"Hiro, apakah kau tau bahwa aku menyukaimu? Tolong cepatlah kembali", Kina tengah menatap langit dari jendela kaca kamarnya. Gerombolan awan putih tampak tengah menutupi langit biru. Saat ini ia tengah berkumpul bersama teman-temannya di kafe. Sinar mentari yang condong itu memasuki ruangan kafe. Menandakan hari telah senja. "Kina, ada apa denganmu?", salah seorang temannya keheranan melihat Kina yang terus mengaduk-aduk minumannya tanpa henti. Kina hanya menggeleng pelan lalu menatap minumannya yang mulai dingin itu.
"Kemana perginya Dai_san?! Disaat dia dibutuhkan seperti sekarang, dia menghilang. Seharusnya dia membantuku sekarang." Terdengar samar samar suara seseorang dari balik dapur kafe itu. "Eh? Kalian dengar itu? Dai_san? Dai Akihiro?", mereka semua terdiam beberapa saat, termasuk Kina. "Marga 'Dai' kan banyak di kota ini", Kina mencoba mengalihkan perhatian mereka. Akhirnya, mereka kembali sibuk pada topik awal pembicaraan. Tak lama kemudian, salah seorang teman Kina berdehem lalu berkata, "Kina, bukankah kau menyukai Hiro_kun?" Gadis itu seketika tersentak dari lamunannya. Pertanyaan itu membuatnya salah tingkah dan itu sudah cukup untuk memberi jawaban bagi teman-temannya. "Maaf, aku harus segera pulang. Ini sudah terlalu sore. Dadah."
"Ayah", Kina duduk di tepi tempat tidur ayahnya. Kini mentari telah berganti dengan rembulan. Ayahnya tengah membaca majalah dengan kacamata yang bertengger di telinganya. "Ada apa, Kina?" "Ayah masih ingat dengan Hiro?", tanya Kina memastikan. "Tentu. Pemuda tampan itu kan?", ayahnya menoleh dan memandang putrinya dengan seulas senyuman. "Dia menghilang", kata Kina dengan wajah sendu. "Menghilang? Bagaimana bisa?", tanya ayahnya dengan senyuman. Kina menggeleng pelan lalu bergumam. "Apakah dia buronan polisi?", kalimat terakhir Kina membuat ayahnya tak dapat menahan tawa.
Telah tiga hari berlalu tanpa sosok Dai Akihiro di dunia Kina. Dalam tiga hari itu pula Hiro membuat kina merasa marah, kecewa, khawatir yang menjadi satu. "Memangnya kau siapa yang berhak membuatku seperti ini?! Kau bukanlah anak raja. Kau bukanlah siapa-siapa. Tetapi bagaimana bisa kau membuatku gila?", itu yang sering diucapkannya ketika perasaannya tak karuan. Namun, tampaknya Hiro biasa saja padanya.
Keesokan harinya. Pagi itu adalah Minggu pagi. Gadis itu tengah duduk dibalkon kamarnya. Cahaya mentari menyinarinya dari sisi samping. Ia tengah membaca sebuah novel. Seketika itu, ada sebuah daun kering mendarat ke atas novelnya. Lalu kemudian ia menjamah daun itu. Dilihatnya, daun itu telah mengering berwarna kuning keemasan. Tak lama setelah itu, angina datang tiba-tiba dan meniup dengan pelan. Seakan-akan ada suara yang berbisik di telinga kanannya. Aku menyukaimu, Kina. Spontan gadis itu menoleh ke kanan dan ke kiri. Tidak ada siapa-siapa. Kemudian perhatiannya teralihkan dengan nada pesan masuk dari ponselnya. Terlihat ada pesan singkat dari ayahnya. Isi pesan singkat itu berisi bahwa ayahnya akan pulang telat malam ini. Kina berdecak lidah kesal. Beberapa detik kemudian ia terdiam. "Tunggu, kenapa tak pernah terpikir oleh ku?", gadis itu segera menyusuri nomor-nomor di ponselnya dan menuju ke nomor Sato. Terdengar Sato yang tengah menjawab panggilannya. "Sato, maukah kau menemani aku kerumah Hiro?", begitulah kalimat singkat Kina yang didengar olehnya. Beberapa saat kemudian, mereka berdua telah berdiri didepan rumah tua itu. Terlihat oleh Sato sesuatu melintas diantara pepohonan rindang itu. Melihatnya saja sudah membuat bulu kuduknya berdiri. "Sepertinya Hiro masih tidak ada dirumah. Ayo kita pulang saja, Kina." "Pulang? Kenapa? Apakah kau takut? Bukankah rumah ini milik pamanmu?" jawab Kina sekenanya. Sato hanya bergeming tak bersuara. "Ayo masuk. Mungkin saja dia sakit."
Pekarangan rumah itu terlihat semakin luas dengan ditumbuhinya pohon-pohon yang menjulang tinggi. Itu membuat sinar matahari sulit menembus karena rindangnya daun-daun antar satu dengan lainnya. Menyisakan biasan bayangan dedaunan diatas jalan setapak menuju rumah tua itu. Disamping jalan setapak itupun sudah ditumbuhi rumput-rumput liar. Tanpa adanya peringatan sebelumnya, angina yang semula tenang kini berangsur-angsur bertiup kencang membuat lambaian dedaunan semakin cepat seakan-akan semua yang ada disini hidup. Kemudian disusul dengan suara jeritan burung hantu dan gagak yang saling bersahutan. Kejadian demi kejadian itu membuat mereka berdua berhenti terpaku dengan kaki yang membeku. "Kina, ayo kita pulang. Lain kali saja kita menjenguk Hiro", suara Sato semakin mendesak Kina dengan wajah yang tak kalah pucatnya. "Ti-tidak apa-ap apa. Ayo kita jalan. Ki-kita kan berniat baik." Belum sedetik Kina diujung kalimatnya, seketika suara-suara dan angin kencang itu mendadak diam dan tenang. Jantung kedua pemuda dan pemudi itu masih belum normal walau telah tiga menit berlalu. Mereka masih mematung ditempat.
