Kisah dimulai di negeri Sakura. Hiro membuka jendela kamarnya yang berukuran besar. Wajah pucatnya diterpa hembusan angin. Helaian rambut hitamnya pun menari-nari diatas kepalanya. Saat ini, ia tinggal seorang diri di rumah kuno yang lumayan besar. Ditengah cuaca yang dingin, ia menyeduh tehnya sambil berdiri di samping jendela kamarnya yang kokoh dengan warna cat yang memudar. Cuaca sungguh dingin dimusim semi pertamanya. Bola matanya berkaca-kaca terkena angin sepoi-sepoi yang terus memasuki jendela kamarnya. "Kring... Kring..", Seketika sekelebat koran mengenai kepalanya dan diiringi suara lonceng sepeda. Tak salah lagi, itu Mitsuo Masato teman sekelasnya. Pemuda berkacamata dengan senyum khasnya. Seketika itu, ia teringat akan pertemuan pertamanya dengan pemuda itu.
Malam itu sungguh menegangkan. Ia melihat dengan mata kepalanya sendiri saat Kao tumbang. Seiring ia melangkahkan kaki, ia terus menerus menyalahkan dirinya sendiri. "Seharusnya saat ini Kao masih hidup. Mengapa orang-orang yang kusayangi meninggal dengan tragis..? Ibuku dan adik perempuanku. Sekarang, Kao, pengawal kerajaan yang sekaligus menjadi sahabat karibku. Selama ini hanya dia yang setia mendengarkan semua keluh kesahku disaat semuanya sibuk dengan penugasan masing-masing. Apakah aku membuat kesalahan dengan keberadaanku di dunia?"
"Bodoh..!!", Hiro memukul kepalanya sendiri beberapa kali. "Hei..! Siapa disana?!", suara terdengar dari arah yang berlainan. Tampak seorang pemuda berkacamata berjalan mendekati. Hiro masih tak dapat melihat jelas wajah pemuda itu. Lampu jalan yang remang-remang menerangi sebagian sisi trotoar, sisanya gelap total. Pemuda itu kini berdiri tepat dihadapan Hiro. Wajahnya tampak asing baginya. Kini ia menatap langsung ke mata sipit pemuda berkacamata itu. Tiba-tiba, pemuda itu mendekatkan wajahnya ke wajah Hiro sambil sedikit menyipitkan matanya yang sudah sipit. "Kau pendatang baru ya..?", ia kembali ke posisi semula lalu membetulkan letak kacamatanya yang sedikit turun. Hiro terdiam seribu kata. Tak tau harus berkata apa. Bahasa yang diucapkan pemuda itu terdengar sangat asing bagi Hiro.
Sepertinya, pemuda itu dapat membaca tatapan kebingungan dari Hiro. "Kalau begitu, kenalkan. Aku Mitsuo Masato", pemuda itu menyodorkan tangannya. Tertera senyuman yang sangat khas diwajahnya. Hiro melihat tangan pemuda itu yang mengantung dihadapannya. Ia tampak ragu awalnya. Apakah pemuda dihadapannya saat ini sedang memperkenalkan dirinya? Hiro perlahan menyambut tangan itu. "Hiro. Dai Akihiro." Dengan secercah senyuman, pemuda itu berkata, "Ngomong-ngomong, dimana kau tinggal? Mungkin saja kau salah satu tetanggaku. Dan... lihatlah, pakaian apa yang kau kenakan itu? Tampak sangat... bagaimana aku mengatakannya? Sangat….. tampak sangat klasik. Tetapi tidak terlalu buruk. Aku menyukainya. Apa yang kau lakukan diluar sini? Di malam-malam seperti ini, umumnya orang-orang sudah terlelap didalam mimpi masing-masing. Tetapi malang sekali nasibku, kawan. Aku mengidap insomnia dan setiap malam kesusahan untuk tidur." Pemuda bernama Mitsuo Masato itu terkekeh pelan. Perkataan pemuda itu yang panjang lebar menciptakan percikan-percikan hebat di otak Hiro bak syaraf-syarafnya yang bekerja dengan sangat gesit. Mempelajari, menyerap, menghafal, dan menyimpannya. Hiro tampak memutar bola matanya dan agak ragu untuk menjawab. "A-aku... Aku baru saja tiba dari luar kota. Apa kau tau rumah yang hendak disewakan?"
