"Hiro, seseorang ingin bertemu denganmu", seru salah satu teman kerjanya sambil menunjuk ke arah salah satu meja disana. Hiro memutar pandangannya ke arah meja itu. Terlihat seseorang yang tengah melambaikan tangan padanya dengan senyuman dibibirnya. Ia segera menghampiri meja tersebut saat mengetahui orang itu adalah Sato. "Sato, ada apa mencariku?", ia segera duduk didepan kursi sahabatnya. Sehingga membuat mereka duduk berhadapan. "Aku bingung harus berbuat apa. Mungkin hanya kau yang pantas kuberitau karena kau adalah sahabatku. Aku yakin bahwa kau telah mengetahui hal ini dan berhentilah dengan sengaja untuk membuat hatiku semakin tergores lagi", Hiro dapat menerka arah pembicaraan Sato itu. Suara Sato perlahan terasa berat. "Aku menyukainya, Hiro. Aku menyukai Kina. Aku menyukai gadis yang telah menaruh hatinya padamu."
Hening sesaat antar aku dan Sato. Aku menatapnya dengan ekpresi datar. Sesaat kemudian, kupaksakan sebuah senyuman kecil dan mulai membuka mulutku, "Siapa yang dapat menyangka kalau kita menyukai gadis yang sama." "Benar." Hening sesaat diantara Kita. Lalu tak lama kemudian Sato berkata lagi, "Aku tak tau apa yang harus kulakukan. Jujur kuakui, aku tidak mau persahabatan ini hancur hanya karena seorang wanita. Mungkin aku akan mencoba membuang jauh-jauh perasaanku demi persahabatan ini. Lagipula aku telah mengetahui bahwa Kina sebenarnya adalah adik tiriku. Dia bahkan belum mengetahui tentang hal ini." Aku tak dapat berkata apa-apa setelah mendengar pernyataannya. Kini aku dapat melihat sosok Sato yang menunduk menatap meja. Pemuda yang bijak dan terus mencoba menghibur dirinya sendiri. Sosoknya saat ini sangat berbeda dengan hari-hari biasanya. Pemuda dengan ciri khas leluconnya dan keceriaannya, penuh dengan canda tawa, kini ia duduk didepanku dengan raut wajah yang entah bagaimana harus dijelaskan. "Aku sendiri juga tak tau harus berbuat apa, Sato." Aku takut... mungkin aku takut akan sesuatu hal yang sangat sulit untuk kujelaskan padanya bahwa aku adalah vampir. Tidak pernah ada didalam sejarah tentang percintaan antara anak manusia dan sesosok vampir.
"Hiro_kun, tolong bersihkan meja nomor 5", pinta salah satu teman kerjanya. Hiro pun mengiyakan dari kejauhan. "Oke, sepertinya sampai di sini percakapan kita", Sato menepuk bahu Hiro dan beranjak berdiri. Hiro pun menuju ke meja nomor 5 untuk membersihkannya. Pikirannya kini tertuju pada pembicaraannya dengan Sato beberapa detik yang lalu. Ia telah berusaha untuk tak terkejut akan pengakuan pemuda berkacamata itu. Sesaat ia berjongkok untuk membersihkan bawah meja, sebuah pisau yang berada diatas meja itu terjatuh dan menggores lengannya yang pucat. "Hiro_kun! Daijoubu?!", seruan pegawai kedai pun membuat tubuh Sato yang berada diambang pintu membalikkan badannya. Sato melihat Hiro yang tengah mencengkeram lengan kanannya dengan erat. Beberapa pegawai pun menghampiri Hiro yang tengah berlutut itu.
Sato segera masuk kembali ke kedai dan berlari kearah Hiro yang tengah duduk bersimpuh disamping meja. Sato mendapati ekspresi datar dari wajah Hiro. Terlihat seperti orang yang tak merasakan kesakitan sedikitpun. "Hiro, biarkan aku memeriksa lukamu", Sato berusaha melihat luka sahabatnya, namun Hiro segera menghindar dan berlari ke arah kamar mandi.
Di dalam kamar mandi, Hiro perlahan membuka genggaman tangannya pada lengannya. Ia melihat bayangan dirinya dicermin yang berada tepat dihadapannya. Pisau itu telah merobek kulitnya lumayan lebar. Namun tak ada sedikitpun bercak darah yang terlihat disana. Ia pun membasuh luka itu dengan air mengalir dari kran. Lalu ia segera membalutnya dengan tisu yang telah tersedia di ruangan itu. Sesaat kemudian, ia telah menduga bahwa akan ada beberapa orang yang tengah menantinya diluar. "Bagaimana dengan lukamu?", beberapa pegawai bertanya padanya. Dan tentu saja Sato menghawatirkan keadaannya juga. "Lukanya..... sakit sekali. Untunglah aku tak kehilangan banyak darah dan segera membalutnya." Hiro memasang wajah kesakitan seolah-olah ia benar-benar merasakan rasa sakit itu.
Terlihat siluet seseorang yang berjalan diantara pertokoan itu. Matahari nyaris tenggelam saat toko-toko itu ditutup. Masih terlihat sisa keberadaan matahari dengan cahaya jingganya yang anggun. Pemuda itu pulang terlambat tak seperti biasanya. Sudah tak ada tanda-tanda kehidupan lagi di sekitar pertokoan itu. Lampu-lampu jalan pun satu per satu mulai dihidupkan. Ia berjalan didalam kesunyiannya.
"Sialnya... Ternyata tak ada keringanan sedikitpun untuk pegawai yang tengah terluka ini. Kuakui, meskipun aku terluka, itu sama sekali tak menghambatku dalam mengerjakan tugas piketku." Terlihat senyuman kecil disudut bibir pemuda itu. Ia tampak tengah melepaskan gulungan tisu yang membungkus lukanya itu sedari tadi. "Sepertinya aku butuh minum... Aku haus. Tetapi dimana aku bisa mendapatkannya?", pemuda itu tampak mengamati sekitar. Akhirnya ia mendapati sebuah mesin minuman otomatis diujung jalan dekat dengan tempatnya berdiri.
