asa karena sulitnya soal-soal matematika yang dihadapi. "Seperti yang kau tau, sensei tidak pernah membuat kemudahan untuk kita. Lihat saja soal-soal yang dibuatnya. Beberapa aku tidak menemukan hasilnya." Hiro tersenyum mendengar keluhan Sato. Lalu Sato menyerahkan lembaran itu padanya. "Terutama soal nomor 14, aku dan Kina sengaja melewatinya." "Coba aku baca sebentar", singkat Hiro.
Kubus ABCD.EFGH memiliki rusuk 10 cm. Sudut antara AE dan bidang AFH adalah . Nilai sin ∝ adalah...
Hiro tampak membolak-balikkan buku paket matematikanya dan berusaha memecahkan soal itu. Mereka bertiga bergeming sejenak hingga Hiro meraih bolpoin Sato lalu mulai menulis sesuatu. Ia mulai menggambar sebuah kubus. "Seperti ini bentuk kubusnya. Jadi, Garis AE dan bidang AFH bertemu di titik A. Dari titik A dibuat segitiga AEP melalui pertengahan bidang AFH adalah sudut yang dibuat oleh garis AE dan AP. Segitiga AEP adalah segitiga siku-siku di E. AE adalah rusuk kubus dan AE = a = 10 cm, EP adalah setengah diagonal bidang dengan rumus ini. Sedangkan AP adalah sisi miring segitiga AEP sehingga dapat ditentukan dengan teorema Pythagoras. Maka jika kita gunakan rumusnya….. diperoleh hasil 5 akar 6. Dengan demikian, sinus ∝ pada segitiga AEP adalah….. sepertiga akar 3. Jawabannya yang B." "Hmmmm…. Tadi kita kesulitan di bagian ini", Sato menunjuk salah satu proses perhitungan yang ditulis Hiro. Lalu kemudian, didengar oleh mereka suara pintu yang tengah diketuk.
"Selamat sore, Dai_kun", seseorang yang datang ternyata siswa dari kelas 2-D. "Ada apa?", tanggapan Hiro datar saat mengetahuinya. Namanya adalah Saki. Di jam sekolah, mereka jarang sekali bertemu. Selain karena jarak antar kelas yang jauh, juga dikarenakan oleh jadwal pelajaran yang sangat padat. "Aku tidak dipersilahkan masuk dulu?", Saki membuka daun pintu yang satunya lalu menerobos masuk. "Sato! Sedang apa kau disini?", sapa Saki yang terlihat akrab dengan pemuda berkacamata itu. "Kina_chan?", Saki terkejut melihat keberadaan Kina disana. "Aku dari kelas sebelah, namaku Saki. Salam kenal." Seakan-akan ia telah mengenal Kina sebelumnya. Gadis itu hanya tersenyum simpul tak menjawab sapaan Saki. "Kau lihat? Aku sibuk. Datang lain kali saja", jawab Hiro singkat.
"Kau lupa? Kau kan pernah berjanji padaku untuk mengajariku memainkan piano", Saki menuju piano kuno itu yang terletak didekat perapian. Lalu ia meletakkan jari-jemarinya diatas tuts-tuts piano yang berwarna putih. Dentingan senar-senar piano tua itu terdengar masih merdu walau sudah termakan usia. Piano yang bercorak coklat dan hitam itu masih tergolong benda yang antik di era nya saat itu. Sebernarnya jika Hiro mau, ia bisa menjualnya lalu membeli rumah yang lebih layak dihuni. Namun, ia begitu mencintai apapun yang ada didalam rumah kuno itu. "Jari-jarimu masih terlalu kaku untuk memainkan nada-nada cepat...", komentar Hiro saat mendengar nada-nada yang ditekan Saki. "Kalau begitu, tunjukkan padaku", tantang Saki. Lalu ia memberi tempat untuk Hiro duduk disampingnya.
Tak lama kemudian terdengar Hiro yang mulai memainkan sebuah lagu dengan gerakan jemarinya yang lihai. "Aku tau lagu ini! Lagu Can't Take My Eyes of Off You dari Frankie Valli kan?", gadis itu tampak bersemangat. "Kau tau lagu ini? Kalau begitu, langsung ke reff nya saja ya....." Nada-nada yang cepat mulai terdengar dari piano kuno itu. Tak lama kemudian, terdengar suara Hiro yang tengah mengiringi alunan nada yang ditekannya.
I love you baby,
And if it's quite all right.
I need you baby,
To warm my lonely night.
I love you baby,
Trust in me when I say....
Perasaan Kina menjadi tak karuan saat itu juga. Semacam mendengar pengakuan langsung dari Hiro lewat lagu itu. Untuk dirinya kah? Yang jelas permainan jemari Hiro diatas tuts tuts piano itu berhasil membuat warna wajah Kina berubah menjadi merah.
Setengah jam kemudian, waktu telah menunjukkan pukul tujuh tepat. Kina tampak memutar-mutar bolpoinnya dan memandang jauh kedepan menatap Hiro yang kembali menulis. "Kenapa? Ada bagian yang tidak kau mengerti?", tanya Hiro saat menyadari gadis berambut panjang itu tengah memperhatikannya. Tampaknya Hiro menyadari bahwa Kina tengah memandanginya sedari tadi. Gadis itupun tersadar dari lamunannya dan ia menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. "Hiro.... Apakah... vampir sungguh mempunyai kerajaan? Apakah mereka benar-benar ada?", pertanyaan Kina membuat kedua pemuda itu menghentikan aktifitasnya dan spontan memandangnya. Sedangkan Saki, ia masih fokus melatih jemarinya diatas tuts piano. "Apakah kami benar-benar ada katamu...", kata suara hati kecilnya. Pertanyaan gadis itu membuat dada Hiro terasa sesak.