"Oh, kalau begitu kau ikut aku saja. Kebetulan, pamanku punya rumah kosong. Tetapi rumah itu terlihat sangat kuno. Apa tak masalah?" Hiro mengangguk cepat setelah mendengar perkataan dari pemuda yang bernama Sato itu. Iapun secara tidak sadar menyunggingkan senyuman untuk pertama kalinya pada pemuda itu dan memperlihatkan gigi kelincinya. Pemuda dihadapanya terhenyak sejenak, terpesona. Dalam perjalanan mereka, angin tampak tak bersahabat. Ujung-ujung helaian rambut hiro terombang-ambing karenanya. Hiro tampak mendesah pelan. "Apakah begini sambutan untuk kedatangan putra mahkota raja..?", ia tampak sesekali membetulkan posisi rambutnya.
"Darimana asalmu?", suara Sato memecah keheningan jalan. Hiro bergumam sejenak lalu berkata, "Aku dari ibukota." Hiro mulai membuka bibirnya yang nyaris kering karena terkena angin malam. Pemuda disampingnya tampak sedikit melirik ke arahnya, "Kau dari Tokyo? Pasti sangat menyenangkan bisa tinggal disana. Andai saja aku bisa kesana, pasti aku akan lebih sedikit pintar dengan sistem pendidikan dan teknologi yang lebih maju dibanding kota-kota lain." "Jadi Tokyo ya?" Mereka berdua terdiam sejenak. Lalu Sato memulai pembicaraannya lagi. "Aku sebenarnya hanya sekedar mencari angin segar saja. Terkadang orang yang mengidap insomnia membutuhkan suasana yang meneduhkan suasana hati, lalu aku dapat mencoba tidur kembali", terlihat senyuman kecil dibibir pemuda berkaca-mata itu. "Sepertinya, kau seumuran denganku. Apakah kau sudah memutuskan untuk melanjutkan sekolah dimana?" lanjut Sato. "Sekolah?" Hiro tak langsung menjawab. "Belum", jawab ringan Hiro. "Bagaimana kalau di sekolahku? Pasti akan sangat menyenangkan karena kita sudah saling kenal", mata Sato yang sipit itu terbuka lebar dengan senyuman merekah dibibirnya. Hiro melamun sejenak lalu mengangguk.
Entah telah berapa menit mereka berjalan. Akhirnya Sato menunjukkan sebuah rumah kuno diseberang jalan. Sebernarnya lebih pantas disebut dengan rumah angker. Didukungnya dengan pepohonan lebat mengitarinya serta beberapa lampu redup yang hanya menerangi sudut-sudut halaman. Dan sesekali terlihat sesuatu yang berjalan diantara pepohonan yang kokoh lalu menghilang dengan cepat. Ketika Sato mencoba membuka gerbang tua itu, seketika sesuatu berterbangan ke angkasa. Entah itu burung ataukah kelelawar. Dengan suara-suara khas mereka, seakan-akan tengah memanggil datangnya angin bertiup kembali untuk kesekian kalinya. "Selamat.... Datang.... Tuan... Muda...", suara itu terdengar nyaris seperti bisikan kecil tepat ditelinga kanan Hiro. Ia seketika menoleh ke sisi kanannya. Namun ia tak melihat apa-apa. "Maklumlah.... Rumah tua...", Sato masih berusaha membuka gerbang karatan itu dengan paksa. "Tampaknya gerbang ini telah mati!", Sato terkekeh memecah keheningan malam. Menambah humor atas kegagalannya itu. "Akan kucoba", Hiro melangkahkan kakinya mendekati gerbang itu. Terlihat jelas warna hitam pekat yang melapisi gerbang itu. Tampak masih cukup terawat dan tak mungkin kalau gerbang ini telah berkarat.
"Kalau kalian mengenal siapa aku, maka ijinkanlah aku masuk." Hiro menggapai kedua besi dihadapannya. Ia tampak menghembuskan nafas panjangnya lalu perlahan ia menarik tuas itu. Tanpa ada sedikit perlawanan, gerbang itu terbuka dengan mudahnya. "Wow... well done, Hiro. Sepertinya rumah ini telah menerima kedatanganmu", Sato menepuk pundak Hiro dengan ekspresi takjub. Hiro hanya tersenyum puas lalu melangkahkan kakinya. "Berapa aku harus membayar sewa rumah ini?", Hiro menoleh ke arah Sato. "Ini gratis untukmu. Lagipula, tidak ada seorangpun yang mau untuk menempati rumah ini selain kau", jawab entengnya. "Terima kasih, Mitsuo_san", senyum kecil tertuju pada Sato. "Jangan terlalu kaku seperti itu. Panggil aku Sato saja."
