"Hiro, maaf. Aku tidak bisa menjemputmu pagi ini. Aku ada janji dengan teman." Begitulah bunyi pesan singkat yang terletak di bawah pintu rumahnya yang berwujud selembar kertas kecil. Sepertinya Sato meletakkannya pagi-pagi sekali sebelum Hiro bangun. "Pasti karena seorang gadis", batin Hiro. Dengan suasana hati yang kesal, Hiro segera berlari mengejar waktu. Berusaha untuk mengumpulkan waktu yang terbuang sia-sia di pagi itu. Ia sadar bahwa sesungguhnya ia masih membutuhkan tumpangan sepeda dari Sato. Panas matahari mulai membakar kulitnya sedikit demi sedikit namun pasti. Kulit pucatnya terlihat semakin pucat karenanya.
Di halaman sekolah yang semula sunyi, mulai dipenuhi oleh para murid. Bel istirahat telah berbunyi dua menit yang lalu. Sato berjalan bersama kedua temannya di lorong hendak menuju kantin. Sekilas Sato melihat seseorang yang tak asing baginya yang tengah berdiri disudut kantor. Seorang pemuda yang sangat ia kenal. Ia pun menyuruh temannya untuk berjalan terlebih dahulu menuju kantin. Sato perlahan menghampiri pemuda yang sangat familiar baginya itu. Pemuda itu terlihat sedang membersihkan jendela kaca yang luas. Ia tengah berdiri membelakangi Sato, sehingga Sato tidak dapat melihat jelas wajahnya. Lalu Sato berjalan perlahan mendekatinya. "Hiro...?", Sato menyentuh pundak pemuda misterius itu.
Hiro memutar badannya dan meletakkan kemucing yang ia pegang. "Apa yang kau lakukan disini?", tanya Sato dengan sedikit bingung. "Kau tak tau? Sungguh kau tak tau?", kata Hiro dengan nada datar. Sato mengangkat alisnya saat melihat ekspresi Hiro yang berbeda. Entah mengapa, jantung Sato berdetak cepat saat Hiro menatapnya seperti itu. Sebuah tatapan yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Tatapan mata yang penuh dengan ketegasan. Sato melangkahkan kakinya mundur ketika Hiro berjalan mendekatinya. Mata hitam itu menatapnya dengan tatapan yang dalam. Sedangkan Sato tak punya daya untuk menatapnya. "Hi-Hiro... gomen.. kemarin aku sudah berjanji pada Kina", lanjut Sato yang masih terbelenggu didalam ketakutannya. Nadanya terdengar bergetar ditelinga Hiro. Kemudian Sato dapat melihat sebuah tatapan kosong dari mata Hiro. "Kina?", tanya Hiro memastikan. Sato mengangguk cepat dengan tatapan heran. Senyuman Sato berusaha menenangkan suasana yang menegangkan itu. Masih terlihat kesan menakutkan pada Hiro beberapa detik yang lalu. Kemudian, ekspresi Hiro berubah drastis lalu terkekeh pelan. "Kenapa kau sangat ketakutan?" "Bukan hanya ketakutan. Aku serasa berhadapan dengan sesosok vampir", Sato tertawa menyadari bahwa Hiro hanya mengerjainya. "Vampir? Bagaimana kau tau? Memangnya kau pernah melihatnya?" tanya santai Hiro sambil berjalan memeluk bahu sahabat karibnya. "Hanya di serial Hollywood. Tapi itu sungguh menyeramkan jika berhadapan langsung dengan mereka bukan?" "Mungkin", jawab singkat Hiro sambil menerawang jauh kedepan. Seketika itu, terdengarlah samar-samar suara seseorang berteriak jauh dibelakang mereka. Lalu mereka berdua menoleh ke asal suara itu.
*Gomen=Maaf*
"AWASS!!", terdengarlah jeritan seseorang dari tengah lapangan. Hiro melihat sebuah tongkat kasti melayang menuju Kina tanpa sepengetahuan gadis itu. Seketika Hiro berlari menuju tempat Kina berdiri, ia menembus teriknya panas sang raja siang. Cahaya itu kini secara perlahan merambat ke helaian rambutnya. Ia lupa untuk mengenakan topinya untuk menghadang sinar matahari langsung mengenainya. Tak lama kemudian, gadis itu melihat Hiro yang berlari menuju kearahnya dengan ekspresi yang panik. Ia mengangkat kedua alisnya tanda tidak mengerti saat Hiro meneriakinya untuk menghindar. Lalu seketika itu Hiro langsung menyambar lengan Kina dan ditariklah ia tiga langkah menjauhi tepi lapangan. Tongkat kasti itupun walau sempat meleset beberapa senti namun menghantam kepalanya lumayan keras. Kina mendengar dengan cukup jelas nafas pemuda itu yang berpacu dengan cepat. Hiro mulai merasakan sesuatu yang merambat didalam tubuhnya. Sesuatu yang menyerang tubuhnya secara perlahan. "Gawat!!", ia terkejut saat teringat bahwa topinya tidak dipakainya saat itu. Ia mengutuk dirinya sendiri dalam hati. Detik ke detik, menit ke menit, ia merasakan sarafnya melemah. "Daijoubu?", bisik pelan Hiro dan menatap gadis yang berdiri disampingnya. Kina mengangguk pelan dan masih mencerna apa yang baru saja telah terjadi padanya. Kina merasakan genggaman tangan Hiro mulai melemah. Seketika itu, jatuh tersungkurlah tubuh Hiro dihadapannya. Di antara panasnya terik matahari, Hiro dapat melihat bahwa ia mulai dikelilingi oleh teman-temannya. Perlahan tubuhnya mulai mati rasa. Suara yang ia dengar bergema ditelinganya. Pandangannya menjadi kabur. Lalu menjadi hitam sepenuhnya.
"Dimana aku? Apakah aku sudah mati?" "Belum. Kau belum mati Dai Akihiro", sebuah suara terdengar. "Siapa kau!", Hiro menoleh ke sisi kanan dan kirinya. Namun ia hanya dapat melihat cahaya putih dimana-mana. "Tak perlu kau mencariku. Dan tak perlu juga kau tanyakan siapakah aku. Sudah pastilah kau tau. Aku, adalah hatimu", suara itu mulai muncul lagi. "Dai Akihiro. Nama itu yang selalu kau banggakan sedari dulu. Dan nama itu pula yang akan membawamu pada keselamatan. Namun, ada beberapa hal yang ditakdirkan menjadi korban. Itu telah menjadi bagian dari kisah hidupmu yang tidak bisa kau tolak." Perlahan ia melihat perwujudan dirinya sendiri yang tengah berdiri dihadapannya seperti melihat sosok yang muncul pada permukaan cermin yang besar. "Sebenarnya, kaulah yang menentukan takdirmu sendiri. Tinggal kau yang memilih akan mengukir takdir yang buruk atau yang baik", katanya sekali lagi. "Apa maksudmu? Takdir semacam apa yang kau maksud?", tanya Hiro tak mengerti. "Dengar baik-baik Hiro….." sosok itu menyentuh pelan bahu Hiro. Namun kalimatnya terputus dan perlahan cahaya disekitarnya menyilaukan matanya dan ia dapat mendengar suara Sato dan Kina yang tengah mencemaskan keadaannya saat ini.
"Kenapa kalian disini?", terdengar oleh Kina dan Sato sebuah suara di UKS yang sunyi itu. Keduanya menatap mata Hiro yang masih terpejam itu. Beberapa detik kemudian, tersirat senyuman kecil dibibir Hiro. Perlahan Hiro membuka matanya dan ia melihat gadis itu tengah duduk disamping ranjangnya dengan tatapan mata yang sendu. Terdengar Sato yang tengah menghela nafas beratnya. "Sepertinya aku salah masuk ruangan", senyum tipis Sato terlihat. Hiro tertawa terbahak-bahak mendengarnya. "Daijoubu?", kecemasan Kina terlihat jelas pada raut mukanya.