"A-Ayo", sahut Kina yang masih dengan suara bergetarnya. Selama mereka berjalan menapaki jalan kecil itu, dilihatnya dari ujung mata mereka seolah-olah ada banyak sesuatu yang tengah mengawasi mereka. Tak pernah luput dari penglihatan mereka. Banyak sepasang mata merah yang tiba-tiba hilang jika dilihat oleh kedua anak manusia itu. "Ki-kita berniat baik", Kina mencoba menghibur dirinya.
Beberapa saat kemudian, mereka telah sampai didepan pintu utama rumah tua itu. Kina dan Sato masih dengan kaki mereka yang gemetaran mencoba melihat kedalam rumah melalui jendela kaca. "Kosong." Jawab singkat Kina. Mereka berdua mencoba membuka pintu besar itu. Namun tampak dikunci. "Co-coba aku cek pintu belakang." Sato segera melangkahkan kaki ke belakang rumah besar itu. Sementara itu, Kina mencoba mengintip lagi lewat jendela kaca itu. Tidak ada yang aneh. Semua pintu didalam tertutup rapat dan semuanya tampak rapi. Tidak ada gelas atau piring sisa sarapan. Bahkan lampu-lampu sepertinya telah padam sejak beberapa jam yang lalu atau bahkan tidak pernah dihidupkan semalaman ini. Terlihat jelas pada biasan embun didalam bohlam-bohlam lampu itu. "Pintu belakang juga terkunci." Kina masih bergeming menatap kedalam ketika Sato kembali. Nafasnya tercekat ketika dilihatnya ada sosok bayangan putih yang menyunggingkan senyum ramahnya pada Kina. "I-itu….." "Ada apa?", Sato spontan mengintip dari jendela kaca. "Tidak ada apa-apa", Sato menatap kembali Kina yang masih memucat memandang kearah dalam. "Di-dia te-tersenyum padaku." "Kina, kau gila. Tidak ada siapa-siapa didalam." Sato mengguncang-guncangkan bahu Kina, membuat gadis itu sadar kembali. Kina menatapnya dengan wajah pucat. "Su-sudahlah. Tidak ada apa-apa. A-aku punya kunci cadangannya. Ayo ma-masuk." Sato mencoba menenangkan dirinya sendiri. "Kita sudah sampai kesini. Tanggung. Kita temui Hiro dan pulang." Pintu besar itu terbuka setengah. Mereka berdua tersenggal-senggal melangkahkan kakinya.
"Hiro, aku masuk ya", Sato memimpin satu langkah lebih dulu dan Kina memegangi erat lengannya. Sosok itu telah menghilang entah dimana dan Kina tak berniat untuk mencarinya. Ia sesekali menunduk ketakutan. "Kina, kau periksa ke dapur dibelakang sana, aku akan naik ke kamar Hiro." Membayangkannya saja sudah ngeri bagi Kina harus berjalan seorang diri. Tanpa persetujuannya, Sato sudah berlari menaiki tangga. Kina berani-berani takut untuk melangkahkan kakinya kearah dapur yang berada diujung sana. Tidak ada apa-apa sejauh ini. Ia mengintip kedalam dapur, tidak ada siapa-siapa dan tidak ada yang aneh. Sekilas terlihat ada kain putih dengan bercak darah diatasnya. Ia segera berlari dan menjamah kain itu.
Sementara itu dilantai dua, Sato menemukan sepucuk surat diatas meja. Aku tau kau pasti akan kemari, Sato. Terimakasih. Aku pulang kerumah orangtuaku untuk sementara waktu. Ibuku sakit keras. Katakan pada Kina untuk jangan menungguku.
Lihatlah, bahkan disuratnya pun ia terlihat romantis. Ia masih sempat menyebut nama gadis itu. "Kina, ada surat Hiro", Sato segera berlari menuju dapur. Gadis itu segera menyembunyikan sesuatu dibalik punggungnya.
"Kina, bolehkah aku mampir ke rumahmu?" Gadis itu mengangguk tak bersuara sebagai responnya pada pemuda disampingnya.
Beberapa saat kemudian, mereka berjalan berdampingan. Sinar mentari mulai menghangatkan tubuh mereka dipagi yang cerah itu. Pada awalnya, Sato hendak menggonceng Kina dengan sepedanya namun enggan. Ini adalah pertama kalinya ia merasakan kecanggungan pada Kina. Tak ada sepatah katapun yang keluar dari bibir mereka saat itu. Entah apa yang membuat Sato menggapai tangan Kina yang terjuntai ke bawah. Ia perlahan menggenggam telapak tangan gadis itu yang terasa hangat. Kina terkejut menyadarinya. Ia dengan cepat menarik kembali tangannya dari genggaman Sato. Mereka bertatapan dalam beberapa detik. Kina melihat kearah mata sipit itu yang tak terhalangi oleh kacamatanya. Entah apa yang membuat pemuda ini terlihat berbeda saat kacamata tak menghiasi parasnya. Namun kemudian Kina mengalihkan tatapannya lalu menatap lurus kedepan. Ia tampak menghela nafasnya pelan. Dan itu membentuk uap putih yang mengepul disekitar wajahnya. Tersirat senyuman kecil disudut bibir Sato. Pemuda ini menunduk dan memandangi trotoar yang dipijakinya. Mulai terasa panas diwajahnya yang dingin itu, perasaan kecewa atau apalah itu namanya.