Sesampainya didepan mesin minuman itu, ia segera mengambil uang koin pada saku celananya lalu dimasukkannya koin itu pada lubang yang disediakan. Saat ia meneguk minuman kalengnya, ia merasakan keanehan pada rasa air itu. Lalu diamatinya nama merk minuman itu. Tak seperti biasanya, rasanya berbeda. Ia meneguk untuk kedua kalinya. Rasa minuman itu semakin lama semakin aneh ketika menyentuk pangkal lidahnya. Dan ia semakin merasa haus walau telah berkali-kali meminumnya. Lalu dilirik olehnya masa periode yang tercantum dibawah kaleng. Masa berlakunya masih layak untuk beberapa bulan kedepan. Tak lama kemudian, seketika ia merasakan panas disekujur tubuhnya. Minuman kaleng yang digenggamnya itupun terjatuh. Perlahan ia mengamati kedua telapak tangannya. "Tidak mungkin...." Dengan gerakan cepat ia mengangkat pandangannya ke arah rembulan diatas sana. Ia melihat sinar bulan yang sangatlah terang serta bentuknya yang bundar sempurna dan lebih besar dari malam-malam sebelumnya. Itu tanda-tanda bulan purnama. Beberapa detik ia terpaku, tak menyangka bahwa tanggal hari ini adalah waktunya. Ia merasakan gigi taringnya yang perlahan tumbuh. Bola mata yang masih terpaku oleh cahaya bulan itu berubah warna menjadi merah tua. Keberadaan angin yang semula tiada, kini dengan perlahan meniup semakin kencang. Pangeran...
Di malam bulan purnama, aku mengundangmu ke labirin cinta, malam yang misterius
Tidak ada orang yang tahu siapa sebenarnya diriku, cinta yang misterius
Aku tidak bisa mengendalikan diriku, yang kulihat hanya dirimu
Aku tidak bisa bergerak, hanya ingin mendekapmu dalam tangan ini
Aku sang Vampir, cinta seperti ini Sangat Membakar! Membakar! seperti ledakan
Senyuman bertanya-tanya itu sangat manis, gadis yang misterius
Sikap terlalu tidak berdaya itu sangat disayangkan, mata yang misterius
Apa kau tidak berpikir bahwa tidak sekalipun aku punya taring?
Menutup mata, dan di saat itu berpikir apakah sudah terlambat bagiku untuk takdir pertemuan kita?
Aku sang Vampir, kau sang target
Aku sang Vampir, cintaku berbahaya
Subuh telah datang, matahari berubah menjadi mimpimu
Aku sang Vampir
Aku sang Vampir
(Translation song of: Hey! Say! JUMP_Boku wa Vampir)
Tiba-tiba sesuatu menyilaukan matanya dan memaksanya untuk memejamkan matanya sejenak. Entah cahaya apa itu. Tiba-tiba, terdengar dari kejauhan suara serigala yang tengah menunjukkan kegagahannya. Hiro menoleh kearah sumber suara itu dengan tatapan yang ganas. Sigap ia berlari kesisi hutan. Mencari asal datangnya suara itu. Nafsu hausnya kini mulai membutakan mata hatinya. Ia menabrak apa saja yang menghalangi jalannya. Pohon-pohon menjadi tubang dan patah. Lalu terdengar riuh burung-burung yang berterbangan dimana-mana ketika vampir itu melintas. Suara auman harimau yang bersahutan membuat Hiro menjadi bimbang. Apa yang harus ia santap terlebih dahulu sebagai hidangan pembuka? Larinya semakin kencang saat melihat seekor serigala beberapa meter didepannya. Dengan beberapa balasan dari serigala itu, akhirnya Hiro dapat melumpuhkannya dengan menancapkan taring tajam pada nadi leher serigala. Ia masih butuh tiga atau lima mangsa lagi untuk memuaskan dahaganya.
Satu per satu hewan telah menjadi korban kebuasan seorang Dai Akihiro. Namun pertarungan tak berakhir dengan mudahnya. Ia diserbu oleh sekawanan serigala dari arah depan, belakang, dan samping. Kuku-kuku tajam mereka berhasil merobek kulit pucat vampir itu. Kemeja yang Hiro kenakan kini tak dapat disebut sebagai kemeja lagi. Warnanya kini telah bercampur darah segar dari mangsanya dan cakaran mereka. Bibirnya terwarnai oleh merahnya darah. Seketika terlihat senyuman kecil disudut bibirnya. Lengan dan badannya penuh luka cakar dari perlawanan hewan-hewan buas. Pipi kanannya pun tak luput dari cakaran salah satu hewan liar itu. Beberapa menit kemudian, terasa sunyi. Beberapa dari mereka mengalah lalu melarikan diri atas keganasan vampir yang haus darah itu. Ia menunjukkan siapa sebenarnya raja hutan.
"Si-siapa disana?!", terdengar suara lelaki oleh telinga Hiro dari sisi belakang punggungnya. Hiro masih belum membalikkan badannya. Ia masih belum sadar dari nafsu kerakusannya yang telah mengambil akal sehatnya. "Syukurlah, anak muda, Tolong aku... Tolong aku.. Aku tersesat... Sedari tadi aku dikejar-kejar oleh seekor serigala...", terdengar nafas yang tersendat-sendat dari lelaki paruh baya itu. Hiro dengan perlahan menoleh lalu terlihat kilauan cahaya merah di ekor matanya oleh lelaki itu. Laki-laki paruh baya itupun terkejut dan hendak berlari secepatnya. Namun kakinya terasa membeku lalu tubuhnya terhuyung dan terjatuh. Entah, saat ini lelaki itu tampak seperti sosok apakah dimata Hiro. Yang pasti, Hiro masih dibutakan akan kebuasannya. Hiro menghampiri lelaki itu dengan langkah yang sigap dan pasti.
Terlihat jelas senyuman menyeringai dari bibir Hiro. Bayangan pepohonan yang masih menutupi wajah pucat Hiro, membuat lelaki itu ingin melarikan diri secepatnya. Namun sebelum ia dapat bangkit berdiri, Hiro duduk berlutut dihadapannya. Lalu ia menindih kuat dada lelaki itu. Darah segar dari mulut Hiro menetes dan menodai baju lelaki itu. "Tolong jangan bunuh aku....", lelaki itu mencoba melepaskan cekraman yang kuat. "Aku... tak akan membunuhmu... Namun akan kuberitau bagaimana rasa sakit dari gigitanku...", suara Hiro terdengar lebih berat dari biasanya. Lalu, ia mulai membuka mulutnya dan menunjukkan gigi taringnya yang tajam ke arah leher korbannya itu. "Hentikan... Pangeran..!!", muncul J, Y dan L tak jauh dibelakang Hiro. Seketika, ia teringat akan perbincangannya dengan ayahnya beberapa waktu yang lalu. "Kau bukan iblis, Hiro. Kau vampir." "Sama saja ayah. Kita sama-sama menyakiti." "Iblis, makhluk yang kejam dan tak memiliki perasaan untuk mengenali targetnya. Mereka dibutakan oleh ambisi. Sedangkan Vampir.... kau masih memiliki rasa kasihan bukan saat melihat mangsamu?"