Hiro memutar bola matanya dan bergumam. "Daijoubu...", jawabnya santai. "Apakah kau terluka? Aku tidak pernah melihat kondisi orang separah ini", tanya gadis itu dengan panik. Hiro masih terdiam seribu bahasa. "Dan.... apakah ini salahku?", Kina nyaris tak sanggup mengatakannya. "Memangnya apa yang telah kau lakukan?", terlihat senyuman disudut bibirnya. Senyuman yang mungkin takkan pernah ia lupakan. Setiap detik, setiap menit, ia akan terus mengingatnya. Walaupun senyuman yang sekejab itu akan sirna juga nantinya.
"Kina, sebaiknya kita keluar saja. Dia masih butuh istirahat untuk saat ini", sahut Sato. Kina mengangguk pelan, lalu ia berjalan ke arah Sato. "Hey, Sato! Hati-hati dengannya. Jangan membuatnya marah. Pasti akan berubah menjadi kepiting", canda Hiro dengan senyuman khas di bibirnya. Kina tersenyum kecil dibuatnya. Sato hanya mengangguk dan membalas senyuman Hiro.
Di dekat air mancur halaman sekolah, terlihat Sato yang sedang melempar batu kecil ke tengah kolam. Sato yang sedang berdiri ditepi kolam, dan Kina yang duduk di rerumputan sambil merenung. "Kenapa?", tanya Sato yang sesekali melirik kearah Kina. "Sebenarnya apa yang terjadi pada Hiro? Itu bukan hanya karena sebuah tongkat kasti saja bukan?" tanya Kina penasaran. "Entahlah. Ia tak pernah menceritakan tentang hal itu pada siapapun. Bahkan pada sahabatnya sendiri", terdengar Sato yang menghela nafas pelan. Tiba-tiba, terdengar suara HP Kina berdering dan sebuah nada dering yang asing ditelinga Sato. Gadis itu segera mengangkat panggilan masuk itu. "Halo, Ayah? ................ Oh iya. Tak masalah. Jangan sampai telat makan ya", katanya, setelah mengetahui bahwa ayahnya akan pulang terlambat sore ini dari tempatnya bekerja. "Nada deringmu.... ", tanya Sato sesaat Kina memasukkan ponselnya ke sakunya. Tampak senyuman kecil disudut bibir gadis itu. "Nada deringku itu sebuah lagu yang memakai Bahasa Indonesia", jelasnya. "Jadi, kau bukan asli Jepang?", tanya Sato tak percaya. Kina mengangguk dan berkata, "Aku mempunyai darah campuran. Ibuku asli Indonesia dan ayahku asli Jepang. Saat ibuku meninggal, tak lama kemudian ayah membawaku ke Jepang", Sato hanya dapat mengangguk-angguk pelan mendengar kalimat demi kalimat Kina.
Terlihat seorang pemuda berjalan terseok-seok dilorong kelas. Sesekali terjatuh karena tak kuat menompang beban tubuhnya. Seketika, berdiri seorang gadis yang sangat ia kenal dihadapannya. "Apa yang kau lakukan? Harusnya kau istirahat di ruang UKS", Kina membantu pemuda itu untuk berdiri. Gadis itu memapah tubuh Hiro hingga terduduk di kursi. Lalu Kina duduk disamping Hiro. Entah mengapa, pemuda disampingnya ini seperti tengah memikirkan sesuatu. "Hiro, ada apa?", tanya Kina ditengah lamunan pemuda itu. Dilihatnya ia hanya menggelengkan kepala dengan lemas. "Sudah makan?", lanjut Kina. Pemuda ini hanya menggelengkan kepala dan tak bersuara untuk kesekian kalinya. "Pemuda ini... pemuda yang duduk disampingku sekarang, terhadang membuatku bingung. Terkadang juga membuatku takjub." "Hiro, aku boleh tanya sesuatu?", ia melirik ke lengan Hiro yang pucat. Kina menarik lengan kiri Hiro untuk melihat telapak tangannya. Namun, dengan cepat Hiro menarik kembali tangannya itu. Terlihat olehnya, Hiro yang tengah mengepalkan tangannya kuat-kuat seperti menyembunyikan sesuatu. Terlihat oleh ekor mata Hiro, gadis itu yang masih menatap ke arahnya. Tak lama kemudian, terdengar samar-samar Kina yang tengah menghela nafasnya.
Entah mengapa, Hiro merasa damai bila berada bersama gadis ini. Namun ia masih ragu untuk menaruh sebuah kepercayaan pada Kina. "Daijoubu", jawab Hiro lemas. Kina hanya dapat berdecak lidah pada sikap Hiro yang masih tertutup padanya, bahkan pada Sato sekalipun bak memiliki rahasia terbesar yang berusaha ditutupi. "Kau tahu, kau adalah salah satu orang yang terkadang membuatku sangat bingung", sahut Kina datar. "Kau tahu, terkadang laki-laki tidak akan mau terlihat lemah dalam kondisi apapun itu dihadapan gadis yang menggemarinya. Karena itu sama sakitnya dengan dicabik-cabik oleh singa hutan yang liar", sahut Hiro sambil melirik gadis disampingnya. Senyuman kecil terlihat disudut bibir Hiro. "Hontou?", kina ikut tersenyum lalu memukul lengan Hiro berusaha mencairkan suasana. Kemudian, Kina bangkit dan beranjak dari duduknya.
Ia merasakan seseorang meraih tangannya. "Jangan pergi. Tetaplah disini", Kina dapat mendengar jelas suara itu. Ia menoleh ke arah Hiro. Sebuah mata hitam sedang menatapnya. Mata hitam itu yang telah membuatnya jatuh hati sejak pandangan pertama. Membuatnya tak dapat berkata apa-apa. Secara tidak sadar, Kina kembali duduk disamping pemuda itu. Hiro kembali bergeming menatap jauh kedepan. Kina memandang wajah pucat Hiro dari samping.
Sepuluh menit yang lalu. Sebenarnya, Hiro masih ingin menikmati istirahatnya di ruang UKS. Namun sesuatu telah mengganggu pikirannya. Ia segera bangkit dari tidurnya dan berjalan keluar ruangan. Setelah beberapa meter meninggalkan pintu UKS, terlihat siswi-siswi perempuan yang berbondong-bondong tengah mencarinya didalam ruangan itu. Ia menghela nafas lega saat mengetahui bahwa dewi fortuna telah berpihak padanya."Bukan maksudku untuk menghindari kalian. Namun aku tak mau kalian melihat keadaanku seperti saat ini."
Beberapa jam kemudian. Kina melihat jam tangan yang melingkar pada pergelangan tangan kanannya itu. Waktu telah menunjukkan bahwa jam sekolah telah usai. Kina berdiri didepan gerbang sekolah. "Dimana dia?", terlihat Kina yang tengah menengok ke kiri dan ke kanan. Tampak tengah menanti seseorang yang sangat ingin ia temui saat itu. Entah telah berapa kali ia melihat jam tangannya. "Konichiwa, Kina-chan. Apakah kau ada kegiatan sore ini?", sapa Sato dari sisi belakang. Melihat pancaran mata yang berbinar-binar itu, Kina menjadi ragu untuk menjawab. "Kalau kau tidak ada kegiatan, maukah kau pergi jalan-jalan denganku?", Sato melepaskan kacamatanya lalu mengusap-usap kedua lensa itu. "M-maaf, aku ada acara lain", jawabnya rendah. "Tak masalah. Kalau begitu, lain waktu bisa kan?", kata Sato menutupi kekecewaannya. Pemuda itu melihat Kina yang mengangguk pelan. "Jia na", Sato menutup pembicaraan antar mereka. Gadis itu tertegun saat melihat paras Sato yang tanpa kacamatanya. Tampak berbeda.