Sekarang Sato duduk di kursi bercorak warna biru dan putih di ruang tamu itu. Ruangan itu cukup luas. Matanya memandangi figura foto yang terpajang di dinding. Terdapat sebuah figura foto yang cukup besar disana. Foto itu memperlihatkan ayah Kina, ibu Kina, dan Kina. Jika diperhatikan, wajah Kina mirip dengan ibunya. Tah heran jika ia mempunyai mata bulat yang besar, tak seperti orang Jepang lainnya. Beberapa saat kemudian sesuatu membuatnya tertegun. Lalu ia mengamati lebih jelas foto keluarga itu. Iapun memakai kacamatanya yang berada disaku celananya. Terkejutlah ia saat menyadari sesuatu yang tak pernah ia duga sebelumnya. "Mungkinkah itu....?" , nafasnya sedikit tercekat. "Sudah puas melihat-lihat?", goda Kina sambil membawakan segelas minuman hangat untuk Sato.
Pemuda itu berusaha memaksakan senyumnya pada Kina, bersikap biasa saja. Lalu ia berdehem dan berkata, "Kenapa sepi sekali disini?" Ia tengah mencoba mencairkan suasana dan bersikap normal. "Hari ini ayahku akan pulang terlambat." Sato bergumam kecil saat mendengarnya. Kina mengangkat alisnya melihat sikap Sato yang aneh itu. Menyadarinya, Sato dengan cepat memutar otak dan segera berkata, "Bayangkan, apa yang akan terjadi jika seorang pemuda berada di rumah seorang gadis yang sedang sendirian...?", tersirat senyuman nakal disudut bibir Sato. Senyumannya memberi kesan yang mengerikan. Ia dapat melihat jelas Kina yang tengah berusaha menelan sesuatu yang mengganjal ditenggorokannya. "Tidak akan terjadi apa-apa diantara kita", jawab enteng Kina dan mengalihkan pandangannya ke arah lain.
Kina masih dapat melihat senyuman mengerikan itu dari wajah Sato. Kina pun melempar koran yang berada diatas meja ke arah kepala Sato, "Hentikan!" Sato tertawa mendengar suara Kina yang bergetar itu. Lalu pemuda itu mengusap-usap rambutnya yang terkena lemparan koran. Kemudian Sato mengambil koran yang terjatuh diatas lantai dengan senyuman kecil dibibirnya. Iapun meletakkan kembali koran itu ke tempat semula.
Ditengah-tengah perbincangan mereka, seketika nada panggilan Hp Sato berdering. "Moshi-moshi?", jawab Sato. Kina tersenyum saat mengetahui bahwa seorang gadis yang bernama Yumi itu yang menelpon.
*Moshi-moshi=Halo*
***
"Dimana pangeran sekarang?", tanya sang Raja pada salah satu pelayan istana. "Dikamarnya, Yang Mulia." Tak lama kemudian, sang raja pun segera menuju kamar putranya itu. Mengingat perasaan anaknya yang kemungkinan sudah normal kembali setelah tiga hari berlalu sejak kejadian di taman itu. Wajar jika ia terkejut tentang perjodohan yang tiba-tiba itu. "Hiro", Sang Raja mengetuk pintu kamar Hiro. Sampai ketukan ketiga tidak ada jawaban dari balik pintu itu. Akhirnya ia memutuskan untuk membuka pintu itu yang ternyata tak dikunci.
Hiro mendengar jelas pintu kamarnya yang diketuk oleh ayahnya. Saat itu ia tengah merasakan sakit yang teramat sangat pada bahu kirinya. Sampai-sampai tubuhnya terjatuh tak berdaya di atas lantai kamarnya. Ia berusaha bangkit dan duduk di kursi terdekat. Sampai akhirnya, ayahnya membuka pintu itu karena tak kunjung ada jawaban. Hiro berusaha menunjukkan ekspresi tenang pada ayahnya agar tak terlalu khawatir pada keadaannya. Maka dari itu tidak akan ada pembunuhan pada para prajurit itu. Terlihat tidak ada ekspresi cemas dari wajah ayahnya saat melihat Hiro yang terduduk. "Hiro, ayah tau kau sangat terkejut akan hal ini. Tetapi kau harus segera memutuskannya dan menggantikan kedudukan ayah. Menurut ayah, gadis ini sangat serasi denganmu. Dan kemarin Ruka menitipkan salam untukmu", Hiro tak terlalu memperhatikan kalimat demi kalimat ayahnya. Disisi lain ia harus menahan rasa sakitnya yang teramat sangat hingga keringat dingin perlahan mengalir diwajah dan tubuhnya.
Hiro tak ambil pusing. Ia segera mengangguk cepat agar ayahnya segera keluar dari kamarnya. "Kalau begitu, sebentar lagi minumlah obatmu. Akan kusuruh pelayan meraciknya", ayahnya menyentuh pundak kiri Hiro dengan pelan. Walau kekuatannya tak seberapa, Hiro merasakannya seperti ada aliran listrik yang menyentaklemah. Hiro hanya meringis kecil. Ayahnya pun berbalik dan keluar dari kamar Hiro. Pintu kamarnya pun telah tertutup kembali. Rasa sakit dibahu kirinya kini semakin menjadi-jadi. Ia terjatuh untuk kedua kalinya. Lalu ia mencengkram lengan kirinya dengan kuat. Pemuda itu mengerang di lantai. Ia tak dapat menahan rasa sakit itu lagi.
Salah satu tangannya berusaha menggapai bingkai jendela yang berada diatasnya. Ia mencengkram kuat bingkai jendela itu. Lalu, kedua mata Hiro perlahan menutup setelahnya. Kekuatan yang ia miliki perlahan melemah. Namun ia masih dapat merasakan rasa sakit yang merobek-robek ototnya itu. Hingga akhirnya ia tak sadarkan diri. "Hiro...", terdengar olehnya samar samar suara Kina yang tengah menyebut namanya.
Sudah sepuluh menit berlalu, namun Hiro belum juga turun dari kamarnya. "Pelayan, segera temui pangeran dan ajak dia untuk turun", perintah sang Raja segera dilakukan. Beberapa detik kemudian, pelayan itu mengetuk pintu kamar Hiro. Saat hendak mengetuk pintu kamarnya, Hiro telah terlebih dahulu membuka pintunya. "Aku tau", katanya. Seolah-olah ia dapat menduga apa yang akan dikatakan oleh si pelayan. Pelayan pun meninggalkan Hiro tanpa sepatah katapun setelah memberi hormat, lalu Hiro mengikutinya di belakang.