"Aku…. vampir", bisik kecil Hiro dalam lamunannya. Dalam kesempatan yang sempit, lelaki itu berhasil melarikan diri dengan langkah yang terhuyung-huyung. Hiro mengepalkan tangan kanannya dan memukulkannya ke tanah yang dipijakinya. "Apa yang telah kuperbuat?? Bodoh!", ia menjerit sekuat tenaga untuk menghilangkan sesak didadanya. Suaranya yang menggema membuat burung-burung yang tengah terrtidur pulas itu berterbangan keluar dari pepohonan pada malam yang sunyi itu.
Entah telah berapa jam berlalu setelah kejadian menegangkan itu. Kini Hiro terbangun dari ketidaksadarannya. "Sssst... Lihat! Pangeran sudah sadar!", terdengar suara Y samar-samar. Kedua matanya masih tak dapat menyesuaikan dengan cahaya ruangan yang sangat terang itu. "Dimana aku?", Hiro masih membuka dan menutup kedua matanya berulang kali. "Pangeran! Pangeran.... amnesia!", kata L dengan kepanikannya. "Tenanglah... pangeran baik-baik saja. Dia hanya mengalami shock kecil dan luka-lukanya akan segera menutup dengan sendirinya.", J mulai bersuara. Hiro duduk dari posisi tidurnya. Pandangannya menjelajahi ruangan disekitarnya. Ia baru menyadari bahwa kini ia telah berada di ruangan yang hangat itu. Seketika dilihatnya tubuhnya yang penuh luka. "Apa yang terjadi?" Saat ini Hiro tak dapat mengingat apa yang telah terjadi sesaat sebelum ia tak sadarkan diri ditengah hutan itu. Ia hanya dapat mengingat seorang lelaki yang berlari dengan langkahnya yang tak beraturan. Pemuda itu pun kini merenggangkan tubuhnya yang terasa pegal. Tanda lahir yang berbentuk salib pada punggungnya itupun mengeluarkan cahaya birunya. Dirasakannya rasa dingin yang menjalar disekujur tubuh dan luka-luka pada tubuhnya itupun perlahan menutup seperti semula.
Terlihat Kina yang duduk dengan kesal di sofa dekat perapian. Berkali-kali ia terlihat tengah menghubungi nomor seseorang. Ia beranjak dari duduknya dan berjalan kesana kemari layaknya tengah menanti seseorang. Entah telah berapa kali ia memperhatikan jam yang bertengger didinding ruangan itu. Waktu telah menunjukkan tengah malam. "Bukankah seharusnya sekarang ayah sudah pulang..?" Saat ia akan kembali duduk, terdengar seseorang yang mengetuk pintu rumahnya. Iapun segera menuju pintu utama dan membukanya. Ia telah menduga bahwa seseorang yang mengetuk pintu itu adalah ayahnya. Kina telah menyiapkan seribu pertanyaan untuk ayahnya yang pulang sangat sangat sangat terlambat itu. Suara khas gesekan pintu yang dibuka itu terdengar.
Bukannya kemarahan yang dikeluarkan Kina, namun keterkejutan yang didapatinya ketika ia melihat ayahnya datang dengan kondisi yang mengenaskan. "Ayah?! Apa yang telah terjadi?!", Kina memapah tubuh ayahnya yang lemas dan berjalan kearah sofa didekat perapian. Lelaki paruh baya itu masih belum bersuara menambah kepanikan pada putrinya. Dilihatnya tatapan kosong yang tertera dimata ayahnya dan ekspresi yang ketakutan. Beberapa detik kemudian, ayahnya mulai membuka bibirnya yang mengering itu. "Iblis.....", bisikan kecil yang terdengar ditelinga Kina. "Iblis...??"
***
"Yang Mulia, sang pangeran kembali ke dunia manusia kemarin malam", kata sang pelayan saat menyambut kedatangan sang Raja malam itu. "Aku tau", jawab singkat sang Raja dengan ekspresi datar. "Siapkan pena, tinta, dan kertas. Aku ingin menulis surat ke seseorang tentang kembalinya Hiro ke dunia manusia", kata sang Raja saat memasuki istananya. Sesaat sang Raja hendak mencelupkan pena pada tinta hitam itu, salah satu lengannya seketika terasa panas. Tak lama kemudian, tersirat garis berwarna ungu pada permukaan kulit pucatnya. Rasa panas yang ia rasakan pada lengannya pun perlahan menghilang. "Hiro...", sang Raja menghela nafas panjang dengan tatapan jauh kedepan.
Disisi lain, penjaga istana tengah memberikan sebuah surat dari Raja Keiji, sahabatnya. "Dari istana?", seorang penjaga kerajaan itupun mengangguk pelan padanya. Beberapa menit kemudian, ia selesai membaca isi surat tersebut. "Ayah, kapan aku bisa bertemu dengan pemuda yang bernama Dai Akihiro itu?", Ruka menghampiri ayahnya yang duduk di ruang tamu. "Secepatnya, Ruka. Secepatnya.....", ayahnya mengelus pelan kepala putrinya. "Dia seperti apa ayah?", tanya Ruka dengan penasaran. "Hm... Dia seperti.... ayahnya", senyum ayah Ruka. Ruka tertawa mendengar jawaban ayahnya. "Pastilah. Tentu aku tau itu, ayah.....", tawa Ruka memecah keheningan senja. "Ayolah ayah, seperti apa parasnya?", Ruka menggoyang-goyangkan lengan ayahnya itu. Ayahnya hanya tersenyum kecil sambil melihat sampul luar surat yang dipegangnya. "Nanti kau akan melihat dan menilainya sendiri", ayah Ruka melepaskan genggaman tangan Ruka pada lengannya. Ruka berdecak lidah lalu berdiri dan berjalan ke arah tangga.
Sesampainya dianak tangga, Ruka membalikkan badannya dan berkata, "Kapan saat itu tiba, ayah?" Tuan Kazu menatap Ruka yang berdiri dianak tangga. Ayahnya tersenyum dan berkata, "Saat dia kembali." Lalu kemudian Ruka berlari pelan menaiki tangga. "Pangeran, aku akan menunggumu."