*Konnichiwa=Selamat sore*
*Jia na=Selamat tinggal*
Lima menit kemudian, Kina berjalan pulang melewati depan pertokoan. "Apa Hiro telah pulang terlebih dahulu?" Kemudian langkahnya terhenti oleh sebuah kaleng minuman yang menggelinding ke arahnya. "Sumimasen", kata anak kecil yang tengah berlari menuju ke arahnya, lalu ia mengambil kaleng itu. Kina hanya tersenyum ramah padanya lalu ia duduk berjongkok. "Namamu siapa?", sapanya dengan ramah. Anak kecil yang berumur sekitar empat tahun itupun menyebutkan namanya. Namun, sebuah nama itu terdengar ditelinga Kina seperti 'Dai Akihiro'. Kina mengangkat alisnya keheranan. Seketika, ibu anak kecil itu memanggilnya. "Akira, ayo pulang." Anak kecil itupun berlari tertatih-tatih menuju ibunya. Kina terpaku mendengar nama yang berbeda dengan apa yang didengarnya. Senyuman kecil tersirat disudut bibirnya. "Mengapa aku terbayang-bayang oleh nama itu..?"
*Sumimasen=Permisi*
Ia tidak menyadari, bahwa sedari tadi ia tengah berdiri didepan toko buah. Iapun teringat pada perbincangannya dengan Hiro di lorong kelas tadi siang. Melihat warna wajahnya yang pucat, mendorongnya untuk membeli beberapa buah untuknya dengan itu ia mempunyai alasan untuk berkunjung kerumahnya dan menjenguknya. Ia pun melangkahkkan kakinya memasuki toko itu. "Buah apa yang disukainya?"
Tersisa beberapa meter jarak dari rumahnya. Hiro berusaha menopang tubuhnya dengan kedua kakinya yang nyaris tak sanggup lagi berjalan lebih jauh. Langkahnya terasa semakin berat. Waktu terasa semakin lama pula untuk meraih gerbang rumahnya itu. Entah berapa liter oksigen yang masih tersisa direlung dadanya. Nafasnya tercekat. Seketika itu angin berhembus sedikit lebih kencang dan menjatuhkan topi yang bernaung diatas kepalanya. Saat ia hendak mengambil topi itu, tubuhnya kehilangan keseimbangan lalu terjatuh. Cahaya jingga segera menyambar langsung kearah rambutnya untuk kesekian kalinya. Waktu ke waktu, warna rambutnya perlahan mulai berubah warna menjadi kecoklatan. Dan warna hitam pada kornea matanya perlahan memudar seiring berjalannya waktu. Sesuatu mulai menyerang syaraf pemuda itu lagi. "Aku seorang pangeran. Bahkan matahari sialan itu juga harus tunduk padaku." Hiro segera meraih topinya dan mengumpulkan tenaga untuk berdiri.
Terdengar suara sendok dan secangkir teh yang saling berhantaman. Hiro hanyut dalam lamunannya. Pandangannya terbuang jauh keluar jendela dapurnya. Masih terlihat awan berwarna jingga diufuk barat. Menjadikan suhu ruangan berubah sedikit hangat. Menghangatkan jiwanya yang mati membeku. Syaraf-syarafnya kini perlahan terbangun dan kembali bekerja. Tersentaklah ia saat ujung pisau menggores jari kelingkingnya. Sebuah pisau yang berada tepat disamping jemarinya itu telah merobek sebagian kulit jemarinya. Tersirat tetesan darah disana yang semula pucat.
Didekat perapian, Hiro duduk termenung. Pikirannya jauh memandang kedepan. Diluruskanlah kakinya diatas meja yang berada tak jauh dihadapannya itu. Ia menyeduh secangkir teh yang digenggamnya. Kehangatan teh melewati dadanya dan menyusuri setiap sela paru-parunya. Menghangatkan tubuhnya yang semula bergemetar. Memulihkan kembali pikirannya. Lampu ruangan perlahan redup. Seakan-akan mengetahui kerisauan hati penghuninya. Tak lama kemudian, jiwa pemuda itu kembali masuk kedalam raganya. Lampu ruangan kembali terang. Lalu ia meletakkan cangkirnya yang nyaris kosong itu diatas meja. Segeralah ia berlari menuju kamarnya di lantai atas.
Beberapa menit kemudian, Hiro berdiri dianak tangga. Ia menghela nafas sejenak. Lalu berjalan menuju perapian. "Mau kemana pangeran?", tanya Y memastikan. Lalu J dan L pun tak lama kemudian berada di ruang perapian juga. Mereka muncul tiba-tiba entah datang darimana. "Aku akan pulang. Disetujui ataupun tidak, aku harus bertemu dengan ayah." Mereka bertiga hanya bergeming sambil memandang satu sama lainnya, mempertimbangkan apakah ini aman atau tidak untuk sang anak mahkota. Seperti adanya kontak mata, mereka mengiyakan Hiro. Hiro bangkit dari duduknya dan segera menuju pintu utama lalu ia mengunci pintu rumahnya. Hiro melanjutkan perjalanannya ke perbukitan yang letaknya tak begitu jauh. Beberapa menit kemudian, sampailah ia di tepian sebuah danau yang memantulkan potretnya dipermukaan air yang tenang itu. Hiro berdiri dan memandang ke seberang danau.
Memberinya waktu untuk merasakan udara sekitar. Memberinya kesempatan untuk merasakan sapuan angin yang meniup helaian rambutnya yang telah berubah warna. Memberinya harapan untuk dapat kembali lagi. Iapun membuka matanya yang semula menutup itu. Tak lama kemudian, ia memutar badannya lalu menuju pepohonan yang lebat itu. Diambilnya prisma itu dari balik rompinya. Beberapa detik kemudian, portal terbuka kembali. Setelah sekian lama, akhirnya ia dapat menghirup udara yang dirindukannya dalam beberapa hari terakhir ini. Terlihat senyuman kecil disudut bibirnya. "Ayah! Aku pulang!", Hiro pun melangkahkan kakinya. Setelah ia memasuki garis itu, seketika itu portalpun kembali menutup.
"Siapakah namanya?", goda seorang ayah pada putrinya. Diantara hangatnya perapian di ruangan keluarga, terlihat tumpukan buah yang indah di atas meja telah tersusun rapi pada sebuah keranjang kecil. Sesekali, Kina tersenyum saat menata buah itu. Iapun menoleh saat mendengar suara ayahnya. Kina pun tersenyum kecil. Ayahnya lalu duduk disamping Kina. "Namanya, Hiro. Dai Akihiro."
***
Suara hewan nokturnal terdengar disekelilingnya, burung hantu, kelelawar, dan burung-burung kecil nocturnal lainnya. Dedaunan pohon seakan berbisik diantara lambaiannya. "Pangeran. Hati-hati. Pangeran. Hati-hati." Saling sambung menyambung. Hiro melangkahkan kakinya semakin dekat menuju istana. Beberapa meter dari tempatnya berdiri, tanpa disadarinya ada seseorang yang mencoba menyerangnya dari belakang. Semua terjadi sangat cepat. Benda keras itu mengenai pundak kirinya. Terbuyung jatuhlah badannya. Terlihat siluet seseorang yang berdiri tepat dihadapannya. Kegelapan malam menutupi parasnya. Hiro tak dapat melihat jelas wajah itu. Perlahan pandangannya menjadi buram. Dilihatnya, orang itu mengayunkan benda keras yang berada ditangannya sekali lagi. Sebelum menyadari apa yang tengah terjadi. Pandangan Hiro berubah menjadi hitam semuanya. Beberapa menit kemudian, terdengar oleh Hiro suara berbisik-bisik disekitarnya. "Pangeran! Pangeran! Bangun, Pangeran! Tolong maafkan hamba" "Jika sesuatu terjadi pada pangeran, kau yang harus mempertanggungjawabkan semua ini pada Baginda Raja! Lehermu jadi taruhannya", suara itu terdengar semakin jelas dan semakin jelas. Hiro membuka kedua matanya secara perlahan. Pundak kirinya terasa sangat berat. Penglihatannya belum dapat menyesuaikan dengan cahaya sekitar. Ia menutup dan membuka matanya beberapa kali. "Pangeran..... Apakah anda terluka?" Hiro melihat ke seseorang disampingnya. Terdapat empat orang prajurit yang tengah mengelilinginya saat ini. "A-aku tidak apa apa", ia mencoba untuk berdiri. Namun kemudian, ia terjatuh sambil menahan rasa sakit yang teramat sangat pada pundak kirinya. "Pangeran, mari saya bantu...", prajurit-prajurit itupun memapah Hiro memasuki wilayah istana.