"Maaf, ayah", kata Hiro setibanya dihadapan Raja. "Duduk sini", nada suara ayahnya tampak serius. Hiro menarik kursi tepat disamping ayahnya. Pemuda itu tetap menunduk menatap meja, menebak apa yang sedang dipikirkan ayahnya. Ekor matanya melihat kearah ayahnya yang tengah menatapnya dengan wajah serius. "Kau belum menjawab", suara ayahnya mulai terdengar. Hiro mulai mengangkat kepalanya dan memandang ayahnya. Ia masih tak mengerti apa yang dibicarakan ayahnya. Raja pun mengulangi kalimatnya sekali lagi. "Kau belum menjawab tentang Ruka", ayahnya berusaha menebak pikiran putranya dengan merasuk ke sorotan matanya. Hiro memikirkan kata-kata yang tepat untuk dikatakan. "Ayah, aku belum tau siapa Ruka dan seperti apa dia. Jadi apakah ada alasanku untuk menyetujui sebuah keputusan secepat ini? Aku butuh waktu. Menikah tidak semudah itu. Ribuan tahun harus hidup bersama dan saling melengkapi", Hiro menanggapinya dengan santai. "Baiklah. Untuk meyakinkanmu bahwa pilihan ayah adalah yang terbaik, kau akan segera bertemu dengan Ruka. Secepatnya, akan kuatur pertemuanmu dengannya", kalimat singkat ayahnya membungkam mulut Hiro. Sang Raja pun meninggalkan Hiro yang masih terdiam itu. Tak lama kemudian, seorang pelayan mengantarkan secangkir minuman yang berisikan obat herbal untuk Hiro. "Pelayan, tengah malam nanti tolong bukakan gerbang untukku."
***
Terlihat Hiro yang berjalan seorang diri di tepi trotoar sepi. Tampaknya kakinya tengah terluka. Ia berjalan terseok-seok. Entah apa yang telah terjadi padanya malam itu. "Hiro_kun!", suara seorang wanita terdengar samar-samar oleh gendang telinganya. Pemuda itu segera menoleh kesisi belakang. "Kina?", suara lemas Hiro terdengar. "Apa yang telah terjadi padamu?", ekspresi khawatir gadis itu mulai tampak. Ia dapat melihat dengan jelas raut pucat Hiro yang tengah menahan sakit pada bagian-bagian tubuhnya. "Hiro_kun..?", Kina tampak berusaha keras untuk mengatur nada suaranya yang mulai bergetar. Dapat dilihatnya gigi taring Hiro yang tumbuh layaknya seekor serigala. Serta warna kornea mata pemuda itu yang berubah menjadi merah kecoklatan. Kedua mata Hiro kini tengah menatap kearahnya. "Lari, Kina. Berbahaya", badan Hiro seketika itu terjatuh dan tak sadarkan diri. Mendengarnya, kina bertambah bingung akan apa yang sedang terjadi. Tak tau harus berbuat apa saat itu. Kina menompang Hiro yang tak sadarkan diri.
Kina semakin bingung akan kata terakhir yang diucapkan Hiro. Tak memberi celah, seketika itu angin bertiup kencang kearah mereka. Dan awan-awan yang semula menutupi rembulan, kini bergeser satu per satu. Diujung trotoar, ia melihat siluet lima orang yang berjalan mendekati. "Hey manusia hina! Serahkanlah pangeran kepada kami! Atau kau akan kami bunuh juga!", terlihat salah satu dari mereka yang mengeluarkan sebilah pedang. Pantulan cahaya rembulan yang mengenai pedang itu membuat kedua mata Kina silau. Ia menatap wajah Hiro yang lemas tak berdaya. Bibir Hiro mulai terbuka dan menunjukan gigi taringnya, "Lari... Kina... selamatkanlah dirimu." Kecemasan gadis itu terlihat jelas pada bola matanya yang berkaca-kaca. "Hiro....?!"
Seketika itu, bunyi alarm berdering sangat keras. Sebuah mimpi buruk itu telah berakhir. Terlihat jelas pada lingkar hitam dimatanya. Bunyi alarm yang nyaring berhasil membuatnya terbangun. Ia masih belum beranjak dari tempat tidurnya yang hangat. Kini ia terduduk, mengingat kembali yang ia mimpikan semalam. Ia mengerjap-ngerjapkan kedua matanya yang terasa perih. Diturunkanlah kakinya dari selimutnya yang tebal lalu melangkahkan kakinya dengan bermalas-malasan menuju kamar mandi. Wajahnya tampak suram dipagi yang cerah itu. Tiga puluh menit kemudian ia telah mengenakan seragamnya dan kini ia tengah menunggu Sato didepan gerbang. Dinginnya cuaca memaksanya untuk mengenakan jaket. Kedua tangannya terbungkus hangat dibalik saku jaketnya. "Telah menunggu lama?", sahut Sato yang menghentikan sepedanya tepat didepan Kina. "Hei, kenapa dengan matamu?", Sato menyipitkan matanya yang sipit itu ke arah gadis itu. Kina hanya menggeleng pelan. Ia segera duduk dibelakang sepeda Sato. "Aku hanya kurang tidur", Kina menatap kearah punggung Sato yang bidang.
Mereka berdua berjalan menuju kelasnya. Namun seseorang memanggil nama Sato dari kejauhan. Dari suaranya, Sato sudah dapat mengenalinya. "Yumi...", tampak Sato yang tengah mengerutkan kedua alisnya sambil berdecak lidah. "Ohayou, senpai!", Yumi tiba dihadapan mereka berdua dengan wajah yang berseri-seri. Yumi terkejut akan keberadaan seorang gadis yang tak ia kenal berdiri disamping Sato. "Siapa dia?", Yumi menunjuk ke arah Kina. "Dia teman sekelasku", jawabnya sambil melirik ke arah gadis disampingnya. "Namaku Takazawa Kina. Yoroshiku", Kina tersenyum kecil pada juniornya itu. "Kina senpai, namaku Okawa Yumi dari kelas 1-C."