***
"Maaf Sato, kau tidak perlu menjemputku pagi ini", begitulah bunyi pesan singkat dari Kina yang masuk di ponselnya. "Baiklah", Sato bergumam kecil. Iapun memasukkan ponselnya kesaku celananya kembali. Ia segera menggayuh sepedanya yang sudah berada di luar garasi rumahnya. Iapun melewati gerbang rumahnya yang setengah terbuka itu. Digayuhnya sepedanya dengan kencang saat telah melewati gerbang. Tepat dipersimpangan jalan, terlihatnya berjalan seorang gadis yang sepertinya ia kenal. Namun Sato masih tak yakin siapa gadis itu. Lalu ia memperlambat sepedanya dan berusaha melihat wajah gadis itu. "Senpai?", Yumi menatap pemuda berkacamata itu. Sato pun menyadari itu adalah Yumi dan ia segera menghentikan sepedanya tepat didepan Yumi.
"Naiklah...", Sato memberi isyarat pada gadis itu. Yumi mengangguk cepat dan segera duduk dibelakang Sato. Tersirat senyuman kecil dibibir Yumi. Sepeda yang ia naiki kini mulai digayuh oleh Sato. Helaian rambut Yumi mulai tertiup angin. Ia merasakan begitu hangat didadanya pada musim dingin saat ini. Yumi menghela nafas panjang dan memandang punggung Sato yang berada didepannya. "Senpai...", gadis itu menatap helaian rambut Sato yang menari-nari dengan anggunnya diantara tiupan angin pagi. "Ada apa..? Kau tengah memandangiku bukan?", Sato tersenyum tanpa menoleh kearah belakang.
Tak jauh dari gerbang sekolah, Sato melihat Hiro dan Kina yang sedang berjalan beriringan. Terlihat senyuman yang tak pernah ia lihat dari wajah pucat Hiro sebelumnya. Seketika Sato merasa ada sesuatu yang mengganjal didadanya saat melihat mereka berdua berjalan bersama. Iapun memilih untuk meneruskan menggayuh sepedanya tanpa menyapa. Sato mulai menggayuh lebih kencang saat melewati mereka.
Beberapa menit yang lalu. "Bagaimana dengan Hiro?", ayah seketika menarik kursi disebelah meja makan tepat disampingku. Tampaknya kondisi ayah sudah lebih baik dan lebih tenang. Terlihat ayah yang telah siap dengan baju dinasnya. Sejenak kuberhenti melanjutkan aktifitas sarapanku lalu memandang ayah. "Kenapa tiba-tiba menanyakannya?", tanggapku singkat lalu kulanjutkan sarapanku lagi. "Apa dia sudah kembali?", lanjutnya. Aku hanya bergumam lalu mengangguk pelan. "Syukurlah..", kulihat ayah mulai menyantap sarapannya. "Luka-luka ayah sudah sembuh? Sebaiknya ayah beristirahat dulu untuk beberapa hari ini", usulku. "Luka seperti ini saja tak akan jadi masalah buat ayah. Yang terpenting saat ini, ayah sudah bisa berjalan", jawabnya dengan nada santainya. Saat ini ada yang membuatku penasaran sekali, namun ragu untuk kutanyakan pada ayah. Semakin lama semakin besar rasa keingintahuanku. Akhirnya kuputuskan untuk kukatakan langsung padanya dengan sedikit ragu dihati.
"Maksud ayah semalam apa?", ia tampak bergeming sejenak lalu tak lama kemudian, "Entah makhluk apa itu. Ayah diserang oleh monster. Wujudnya seperti manusia serigala. Ia memiliki taring dan kuku yang tajam serta warna kornea matanya yang merah tua. Tetapi... ia tampan sekali. Meskipun ayah tak melihatnya secara keseluruhan, ayah yakin bahwa ia memiliki wajah yang rupawan." Aku tertawa mendengar leluconnya. "Meskipun dia memiliki wajah yang rupawan, apakah ayah akan menjadikannya sebagai pacar Kina? Ayah terdengar seperti terlalu memujanya. Monster ya tetap saja monster", aku tak bisa mengendalikan tawaku. "Kalau dia adalah manusia, tentu akan kuminta dia menjadi pacarmu."
Ayah bersikap aneh sekali pagi ini. Seketika aku teringat akan suatu hal. Mengapa aku tidak memastikan sendiri kerumah Hiro? Mungkin saja kudapatkan jawaban dari keanehannya selama ini. Aku segera menghabiskan sarapanku yang tersisa dua suapan. "Ayah, aku berangkat dulu", kusegera bangkit lalu segera memakai sepatu bertaliku didekat pintu. "Apakah seperti ini budaya di Indonesia?", kalimat ayah sejenak membuatku menghentikan langkahku. Jarang sekali ayah menggunakan bahasa Indonesia padaku. Kecuali dengan ibu dan teman kerjanya di Jakarta.
"Ini bukan di Indonesia, ayah. Tetapi di Jepang", senyum nakalku pada ayah. Kulihat ayah pun tersenyum mendengar jawabanku. "Bukankah ini masih terlalu pagi?", ayah berkata lagi. Aku hanya menggeleng, lalu kulanjutkan untuk membuka daun pintu. Setelah aku menutup kembali pintu rumahku, kutiup-tiup kedua tanganku yang terkena tiupan angin yang dingin. Lalu kumasukkan kedua tanganku kedalam sarung tangan yang hangat. Tak lupa, syal yang telah melingkar dengan rapinya mengelilingi leherku. Sekitar tujuh menit kemudian, aku telah berdiri disamping pagar beton rumah Hiro.
Beberapa kali aku mengintip dari celah-celah gerbang besi itu, namun sosoknya belum juga terlihat dan belum ada yang mencurigakan sejauh ini. Mau berapa lama lagi aku berdiri membeku disini? Beberapa orang yang melintas memandangku dengan tatapan aneh. Aku berusaha seakan-akan tak terjadi apa-apa. Bisa jadi, nanti aku dituduh sebagai seorang penguntit. Bisa kacau nanti jadinya. Diujung penantianku, kuputuskan untuk meninggalkan misi ini dan mulai berjalan menuju sekolah.
Namun sialnya aku, beberapa langkah dari tempatku berdiri, salah satu tali sepatuku yang terlepas dan terinjak oleh kakiku sendiri. Mungkin karena tadi aku terburu-buru saat menalikannya. Aku terjatuh dan tentu saja lutut dan lenganku terasa sakit saat menompang tubuhku. Kuberusaha berdiri dan menahan rasa sakit yang tak berarti ini. Diantara rasa sakit yang kurasakan, kulihat sesuatu yang berkilau di tanah. Suatu benda yang berkilauan. Kucoba meraih benda itu dan membersihkannya dari debu. Terlihat sebuah serpihan berlian yang jika dilihat dari sudut yang berbeda maka nampak warna yang berbeda pula dipantulkannya, seperti pecahan dari prisma. "Apa ini?", gumamku dalam hati sambil memutar-mutar benda mungil itu.