"Hiro..!!!", ayahnya terkejut melihat kedatangannya. "Apa yang terjadi?!", tanya sang raja pada keempat prajurit itu. Ke-empat prajurit itupun tak berani menatap langsung pada sang raja. Mereka masih menunduk hingga sang raja menghantamkan pangkal tongkatnya ke lantai. Salah satu dari mereka pun memberanikan diri untuk menjelaskan tentang sesuatu yang telah terjadi pada rajanya itu. Beberapa detik kemudian, terdengar suara yang keras sekali. PLAKK! Sehingga membuat Hiro mengangkat kepalanya yang semula menunduk turut serta mendengar kronologi dari salah satu prajuritnya. "Ayah, hentikan!", teriak Hiro saat melihat ayahnya yang menampar prajurit itu hingga jatuh tersungkur. Hiro pun berusaha melindunginya dari kemurkaan ayahnya. "Ayah, tolong ampuni mereka. Mereka tidak tahu kalau ini aku. Aku pun juga salah pada saat itu. Aku datang dengan mengendap-endap. Sudah sewajarnya kalau mereka salah sasaran." "Baiklah. Karena ini adalah permohonan dari pangeran, kali ini kumaafkan kalian. Lain kali jangan harapkan kalian ber-empat bisa menghirup udara keesokan harinya", sang raja menghela nafas panjangnya. "Terima kasih, Yang Mulia", sahut para prajurit yang masih menunduk. "Bantu Hiro masuk!", perintah sang raja pada prajurit-prajurit itu. Salah satu dari mereka memapah Hiro membantunya berjalan. "Terima kasih, pangeran. Kami berhutang empat nyawa pada anda", bisiknya pada sang putra mahkota. Hiro hanya mengangguk pelan.
Ia berbaring di tempat tidurnya. Bahu kirinya pun segera diobati oleh tabib istana. "Pangeran, ini akan meninggalkan efek samping", kata sang tabib dengan ekspresi menyesal. Hiro menunjukkan raut muka yang cemas. "Bagaimana keadaan Hiro?", datang sang raja ke kamar Hiro. Tatapan mata Hiro mengisyaratkan suatu kode pada tabib istana. "Pangeran akan segera sembuh, Yang Mulia", jawab sang tabib dengan kepala menunduk lalu segera meninggalkan ruangan memberi waktu supaya anak dan ayah bisa berbicara leluasa. Hiro bangkit dan duduk ditepi tempat tidurnya. "Aku akan segera sembuh, Ayah. Jangan cemas. Bisakah kita melupakan kejadian malam ini? Aku tidak mau menambah kerutan di wajah ayah", jawab Hiro mencoba menenangkan. "Baiklah. Kalau begitu, ayo kita rayakan kepulanganmu. Akhir-akhir ini ayah sangat rindu padamu", kata sang ayah sambil memegang lembut pipi kanan Hiro. Sang raja bangkit dan memutar badannya hendak keluar dari kamar Hiro. Namun Hiro melihat ayahnya yang menghentikan langkahnya lalu membalikkan badan menghadap ke arahnya lagi. "Kau tampak berbeda", terlihat senyuman kecil disudut bibir ayahnya. Kemudian ia berlalu meninggalkannya seorang diri di ruangan itu. Hiro masih duduk termenung. "Efek samping?" Ia menghela nafas panjangnya dan beberapa menit kemudian ia beranjak dari duduknya lalu menyusul ayahnya ke ruang makan.
Anak dan ayah itu tengah duduk berhadapan diterangi lampu gantung dan beberapa lilin diatas meja. Menambah kesan klasik disana. Ditengah-tengah kesunyian meja makan, ayahnya tiba-tiba berkata, "Serasa kembali seperti semula saat melihatmu makan begitu lahapnya." Hiro menghentikan aktifitasnya. Bahkan sedari tadi ia tak menyadari bahwa ayahnya terus memperhatikannya yang sedang melahap makanan diatas meja. Hiro berdehem lalu berkata, "Tidak ada yang berubah, ayah. Ayah dan aku akan tetap sama seperti dulu." Ia tersenyum kecil lalu meminum secangkir tehnya. Ayahnya pun tersenyum saat mendengar respon putranya itu. "Ya, benar. Hanya sedikit lebih sunyi di istana tanpamu." Melihat Hiro yang hampir selesai melahap makanannya, sang raja pun berkata dengan hati-hati, "Ayah telah mendengar tentang kematian Kao." Perkataan ayahnya itu membuat nafasnya tercekat. Hiro menghentikan aktifitasnya sejenak, lalu ia segera meminum habis tehnya. "Aku mau istirahat dulu. Sampai bertemu besok pagi, ayah." Ia bangkit dari duduknya dan meninggalkan ayahnya di ruang makan yang lenggang itu. Namun sebuah suara menghentikan langkahnya. "Apa kau melihat pembunuhnya?", kata ayahnya datar. "Tidak. Aku tidak melihatnya dengan jelas." "Maafkan ayah kalau telah merusak suasana hatimu. Baiklah ayah tidak akan menanyakannya lagi. Sebaiknya kau duduk kembali karena ayah masih ingin menanyakan suatu hal yang lebih penting dari semuanya. Siapa gadis itu?"
Dari atas balkon, tampak jelas dari kejauhan aktifitas-aktifitas rakyatnya malam itu. Mengingat tinggi istana yang beberapa meter dari bawah, Hiro dapat melihat jelas pemandangan sampai ujung penglihatannya. Tawa dan tangis anak kecil menambah keramaian dimalam pertama kedatangannya. Lampu-lampu perumahan berkelap-kelip digelapnya malam. Serta beberapa prajurit yang sedang berpatroli memberi hormat padanya dari bawah sana. Dapat dilihat ekspresi bahagia dari siapapun yang melihat Hiro karena kedatangannya malam ini. Sesekali ia tersenyum ramah pada mereka. Matanya yang terasa panas itu ditiup oleh udara malam yang hangat. Rambut coklatnya perlahan berubah warna menjadi hitam seperti sedia kala, hitam pekat, dan warna kornea matanya pun berubah ke warna aslinya. Perlahan ia dapat merasakan gigi taringnya yang mulai tumbuh. "Aku adalah iblis" "Kau bukan iblis, Hiro. Kau adalah vampir", ayahnya berjalan menuju kearahnya.
"Bagaimana kabarmu?", ayahnya memulai percakapan. "Sangat kacau, ayah. Terkadang aku berfikir kenapa aku harus dilahirkan ke dunia ini. Apakah aku pantas akan hal itu. Kehadiranku hanya menyebabkan ribuan nyawa melayang dalam sekejab mata di peperangan ini. Padahal tidak ada yang istimewa didalam diriku. Tapi aku tak mengerti mengapa mereka sangat menaruh kepercayaan padaku akan tanggung jawab yang besar sebagai pewaris tahta. Kurasa aku tak pantas untuk hal semacam itu. Aku hanyalah pembawa sial", ungkap Hiro. Mendengarnya, sang raja tersenyum kecil seraya berkata, "Kau tau? Kau harus lebih bisa menghargai apa arti hidup itu sebenarnya. Terkadang kau harus menempuh bukit terjal, mengarungi sungai dengan buaya didalamnya, dan banyak rintangan lain yang bahkan tak pernah kau bayangkan. Belajarlah dari pengalaman-pengalamanmu yang kau alami. Sesungguhnya, dirimu sendirilah yang menuliskan takdir hidupmu." Ayahnya berdiri disebelahnya dan menatap lurus keluar. Beberapa detik kemudian, Hiro berusaha mengubah topik pembicaraan. Ia telah lelah untuk berlarut-larut dalam kesedihannya selama ini. "Ayah tak berniat untuk menikah lagi?", pertanyaannya membuat ayahnya menengok cepat ke putranya.