"Percaya atau tidak, bangsa vampir... benar-benar ada. Hanya saja usia mereka bisa mencapai ribuan tahun. Bahasa yang digunakan mereka sangatlah berbeda dari Kita. Saat ini, di dunia mereka masih dalam peradaban sistem kerajaan. Diantara kerajaan-kerajaan itu juga ada yang sedang mengalami perang dingin hingga berabad-abad lamanya. Dan secara tidak langsung, itu menjadi beban pada putra mahkota yang akan dilantik pada periode selanjutnya. Beban yang sangat berat untuknya mempertahankan sebuah kerajaan yang nyaris dihancurkan. Dan juga.... melihat para prajurit-prajuritnya yang mati mengenaskan", ia memandang jauh kedepan. Lalu tak lama kemudian, Hiro berkata lagi, "Benar. Seorang pangeran. Semua beban itu akan ditanggungnya kelak. Entah itu sebagai karma, ataukah sebagai hadiah. Namun saat ini yang dirasakannya bahwa gelar yang dimilikinya merupakan sebuah karma atas penebusan nyawa-nyawa mereka yang telah direnggut demi keamanan kerajaan. Seperti tumbal yang sengaja disiapkan menjadi benteng dari nyawa sang pangeran. Ia merasa sangat bersalah akan keberadannya di dunia. Banyak nyawa yang telah berkorban demi rasa hormat dan cintanya kepada sang pangeran. Banyak nyawa…. Banyak sekali tak terhitung sejak ia dilahirkan kedunia sebagai seorang pangeran." Tercipta suasana hening di ruangan yang hangat itu kecuali dentingan senar-senar piano. Sato dan Kina tengah mendengarkan kisah yang diceritakan oleh Hiro dengan antusias. Seakan-akan Hiro sudah sangat mengenal tentang bangsa vampir ini. Kemudian, Kina bergumam lalu berkata, "Bagaimana kau tahu begitu banyak tentang pangeran itu?" Seketika, Hiro langsung memandang kearah kedua mata Kina. "Bagaimana aku tahu begitu banyak tentangnya.... Bagaimana... aku tahu begitu banyak...", Hiro terdiam sejenak lalu menunduk menatap meja. Kina tampak masih menanti sebuah jawaban dari pemuda itu. Satu detik.... Dua detik..... Tiga detik. Ia masih belum angkat bicara. Tak lama kemudian, Sato berdehem pelan lalu berkata, "Seperti apa kerajaan mereka?" "Sangat besar, luas, indah, mewah, dan... klasik", jawab singkat Hiro yang masih menunduk. "Pasti kau membacanya dari buku", tanggap Kina yang akhirnya berbicara. Pemuda pucat itu hanya mengangguk pelan mengiyakannya.
"Hiro, apakah ini milikmu?" Kina mengeluarkan serpihan berlian yang ia temukan pagi ini. Terlihat ekspresi terkejut dari pemuda dihadapannya itu. Ia segera menyambar benda itu dari telapak tangan Kina. "Terimakasih... dimana….. kau menemukannya?", tanyanya dengan masih menatap serpihan prisma yang digenggamnya saat ini. "Didepan gerbang rumahmu. Apakah itu sangat penting?", tanya gadis itu sambil mengangkat kedua alisnya pertanda heran dengan sikap pemuda itu. "Sangat penting", jawabnya singkat.
"Sangat penting, Kina. Bahkan jika aku kehilangannya, aku tak dapat kembali ke duniaku lagi. Aku akan kehilangan semuanya selamanya. Ayah, istana, dan Dake." Hiro masih memandangi pecahan prisma itu. Masih tercipta suasana hening diantara ketiga insan. Kina segera berkata, "Baiklah, hanya tersisa beberapa soal saja. Bagaimana kalau kita bagi saja? Dua soal untukku, dua soal untuk Sato, dan dua sisanya untukmu. Besok serahkan kepadaku jawabannya lalu akan segera aku salin dan kukumpulkan. Lebih cepat lebih baik bukan? Lagipula sekarang sudah larut." Kina melihat kearah jam tangannya. "Dai_kun, ajari aku", pinta Saki dari kejauhan setelah mendengar kalimat Kina itu. "Iya, iya...", pemuda itu segera menuju kearah piano dengan menghela nafas pelannya. Lalu dilihatnya tangan Hiro itu yang menyentuh jemari Saki diatas tuts-tuts piano. Seketika matanya terasa panas lalu ia menghela nafas beratnya. "Kenapa dadaku terasa sesak disaat seperti ini?"
"Ayo pulang, Kina", ajak Sato. Kina lalu memasukkan buku-bukunya kedalam tas miliknya. Kemudian ia segera bangkit dari duduknya. Sato dan Kina segera berpamitan pada pemuda bergigi kelinci itu. Saat mereka melewati ambang pintu, Kina melirik kearah Hiro yang tengah tertawa bersama Saki. "Adakah tempat untukku dihatimu? Tidak bisakah kau memandang hanya kepadaku? Tidak pantaskah aku berharap padamu?"
Beberapa menit kemudian, Kina tengah berbaring dikamarnya dengan mata yang lebam. Berkali-kali air matanya terjatuh membasahi pipinya itu. Ia menatap langit-langit kamarnya. "Aku cemburu, Hiro."
Dilain sisi, "Sepertinya Kina menyukaimu." Goda gadis berambut pendek itu pada Hiro. "Gadis mana yang tidak jatuh hati padaku saat melihat ketampananku ini?", Hiro tersenyum kecil sambil terus memainkan piano. Saki memukul pelan lengan Hiro saat mendengar respon dari pemuda itu. "Aku. Aku tak pernah sedikitpun menaruh hatiku padamu sejak pertama kali bertemu denganmu. Apalagi kau dengan rambut anehmu itu", gadis itu menjawab dengan pasti lalu mengacak-acak rambut Hiro yang belum disisir itu. "Ya, benar. Kau adalah gadis yang gila jika tak menyukai pemuda tampan dan mempesona sepertiku", jawab ringan Hiro. Saki tersenyum masam mendengarnya.