Kumasih dapat melihat dari kejauhan, pintu tua itu yang masih tertutup rapat. Namun seketika, pintu itu perlahan terbuka, dan aku segera mengambil posisiku seperti semula, bersembunyi dibalik dinding beton ini. Tak lupa pula, kumasukkan benda itu ke saku rompi ku. Si penghuni rumah itupun keluar dengan perlengkapan seragam yang lengkap seperti biasanya. Seketika, daun-daun pepohonan yang semula tenang itu mulai melambai-lambai. Seakan-akan mereka memberikan salam pada pemuda itu. Kulihat pemuda itu masih berdiri didepan pintu rumahnya. Bersamaan dengan kehadiran Hiro, suasana disana seketika berubah menjadi asri dengan kicauan burung yang mulai terdengar. Dan suara gemerisik dedaunan yang tertiup angin pun mulai terdengar lebih riuh tetapi meneduhkan. Berbeda seperti yang kualami dengan Sato kemarin.
Entah apa yang ada dipikiranku saat itu. Kulihat ia tengah memakai topi yang sering dikenakannya. Tiba-tiba, mataku terasa panas. Entah telah berapa menit aku tidak berkedip ketika memandanginya dari kejahuan. Diantara kesunyian, pemuda itu seakan tau akan keberadaanku. Lalu ia menyebut namaku dan spontan memandang kearahku dibalik beton pagar ini. Kusegera mundur selangkah dan merapat ke tembok ini. "Kina? kau disana?", suara langkah kakinya semakin mendekat menghampiriku. Bagaimana ia bisa mengetahui keberadaanku. Saat ini aku tak tau harus berbuat apa. Rasanya seperti pencuri yang tertangkap basah. Tak lama kemudian, terdengar decitan gerbang yang terbuka. "Kina?", waktu yang kuduga kini telah tiba. Dia tengah berdiri di depan gerbang dengan ekspresi yang bertanya-tanya.
Aku berusaha mengatur detak jantungku. Kulihat ia tetap menatapku dengan ekspresi bingungnya. Aku memutar bola mataku untuk mencari ide. "A-aku.... kebetulan lewat sini, lalu melihatmu keluar dari rumahmu..... Sekalian saja aku mampir sebentar", hening sejenak diantara kita. "Hmmm... Begitu....", akhirnya ia membuka mulutnya seakan akan berpura-pura tidak tahu. "Kalau begitu.... Ayo berangkat!", Hiro memberi isyarat untuk melanjutkan perjalanan ke sekolah. Kulihat ia tersenyum simpul padaku. Senyumannya terlihat semakin hangat dari hari ke hari. Dan aku sangat menyukai itu. Disepanjang perjalanan yang singkat ini, terasa begitu canggung diantara kami. Nyaris tak ada satu patah katapun yang keluar dari kita berdua. Itu membuatku jadi salah tingkah. "Hiro, apakah salah satu orang tuamu adalah bangsa Eropa?", pertanyaan anehku keluar tanpa kuduga. Pemuda disampingku ini hanya bergumam lalu mengangguk. "Kenapa?" "Hanya saja kulitmu terlihat lebih putih dan pucat dari orang lain dan….. siapa yang menyangka, bahwa kini aku sekelas denganmu." "Berawal dari pertemuan pagi itu", terlihat senyuman kecil disudut bibirnya. Ia tengah menghela nafas panjangnya. Aku tak tau harus berkata apa selain hanya tersenyum kecil mendengarnya.
Datanglah nyatakanlah cintamu
Katakan bahwa kau menginginkan diriku
Datanglah bawalah bunga-bunga
Agar kau dapat membuat diriku terbang
Song by: @Derby Romero_Gelora Asmara
Kali ini Hiro tampak lebih menyenangkan. Berbeda jauh dari awal-awal saat kami baru saja kenal. Namun, ia tampak enggan untuk meneruskan pembicaraan saat topik pembicaraan mulai mengarah ke hal-hal yang bersifat pribadi. Bagiku itu bukanlah sebuah masalah yang berarti bagiku. Sebatas ini, aku hanya ingin berteman dengannya. Hal itu sudah cukup membuatku senang. Beberapa langkah lagi, kita akan sampai di depan gerbang sekolah. Masih tertera senyuman diwajahku dan wajah Hiro. Lalu seketika kuteringat akan serpihan berlian yang kutemukan pagi ini. Aku meraih lengannya untuk menghentikan langkahnya. Seketika itu ia menoleh ke arahku. "Hiro... Ini...", aku mencoba meraih benda itu di saku rompiku. Dia tampak melihat kearah saku ku dengan penasaran. Saat benda itu kuraih, datanglah beberapa siswa dengan memangil-manggil namanya dan berlari ke arah kami. Siswa-siswa perempuan itu mengelilingi Hiro yang berdiri dihadapanku. Salah seorang dari mereka mendorong tubuhku dengan keras kearah samping, menjauh. Hiro memandang kearahku. Satu detik.... Dua detik.... Bahkan sampai detik ketiga ia masih termangu melihatku yang terbuang jauh. Lalu kemudian kuputuskan untuk berjalan meninggalkan mereka. Namun seketika Hiro berkata dengan nada tingginya, "Siapa tadi yang beraninya mendorong Kina?! Siapa?!" Ini pertama kalinya kudengar nada tinggi darinya. Siswi-siswi itu terdiam tidak ada yang mengaku. Tak lama Kemudian, pemuda itu berjalan menuju kearahku. "Jadi diantara kalian tidak ada yang mengaku....?", lanjutnya. "Kenapa kau sangat memperdulikannya, Hiro_kun? Apa artinya dia bagimu?", tanya mereka dengan ekspresi masam. "A-arti Kina bagiku..... Arti.... Kina bagiku... Dia....", tampak kebingungan diwajah pemuda ini. Perlahan tapi pasti hal itu telah mengecewakanku.
"Hiro_kun, kudengar kemarin kau terkena pisau. Benarkah itu?", salah satu siswi bertanya padanya. "Pisau? Kenapa Hiro tidak menceritakannya padaku?" Baru kupelajari suatu hal darinya. Predikat teman tidak semudah itu didapatkan. Seorang teman setidaknya memiliki tempat khusus yang mampu menampung sebuah kepercayaan dan untuk mendapat sebuah kepercayaan dibutuhkan sesuatu yang penting. Sedangkan aku, aku telah diam-diam menyelinap kerumahnya dan telah berbohong padanya.