"Selamat datang pangeran...", beberapa pohon tampak menyapaku. Aku hanya tersenyum kecil menyadarinya. Disamping dari itu semua, aku masih berputar-putar dengan pertanyaan besar didalam pikiranku. Apakah kedatanganku ini telah dinanti..? Ada apa dengan semua kejadian aneh ini?
"Desain bangunannya sangat klasik, berbeda dengan rumah yang lainnya", kataku singkat. Sato tampak menerawang jauh. Terlihat tengah mencari kata-kata untuk memulai bercerita. "Konon kata pamanku, rumah ini adalah milik seseorang yang pernah ia kenal. Tiba-tiba ia menghilang begitu saja, dan meninggalkan sebuah surat. Surat itu berisi bahwa pamanku berhak untuk mengambil alih rumah itu sampai akhirnya nanti seorang keturunannya menempati dan tinggal dirumah itu. Sampai sekarang, tak ada kabar tentang hal itu." Hiro tersenyum kecil memahami alur cerita Sato. Kini ia dapat memahami mengapa semua ini begitu familiar baginya. Beberapa hari sebelum terjadi penyerangan itu, ayah memanggilku untuk membicarakan sesuatu yang tampaknya serius. Entah mengapa, seketika ayah membicarakan tentang dunia manusia padaku. Suatu hal yang baru kuketauhi bahwa aku dilahirkan didunia manusia. Aku tau betul, posisiku selalu membawa aura peperangan. Perang dingin sampai perang panas. Bahkan, sejak kecil aku telah diperlihatkan oleh jasad prajurit dan orang-orang yang mati akibat peperangan. Sungguh mengerikan bagi seorang anak kecil. "Tidak apa-apa, kakak. Semua akan baik-baik saja", Berkali kali, adik perempuanku menenangkanku. Namun pada akhirnya, ia juga menjadi korban dari semua itu. Aku naik pitam saat melihat adikku satu-satunya meninggal dalam pelukanku. Namun apa yang dapat kulakukan? Aku hanya dapat memendam gejolak kencang dalam diriku yang saat itu masih seorang anak kecil. "Jangan menangis, kakak. Aku tak suka melihat wajah jelekmu saat menangis.", kulihat ia mengalirkan air matanya sekali lagi. Namun, air mataku jauh lebih deras darinya. "A-apa yang dapat ku lakukan untuk menolongmu? Katakan, apa yang harus kulakukan saat ini?", aku berusaha berbicara ditengah tangisku.
Ia tampak menggeleng dan tersenyum kecil. "Tersenyumlah untuk mengantarkanku pergi. Tersenyumlah untuk terakhir kalinya. Aku ingin melihat senyuman itu terakhir kalinya untuk pengantar tidurku." "Bagaimana bisa?! Bagaimana bisa aku tersenyum disaat-saat seperti ini?!", nadaku meninggi. "Tentu bisa. Bayangkan hal-hal yang indah. Bayangkan bahwa aku akan baik-baik saja", nadanya mulai merendah. Seketika tangisku berhenti. Namun setetes demi setetes air mataku masih mengalir. Secara tidak sadar, tatapanku jauh menerawang kearah wajah mungilnya yang polos. Tengkuk belakangnya nyaris putus karena sabetan pedang. "Kau bisa melakukan apapun yang kau mau. Karena kau........ adalah kakakku", kulihat ia perlahan menutup kedua matanya dan tangannya lemas terjuntai ke lantai. Aku membeku sesaat. Air mata seketika mengalir deras membanjiri pipiku lagi. Aku menggoyang-nggoyangkan tubuhnya yang telah tak bernyawa. Aku berteriak sejadi-jadinya saat itu. Robekan di pelipisku semakin melebar. Terasa sangat perih. Beberapa meter dari tempatku bersimpuh, kobaran api semakin besar mengiringi teriakanku yang semakin menggila. Sejak saat itu, aku hidup berdua dengan ayah.