Saki seketika teringat akan sesuatu, "Aku tadi sengaja membuat Kina cemburu." Terlihat senyum nakalnya yang ditangkap oleh mata hitam Hiro. Gerakan-gerakan jemari Hiro pada tuts piano itu seketika berhenti. "Aku tahu", jawab Hiro datar. "Kau..... menyukainya juga kan? Aku bisa melihatnya", kata Saki sambil tersenyum geli. Seketika ia teringat akan kalimat Kina. "Apa pentingnya aku bagimu?" Suaranya berkali-kali berdengung ditelinganya. "Ya, Saki. Aku menyukainya. Dia sangat penting bagiku." Gadis berambut pendek itu dapat melihat tatapan kosong dari pemuda disampingnya. "Wow... Apa yang terjadi ini? Seorang Hiro menunjukkan ekspresi melankolisnya!", tawa Saki membuat Hiro geram padanya. Lalu pemuda itu menggelitiki Saki sampai akhirnya mereka berlari-larian di ruangan yang luas itu. "Akhirnya kau mengakuinya, Hiro. Bahwa kau menyukainya. Kau menyukai Kina. Ya, kau secara diam-diam telah jatuh hati padanya... Gadis semacam apakah dia yang telah menaklukan kepribadianmu yang dingin itu..?"
Waktu terasa semakin malam. Dan saat itu jam dinding telah menunjukkan pukul tengah malam. Namun, rasa kantuk belum menghinggapi pemuda itu. Saat ini ia tengah mempelajari kembali rumus-rumus matematika. Sesekali ia tergiang oleh kejadian tadi bersama Kina. Lalu kedatangan seekor nyamuk berhasil mengalihkan perhatiannya. Nyamuk itu hinggap di lengannya yang pucat. "Selamat malam, nyamuk kecil. Apa yang kau lakukan? Aku tidak memiliki darah yang kau inginkan. Carilah manusia lainnya untuk kau hisap", terlihat senyuman kecil dibibirnya lalu ia meniup nyamuk itu untuk pergi. Tak lama kemudian Hiro meraih tehnya yang terletak di atas meja. Ekor matanya melihat J yang tengah mendekat ke arahnya. Hiro masih tetap terdiam sampai J mulai berbicara. "Pangeran, jangan sampai anda dibutakan oleh cinta. Karena ada yang lebih pantas dibandingkan dia." "Apa maksudmu?", Hiro melirik ke arah J. Pemuda itu tak mengerti maksud dari perkataan laki-laki paruh baya itu. "Aku telah mengetahui semua hal yang akan terjadi di masa depan anda. Anak manusia yang bernama Kina itu hanyalah sementara. Yang harus anda pikirkan saat ini hanyalah kemenangan yang wajib diraih oleh Vampir Chizu, pangeran." Hiro bergeming sejenak memikirkan kalimat J.
"Apakah jatuh cinta pada manusia dapat merugikanku?", pertanyaan aneh yang tidak disadarinya pun akhirnya diutarakan. J tersenyum melihat wajah Hiro yang polos itu. "Tentu tidak Pangeran. Hanya saja, cinta dapat melumpuhkan akal sehat bagi siapa saja yang tengah dimabuk asmara dan membutakan mata hati mereka." Kali ini Hiro menatap ke arah J yang tengah berdiri itu, "Katamu kau telah mengetahui semua hal yang akan terjadi padaku. Kenapa tidak langsung saja kau beritau padaku sekarang?" "Itu larangan bagi bangsa kami, pangeran. Bangsa roh." Perlahan bayangan J pun menghilang diantara terangnya lampu ruangan. Meninggalkan pemuda itu seorang diri. Hiro memejamkan kelopak matanya yang lelah itu.
Detik demi detik. Bahkan waktu berjalan tanpa diperintah. Malam semakin larut. Beberapa jam kemudian, Hiro telah terlelap dalam dunia mimpinya. Ia tertidur pulas diatas sofa. Y menghentikan langkahnya saat melihat Hiro yang tertidur itu. Ia menghela nafas pelan saat melihat wajah polos Hiro yang terlelap. Segera ia mengambil selimut dari kamar Hiro yang berada dilantai dua. Lalu ia menggelar selimut itu diatas tubuh vampir muda itu. Sesaat, ia mengamati wajah Hiro dengan jarak dekat. Dilihatnya ada sesuatu yang aneh. Y pun mencoba menembus ke alam mimpinya. "Pangeran...", Y menyentuh lengan Hiro yang pucat itu dengan pelan. Terlihat ekspresi terkejut Y.
"Dimana aku? Kenapa semuanya terlihat sangat gelap? Apa yang terjadi?" Perlahan terlihat sebuah cahaya terang didepan. Terasa begitu sunyi sekali disini. Beberapa detik kemudian, aku menyadari bahwa aku tengah terbaring diatas trotoar. "Tuan Muda.... Kini saatnya kau bangun!", seseorang menarik kerah bajuku dengan paksa sehingga membuatku terduduk. Suara itu sangat familiar ditelingaku. Suara itu mengukir mimpi buruk bagiku. Bahkan sekalipun aku tak pernah mengharapkan kehadirannya dalam hidupku. Kulihat samar-samar ia berlutut dihadapanku dan masih mencengkram kuat bajuku hingga nyaris sobek.
Kulihat wajahnya lewat ekor mataku. Saat ini aku masih berada diantara kesadaran dan ketidaksadaranku. "Masih mengingatku, pangeran?", nada suaranya sungguh membuatku geram. Ingin sekali aku mematahkan lengannya ini. Kurasakan ia melepaskan cengkramannya pada kerah bajuku lalu berkata, "Oh, aku lupa. Mana mungkin kau masih dapat mengenali hamba yang hina ini...?" Ia bangkit berdiri dan tersenyum masam kepadaku. "Hentikan omong kosongmu itu!", aku pun berusaha bangkit berdiri. Namun mengapa tenagaku begitu lemah? "Apa? Kau bicara apa? Memangnya kenapa... Kau mau memenjarakanku lagi? Jangan berkhayal! Sekarang kau sendirian disini. Tak akan ada yang menolongmu." Gerakan tinjunya yang tidak aku duga-duga melayang ke arah wajahku. Aku mengumpat dalam hati akan perilakunya itu. Seketika pandanganku menjadi kunang-kunang dan hidungku yang terasa sangat perih. Telihat senyuman masamnya serta nada mengejek yang tertuju kepadaku.