*Ohayou=Selamat pagi*
*Yoroshiku=Salam kenal*
Seketika itu, mereka bertiga mendengar seseorang yang menyebut nama Hiro. Spontan mereka menoleh keasal datangnya suara itu. Dan pemuda yang dipanggil Hiro itu juga menoleh kearah datangnya suara tersebut. "Hiro_kun, apakah kau akan mengikuti lomba marathon itu?", terdengar samar-samar oleh Kina, Sato, dan Yumi. Pemuda yang dipanggil Hiro itupun mengangguk pasti. Hanya terlihat sisi punggung pemuda itu oleh mereka bertiga. Itu memanglah Hiro, batin Sato. Namun ia tak begitu yakin. Kulitnya terlihat lebih pucat dari biasanya dan warna rambutnya yang hitam pekat. Hiro tak seperti itu saat terakhir dilihatnya. Dengan wajah puas, pemuda yang berbicara pada Hiro pun berlalu meninggalkannya. Sato, Kina, dan Yumi menunggu pemuda yang dipanggil Hiro itu berbalik badan. Namun, pemuda itu tak kunjung membalikkan badannya. Ia masih terdiam berdiri disana.
Saat pemuda itu membalikkan badannya, seketika beberapa siswa berlalu-lalang dan menghalangi pandangan ketiga siswa itu. Sehingga wajah Hiro tertutup dan tak terlihat oleh mereka. Sato melihat pemuda itu berbelok di persimpangan lorong. Pemuda berkacamata itu berusaha mengejarnya. Namun langkahnya sedikit terhalang oleh beberapa siswa yang berjalan berlainan arah. Dengan terpaksa ia harus menyelip diantara mereka agar mendapatkan jalan. Diikuti pula oleh Kina dan Yumi dibelakangnya.
Malam ini, aku sangat bimbang. Aku lelah pada semuanya yang mengharuskanku mengikuti perintah. Namun apa dayaku untuk menolaknya. Yang hanya bisa kulakukan hanya menghambat dan bukan menghentikan. "Maafkan aku, ayah. Maafkan aku", berulang-ulang terucap didalam hatiku. Aku tak mau mengecewakanmu karena aku adalah kehormatanmu dan kaulah kekuatanku. Aku telah mengambil semuanya darimu. Semuanya. Hanya dengan mengabdi kepadamulah yang dapat menebus semua pengorbananmu selama ini. Namun, ada sesuatu yang tidak kau sadari, ayah. Bahwa sesungguhnya aku telah jatuh cinta. Hati ini tidak bisa dipaksa. Hanya saja, aku ragu untuk menyampaikannya kepadamu. Berdosakah aku dengan perasaan yang kumiliki ini? Setiap langkahku terbesit oleh bayang-bayang ayah. "Pangeran, apakah negeri kita tidak cukup aman untuk anda hingga anda menyeberang jauh kesini?" sebuah suara menyadarkan lamunannya. Tampak siluet lima orang berada diujung terotoar yang gelap. Sedetik kemudian terdengar suara gesekan pedang yang dikeluarkan dari sarungnya masing-masing. "Siapa kalian?! Enyahlah atau kucabik-cabik tubuh kalian!", Hiro siap dengan kuda-kuda kokohnya. "Ohooo…. Takut…. Kau membuatku takut, pangeran. Namun apalah daya seorang remaja melawan lima prajurit ini." Mereka maju secara bersamaan dengan lima mata pedang yang mengarah padanya. Langkah mereka yang cepat membuat Hiro tak gencar. Ia memang dipersiapkan untuk menghadapi ini. Ketika mereka sudah semakin dekat, Hiro menghentakkan kedua kakinya melakukan lompatan salto keatas dan melewati kepungan mereka. Sebelum hiro mendarat, ia sempat menarik kepala dari salah satu mereka lalu dibantingnya ke bawah bersamaan dengan mendaratnya kaki hiro. Patahlah leher prajurit itu dan tergeletak begitu saja. Hiro meraih pedangnya dan kini ia siap untuk duel yang sebenarnya.
Dua diantara mereka maju menyerang hiro. Mereka menyerang Hiro dari berbagai arah. Hiro dengan lihai menangkis setiap serangan dengan kecepatan gerakan tangannya ke kanan, ke kiri, ke atas, dan kebawah. Salah satu dari mereka terkena sabetan pedang hiro dan langsung memutuskan pahanya. Yang lainnya telah teriris sedikit daun telinganya. Hiro semakin terdesak mundur karena kekuatan tangannya melemah, telah lama tidak memegang pedang. Kemudian ia variasikan dengan tinju dan tendangan kakinya. Prajurit itu pun terkena serangkaian pukulan Hiro karena pedang itu tak bisa melukainya. Hingga akhirnya ia terlempar jauh akibat tendangan Hiro pada bagian perutnya. Tak pikir panjang, ia langsung lompat dan menghunuskan pedang itu.
"Benar. Apalah daya seorang remaja melawan lima prajurit", Hiro memainkan dua pedang yang berada di genggamannya saat ini. "Biar bulan menjadi saksi bagaimana aku akan mempermalukan kalian." "Dasar bocah ingusan!", kedua prajurit itu berlari cepat kearah Hiro. "Panggil aku pangeran!"
Setibanya dirumah aku menemukan L, J dan Y yang senyumannya mengembang. "Anda hebat sekali, pangeran. Kami sengaja memantau anda dari kejauhan karena kami sangat yakin bahwa anda dengan mudah dapat melumpuhkan mereka." "Terimakasih karena tidak membantu", sindir Hiro. Ia lalu tersenyum dan meletakkan kelima pedang itu ke lemari kaca. "Untuk berjaga-jaga saja siapa tau ada kejadian yang tak terduga lagi."