"Menikah? Apa kau rela? Apakah itu dapat membuatmu senang?", jawab sang raja dengan seulas senyuman yang berhasil membungkam mulut Hiro. "Hiro, ketahuilah satu hal. Ayah hanya memikirkan yang terbaik untukmu dan kerajaan kita. Hidup ayah hanya untukmu. Selama itu dapat membuatmu bahagia, maka akan ayah lakukan. Dunia rasanya telah berubah setelah meninggalnya ibumu. Semua tipu daya, semua ada di panggung sandiwara ini. Dan bagi ayah, sudah cukup ada kau disini yang telah menjadi pelengkap hidup ayah. Ayah tak pernah mengharapkan sesuatu yang lebih dari sebuah keadaan. Ayah hanya ingin menjalani tugas sebagai ayah yang baik untukmu dan sebagai Raja yang mampu mengayomi rakyat kita." Perkataan ayahnya sungguh menyentuh lubuk hati Hiro. Hiro tengah menahan air matanya yang nyaris jatuh. Tak disangka, dibalik sikap dingin ayahnya, disana ada secercah serpihan-serpihan bintang yang sangat menghangatkan. Kini ia menjadi lebih lega saat mendengar perkataan ayahnya.
***
Kring kring... suara sepeda Sato terdengar diantara pepohonan yang terletak di sepanjang tepi jalan. Ia menggayuh sepedanya dengan santai pagi ini. Suasana pagi itu menggambarkan perasaannya yang cerah. "Buah-buahan itu untuk siapa?", tanya Sato sambil sedikit menoleh ke belakang. Gadis dibelakangnya mengangkat wajahnya yang semula menunduk lalu ia tersenyum kecil. "Hiro", jawabnya singkat. Keceriaan diwajah pemuda itu seakan memudar saat mendengar nama itu. "Ooh.. Hiro", Sato kembali menenangkan dirinya dan berkonsentrasi menggayuh sepedanya. Terlihat senyuman kecil yang dipaksakan olehnya. "Kau menyukainya?", Sato menahan nafasnya beberapa detik saat mengucapkannya. Terdiam sesaat antara mereka. Beberapa detik kemudian, terdengar Kina yang bergumam, lalu terdengar sebuah jawaban yang melemaskan seluruh syarafnya.
Sepuluh menit yang lalu. Seperti memulai untuk kebiasaan setiap paginya. Sato telah menunggu didepan gerbang rumah Kina. Pemuda itu sesekali menengok ke pintu rumah yang belum terbuka itu. Lewat jendela kamarnya, Kina melihat seseorang yang tak asing baginya. Seorang pemuda yang duduk diatas sepedanya dengan jaket jeans biru serta mengenakan kacamata. Terlihat sesekali ia meniup kedua tangannya lalu menggosok-gosokannya. Kina segera memakai sepatu bertalinya. "Sampaikan salam ayah untuk Hiro ya", kata ayahnya yang tengah menyantap sarapan pagi di meja makan. Kina hanya tersenyum sebagai jawabannya. Ia segera keluar menuju gerbang besar rumahnya. Tak lupa dibawanya keranjang buah yang telah ia rangkai semalam mengingat ia yang berusaha menemui Hiro dan hasilnya nihil. Rumah itu terkunci dan tidak ada siapapun yang keluar. Pintu rumah berwarna krem yang semula tertutup itupun mulai terbuka. Seorang gadis dengan rambut terurai itu terlihat tergesa-gesa menuju kearahnya. Sesekali langkahnya tersendat oleh tali sepatunya yang belum terikat sempurna. Dan ia melihat Sato yang tersenyum simpul memperhatikannya.
Terlihat olehnya, pipi pemuda itu yang memerah karena dinginnya cuaca pagi itu serta kacamatanya yang mulai mengembun dan hal itu tiba-tiba mengingatkannya pada wajah pucat Hiro. Wajah pucat Hiro berbanding terbalik dengan wajah seorang pemuda yang ia lihat saat ini. Ketika Kina membuka pintu gerbangnya, terdengar pemuda itu berkata, "Bangun kesiangan?" Kina mengangguk lalu membalas senyuman Sato. "Kau telah membuatku menunggu selama dua menit.... Sekarang kau push-up sepuluh kali", candanya. "Push-upnya lain kali saja ya kapten atau kita akan push up didepan lorong kelas." Tak lama kemudian pemuda itu bersiap-siap untuk menggayuh sepedanya. "Aku tau kau pasti akan berkata seperti itu", pemuda berkacamata itu berdecak lidah. Kemudian terdengar gelak tawa dari Sato. Kina pun memukul pelan punggung Sato yang kini berada didepannya itu. Gadis ini merasakan sepeda yang dinaikinya mulai bergerak. Sesekali ia memandang keranjang buah ditangannya dengan senyuman kecil disudut bibirnya. Beberapa detik kemudian, ia mengangkat pandangannya dan menutup matanya. Merasakan dinginnya desiran angin yang menyapa pelupuk matanya yang hangat. Ia pun menghembuskan udara yang sedari tadi dihirupnya. Membentuk sebuah uap putih yang mengepul disekitar wajahnya.
Gadis ini pun perlahan membuka kedua matanya. Terlihatlah barisan pepohonan yang sering dilihatnya. Ia pun memandangi punggung pemuda yang sedang memboncengnya itu. "Dosakah aku jika saat ini aku berharap bahwa kau adalah Hiro? Haramkah?" "Buah itu untuk siapa?", suara Sato mengacaukan lamunannya. Kina tersenyum kecil. Lalu ia mengangkat pandangannya untuk melihat wajah Sato yang sedikit menoleh kearahnya. "Hiro", pemilik nama itu yang sedari tadi telah menghipnotis pikirannya. Membawanya terbang membelah cakrawala. Meninggalkan raganya diatas bumi. Sesaat kemudian, terdengar respon Sato yang datar ditelinganya. Beberapa saat kemudian, terdengar lagi suara pemuda itu. "Kau menyukainya?", suaranya kini terdengar sedikit tersendat. Pada awalnya, gadis ini sedikit ragu untuk menjawabnya. Menyadari suatu kenyataan bahwa pemuda ini adalah teman dekat Hiro. Tampak Sato yang tengah menanti jawaban Kina. Lalu tak lama kemudian, suara Kina pun mulai terdengar ditelinga Sato. "Menenangkan sekali setiap aku bersamanya. Bicara cinta tak sekedar cinta. Namun ini rasaku, memuncak bergemuruh hanya aku yang tau."
Kina tak mengetahui apa yang Sato rasakan pagi itu. Di sepanjang lorong kelas, Sato hanya terdiam tak berkata sepatah katapun. Dan Kina hanya menganggap hal itu biasa saja. Didalam kelas, Kina duduk bertopang dagu dan sesekali melirik kursi Hiro yang masih kosong. Tak biasanya ia datang terlambat, pikirnya. Dan ia tak sadar bahwa Sato telah memperhatikannya sedari tadi dari bangku seberang. Pemuda itupun menghampirinya lalu duduk didepan bangku Kina. "Mau menitipkan buah itu padaku? Nanti akan langsung kuberikan padanya." Gadis itu tersenyum kecil dan menggeleng pelan. Pemuda itu berbisik pelan dihatinya. "Bisakah kau terlepas dari pesona Hiro dan mulai memandangku?", terlihat jelas pemuda itu yang tengah menghela nafasnya yg tercekat sedari tadi.