"Apakah itu sakit? Maafkan hamba jika perbuatanku tadi terlalu kasar bagi anda, pangeran...", nada suaranya berubah menjadi lembut dan itu semakin membuatku muak mendengarnya. Aku berusaha bangkit untuk kedua kalinya. Tak terima akan penghinaan ini, kulayangkan tinjuku kearah wajahnya. Namun, dengan mudah ia dapat menghindarinya. Kemudian, badanku terhuyung-huyung melewatinya. Kurasakan hentakan keras mengenai punggungku. Kutersungkur jatuh untuk kesekian kalinya. Kuberbicara ditengah tawanya itu. "Bu-bukankah kau...", perkataanku terputus sesaat ia mulai berkata lagi. "Ya. Benar, Hiro. Beberapa hari terakhir ini, aku memang tak dapat menembus dinding alam mimpimu. Namun sekarang, lihatlah... Aku berhasil! Maka menyerahlah. Tak ada harapanmu untuk hidup lagi, Hiro." Terdengar suara gesekan pedang yang dikeluarkan dari sarungya. "Terimalah pembalasan dari Vampir Souka!", ia mengayunkan pedangnya kearahku yang masih tersungkur. Tak pikir panjang, aku segera berguling ke arah kanan beberapa kali dan dengan cepat aku bangkit berdiri. Ketika aku membalikkan badan kearahnya, dengan cepat ia mengarahkan mata pedang itu kearah leherku. Dengan sigap aku menghindar dengan salto kebelakang lalu ujung kakiku menendang pedangnya. Seketika pedang itu terpental keatas lalu jatuh di posisi yang jauh. "Ini baru imbang", aku memasang posisi kuda-kuda tanda siap untuk berduel. Sebelum dia siap, aku sudah menyerangnya dengan beberapa pukulan. Aku berhasil memukulnya dibagian perut, wajah, dan menendang dadanya hingga ia terpental. Lalu kukunci tangannya dan kutindih punggungnya dengan lututku. Kini ia tak dapat bergerak sedikitpun dibawah kuasaku. "Bagaimana? Aku tak akan mati semudah itu! Catat itu baik-baik", aku menekan kepalanya kearah bawah membentur aspal jalan.
Kulihat senyuman pahit disudut bibirnya. Ia melirik tajam kearahku yang tengah menindihnya itu. "Ini tak akan seru jika hanya kita berdua saja yang bermain. Akan kuundang yang lainnya untuk bergabung bersama kita", kudengar suara lirihnya.
Tak lama kemudian terdengar seseorang yang tengah memainkan pedang jauh dibelakang kita. "Sepertinya ada yang tengah bersenang-senang tanpa kami", kata salah satu dari mereka. Aku segera memutar pandanganku. Mataku melebar saat melihat sosok mereka yang perlahan terlihat di antara gelapnya malam itu. Cahaya bulan perlahan menyinari satu per satu dari keenam orang disana. "Sekarang... apa yang harus kulakukan?", aku berusaha berfikir cepat. "Hormat kami, pangeran", kata salah satu dari mereka yang bernama Tsukasa. Lalu kulihat ia menancapkan mata ujung pedangnya pada permukaan aspal. Seketika pedang itu berdiri menancap dengan kuat diatas aspal yang keras itu. Menunjukkan seberapa tajamnya pedangnya.
Aku menghela nafas untuk menguatkan diri. "Sekarang.... akan kita apakan pangeran muda yang terhormat ini?", kudengar lirih dari mantan prajurit Vampir Souka itu. "Pengecut sekali. Kalau kalian ingin menang secara terhormat, silahkan bunuh aku dengan tangan kosong!", tantangku pada mereka dengan pasti. Sebenarnya itu bukanlah sebuah tantangan, namun mirip dengan sebuah permohonan. "Maafkan kami pangeran, kami tidak punya banyak waktu bermain-main dengan anda." Mereka perlahan telah mengelilingiku dengan pedang panjang di tangannya masing-masing. Aku benar-benar tidak tahu siapakah yang akan menyerahku terlebih dahulu. Atau bahkan mereka akan menyerangku secara bersamaan.
"Hentikan!", seketika terdengar suara Y tepat dibelakang punggungku. Dapat kurasakan tangannya yang memeluk tubuhku dengan cepat. Bersamaan dengan itu terasa hawa dingin yang mengelilingi tubuhku. Serasa seperti tiupan angin musim dingin yang menyapa kulit pucatku. Saat kubuka mataku, hal yang pertama kali kulihat adalah cahaya dari lampu-lampu ruangan ini. Aku melirik kearah jam dinding itu yang sudah menunjukkan pukul enam pagi. Masih bergeming memikirkan apa yang baru saja terjadi. Kulihat sekilas selimut yang menyelimuti badanku, lalu ku segera bangkit untuk berdiri. "Apakah mimpi itu nyata?" Tak lama kemudian, kulihat samar samar J dan L yang tengah berbisik-bisik dengan wajah sedih. Mereka masih tak menyadari akan keberadaanku di ruangan ini. Entah apa yang membuat mereka seketika menghentikan langkahnya saat melihatku.
Kulihat sepertinya ada yang tengah mereka sembunyikan. Saat aku ingin mulai bicara, L menyela kalimatku. "Pangeran, sudah kusiapkan air hangatnya untuk mandi. Sebaiknya, pangeran segera bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah", setelah mengatakannya, mereka meninggalkanku seorang diri di ruangan luas ini. Satu hal yang membuatku bingung. Kapan aku memesan air hangat pada L...? Lalu apa yang sebenarnya mereka bicarakan sedari tadi? Tampak ekspresi sedih dari keduanya sesaat sebelum mereka melihat keberadaanku yang berdiri di dekat sofa. Tak pikir panjang, aku mulai mengambil langkah pertamaku untuk menuju ke kamar mandi.
Setibanya di kamar mandi, kusegera menanggalkan semua pakaianku lalu ku berendam di air hangat yang telah disiapkan oleh L sebelumnya. Terlihat cahaya biru dari punggungku yang dapat kulihat dari pantulan cermin. Bukan sulap bukan sihir. Perlahan tapi pasti, rasa nyeri yang kurasakan disekujur tubuhku ini menghilang.