Tak kusadari, kami telah berada didepan pintu rumah ini. Jujur kukatakan, desain rumah ini begitu klasik mirip seperti bangunan di dunia vampir. Serasa kenangan yang kembali terbuka bagai lembaran-lembaran buku yang siap untuk dibaca ulang. "Pamanku tidak pernah mengunci rumah ini. Namun tak ada seorangpun yang berani mencuri barang-barang di dalam. Lihatlah, rumah ini kalau diperhatikan dari luar sangat mirip dengan rumah hantu. Tetapi, jangan dinilai sesuatu dari luarnya saja. Namun lihat dulu dalamnya seperti apa. Rumah ini memang terlihat angker dari luar. Namun dalamnya…..", Sato meraih kedua gagang pintu itu dengan sigap. Terdengar suara khas dari pintu rumah kuno yang menambah kesan angker. Kedua daun pintu itupun merespon gaya dorongan dari tangan Sato. Kini, pintu itu telah terbuka dengan lebarnya. Seakan telah kedatangan tamu istimewa.
Kesan pertama kali yang kudapat adalah sebuah ruangan yang sangat gelap. Aku tak dapat melihat apapun yang ada didalam sana. "Dengan sedikit cahaya saja sudah dapat menunjukkan keindahannya", Sato segera menekan tombol lampu dibalik daun pintu itu. Cahaya-cahaya yang sangat terang dari beberapa lampu pun berlomba memenuhi ruangan yang luas itu. Kini dapat kulihat keindahan interior rumah kuno ini. Dekorasi ruangannya mengingatkanku pada masa-masa renaisans. Sangat elegan dan mempunyai jiwa seni yang berkelas. Serasa seperti di duniaku sendiri. "Banyak orang menilai sesuatu dengan melihat dari sisi luarnya tanpa melihat sisi dalamnya terlebih dahulu. Itu yang membuat rumah ini terbengkalai seperti sekarang dan tak ada yang menghuninya. Selama puluhan tahun rumah ini kosong. Namun, entah mengapa isi rumah ini masih terjaga kebersihannya. Jika rumah ini terjual maka akan laku dengan harga ratusan juta yen. Namun sepertinya roh penjaga rumah ini tidak akan menerima hal itu. Seolah-olah rumah ini telah disegel dan tak ada yang mau membelinya dengan harga yang murah sekalipun", Sato tertawa sambil menatapku. Untuk saat ini aku hanya dapat terdiam mendengarkannya. Namun, apa yang terjadi? Mengapa tiba-tiba terdengar sebuah jeritan seorang wanita yang memekakkan telingaku? Mengapa hanya aku saja yang dapat mendengarnya?
Beberapa detail ingatanku dimasa kecil telah terhapus oleh kejadian-kejadian yang kelam. Trauma dan takut akan mengingatnya lagi. Hei... dimana aku sekarang? Dan kemana perginya Sato? Kini kusadari bahwa aku tengah berdiri seorang diri didepan pintu rumah ini. Tampak sepi dan sunyi. Lampu-lampu masih berlomba menyinari ruangan yang kosong ini. Tanpa diperintah, kakiku melangkah dengan sendirinya memasuki ruangan. Sekejab aku terhenti. Mataku tertuju pada anak kecil yang tiba-tiba muncul disisi ruangan. Ia tengah duduk meringkuk dan menangis. Anak kecil itu adalah... aku?
"Hiro, kita harus pergi sekarang juga", seorang wanita paruh baya menghampirinya. Seketika kedua mataku tertuju pada wanita yang berwajah mirip seperti ibuku itu. Anak laki-laki itu tangisnya semakin menjadi-jadi. "Aku tidak mau! Aku takut kembali kesana!", rengeknya. "Tak apa Hiro. Kau tak akan melihat hal seperti itu lagi", seorang laki-laki yang berbadan kekar datang menghampirinya. Lalu ia menggendong anak laki-laki itu. Anak kecil itupun menghentikan tangisnya dan mengusap air mata dipipinya. "Janji?", ia mengulurkan jari kelingking. Lalu ayahnya tersenyum dan mengangguk. "Ayah berjanji", lelaki itu menyambut jari kelingking kecilnya. Aku hanya dapat terdiam melihat semua adegan itu. Bertanya-tanya apa yang sebenarnya tengah terjadi. Apakah aku bermimpi? Namun semua ini terlihat begitu nyata. Beberapa saat kemudian, mereka berjalan dengan terburu-buru kearahku. Dan anehnya mereka melewatiku begitu saja. Seakan- akan mereka tak menyadari keberadaanku. Namun kulihat anak kecil itu sekilas menatapku dengan linang air mata disudut matanya.