***
"Hiro, ayo kejar aku....!", suara Daisuke membuat Hiro menghentikan aktifitasnya. Ia menoleh kearah sahabat karibnya itu. "Tidak mau", jawab sinis Hiro. "Kenapa?", Daisuke datang mendekati sahabatnya yang tengah bermain tanah liat itu. "Karena, aku ingin cepat dewasa lalu membangun istanaku sendiri seperti bentuk tanah liat ini", jawabnya sambil mengepal-ngepalkan tangannya pada lempung itu. Tangannya yang pucat terlumuri oleh warna coklat dari lempung. "Waaaah…. Kau hebat! Kalau begitu, aku juga ingin membangun istanaku sendiri. Tolong bantu aku ya Hiro", Daisuke mulai meraih segumpal tanah liat itu. "Kau ingin membuat istana seperti apa, Dake?", tanya Hiro padanya. "Aku ingin istana seperti yang kau buat", Daisuke menunjuk ke arah tanah liat Hiro. "Tetapi yang ini sulit. Kau tidak akan pernah bisa membuatnya." Terlihat wajah Dake yang bersungut-sungut.
Kini tidak ada lagi tanah liat di halaman istana. Mereka sudah tergantikan oleh rumput yang hijau serta pohon-pohon yang rindang sejak seratus lima puluh tiga tahun terakhir. Saat ini daun-daun itu jatuh berserakan di taman istananya. Daun-daun itu mengering dan telah berubah warnanya. Sesekali tiupan angin yang lumayan kencang menerbangkan daun daun itu dan menerpa tubuh Hiro. Beberapa menit telah berlalu. Namun ia masih terdiam dan memandang jauh kearah depan. Hiro terduduk di kursi taman. Daun yang jatuh disamping kakinya itu membangunkannya dari lamunannya. Lalu ia mengambil daun kering itu. "Sampaikan salamku padanya. Katakan padanya bahwa aku... menyukainya."
Hiro melepaskan daun itu sesaat angin datang. Daun itupun berterbangan bersamaan dengan daun-daun kering lainnya. Melayang-layang mengikuti arah angin kemanapun angin menggiringnya. Pandangan Hiro mengikuti ayunan daun itu melayang-layang. Tersirat senyuman kecil disudut bibir Hiro. Ia mengalihkan pandangannya saat mendengar ayahnya memanggil namanya. Sang raja kemudian duduk disamping putranya. Sang Raja melipat kedua tangannya di depan dadanya, terlihat berwibawa. "Senang melihatmu tersenyum pagi ini", sapa ayahnya terlebih dahulu. "Senyumanku membuat pagi ini menjadi semakin sejuk, benar kan? Aku sangat merindukan suasana ini. Taman ini, daun-daun ini, istana ini, dan... ayah", Hiro tersenyum kecil. Ia menatap wajah ayahnya yang juga tersenyum. "Bagaimana dunia manusia?", ayahnya mulai menatap wajah Hiro. Hiro terdiam dan menunduk.
Terdiam beberapa saat antar mereka. "Semua tampak berbeda", nada rendah Hiro terdengar. "Ayah mengerti. Semua hal yang menyebabkan perubahan secara fisik pada tubuhmu itu menandakan bahwa disana bukanlah tempat yang seharusnya. Sesungguhnya telah adanya batasan antara kehidupan bangsa manusia dan bangsa kita. Yang kau alami sekarang itu adalah akibat kecil dari perbedaan antar dimensi itu." "Lalu, apa yang harus kulakukan?", Hiro menatap ayahnya dengan serius. "Disaat kau merasa tubuhmu melemah, kembalilah kesini untuk memulihkan kembali kondisimu", penjelasan ayahnya dapat dipahaminya dengan baik. Terdiam beberapa saat antar mereka. Mereka tengah menikmati udara pagi yang menyejukkan itu. Kemudian, terdengar seseorang memanggil nama ayahnya dari kejauhan.
Setengah jam yang lalu. Di tempat lain. "Ruka, mau kemana kau pagi-pagi seperti ini?", tanya ayahnya yang terduduk di kursi dekat balkon. Melihat putrinya yang telah berpakaian rapi, membuat heran ayahnya. Gadis itu menghentikan langkahnya sejenak dan berbalik memandang ayahnya. "Aku ada janji dengan teman, ayah", jawab singkatnya. "Tetapi, bukankah pagi ini kau akan ikut ayah untuk menemui seseorang?", gadis itu terlihat menepuk dahinya. "Astaga! Aku lupa tentang hal itu! Maaf ayah, sepertinya lain kali saja." Ruka melangkahkan kakinya cepat menuju tangga. Namun beberapa detik langkahnya terhenti dan berbalik menatap ayahnya. "Ayah, sampaikan salamku pada pemuda itu", senyuman simpul Ruka terlihat diambang tangga. Ayahnya tersenyum kepadanya sebagai jawaban.
"Silahkan masuk tuan. Yang Mulia telah menanti anda", sambut salah satu penjaga di depan gerbang istana lalu ia diantar oleh penjaga itu sampai di pintu utama istana. Disepanjang halaman istana, terlihat beberapa prajurit yang sesekali melintas. Memang, akhir-akhir ini keadaan istana sedang terancam. Bahkan sekarang diwajibkan setiap malam diadakan patroli oleh prajurit-prajurit bersenjata di wilayah Vampir Chizu untuk menghindari masuknya penyusup. "Ke arah sini, tuan. Mari ikuti saya", ia mengikuti arahan dari salah satu pengawal istana. Ia menuntunnya hingga sampai di halaman luas yang berumput itu. Terlihat dari kejauhan sang raja tengah berbincang-bincang dengan seseorang. Tak salah lagi itu pasti sang pangeran. "Biarkanlah aku menemui beliau seorang sendiri", ia mempersilahkan pengawal itu meninggalkannya.
Pengawal itu hanya mengangguk mengiyakan dengan sopan. Kakinya terasa tak sabar untuk menemui mereka. "Keiji..!" Sang Raja pun menoleh saat mendengar suara khas dari seseorang yang sangat ia kenal. Terlihat sang pangeran memiringkan kepalanya untuk melihat seseorang itu yang terhalang oleh badan kekar ayahnya. Kini, pangeran dewasa tampak sangat berbeda dari yang diingatnya dulu. Semua hal berubah dengan pesat. Kini ia telah tumbuh dewasa, terlihat gagah, dan berkharisma. Sungguh pemandangan yang menakjubkan.
"Hei... Kazu.", wajah Keiji terlihat tersenyum padaku. Kulihat mereka memiliki aura yang tak jauh berbeda. Aura pemberani, jenius, bijaksana, dan aura kepemimpinan. Tak heran bahwa Keiji selalu membangga-banggakan putranya. "Sejak kapan kau tiba disini?", tanya lelaki itu yang menyambut tanganku dengan hangat. Wajahnya terlihat lebih cerah dibandingkan saat terakhir kali kita bertemu. Mungkin dikarenakan sang pangeran sekarang telah berada disisinya. "Baru saja", jawabku dan membalas senyumannya. Ia pun memperkenalkanku pada putranya. Tampaknya, sang pangeran sudah tak mengenaliku lagi. Namun itu bukanlah hal yang terpenting bagiku. Aku dapat memakluminya. Kami pun berbincang-bincang di bangku taman. Meskipun sang pangeran tak mengingatku, ia tetap menyambutku dengan hangat khas budaya kerajaan. Dan sesekali ia bergabung didalam pembicaraan kami. Sungguh berbeda pemuda ini dari yang kukenal dulu, pikirku. Kehadirannya memanglah ditakdirkan untuk membawa sebuah perubahan. Dapat kulihat itu dari pancaran matanya.