Tak terasa malam yang melelahkan cepat bergilir dan matahari mulai mengintip dari ufuk timur. Tiba-tiba ada seseorang yang memanggil namaku dari kejauhan. Pernyataan pemuda itu sama persis seperti yang pernah diucapkan oleh Sato sebelumnya. Aku mengangguk tanda mengiyakannya. Dia tersenyum puas melihat responku itu. Kuberbalik dan mengambil jalan tikungan di lorong kelas yang letaknya tak jauh didepanku. Berpapasan dengan beberapa siswa yang baru datang pagi ini.
Terdengar suara-suara langkah kaki yang berderap ke arahku dari arah belakang. Perlahan suara itu menghilang. Aku tak berbalik sedikitpun untuk melihat siapa orang itu. Karena aku yakin bahwa itu adalah Sato. Aku belum siap untuk menerima beberapa lemparan pertanyaan darinya. Aku memilih menghindar untuk sementara ini. Aku harap, ia dapat mengerti dan memberi sedikit waktu padaku.
Seperti yang telah kuduga, ia sedang menantiku dikelas. Dengan wajah masam dia berjalan menghampiriku. Diluar dugaanku, ia langsung menampar pipi kiriku dengan keras lalu dengan gerakan cepat ia menarik kerah seragamku dengan kasar. Anehnya, tak ada perasaan kesal sedikitpun dihatiku. "Hei bung! Tahukah kau betapa khawatirnya aku saat kau menghilang?! Aku kesana kemari seperti orang gila. Tidak bisakah kau berpamitan?", kalimat pertama yang ia lontarkan padaku. Aku menunduk melihat jemarinya yang mencengkram kerah bajuku itu. Tak lama kemudian, kuangkat kepalaku untuk menatap kedua matanya beberapa saat. Lalu kutersenyum kecil. Tatapan Sato menjadi kosong saat melihatku tersenyum. Entah apa yang ada didalam benaknya. Cengkraman tangannya perlahan melemah. Lalu kurapikan kembali kerah bajuku yang berantakan. Baru kusadari, beberapa siswa yang berada dikelas tengah memperhatikan aksi kami berdua. "Maaf", satu kata yang dapat kuucapkan padanya. Terlihat ia mengerutkan alisnya. Sepertinya bukan kata itu yang diharapkannya keluar dari bibirku melainkan sebuah penjelasan.
"Ada satu kepentingan yang perlu kuurus", jawabanku berhasil membungkamnya. Kurasa ia teringat akan suratku. Berselang beberapa menit kemudian, Kina memasuki kelas. Gadis yang mungkin kurindukan selama beberapa hari terakhir ini. Terlihat secercah senyumannya saat melihat kehadiranku. Seakan-akan ia juga merindukanku. Kulihat ia berjalan menuju kearahku. "Kemana saja kau selama ini?", pertanyaannya langsung kujawab dengan jawaban sama yang kulontarkan pada Sato. Kedua matanya tampak berkaca-kaca. Namun ketika aku memandanginya, seolah-olah hatiku pun turut tersenyum.
Saat bel istirahat berdering, Sato keluar kelas terlebih dahulu. Aku keluar kelas yang paling belakang karena harus mencatat beberapa materi pelajaran yang tertinggal selama aku 'pulang'. Tak seperti biasanya. Setalah semua selesai aku berhasil menemukan sosok Sato dan kubersembunyi dibalik dinding yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Terlihat ia tengah menanti seseorang. Lalu Kina datang setelahnya. Mereka berdua berdiri berhadapan. Terlihat Kina yang memulai pembicaraan terlebih dahulu. Kuberusaha mendengar apa yang tengah mereka bicarakan.
"Hiro kembali", wajah Kina menunjukkan ekspresi senang. Senyuman Sato dipaksakannya mengembang, "Aku tau kau menyukainya. Tetapi, bagaimana denganku?" Senyuman gadis itu seketika terhenti saat mendengar kalimat Sato. Kina mengerutkan alisnya tanda tak mengerti maksud dari kalimat pemuda itu. Tak lama kemudian, aku dikejutkan oleh kalimat yang Sato katakan selanjutnya. "Aishiteru", lanjut pemuda berkacamata itu. Terdiam sesaat antar mereka. Kemudian, Sato dapat melihat jelas gadis itu yang tersenyum kecil lalu menunduk. Terlihat dari kejauhan Kina yang menghela nafas lalu menatap mata sipit Sato.
*Aishiteru=Aku mencintaimu*
"Aku tau kau menyukainya. Tetapi bagaimana denganku? Aku menyukaimu, Kina", kata-kata itu yang ingin selalu kukatakan padanya. Ingin sekali kukatakan saat mengetahui bahwa kau menyukai sahabatku. Terlihat ia terkejut akan kalimatku tadi. "Aku tau, tak seharusnya aku mengatakan ini padamu. Namun, aku hanya ingin kau mengetahui perasaanku yang sebenarnya dan lebih menghargaiku yang terjebak ditengah-tengah kalian", aku melanjutkan kalimatku dengan detak jantungku yang mulai berpacu. Aku pun tak tau mengapa detak jantungku semakin cepat. Padahal aku telah menduga hasil akhirnya seperti apa. Kulihat gadis itu tersenyum mendengar kalimatku. Apa yang tengah dipikirkannya? "Terima kasih atas perasaanmu itu padaku, Sato. Bagiku, kau lebih dari siapapun itu dihidupku dan kau takkan pernah tergantikan. Kau tetaplah satu-satunya bagiku. Jadi, mulai saat ini aku akan berusaha menghargai perasaanmu itu dan tidak membahas tentang perasaanku pada Hiro." Gadis itu kemudian pergi meninggalkanku. Aku mengulang kembali kalimatnya dan aku masih tak mengerti yang dimaksudkannya itu. Apakah itu sebuah penolakan?