***
Dilain sisi, di Kerajaan Vampir Souka, terjadi perdebatan antar para petinggi kerajaan setelah kembalinya para utusan itu dengan tangan kosong. Pasukan Tsukasa pulang dengan membawa kabar yang mengecewakan. "Bodoh! Kalian tidak sadar bahwa kalian telah membuang sebuah kesempatan emas?!", kata salah satu petinggi disana. Prajurit itu diam seribu bahasa. "Kesempatan tak akan datang untuk kedua kalinya! Kalian memang tidak bisa diandalkan! Jika raja mendengar kabar ini, pasti kalian akan mati ditangannya." Tsukasa dan yang lainnya menerima pukulan-pukulan keras, hingga mereka lemas tak berdaya dilantai. Didalam ruangan rapat, mereka saling bertukar pendapat untuk menemukan cara memancing putra mahkota Vampir Chizu keluar dari persembunyiannya itu. Alam mimpinya telah tertutup sempurna dengan pengorbanan Y malam itu. Tak lama kemudian, seseorang datang memasuki ruang rapat. Ruangan yang semula ramai itu, semua mata langsung tertuju padanya setelah melihat kedatangannya. "Aku. Izinkan aku yang memancingnya keluar. Aku yang akan membunuhnya dengan tanganku sendiri, dengan caraku. Percayalah, akan kupersembahkan lehernya untukmu. Rasa rindu ini sudah tak terbendung lagi untuk bertemu dengannya." Terlihat senyuman kecil disudut bibir pemuda berambut coklat itu.
***
Lampu-lampu rumah itu telah dimatikan sedari tadi setelah menyadari bahwa mentari sudah terbangun dari tidurnya. Suara sendok dan piring yang berbenturan pun terdengar di meja makan yang luas itu. Bahkan terlalu luas untuk ukuran keluarga yang hanya beranggotakan tiga orang. Keluarga kecil ini cukup bisa dibilang sebagai kategori keluarga yang harmonis. Walau ayahnya adalah seorang pengusaha dan ibunya adalah seorang desainer terkenal, tetapi mereka tetap bisa meluangkan waktu yang cukup untuk putri satu-satunya itu. Dipagi hari mereka menyempatkan diri untuk sarapan bersama. Disore hari pun saat sang putri pulang sekolah, sesekali sang ayah menyempatkan untuk menjemputnya. Setiap mereka mempunyai waktu kosong, selalu dimanfaatkan untuk berada dirumah bersama putrinya. Mungkin didalam pikiran orang pada umumnya, keluarga yang tinggal dirumah semewah itu pasti jarang bertatap muka didalam 24 jam sehari dikarenakan kesibukannya masing-masing. Namun keluarga ini mampu membuktikannya pada mereka bahwa itu salah.
Tak salah jika orang-orang menyebutnya sebagai istana. Rumah ini dilengkapi dengan kolam renang didalam ruangan pada lantai satu yang terletak lima meter disamping kamar tidur tuan putri. Sedangkan di lantai dua terdapat ruang biliard, bioskop pribadi, ruang gym, perpustakaan yang lengkap, dan lain lain. Sedangkan dilantai tiga adalah ruangan terbuka yang terdapat taman hijau beserta dengan air mancurnya. Di atas sana, dapat secara langsung menikmati hembusan angin yang menyejukkan jiwa diiringi dengan suara gemericik air yang meneduhkan hati serta merasakan hangatnya sinar mentari yang menyapa tubuh. Bangunan itu dikelilingi oleh taman bunga, rumput hijau, serta lima kolam ikan di sekitar halamannya. Tak lupa juga terdapat sepasang patung 'cupid' yang turut menghias disamping masing-masing kolam ikan itu. Sungguh pemandangan yang indah bagi siapa saja yang melihatnya. Bahkan tidak masuk akal jika ada rumah semacam itu berada di Jepang. Akupun tak dapat membayangkannya.
"Kalau ayah dan ibu tidak berencana untuk berdoa, bolehkah aku mematikan lilinnya?", katanya dengan wajah jahilnya, Yumi mengambil sendok lalu menempelkannya keujung lilin-lilin yang menyala diatas meja makan itu secara bergantian hingga membuat lilin-lilin itu padam kehilangan apinya. Dengan senyuman kecil, ayahnya berkata lalu menyalakan lilin-lilin itu lagi, "Lilin adalah suatu keharusan dimeja makan, Yumi." Kehangatan di keluarga kecil itu sangat terasa disana. "Bu, aku menyukai Sato_kun", kata Yumi dengan malu-malu. Mendengar hal itu, kedua orang tuanya menghentikan aktifitas makannya sejenak, lalu saling bertatapan. "Sato_kun? Pemuda yang waktu itu?", tanya ibunya dengan penasaran. Yumi mengangguk dengan pasti.
"Baguslah... Mari kita lihat seperti apa pemuda yang dengan berani telah mencuri hati putri kecil ayah", kata ayahnya dengan senyuman kecilnya. "Nanti saat ayah dan ibu bertemu dengannya akan mengetahui betapa berbedanya dia, betapa menariknya dia, dan betapa manisnya dia", pandangan Yumi memandang jauh kearah depan dan tertera senyuman manis dibibir merahnya itu. "Semoga itu benar, Yumi", terlihat senyuman diwajah ibunya. Senyuman diwajah Yumi itu semakin mengembang saat mendengar respon ibunya. "Cepat habiskan sarapanmu. Pasti Sato_kun tidak suka menunggu gadis yang makannya lambat", ayahnya bangkit dari duduknya lalu segera meninggalkan meja makan. Terlihat olehnya, ayahnya yang tengah memakai jas hitam dari kejauhan.
"Ayah, tunggu", Yumi berlari-lari kecil saat mendengar suara mesin mobilnya yang mulai dinyalakan. "Ayo. Waktu tak akan berhenti jika kau bermalas-malasan seperti itu", kata ayahnya dari dalam mobil. Diperjalanan, Yumi melihat Hiro berjalan di tepi terotoar. Ia segera menyuruh ayahnya untuk menghentikan mobil silvernya itu. "Selamat pagi, Hiro senpai! Ayo masuk", Yumi membuka pintu mobilnya dan mempersilahkan Hiro. Hiro awalnya ragu-ragu. Namun karena ayah Yumi juga memintanya maka akhirnya ia duduk bersebelahan dengan gadis itu. "Selamat pagi, paman", sapa pemuda itu dengan ramah pada ayah Yumi yang tengah menyetir.