"Kina_chan, selamat pagi", setibaku di dalam kelas. Salah satu temanku memukul lenganku dengan keras. Aku meringis kesakitan. "Maaf Kina", wajahnya tampak menyesal saat menyadari ekspresi kesakitanku. Aku memaksakan seulas senyumku dan melanjutkan langkahku ke arah mejaku. "Kudengar kemarin Hiro terkena pisau", ia seketika duduk di kursi sebelahku. "Dari mana kau tau?", aku berekspresi datar. "Tadi pagi Sato memberi tau salah satu temannya. Seketika itu, dengan cepat berita itu meluas dikalangan murid perempuan", lanjutnya. Aku memutar kembali ingatanku. "Saat aku berjalan dengannya.... Aku tak melihat bekas luka ataupun perban yang melingkar pada lengannya. Lalu bagaimana itu bisa terjadi? Apakah dia benar-benar terluka?"
Beberapa menit kemudian, pemuda yang menjadi topik utama perbincangan pagi ini memasuki kelas. Dengan senyumannya yang mengembang, ia menyapa seisi kelas. "Hiro_kun! Kau tidak apa-apa?", kalimat itu yang berkali-kali dilontarkan padanya. Hiro hanya tersenyum dan mengangguk pasti. Ia segera menarik kursi disebelah Kina duduk. "Kenapa kau terlihat begitu senang?", tanya Kina ketus. "Kenapa kau tidak menikmati senyumanku saja?", kalimat Hiro membuat gadis itu mengerutkan kedua alisnya. "Menikmati??"
Bel masuk telah berdering. Saat pelajaran berlangsung, Hiro kembali seperti biasanya. Penuh konsentrasi dan begitu serius. Namun, beberapa detik kemudian, Kina mencium aroma amis darah. Dan itu membuatnya sedikit mual. "Kenapa?", bisik kecil Hiro tanpa menoleh kearah Kina. Kina menggeleng dan berkata, "Tidak... Tidak apa apa." Ia berusaha menahan rasa mualnya selama jam pelajaran berlangsung. "Kau bersikap aneh, Kina", lirik Hiro pada gadis itu. Seketika ia teringat akan suatu hal. "Apakah ini efek dari pembantaianku semalam... Apakah hanya Kina yang dapat merasakannya?", kata hatinya berkata. Kekhawatirannya mulai berkecambuk didalam dadanya.
Pelajaran untuk pagi ini telah usai sementara dan kini waktunya untuk makan siang. Hampir setiap hari, ruangan kantin tampak penuh dengan siswa yang tengah makan ataupun hanya sekedar membeli minuman. "Kina, ayo ke kantin", ajak salah satu siswi dari kelas sebelah. Kina segera mengangguk dan merapikan buku-buku diatas mejanya. Ruangan kelas tampak kosong siang itu. Beberapa langkah saat ia melewati pintu kelasnya, dilihatnya sosok Hiro yang berjalan seorang diri beberapa meter didepannya. Seketika, pemuda itu menoleh kearah Kina. Gadis itu dapat melihat pemuda pucat itu yang tengah tersenyum padanya lalu berjalan menghampirinya. "Apa?", tanya Kina dingin. Hiro tampak tengah berdehem lalu berkata pada teman Kina. "Bolehkah aku meminjam Kina untuk menemaniku makan siang?", Hiro berkata sangat sopan dengan diiringi senyuman khasnya. Sebuah senyuman yang berkali-kali berhasil meluluhkan hati siapa saja.
"Tentu", jawab teman Kina yang tampak tertegun dan memandangi sosok Hiro tanpa berkedip. Kina seketika terkejut mendengar respon temannya itu. Kemudian, Hiro segera menggapai tangan Kina lalu dirasakan tangannya yang ditarik oleh pemuda itu. "Tunggu", Kina menghambat langkahnya dan berusaha melepaskan genggaman tangan Hiro. "berisik...", senyuman manis pemuda itu terlihat lagi.
"Hiro..!", Sato tampak berlari-lari dari kejauhan menghampiri mereka. Seketika itu, Kina melepaskan genggaman tangan Hiro. "Ada apa?", jawab enteng Hiro saat melihat sahabatnya itu. "Sensei Fujikawa tengah mencarimu."
Pagi ini, aku dan Kina berjalan bersama ke sekolah. Entah apa tujuan Kina mendatangiku. Tetapi suara pepohonan pagi itu memberitahuku. Mereka sangat setia padaku, semua yang terjadi disekitar rumah segera disampaikan. Sebenarnya, aku pun tak tertarik untuk mengetahuinya. Saat jam pelajaran berlangsung, seketika aku teringat pada lelaki paruh baya yang nyaris ku mangsa malam itu. Aku memutar-mutar bolpoin ku yang berada diantara jemariku. Pertama kali yang ada didalam pikiranku adalah, "Apakah dia baik-baik saja? Siapakah dia? Nyaris saja dia aku membunuhnya."
Aku pun tersenyum pasi. Tak lama kemudian, tercium aroma darah segar. Aku segera menunduk untuk mencium aroma tubuhku. Namun, tak tercium apapun. Ini sangat menggangguku. Sungguh tak dapat dipercaya. Kulihat lewat ekor mataku, sikap Kina yang menunjukkan ketidaknyamanannya. Mungkinkah ia juga dapat mencium aroma itu? Oh sial!
Saat jam istirahat, aku keluar terlebih dahulu. Karena wali kelas memanggilku ke ruangannya. Tak ada hal yang begitu penting untuk dibicarakan saat itu. Ia hanya menawarkanku untuk mengikuti sebuah les yang dibimbing olehnya. Aku menolaknya dengan sopan, berpacu pada berbagai alasanku. Tak lama kemudian, aku keluar dari ruangannya. Sebelum aku menutup pintu ruangannya, ia berkata padaku, "Hiro_kun, kau mirip sekali dengan keponakanku." Mendengar hal itu, aku terdiam seribu bahasa. Aku telah mendengar isu itu dari teman-teman sekelasku. Beberapa tahun silam, sensei Fujikawa nyaris kehilangan nyawanya saat mencoba menyelamatkan keponakannya. Kemudian mereka berdua dirawat di rumah sakit. Malamnya, beliau bermimpi bahwa ada seekor burung besar yang menghampirinya. Dan burung itu berkata, "Belum saatnya kau untuk reinkarnasi. Biarkanlah dia menjalaninya terlebih dahulu. Karena itu telah menjadi suratan takdirnya untuk mengubah kehidupan di dunia selanjutnya." Lalu keesokan harinya, keponakannya meninggal dunia. Sensei tak mengerti apa maksud kalimat itu sampai detik ini.
Sesungguhnya, aku kurang percaya dengan hal-hal yang seperti itu.