Dilain sisi, Hiro tengah bimbang akan perasaannya sendiri. Sato, sahabatnya, menyukai gadis yang sama. Apa yang harus ia lakukan? Menghargai persahabatan ataukah memperjuangkan cintanya? Kini ia berada disuatu keadaan yang menyudutkannya. Seakan-akan ia menjadi pusat suatu masalah.
Waktu istirahat masih panjang. Kuputuskan untuk berdiam diri dikelas untuk menenangkan pikiran. Seketika, kulihat Sato memasuki ruangan lenggang itu. Dia memandangku datar di ambang pintu saat menyadari keberadaanku. Kami bergeming beberapa detik. Ada sebuah kecanggungan terlihat diantara Sato dan aku. Dia terlihat memaksakan senyumnya padaku. Akupun begitu. Kuberusaha berpura-pura tak tau apa yang telah terjadi antara dia dan Kina. "Hiro, ayo ke kantin", nada suaranya terdengar sedikit bergetar, terdengar sangat canggung. Mungkin Sato mulai tidak nyaman padaku saat mendengar pernyataan Kina itu. Tatapannya pun sedikit berbeda dari biasanya.
Kami duduk berhadapan di meja kantin. Kami sedikit canggung untuk saling memandang satu sama lain kali ini. Kulihat beberapa gadis memandang ke arahku dan saling memanggil namaku. Mungkin mereka terkejut melihat keberadaanku karena ini adalah pertama kalinya aku mengunjungi kantin selama lebih dari seminggu aku bersekolah disini. Kulihat sosok Kina yang duduk diantara meja-meja kantin yang berjarak beberapa meter dari meja kami. Tak lama kemudian, dia menoleh dan menyadari keberadaan kami berdua. Terdiam sesaat antar aku dan Kina. Lalu aku mengisyaratkan dia agar bergabung bersama kami. Terlihat ia ragu-ragu sejenak untuk melangkahkan kakinya. Sesekali Kina melirik ke arahku, namun lebih sering menunduk menatap meja. Aku pun juga begitu. Seketika itu aku mengalihkan pandanganku ketika menyadari Sato yang ternyata juga memperhatikanku dengan tatapan tanpa berkedip yang tidak bisa aku artikan. Aku berdehem lalu berkata, "Mau pesan apa?" Ia hanya menggeleng lalu tersenyum simpul. "Kalau begitu, aku mau pesan minuman dulu", aku bangkit dan meninggalkan mereka berdua sejenak.
"Aku pesan teh ha...", kalimatku terputus saat kurasakan seseorang menyentuh lengan kananku. Aku melihat seseorang yang parasnya tak asing bagiku. Aku terus berusaha mengingat-ingatnya. "Hiro_senpai?", gadis ini menyebut namaku dengan ekspresi terkejutnya. Aku hanya mengangkat kedua alisku tanda bahwa aku tak mengenalinya. "Kau masih ingat kejadian di gang itu?", pernyataannya membuatku mengingatnya. Namun perasaan risau lah yang pertama kali mendarat dalam benakku. Aku khawatir akan keanehan yang dilihatnya saat menyaksikan aksi ku sore itu. "Oh, aku ingat. Kau gadis itu ya? Siapa namamu? Aku lupa", aku memaksakan seulas senyumku. Ia segera mengangguk lalu menyodorkan tangan kanannya. "Namaku Okawa Yumi. Aku juniormu dari kelas 1-C." Tak lama kemudian aku menyambut tangan kecilnya itu.
"Terima kasih atas pertolonganmu waktu itu", katanya sambil tersenyum ramah. "Apakah senpai datang bersama Sato_kun?", ia melihat-lihat keseluruh sudut ruangan. Ternyata ia telah mengenal Sato terlebih dahulu. Aku mengangguk dan menunjuk ke arah mejaku. Terlihat Sato yang tengah duduk bergeming disana bersama Kina. Setelah pesanan kami berdua telah siap, segera aku dan Yumi menuju ke arah mejaku. Dari sikapnya, sepertinya Yumi telah jatuh hati padanya. Sesekali aku tertawa oleh sikap mereka berdua yang kaku. Dengan adanya Yumi diantara kami bertiga, setidaknya itu mampu mencairkan suasana.
Langit telah berwarna jingga. Bel pulang sekolah berdering sejak dua menit lalu. Hiro berjalan dengan kedua tangan yang dimasukkan kedalam saku celananya. Dan Sato berjalan dibelakangnya dengan memusatkan perhatiannya pada komik yang tengah dibacanya. Saat Hiro melewati lorong kelas, ia berhenti sejenak. Dan Sato yang sedang membaca komiknya itu pun membentur punggung Hiro yang berhenti mendadak tepat didepannya. "Kenapa?", Sato mengangkat pandangannya dan melihat kearah Hiro yang terdiam. Ia mengikuti arah pandangan Hiro ke arah yang sama.
Dilihatnya Kina yang tengah berjalan tak jauh didepannya. Beberapa detik kemudian, Kina menoleh dan mengetahui keberadaan Hiro dan Sato. Mata Kina bertemu dengan mata hitam Hiro. Namun seketika ia menyadari keberadaan Sato yang berdiri di belakang pemuda pucat itu. Seketika Kina memutuskan untuk melanjutkan langkahnya tanpa menyapa mereka. "Tunggu..", Hiro berjalan kearah gadis itu dengan cepat. "Mau pulang bersamaku?", terlihat senyuman Hiro disudut bibirnya. Kina terbelalak terkejut. Gadis itu melirik sesaat kearah Sato yang menundukkan kepalanya didalam keheningan. Namun disisi lain, Hiro dengan sengaja menunggu jawaban Kina. Gadis itu menggaruk-garuk belakang kepalanya yang tidak gatal dan memaksakan seulas senyuman. "Maaf.. Aku sudah ada janji dengan seorang teman." Lalu ia beranjak meninggalkan kedua pemuda itu.