Lelaki paruh baya itupun menyambut salam dari Hiro dengan sebuah senyuman. "Kau teman sekelas Yumi?", tanya ayah Yumi sambil melirik dari kaca spion didalam mobil. "Bukan, paman. Saya kakak kelasnya", jawab Hiro dengan sopan. "Kau tinggal dimana?", tanya ayah Yumi. "Saya tinggal di perumahan blok G. Rumah tua yang letaknya tak jauh dari simpang lima." "Kau tinggal disana? Sedari dulu, aku sangat menginginkan rumah itu. Arsitekturnya mengingatkanku pada zaman renaisance. Meninggalkan kesan klasik yang begitu indah. Pasti akan terlihat sangat mewah jika direnovasi sedikit. Namun selalu ada saja masalah yang menghambatku untuk memiliki rumah itu. Ngomong-ngomong rumah itu terjual berapa?", lanjut ayah Yumi. "Sebenarnya, keponakan dari pemilik rumah itu memberikannya padaku karena tidak ada yang membelinya. Katanya, daripada tidak ada yang merawatnya, jadi ia memberikannya padaku", jawab Hiro dengan senyum kecil. "Aku sangat iri padamu...", terlihat senyuman ayah Yumi pada Hiro. "Yumi ini adalah anak satu-satunya dikeluarga kami. Jadi, harap dimaklumi kalau dia tumbuh sebagai anak yang manja dan cengeng. Tolong jaga Yumi dan bimbing dia", lirik ayahnya pada anak gadisnya itu dengan senyuman jahil.
"Tenang paman. Sudah ada yang bertugas untuk menjaganya", senyuman Hiro memperlihatkan gigi kelincinya. "Memangnya aku masih kecil..? Aku kan sudah dewasa. Jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan dariku", jawab sinis Yumi. "Hanya anak kecil yang meminta agar dirinya tidak diperlakukan seperti anak kecil", ucap Hiro dan ayah Yumi secara bersamaan. "Terserah....", gadis yang bernama Yumi itu segera membuang pandangannya keluar jendela mobil. Sedangkan Hiro dan ayahnya masih menertawainya. "Hiro, kau yang menyelamatkan Yumi sore itu ya?" Mendengarnya, Hiro mangangguk dengan pasti. "Semoga Tuhan selalu menyertaimu, Hiro. Paman tak tau harus berkata apa padamu. Paman sangat berterima kasih", senyuman lelaki itu terlihat begitu bahagia. Tatapan matanya meluapkan rasa bersyukur yang teramat dalam. Namun seketika sesuatu melintas dibenak Hiro saat mendengar kalimat itu. "Tuhan? Menyertaiku? Tetapi mengapa dia diam saja ketika seseorang yang kusayangi direnggut nyawanya oleh orang-orang keji itu? Dimana sebuah keadilan berada? Tuhan sangat pengecut!"
Seketika, lamunan pemuda itu terhenti saat mendengar ayah Yumi berbicara. "Kapan-kapan, mampirlah kerumah sederhana kami. Pintu rumah kami selalu terbuka untukmu", kalimat terakhir ayah Yumi menutup perbincangan mereka pagi itu. Sesaat setelah itu, mobil berwarna silvernya berhenti tepat disamping gerbang Horikoshi Gakuen. Hiro mengangguk lalu tersenyum dengan senyuman khasnya. "Sepertinya ayah mulai akrab denganmu, senpai", lirik Yumi pada pemuda disampingnya sesaat mobil itu telah meninggalkan mereka berdua. "Mungkin", jawab singkat Hiro lalu mulai berjalan memasuki halaman sekolah dan diikuti Yumi dibelakangnya.
"Senpai, kenapa dengan alismu?", tanya Yumi sambil mengejar langkah Hiro yang lebar itu. "Daijoubu." Yumi memasang wajah masam lalu ia mencoba mengimbangi langkah pemuda itu. "Apakah itu sakit?", pertanyaan Yumi dijawab dengan anggukan pemuda itu. Beberapa detik tercipta suasana hening diantara mereka. Tak lama kemudian, Hiro mulai membuka suaranya, "Tetapi ini bukan hal yang serius." Gadis disampingnya bergumam setelah mendengar kalimatnya.
Bekas sabetan pedang pada alis kiriku yang menyebabkan pisahnya kumpulan bulu-bulu halus menjadi dua bagian ini langsung menjadi topik pembicaraan di lingkungan sekolah. Semua siswa menduga bahwa hal ini disebabkan oleh pertikaian ku dengan sensei Daichi. Memang kuakui bahwa pelatihan kemarin benar-benar membuatku tak lemas berdaya. Namun itu sama sekali tak menimbulkan efek serius bagiku. Dia adalah satu-satunya guru yang berwatak keras dan egois, aku sangat membencinya. Wajar saja jika seluruh siswa menduga penyebab luka ku ini adalah ulah perseteruanku dengannya.
Seperti biasa. Terdengar suasana ramai di ruang kelas 2-A. Suara Sato terdengar samar-samar dari sini. "Tasukete... Beri aku semangat hidup", rengekannya pada salah seorang temannya. "Bagaimana bisa aku memberikanmu semangat hidup, jika aku sendiri tak mempunyai semangat hidup", kudengar suara Dante menyusul. Saat aku memasuki ruangan kelas itu, seketika tatapan mata Sato berubah menjadi serius dan ia menghampiriku dengan ekspresi wajah yang penasaran. "Benarkah gosip yang beredar itu? Alismu terluka karena sensei Daichi?", kelas tampak sunyi mendengarkan perbincangan kami. "Tidak. Gosip itu tidak benar. Hal ini bukan karena dia. Jangan khawatirkan aku, Sato. Aku baik-baik saja", aku menjawab dengan santai lalu berjalan kearah bangku ku.