Dalam lamunanku ini, aku menyadari keberadaan Kina yang duduk dilorong kelas tengah menanti seseorang. "Menunggu siapa?" tanyaku datar. "Eh… Aku menunggu Saki. Dia…" entah apa yang membuatku menarik lengannya. Sesungguhnya ada sesuatu hal yang ingin sekali kusampaikan padanya. Aku sudah tak dapat menahan perasaan ini lagi. Mungkin inilah waktu yang tepat dan kesempatan ini tak akan datang untuk kedua kalinya. Namun, teori itu tak berpihak padaku saat ini. Kesempatan pertamaku baru saja akan kugenggam namun berakhir sia-sia. Baru saja aku menanya-nanyakan keberadaan Sato, sekarang pemuda itu datang disaat yang tidak kuharapkan. Ia mengatakan bahwa latihan untuk peserta marathon dilaksanakan sekarang juga. Mau atau tidak mau. Sebenarnya sensei juga dengan terpaksa memanggilku atas tuntutan pekerjaannya sebagai guru olahraga dan harus melatih anak didiknya yang telah dipilih sebagai peserta lomba marathon. Dalam tanda kutip pantas saja pelatihan untuk lomba itu belum dilaksanakan sampai sekarang. Nampaknya, ia juga malas untuk berurusan denganku. Akupun merasakan hal yang sama semenjak peristiwa itu terjadi.
Dengan setengah hati aku meninggalkan Kina dan Sato untuk memenuhi panggilan sensei Daichi. Segera aku menuju lapangan basket yang tertutup dengan setengah berlari. Sensei Daichi adalah pribadi yang membenci sebuah keterlambatan. Memaksa semua muridnya harus tepat waktu. Apalagi disaat jam pelajarannya. Setibanya di lapangan, kulihat beberapa siswa yang tengah bermain basket disana. Namun hanya satu orang yang telah menjadi sasaranku. Aku melihatnya tengah bermain basket seorang diri dengan kaos olahraga yang sering ia kenakan.
"Sepertinya kau masih menghormatiku sebagai gurumu, Dai... Akihiro", katanya, sesaat ia melihat bayanganku dari pantulan kaca besar yang mengelilingi lapangan itu. Perlahan ia membalikkan badannya dengan bola basket yang masih dipegangnya. Aku tak menjawab dan tetap memandangnya dari jarak lima meter. "Sikapku beberapa hari yang lalu sungguh tidak pantas, iya kan?", sensei Daichi memutar-mutar bola yang ia pegang. "Sungguh tak pantas bagi seorang guru yang nyaris memukul muridnya hanya karena seorang wanita", suaraku nyaris berbisik. Tanpa kuduga, ia melempar dengan keras bola itu tepat kearah dadaku. Untungnya, aku dapat melihat sekilas gerak-geriknya sesaat sebelum ia melemparnya dan aku dapat menangkap bola itu dengan tepat lalu tercipta suara BUKK!
"Apa yang sedang kalian lihat?!", sensei Fujikawa membentak siswa-siswa yang tengah memperhatikan kita berdua. Siswa-siswa itupun mulai melanjutkan aktifitasnya kembali dan ruangan itu menjadi ramai seperti sebelumnya. "Ya. Kau benar, Hiro. Betapa egoisnya aku saat mengetahui bahwa sensei Akira telah menyatakan perasaannya padamu. Menyatakan perasaannya kepada mu-rid-nya sen-di-ri. Sungguh menjijikkan. Apakah kau merayunya? Ilmu hitam apa yang kau pakai? Tak heran, kau langsung menjadi siswa idola disini dan aku sangat membencimu sejak awal kau masuk ke sekolah ini."
Nada suaranya membuatku semakin kesal. Dengan cepat aku melempar bola basket itu kearah kakinya dan sempat mengenai ujung sepatunya. Kulihat ia mundur selangkah dan bola itu memantul tinggi keatas. "Well done, Hiro. Well done. Sudah selayaknya kau menjadi perwakilan sekolah untuk tahun ini. Kekuatanmu sungguh membuatku terkejut. Darimana kau mendapatkan kekuatan itu? Bolehkah kutau? Apakah kau keturunan iblis? Lihatlah, tidak ada manusia yang normal memiliki kulit sepucat dirimu. Pasti kau memiliki rahasia tentang hal itu", ia menangkap kembali bola basket yang sempat melambung itu. "Tutup mulutmu! Jangan memaksaku untuk tidak menghormatimu!", nada suaraku semakin meninggi. Tanpa diperintah, lampu-lampu yang menerangi ruangan menjadi redup dan perlahan mati. Kini ruangan menjadi gelap. Hanya sedikit cahaya dari luar yang masuk ke celah celah jendela yang setengah terbuka diatas tembok beton itu. Dan siswa-siswa itupun berhamburan keluar lapangan. "Ada apa Hiro? Mau menakutiku? Aku tak pernah takut padamu..... Iblis!"
Kini kutatap tajam kedua mata hitamnya itu. "Aku.... bukan iblis!" Seketika angin kencang memasuki ruangan luas itu entah datang darimana dan terhempaslah tubuhnya menghantam kaca yang terletak beberapa meter dibelakangnya. Dengan tubuh yang kesakitan, ia masih sempat bangkit, "Baiklah anak muda... kau bukan iblis. Maka, bersikaplah sewajarnya seperti manusia!" Hening sejenak dalam pikiranku saat mendengar kalimat terakhirnya. Kini aku tak dapat berkata apa-apa lagi. Perlahan lampu-lampu itu menyala dan berebut menerangi setiap sudut ruangan. Kakiku terasa lemas. Aku pun jatuh berlutut. "Nanti temui aku ditempat ini saat jam belajar habis. Aku harus segera melatihmu untuk lomba itu", sensei Daichi. berjalan dengan menahan rasa sakitnya. "Dasar... Makhluk buas…." bisiknya saat berjalan melewatiku.
"Kenapa kita bersikap canggung seperti ini?", tanya Sato dengan santai. "Entahlah..." "Jujur, aku mulai tidak nyaman jika kita seperti ini terus. Anggap saja kejadian waktu itu hanyalah mimpi dan hanyalah wujud dari kegilaanku saja. Anggaplah aku tak pernah mengatakannya." Sato meminum minumannya yang hampir habis itu. Meskipun waktu hampir menunjukkan dibunyikannya bel masuk, masih ada beberapa siswa yang berlalu-lalang di ruangan kantin ini. Termasuk Kina dan Sato. Suasana diantara mereka kini mulai menghangat dan Kina mulai merasa lega saat dapat bercakap-cakap dengan santai pada pemuda berkacamata itu.