"Kenapa dengannya?", Hiro menoleh ke arah Sato yang tengah memandangi kepergian Kina, berpura-pura bertanya. "Hei, kau kenapa Sato? Kau sakit?" Sato menatap Hiro dan berkata, "Daijoubu. Ayo pulang." Sato berjalan mendahului Hiro. Kini giliran Hiro yang berjalan mengikuti dibelakangnya dengan senyuman kecil disudut bibirnya sambil memandangi punggung Sato.
Sedari tadi, Kina belum menyeduh sedikitpun minumannya. Ia tengah bersantai di kedai kopi favoritnya. Sesekali ia memejamkan matanya yang terasa panas karena kurang tidur semalam. Tatapan kosongnya memandang kearah cangkir minumannya. Kemudian ia menghela nafas panjangnya. "Sebenarnya apa yang telah membuatku tergila-gila padamu? Kau adalah pemuda menyebalkan didunia ini yang pernah kutemui! Dengan sikapmu itu membuatku semakin bimbang atas perasaanku padamu." Ia memejamkan matanya sejenak. "Ada yang bisa kubantu, nona?" Seketika itu Kina membuka matanya saat mendengar suara yang sangat familiar baginya akhir-akhir ini.
Seharusnya, sekarang waktunya ia ditugaskan untuk mengantar pesanan ke pelanggan. Namun, titah dari bosnya yang memaksanya untuk tetap di kedai dan mengurus bagian dapur. Setelah pesanan Coffee Latte yang ia buat telah selesai, ia hendak mengambil nampan di rak yang letaknya tak jauh disampingnya. Saat tangannya hendak meraih nampan itu, sesuatu terlihat oleh ekor matanya dari sela-sela pintu dapur yang sedikit terbuka. Lalu pemuda itu menyipitkan kedua matanya untuk melihat dengan jelas wanita yang tengah duduk diujung meja sana.
"Ada yang bisa kubantu, nona?", senyuman Hiro mengembang layaknya menyambut tamu yang istimewa. Kina mengangkat wajahnya dan menatap wajah pucat Hiro. "Kau..!?", Kina menatap Hiro dengan ekspresi keheranan. Hiro lalu menarik kursi didepan Kina dan duduk berhadapan dengannya. Melihat ekspresi Kina yang masih bingung, Hiro membuka percakapan terlebih dahulu. "Aku bekerja paruh waktu disini setiap sore", Hiro menyandarkan punggungnya ke kursi. "Benarkah?", jawab Kinat takjub. "Ayahku menggunakan sebagian uangnya untuk menyembuhkan ibu." Singkat Hiro. "Sakit apa ibumu?"
Hiro menghela nafas dan membenarkan posisi duduknya. "Ada masalah apa?", Hiro berusaha mengganti topik percakapan. Gadis itu mengangkat kedua alisnya. "Apakah kau merindukanku?" Hiro tersenyum simpul sambil terus menatap Kina. Ingin melihat langsung bagaiman reaksinya. Gadis itu seketika tampak tengah menahan senyumnya dengan menggigit bibir bawahnya. Kemudian ia menunduk dan tampak menghela nafasnya pelan. "Sebenarnya ada sesuatu yang ingin kutanyakan padamu", Kina mengangkat pandangannya menatap Hiro. "Saat kau pergi kemarin, aku dan Sato sempat masuk kerumahmu", Kina menghentikan sejenak kalimatnya. Ia dapat melihat reaksi datar dari pemuda itu. Hiro melihat tatapan yang mencurigakan dari gadis didepannya. Dengan santai Hiro merebahkan punggungnya ke kursi untuk kedua kalinya. Lalu ia mendehem pelan dan mulai membuka mulutnya.
"Lalu?", tanya Hiro dengan tatapan yang lebih santai. "Apakah kau baik-baik saja?", tanya Kina sedikit ragu. "Apa maksudmu?", Hiro sedari tadi mencoba menebak jalan pikiran Kina. "Aku melihat darah di dapurmu." "Oh itu…." Hiro tampak memutar bola matanya. "Iya. Aku terluka sedikit. Tapi semua baik-baik saja." Terlihat gadis itu yang mulai menunjukkan ekspresi normalnya.
"Terima kasih atas niat baik kalian" jawab ringan Hiro. Kina tersenyum dan mengangguk pelan. "Bolehkah aku tau apa yang membuatmu sangat menghawatirkanku..?", Hiro menatap penasaran pada Kina. "Entahlah", Kina tampak tersenyum simpul. Jawaban ringan Kina itu diiringi senyuman Hiro. Tampaknya Hiro mengetahui betul apa alasan yang sebenarnya.
"Hiro! ini bukan waktunya untuk berkencan..!", teriak salah satu teman kerjanya dari kejauhan. Mereka berdua dibuat tertawa oleh kalimat itu. "Oke..... Sepertinya aku harus segera kembali bekerja", Hiro berdiri dan mendorong kursinya kembali merapat kesisi meja. Kina mengangguk cepat. Seketika itu pemuda jangkung itu menyentuh lembut kepala Kina lalu berjalan menuju dapur. "Apa itu tadi?" Kina masih tak percaya dengan apa yang dilakukan Hiro lima detik yang lalu. Senyumnya mengembang sambil memandangi punggung Hiro dari kejauhan.
Beberapa jam kemudian, Kina merebahkan diri di tempat tidurnya. Ayahnya untuk kesekian kalinya pulang terlambat. "Hari ke hari benar-benar berbeda jika tidak ada Hiro. Wajah pucatnya telah mengukir kerinduan dihati", senyuman Kina mengembang. Ingin rasanya mengulang kembali saat-saat ia bersama dengan pemuda itu. "Tapi bagaimana denganku? Aku menyukaimu, Kina" Seketika ia teringat akan penyataan Sato tadi siang. Ia hampir tak mempercayai ini semua.