***
Siang hari waktu istirahat. Kina berjalan keluar kelas. Di depan pintu kelasnya, terlihat Sato yang tengah menantinya. Kina membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu. Layaknya Sato telah mengetahui yang ingin dikatakan Kina, Sato pun mengeluarkan suaranya terlebih dahulu. "Wali kelas kita tidak mengetahui tentang Hiro yang absen", Sato berdecak lidah kesal. Kina menunduk, tampaknya tengah kecewa. Melihat wajah Kina yang murung, pemuda itu segera berkata, "Kalau dia kembali, kaulah orang pertama yang akan kuberitau." Dilihatnya senyuman Sato seketika meneduhkan hatinya. "Terimakasih", sahut Kina. Gadis itu berusaha mengubah topik pembicaraan itu. "Ayo ke kantin. Kau akan kuperkenalkan dengan teman-teman baruku disana. Mereka dari kelas sebelah." Sato hanya mengikuti tarikan tangan gadis itu.
"Hei... siapa itu yang bersama Kina?", tanya salah seorang teman Kina yang duduk di salah satu kursi kantin. "Kawaii…", mereka memandangi pemuda berkacamata itu. "Kakkoi na... siapa dia..?", salah seorang berbisik. "Minna_san, kenalkan, ini teman sekelasku", Kina memperkenalkan Sato kepada mereka. "Mitsuo Masato des", sapa Sato sambil sedikit membungkukkan badan pada mereka. Kina pun mempersilahkan Sato duduk. "Bagai seorang raja yang dikelilingi oleh para dayang", pikir Sato. "Namun aku hanya ingin hatimu, Kina." Sato memandangi wajah Kina yang tengah tersenyum dan berbicara pada salah seorang temannya yang duduk disampingnya. Tiba-tiba, gadis yang berada didalam lamunannya itupun menoleh dan memandang ke arah Sato. Sato yang menyadari itupun segera mengalihkan pandangannya dengan cepat. "Mau pesan apa?", tanya kina, tampaknya ia tak menyadari bahwa sedari tadi Sato tengah memandanginya.
*Kawaii=Imut*
*Kakkoi=Keren*
*Minna=Teman-teman (semuanya)*
Pemuda disampingnya itu hanya menggeleng cepat. "Ayolah... kutraktir deh...", kata Kina. "Tidak perlu mentraktirku. Aku tidak berselera untuk makan." Sato bergumam sejenak lalu berkata, "Tetapi, kalau kalian mau, aku yang akan mentraktir kalian. Sekarang, pesanlah apa yang kalian inginkan", kata Sato sambil tersenyum ramah. "Apa???", Kina terperangah menatap pemuda ini. "Benarkah?", tanya teman-teman Kina dengan serentak. Sato hanya menggangguk cepat sambil tersenyum ramah. "Arigatou, Mitsuo_san!", satu per satu mereka beranjak dari duduknya dan segera menuju makanan dan minuman yang mereka inginkan. Namun salah seorang teman Kina masih terduduk dan tengah memandang kearah Sato. Sato mengangkat alisnya menyadari hal itu. "Tetapi bagaimana kalau aku ingin memesan hatimu, Mitsuo_kun?" Pemuda itu terdiam mendengar kalimat itu. Namun kemudian gadis itu tertawa. "Lihatlah ekspresi wajahmu saat ini. Aku hanya bercanda", gadis itu berdiri dari duduknya lalu mencubit pelan pipi Sato. Sato dapat melihat ekspresi tak percaya dari Kina atas kejadian beberapa detik yang lalu. "Ada apa? Tidak ikut memesan sesuatu bersama mereka?", tanya Sato bersikap biasa saja. "Baiklah, tuan berdompet tebal", Sato tersenyum mendengar kalimat Kina. Ia pun berdiri lalu menepuk pundak Sato dengan pelan. Kemudian ia berjalan menghampiri teman-temannya untuk memesan sesuatu.
Sato kini duduk bertopang dagu diatas meja kantin yang sebelumnya dipenuhi tawa gadis-gadis. "Hiro... dimanakah kau sekarang?", kekawatiran Sato terlihat pada wajahnya. Namun terkadang ia teringat akan pernyataan Kina pagi ini yang membuatnya sedih. Bayangannya melayang jauh tak terarah. "Aku telah mengetauhi satu hal. Bahwa Kina menyukaimu. Begitukah juga dengan kau? Lalu bagaimana denganku, Hiro? Akankah aku terjebak diantara kisah cinta kalian?" Ditengah lamunannya, ia melihat seorang gadis yang tengah dipukuli oleh teman-temannya. Kejadian itu berlangsung diluar ruangan kantin, namun terlihat jelas olehnya dari pintu kantin yang setengah terbuka itu. Ia pun bangkit dari duduknya dan berlari menuju Kina. Ia dapat melihat ekspresi keheranan dari Kina yang melihatnya tengah berlari kearahnya. "Ada apa?", tanyanya pada pemuda yang terlihat tergesa-gesa itu. Sato tak sempat menjawab dan mengisyaratkan bahwa ia akan kembali lagi nanti. Kina mengangguk paham. Pemuda itupun berlari dengan cepat menuju pintu keluar kantin untuk menghentikan tindakan kekerasan itu.
"Berhenti!", teriak Sato pada kedua siswi yang tengah menindas gadis itu. "S-senpai?", sejenak mereka menghentikan aktifitasnya. "Apa-apaan kalian?! Masih junior sudah bergaya jagoan! Cepat bubar!", mereka pun buru-buru meninggalkan Sato bersama gadis itu yang tengah terluka. Sato dapat melihat tangan gadis itu yang bergetar tak karuan. Gadis itu sekarang tengah duduk meringkuk dengan kepala menunduk. Terdengar pula isak tangisnya. Lalu Sato duduk berjongkok dihadapannya. "Daijoubu?", nadanya sedikit tercekat saat mendapati tubuh gadis itu yang penuh luka memar.
*Senpai= Kakak Senior*
Tagisnya semakin terdengar. "Sakit.... Sakit….", kata-kata yang keluar ditengah isak tangisnya. Rintihannya terdengar berulang kali ditelinga Sato. Sesekali ia mengusap pelan air matanya membasahi pipinya yang memerah karena bekas tamparan. Hati Sato terenyuh melihatnya. Ingin rasanya ia membunuh siswi-siswi tadi. Sato menggendong tubuh gadis itu yang tak berdaya ke punggungnya.
Setidaknya itulah yang dapat ia lakukan saat ini. Persis seperti yang belum sempat ia lakukan pada ibunya dulu. Ayah kandungnya telah pergi meninggalkannya sejak beberapa tahun yang silam dengan sebab yang belum diketahuinya. Oleh karena itu, ia akhirnya tinggal bersama pamannya. Lalu Ibunya bekerja diluar kota untuk mencukupi kehidupan Sato. Sebelum Ibu dan ayahnya pergi, ia melihat suatu kejadian disaat ibunya yang ditindas oleh ayahnya. Ia belum mengetahui alasannya sampai detik ini. Ketika itu, ia terkunci dikamarnya. Sehingga tak dapat menolong ibunya yang terluka parah. Hingga saat ini ia masih menyimpan dendam pada lelaki itu yang telah berbuat kejam pada ibunya.
Sesekali air matanya terjatuh dipipinya yang terasa perih itu. Tangisnya perlahan mereda. "Daijoubu?", Sato tersenyum simpul. Gadis itu hanya menggeleng dan tersenyum kecil. "Namamu siapa?", tanya Sato dengan pandangan lurus kedepan. "Okawa Yumi", jawabnya singkat sambil mengusap air matanya sekali lagi. Sato membawa gadis itu ke UKS. "Duduklah disini", kata Sato dan segera mengambil perban, obat merah, dan lain lain. Sato segera mengobati luka memar gadis itu. Kini, tangisnya telah reda. "Nama senpai siapa?", tanya Yumi pada Sato yang tengah serius mengobati lukanya. "Mitsuo Masato." "Nama yang bagus. Aku suka", jawabnya sambil tersenyum manis. "Kau suka? Jadilah penggemarku", Sato dibuatnya tersenyum oleh perkataannya sendiri. "Pasti", jawab polos Yumi.