*Tasukete=Tolong*
Namun seketika Sato menghentikan langkahku dengan mengcengkram bahu kiriku. Nafasku tertahan secara spontan mengumpat rasa nyeri yang menjalar itu. Segera ku lepaskan cengkraman tangannya lalu berbalik untuk mendengarkan dia berbicara. Dapat kulihat dengan jelas luapan kekecewaan dari tatapan matanya. "Berhentilah bersikap seperti itu, Dai Akihiro!", nada tingginya membuat image yang berbeda dari biasanya. Mataku melebar menyadari bahwa ia telah membentakku. "Tentu aku mengkhawatirkanmu! Selalu mengkhawatirkanmu setiap kau berkata 'jangan khawatirkan aku.' Bukankah aku sahabatmu?! Lalu apa gunanya sahabat jika tak dapat mendengar keluh kesahmu. Apa gunanya sahabat jika tak dapat mendengar suara hatimu. Berhentilah bersikap seperti itu. Berhentilah mengatakan bahwa kau baik-baik saja. Kau punya aku. Kau punya kami yang bersedia membantumu. Kau tidak sendirian, Hiro." Perkataannya itu.... seakan-akan telah menyadarkanku dari sebuah ilusi. Namun sayangnya ia tak mengetahui apapun yang sebenarnya terjadi pada kehidupanku. Sehingga membuatnya mudah untuk mengatakan semua kalimat itu. Andai saja dia mengetahui bahwa aku adalah monster, apakah dia akan berada disisiku? Tetapi dia benar bahwa aku mempunyai teman-teman yang sangat peduli padaku. Aku menyentuh kedua pundaknya lalu berkata padanya, "Terimakasih, Sato." "Jangan pernah melupakan perkataanku. Aku akan selalu ada untukmu melebihi siapapun itu", kudengar darinya. Kurasakan ia mengelus kasar kepalaku. Aku menghembuskan nafasku yang sedari tadi tertahan itu. Terlihat senyuman yang dipaksakan olehnya. Perkataan Sato itu terngiang-ngiang olehku selama jam belajar, terus berdengung. "Aku akan selalu ada untukmu melebihi siapapun itu."
"A-apa yang sedang kau bicarakan ini, Hiro?" Aku tak tau harus memulai dari mana. Entah apa yang tengah kupikirkan saat ini. Aku menceritakan semuanya pada Sato, semuanya. Tentang jati diriku, istanaku, bangsa vampir, rasa sakit ini, portal, rumah itu, semuanya. Apapun yang terjadi selanjutnya, aku telah memutuskan untuk mempercayai Sato. Kulihat ia tak dapat berkata-kata selama aku berbicara. Aku dapat melihat ekspresi ketakutan, ketidakpercayaan, keraguan, kekhawatiran, kebimbangan. Kini, telat untukku menyesali semua yang telah kukatakan pada pemuda berkacamata ini. Setelah aku menyelesaikan ceritaku, lalu kami berdua hanya berdiri mematung di belakang sekolah yang sepi di siang itu. Tanpa suara. Dapat kutebak dengan pasti perasaanya kali ini. Dia menunduk dengan perasaan takut yang menyelimuti hatinya. "Jadi, itulah yang membuat kulitku begitu pucat dibandingkan dengan orang Jepang lainnya." Aku terdiam sejenak lalu berkata, "Apakah kau tak mempercayaiku?" "A-aku percaya", jawabnya dengan nada gemetar. "Lalu? Mengapa kau tak mengatakan itu sambil memandang kearahku?", tanyaku. "A-aku hanya.... Aku h-hanya takut", penutupan yang sungguh memilukan hatiku. Lebih parah lagi, kalimat itu diucapkan oleh sahabatku sendiri. Kemudian, dia meninggalkanku seorang diri disini setelah ia mengucapkannya. Kulihat sosoknya yang berlari terbirit-birit. Nafasku tercekat mengetahui kenyataan ini.
Selama pelajaran berlangsung. Pemuda berkacamata itu tak sekalipun menoleh kearahku. Kina juga bersikap canggung pada diriku. Mungkin ia masih terbayang-bayang akan rayuan Saki semalam. Suasana seperti ini mungkin akan berlangsung hingga beberapa hari kedepan. Selama istirahat berlangsung, aku memutuskan untuk berdiam diri di ruang perpustakaan. Suasana yang sepi dapat menenangkan pikiranku. Untuk saat ini, aku tak mau memikirkan sesuatu yang telah terjadi ataupun yang akan terjadi nanti. Jika aku terus memikirkannya, tak lama lagi aku akan menjadi gila. Sebenarnya apa yang Sato pikirkan? Kenapa ia melakukan semua ini padaku, pada sahabatnya sendiri? Bukankah ia akan berada disampingku? Bukankah ia akan mempercayaiku? Kemanakah semua pernyataannya itu pergi? Apakah manusia memang seperti itu?
Belum ada seseorang yang memasuki ruangan ini. Belum ada seseorang yang masuk untuk menyelamatkan kami. Ada dua dugaan yang memenuhi benakku. Pihak istana masih belum mengetahui bahwa aku telah diculik, atau mereka tengah kesulitan untuk menyelinap ke wilayah Kerajaan Vampir Souka ini. Saat ini, di ruangan ini, sangat sepi dan sunyi. Sampai-sampai terdengar suara detak jam dari sisi luar ruangan. Aku sudah muak dengan semuanya. Tanpa pikir panjang, aku segera bangkit dan menuju kearah pintu besi itu dengan langkah cepat. "Apa yang akan kau lakukan?", suara Dake terdengar parau.
"Kita tak boleh berdiam diri saja seperti ini. Aku tak terima dengan semua perlakuan mereka", aku memukul-mukul keras pintu ini berulang kali berusaha agar seseorang diluar datang keruangan pengap ini. "Siapapun disana! Cepat buka pintunya! Katakan apa mau kalian!", semakin lama aku memukul benda padat ini, semakin kurasakan sakit pada kepalan tanganku. Merasa kesal dengan tidak adanya respon, kutendang pintu ini sebagai penutupan atas kemarahanku. "Apa masalah mereka pada kita berdua? Vampir Chizu tak pernah berbuat apapun pada bangsa Vampir Souka", aku menoleh kearah Dake.
"Hiro, memang benar kita tidak pernah punya masalah dengan mereka, tetapi mereka yang punya masalah dengan kita. Dengan kata lain, kita digunakan sebagai umpan didalam perang dingin ini." Kalimat terakhirnya membuat adanya aliran listrik menuju langsung ke hatiku. "U-umpan....? Berani sekali mereka menjadikanku sebagai umpan!", kutendang pintu ini beberapa kali lagi. Dake hanya duduk sambil memeluk lutut disudut ruangan, ketakutan. Semakin lama, suara berisik ini bergema menyusuri sudut-sudut ruangan.