"Kenapa kau tidak ungkapkan saja perasaanmu pada....", kalimat Sato terputus karena Kina mengganti topik pembicaraan secara sengaja. "Sato, kira-kira dimana Yumi sekarang? Biasanya ia selalu berada disampingmu... Aneh sekali", Kina memaksakan senyumannya sambil mengamati sekelilingnya. "Lalu, dimana Hiro sekarang....? Biasanya ia selalu ada disampingmu", lirik Sato pada gadis itu. Kina berdehem pelan lalu meminum minumannya. "Kalian sudah tau itu? Hiro berkelahi dengan sensei Daichi di lapangan. Sungguh menegangkan saat aku melihat langsung kejadian itu." Terdengar samar-samar oleh Kina dan Sato. "Siapa..?", Sato menoleh kearah temannya yang berbicara. "Dai Akihiro, temanmu itu...", jawab enteng Shin.
Sato dan Kina sejenak berpandangan dan nyaris berkata secara bersamaan, "Hiro..? Tidak mungkin...!" Tak lama kemudian, Hiro pun datang memasuki ruangan kantin. Terdengar suara siswa-siswi berbisik disana-sini saat melihat kedatangan pemuda itu. Terlihat dari raut datar Hiro dan melewati siswa-siswa itu. Sato pun mengisyaratkan keberadaannya pada Hiro. Melihat isyarat Sato, pemuda itu pun segera menuju ke mejanya. Baru sepersekian detik ia duduk, ia segera menyambar minuman Sato. "Hiro, apa benar kau ada masalah dengan sensei Daichi?", tanya pemuda berkacamata itu dengan ragu. Pemuda bergigi kelinci itu sejenak terdiam. Lalu tak lama kemudian ia hanya mengangguk mengiyakan. "Kenapa...?", tanya Kina hati-hati. "Hanya masalah kecil", jawab ringan Hiro.
Bel masuk pun berdering tanpa diperintah. Isi ruangan kantin itupun perlahan kosong. Murid-murid bergegas menuju ruang kelasnya masing-masing. Beberapa menit kemudian, terlihat pelajaran mulai berlangsung di ruang kelas 2-A. Terdengar sensei yang tengah menerangkan materi pelajaran. Namun, Hiro tak terlalu memperhatikannya. Tak seperti biasanya. Perkataan sensei Daichi masih berdengung ditelinganya. Ia menerawang jauh kearah mejanya sambil memutar-mutar bolpoin hitamnya. ".... maka, bersikaplah sewajarnya manusia! Saat ini, kau hanya bisa mengandalkan kekuatan itu. Sungguh pengecut. Kau pikir bisa menakut-nakuti ku dengan itu?" Tak lama kemudian, Kina menyentuh lengan pemuda itu. Seketika ia menoleh ke arah sampingnya. Kina memberi isyarat bahwa guru mata pelajaran itu tengah memperhatikannya yang sedang melamun. "Hiro_kun, apa kau memperhatikan pelajaranku?", tanya sensei sambil melipat kedua tangannya kedepan dadanya.
Hiro yang menyadari itu, segera mengangguk dan meminta maaf. Teman-teman sekelasnya kini tengah menatap kearahnya. "Baiklah, Hiro_kun. Kalau kau memang betul memperhatikan pelajaranku, maka tolong artikan kalimat pada halaman 21 itu", perintah sang guru. Pemuda itu segera melihat ke lembaran halaman 21. Terlihat sekelompok kata yang berbahasa Inggris disana. Kalimat itu berbunyi
In this modern era, there is a group of people who's believed they are a vampires, but with different definitions. This identification can arise because they have one or more characteristics of Vampires Holywood, such as fear of the sun or drink a blood.
Ia pun bangkit berdiri. Hiro mulai mengeluarkan suaranya lalu mengartikan arti kalimat itu kedalam bahasa Jepang. "Pada masa modern ini, ada sekelompok orang yang percaya kalau mereka adalah vampir, namun dengan definisi yang berbeda. Identifikasi ini bisa muncul karena mereka memiliki satu atau lebih dari ciri-ciri Vampir Holywood, seperti takut dengan sinar matahari atau meminum darah."
"Bagus sekali. Seperti biasanya, jawaban yang sempurna", puji guru itu pada Hiro. Iapun kembali duduk dan bergumam didalam hatinya, "Aku tak takut pada sinar matahari. Hanya saja....." Beberapa menit pun telah berlalu. Akhirnya guru itu mengakhiri pelajarannya dengan mengucapkan salam. "Bagaimana dengan tugas kelompok itu?", Hiro melirik kearah Kina disampingnya. "Entahlah. Kau kan pintar, tentu saja tanpa aku dan Satopun pasti kau bisa mendapat nilai yang sempurna", jawab datar Kina. "Tunggu, kenapa kau seharian ini tampak sensitif kepadaku?", Hiro menghadapkan tubuhnya sepenuhnya ke arah Kina yang tak sekalipun memandangnya. "Entahlah", jawab ketus kina lalu beranjak. "Hey, tunggu. Katakan apa salahku", Hiro menahan gadis itu dengan menarik lengannya dan menggenggam tangannya. Hal itu membuat wajah Kina memerah dan memandang kearah Hiro yang tersenyum. "Kau…. Kau tidak memberitahuku kalau kau terluka. Baiklah. Aku memang bukan siapa-siapa bagimu." Kina hendak melepaskan genggaman tangan Hiro namun pemuda itu menggenggamnya semakin erat. "Kina…." Terdengar suara Hiro yang mendayu.
"Apa", jawab ketus Kina yang berusaha menyembunyikan senyumnya. "Pemuda sejati adalah ketika ia tidak membagikan asamnya kehidupan." Ketika Kina memandang kearah mata hitam Hiro, mata hitam itu seolah-olah mengatakan sesuatu padanya. Entah apa itu. Seketika pandangan itu terputus karena dihadang oleh buku tulis Sato yang sengaja digunakannya untuk mengganggu 'keromantisan' mereka. "Nanti sore, bagaimana kalau kita kerja kelompok dirumah berengsek ini?", kata Sato pada Kina. Kina tersenyum lalu mengangguk. "Tunggu, sepertinya aku tidak bisa sore ini. Aku ada latihan dengan sensei Daichi sepulang sekolah", Hiro menurunkan buku tulis Sato yang menghalangi pandangannya.
"Oke. Kalau begitu, nanti sore kita menunggu di rumahmu. Bagaimana?", tanya balik Sato. "Lagipula, kita hanya mempunyai dua hari untuk menyelesaikannya." Akhirnya Hiro mengangguk pasti tanda mengiyakan.