Aktifitas Sato berhenti sejenak dan memandang Yumi. Senyumnya terlihat manis. Walau ia merasakan perih pada pipinya. Sato pun kembali mengobati memar Yumi pada lengannya. Kemudian Sato tersenyum mendengar pengakuan gadis manis ini. "Sayangnya, aku telah menyukai diriku sendiri." Yumi tersenyum mendengar lelucon pemuda berkacamata itu. "Senpai berada di kelas 2-A bersama Dai_san kan?", alis Sato terangkat bersamaan mendengar pernyataan gadis itu. "Iya. Kenapa? Kau juga menyukainya?" tanya Sato teringat pada pernyataan kina. Yumi menggeleng dengan senyuman. "Bukankah kurang ajar jika aku menyukai dewa penyelamatku?" "De-dewa penyelamat??", Sato semakin kebingungan. Akhirnya Yumi menceritakan kembali kejadian sore itu.
Itu terjadi sekitar beberapa hari yang lalu. Ketika ia hendak pergi kerja kelompok dirumah temannya yang jaraknya beberapa ratus meter, ia melewati gang sempit yang jarang sekali dilewati orang. Sebenarnya ia bisa mengambil jalan lain selain gang sepi itu, namun ia rasa tidak akan terjadi apa-apa jika hanya melewati kali ini saja. Ia memberanikan diri melewatinya. Pada awalnya biasa saja. Tidak ada hal yang aneh. Namun kemudian terdengar suara laki-laki tua yang berdehem pelan. Yumi seketika menghentikan langkahnya. "Sepertinya ada yang datang untuk menemani paman minum teh. Ayo ikut", terlihat seorang laki-laki paruh baya diujung sana. Yumi hendak berlari namun kakinya terasa lemas dan hanya berdiri ditempat. Menyadari hal yang terjadi, ia segera memaksa kakinya untuk berlari sekuat mungkin. Namun laki-laki itu bukanlah tandingannya. "Kau gadis yang nakal ya. Apa paman bilang? Ayo ikut." Laki-laki itu menarik tubuh Yumi dengan paksa. Yumi dapat menahan tarikan itu dengan berpegangan kuat ditiang yang tak jauh darinya. Gadis itu berteriak sejadi-jadinya meminta tolong namun percuma saja. Gang itu memang sangat jarang dilalui orang. "Tidak akan ada orang yang menolongmu gadis kecil. Percuma saja", laki-laki itu terus berusaha menarik tubuh Yumi. "Oh jadi kau ingin paman melakukannya disini ya? Baiklah." Laki-laki itu mulai meraih baju Yumi dan merobeknya. Namun, kemudian ia terjatuh terkena sesuatu. Seseorang melemparnya dengan tas punggung tepat mengenai wajahnya. "Siapa kau? Cepat pulang kerumah atau kau akan kucincang." Gertakan itu tak menggoyahkan kaki pemuda yang berdiri kokoh jauh didepan. Sedetik kemudian, pemuda itu berlari kearah laki-laki paruh baya dan melayangkan tendangan kerasnya tepat ke hidungnya. Seketika ia jatuh terbuyung dan hidungnya mengeluarkan darah. "Kau tidak apa-apa? Pakai seragamku ini dan segeralah pulang kerumah", Hiro melepas kemejanya lalu memberikannya pada Yumi. Tereksposlah sudah kulit pucat disekujur tubuhnya bak mayat. "Sialan!" laki-laki itu berdiri dan mengeluarkan sebilah belati lalu melemparnya kearah Hiro. Hiro menyadarinya. Tanpa melihat kearahnya pun ia sudah memprediksi kearah manakah belati itu dilempar. Lalu sebelum belati itu mengenai dadanya, Hiro segera menangkisnya. Kemudian ia meraih belati itu dan melemparnya kembali kearah pemiliknya. Belati itu nyaris mengenai daun telinganya dan menancap tepat di kayu yang berada tak jauh di belakangnya. Laki-laki itu tersentak dan jatuh terduduk diatas tanah. Tak mempercayai apa yang barusan terjadi kemudian ia lari terbirit-birit. Hiro menoleh kearah Yumi yang masih duduk membeku dibelakangnya. "Pulanglah. Kau aman sekarang."
***
"Apakah ada seorang gadis yang telah mencuri hatimu, Pangeran Hiro?", tanya Tuan Kazu yang sedari tadi memperhatikannya. Hiro pun terkejut mendengar kalimat Tuan Kazu tersebut. "Apa?", Hiro mengangkat kedua alisnya bersamaan. "Tentu saja tidak. Jika ada, pasti ia sudah menceritakannya padaku", lugas ayah Hiro sambil menepuk-nepuk punggung putranya itu. "Benarkan?", tanya ayahnya. Hiro hanya berguman lalu mengangguk pelan.
"Baiklah. Kalau begitu kita telah sepakat." Hiro tampak kebingungan mendengar kalimat terakhir ayahnya itu pada Tuan Kazu. Dilihatnya, mereka berdua tengah menyeduh minuman mereka masing-masing dengan sebuah senyuman. "M-maksud dari pembicaraan ini apa?" "Kau akan dijodohkan dengan putri dari Tuan Kazu. Kau pasti menyukainya. Dia itu manis, cantik, dan...", perkataan ayahnya itu terputus ketika melihat Hiro bangkit dari duduknya. "Maaf, aku.... aku mau masuk kedalam dulu. Ada sesuatu yang harus kulakukan", Hiro segera berlari masuk menuju ke dalam istana. Mereka menatap kepergian Hiro yang tergesa-gesa. "Dasar anak muda", tawa ayahnya mencairkan suasana. "Anak muda zaman sekarang memang pemalu. Nanti kalau sudah bertemu, langsung minta restu", susul tawa dari Tuan Kazu lalu ia menyeduh minumannya sekali lagi.
"Maaf, seharusnya Ruka datang dan bergabung bersama kita saat ini", ekspresi wajah Tuan Kazu terlihat sangat menyesal. "Tidak masalah. Masih ada lain hari bukan...?", sahabatnya menepuk pundaknya dengan senyuman kecil menenangkan. "Yang terpenting sekarang, Hiro sudah pasti akan kunikahkan dengan putrimu." "Pagi ini sebelum aku berangkat kemari, Ruka menitipkan salam untuk Hiro", kata Tuan Kazu. "Baiklah. Nanti akan kusampaikan padanya", terlihat senyuman hangat sang raja.
Ia menatap langit biru yang bersih tanpa awan putih sedikitpun disana. "Terjadilah apa yang akan terjadi. Aku akan siap menghadapinya apapun itu. Dan akan kuterima dengan lapang dada jika itu adalah takdirku." Ia memandang jauh kedepan. Tak disadarinya, kaki kirinya menyenggol meja laci disampingnya. Beberapa saat kemudian Hiro menyadari bahwa laci itu telah lama tak dibukanya semenjak beberapa puluh tahun yang lalu. Akhirnya iapun memutuskan untuk membuka pintu laci yang pertama. Didalam laci itu terdapat sekumpulan album foto. Saat ia hendak menutupnya kembali, ekor matanya melihat ke ujung kertas yang berada dibawah album foto itu.
"Apa ini? Seingatku aku tak pernah meletakkannya disini." Lalu ia tak segan-segan meraihnya lalu membukanya. Dengan rasa penasarannya, iapun mulai membacanya. Kata demi kata dijelajahinya. Saat kau membuka kertas ini, ibu yakin kau telah menjadi pemuda dewasa dan digemari oleh banyak gadis yang cantik dan pasti kau telah menjadi pria yang gagah, tampan, serta berkharisma, mirip seperti ayahmu. Ibu dapat melihatnya. Hiro, ibu telah menduga bahwa kejadian buruk ini akan terjadi pada keluarga kecil kita. Ibu hanya mengharapkan dua hal padamu, tersenyumlah dan hadapi apa yang telah menantimu didepan sana. Ingatlah satu hal, kau tidak akan pernah kehilangan ibu. Karena ibu akan datang disaat kau memejamkan matamu. Begitu dekat dan tak akan terpisahkan kapanpun juga. Kalimat terakhirnya seketika membuat kedua matanya terasa panas.