Aku terduduk sambil melamun memandang jauh kedepan. Tiba-tiba kurasakan seseorang mencium pipiku. Aku tersentak dan mendapati bahwa Saki yang melakukannya. "Apa kau gila?!" Perilakunya itu sungguh membuatku naik pitam. "Hei, aku telah memanggilmu berulang kali, pemuda tampan. Tetapi kau tetap tak mendengarkanku. Lalu apakah aku salah kalau melakukan itu untuk menyadarkanmu dari lamunanmu itu?", nadanya menunjukkan bahwa ia tak menyesali perbuatannya. Merasa malas untuk melayani sikapnya, aku mendorongnya menjauh, lalu aku bangkit dari posisi dudukku. Aku segera berjalan keluar meninggalkannya. Di lorong kelas, aku melihat Sato dan Yumi yang berjalan kearahku. Mereka tampak tengah berbincang-bincang. Saat Sato menyadari keberadaanku, ia memalingkan tatapan matanya kearah bawah. Terlihat tatapan ketakutan dimata itu. Lalu ia dengan segera merubah haluan langkahnya menjauhiku meninggalkan Yumi dibelakang. Dengan segera pula aku mengejar langkahnya yang cepat. Yumi membujuk Sato untuk menghentikan langkahnya karena dilihatnya aku yang tengah mengejar mereka berdua dari arah belakang. Namun pemuda itu tak menghentikan langkahnya sedikitpun.
Pada akhirnya, aku menghentikan langkahku tanda menyerah. Memberikannya waktu untuk sendiri. Sebenarnya masih banyak hal lagi yang ingin kukatakan padanya. Namun saat ini, aku hanya bisa memandangnya dari kejauhan. Beberapa detik kemudian, kulihat ia seketika menghentikan langkahnya lalu berbalik memandangku. Terlihat tatapan mata yang seakan-akan ingin mengatakan sesuatu padaku. Segera kulontarkan senyumanku padanya lalu ku berbalik untuk menuju ruang kelas. Tiba-tiba kurasakan seseorang menyentuh lengan kananku. Entah apa yang tengah pemuda ini pikirkan. Beberapa menit yang lalu, ia mengacuhkanku, seakan-akan tak memperdulikanku. Namun sekarang, ia mengejarku untuk menghentikan langkahku. Hanya bertahan selama beberapa detik tatapan itu memandang langsung kearah kedua mata hitamku. Selebihnya, ia mengalihkan pandangannya kearah lain. "Kau tak sendirian, Hiro", kudengar darinya.
Jam sekolah telah usai. Terasa begitu cepat hari ini. Mungkin karena tidak ada hal-hal yang istimewa terjadi. Aku pun masih membiarkan Kina berdiam diri selama jam belajar. Masih bingung akan menjelaskan dari mana padanya tentang sikap Saki semalam. Iapun masih belum menanyakan sehubungan dengan hal itu kepadaku. Akhirnya aku memutuskan untuk membiarkannya terlebih dahulu untuk saat ini sampai ia mengatakan sesuatu padaku. Sato pun masih bersikap dingin padaku walaupun telah ada perbincangan singkat diantara kita. Suasana seperti ini seakan-akan membuat kita tak pernah saling mengenal sebelumnya. Tampak canggung dan terasa semakin jauh hubungan persahabatan yang sudah kita lewati selama ini. Dalam langkahku, pikiranku berterbangan tak berarah. Beberapa menit kemudian, bola mataku tertuju pada gadis yang berjalan dengan wajah lusuhnya. Aku melihat Kina yang berjalan pulang seorang diri. Kulihat ia melangkahkan kakinya dengan tak bersemangat. Dia bahkan tak memandangku walau hanya sekejab dan berlalu melintas didepanku begitu saja. Seolah-olah ia tak mengenaliku sebelumnya. Kuputuskan untuk menyapanya terlebih dahulu, "Kina, mau pulang bersama?" Gadis itu hanya menggeleng sebagai jawabannya lagi lagi tanpa memandangku. Kina melewatiku dengan ekspresi yang datar. Lalu kutersenyum kecil melihat sikap dinginnya itu. "Apakah kau sanggup terlepas dari pesonaku? Mari kita lihat."
Sesaat kemudian, kulihat Sato datang dengan menuntun sepedanya. Sikap pemuda ini masih sama seperti sebelumnya. Ia melewatiku dengan melirik sekilas kearahku yang tengah berdiri di pintu gerbang. "Kau tidak mengantar Kina pulang? Dia baru saja lewat." Perkataanku membuatnya menghentikan langkahnya. Kulihat dia menggeleng lalu berkata, "Kina tidak mau kuantar lagi sejak saat itu." Tak sekalipun ia menatap kedua mataku saat ia berbicara. Ia terus menatap kearah depan dan sesekali menunduk. Aku tak dapat mengatakan apa-apa saat ini. Aku hanya bergumam pelan lalu kuputuskan untuk berjalan pulang. Namun beberapa saat kemudian, kudengar langkahnya mengikutiku dari belakang. "Ayo naik", ajaknya. "Bukankah kau takut padaku?", kulihat ia yang tengah berjalan mengimbangi langkahku dengan menuntun sepedanya.
"Benar. Aku takut. Aku takut sekali padamu. Namun aku akan berusaha untuk melatih diriku untuk menerima semua kenyataan ini", ia memandangku sesaat. Kulihat ia menatap kedua mataku dengan tatapan yang seperti biasanya. Lalu tatapannya turun dan memandang kearah bahu kiriku. "Untuk sementara ini, kau bisa mengambil cuti kerja. Aku yang akan mengijinkannya untukmu. Kedai itu kan milik pamanku." "Terimakasih", jawabku singkat. Aku segera duduk dibelakang sepedanya. "Percayalah padaku. Aku tak akan menceritakan hal ini pada siapapun. Termasuk Kina." Setelah ia mengatakan itu, kudengar ia menghela nafas panjangnya. "Aku percaya padamu, Sato. Aku percaya sejak pertama kali kita bertemu", sahutku. "Mulai saat ini, jangan ragu untuk menceritakan masalahmu padaku. Aku akan membantumu semampuku. Aku janji."