Ketika mereka hendak keluar rumah... "BRAAKKK..!!" Tenyata ada sepasang tamu yang tak diundang membuka dengan kasar pintu yang tepat berada dibelakangku. "Yang Mulia Raja..... Kerajaan Vampir Chizu, sahabatku. Hendak pergi kemana? Tampaknya sedang terburu-buru. Apakah kedatanganku ini akan menganggumu? Hendaklah anda menjamu terlebih dahulu tamu yang datang dari jauh ini. Kami sangat lelah." Salah satu wajah dari kedua orang itu sangat familiar bagiku. Bibir sumbingnya, bekas luka dikeningnya.... Tak salah lagi, dia adalah utusan dari Kerajaan Vampir Souka yang telah membunuh ibuku! Namun, siapakah balita yang tengah digendongnya itu? Sekejab pertanyaanku muncul. Aku memiliki firasat buruk tentang hal itu. Disamping itu amarah lamaku kembali bergejolak dalam diriku saat melihat wajah busuknya. Tak pikir panjang, kulayangkan tinjuku tepat diwajahnya. Namun, hanya udara yang dapat kupukul! Tanganku tak dapat menggapai mereka.
Dadaku telah dipenuhi oleh amarah. Namun ucapan pertama yang keluar dari mulut orang itu membuatku tercengang. "Bagaimana dengan kesepakatan kita? Bukankah kau bersedia merawat Hana? Dengan kata lain, Pangeran Hiro akan menjadi milik Rajaku. Sudah menjadi tradisi bukan bahwa suatu hubungan bisa terjalin dengan erat dan cara ini sudah berlaku sejak ribuan tahun yang lalu didunia kita. Sungguh picik bahwa itu hanya berlaku untuk rakyat rendahan, bahkan keluarga bangsawan seperti kitapun dapat melakukannya", orang itu melipat tangan didepan dadanya dengan senyumannya yang mengembang. "Hana? Gadis kecil yang selalu mengagumiku ternyata bukanlah adik kandungku.....?" "Asal kau tau, aku tidak pernah menyetujui kesepakatan itu!", baru kali ini aku mendengar nada tinggi dari ayah. Ayah semakin mendekap anak laki-laki yang berada dipelukannya itu. "Apakah ini jawaban yang pantas Paduka ucapkan untuk sahabat karibmu? Dan apakah aku rela menyampaikan pesan menyedihkan ini pada Rajaku? Kalau kau tak mau menyetujui itu, biarlah aku merebut pangeran Hiro dengan caraku sendiri. Jangan menyesalinya jika kau akan kehilangan banyak nyawa." Kulihat ia mengeluarkan sebilah pedang dari balik punggungnya.
Aku mengingat kejadian ini. Aku pernah mengalaminya. Perlahan air mataku tanpa diperintah keluar begitu saja. "Jangan... Jangan... Jangan lakukan itu!!", aku berusaha menghentikan ayunan pedang itu. Namun yang kupukul hanyalah udara! Kulihat ayah menyerahkan anak laki-laki itu pada ibu. "Cepat bawa Hiro lari", bisik ayah pada ibuku. Kedua orang itu berjalan mendekati ayahku. Dan pedang itu masih tercengkram kuat di tangannya. Dengan cepat, salah satu dari mereka berlari menuju ayahku lalu mengarahkan pedang di lehernya. Segera ayah menangkis pedang itu dengan lengannya. Terlihat goresan ringan pada lengan pucatnya itu. Si utusan itu terkejut saat menyadari bahwa pedangnya tiba-tiba tumpul. Itu salah satu sihir ayah. "Sepertinya, pedangmu ini tak berhasil untuk memutuskan lenganku. Memerlukan sedikit bantuan?", terlihat senyuman sinis dari ayah. Dengan cepat ayah merebut pedang yang digenggamnya itu lalu memukul dengan keras dada laki-laki itu hingga terhempas menghantam tembok. Dengan satu ayunan ayah menggesek ujung pedang itu pada lantai yang bertekstur gerigi itu dan sekali gesekan cukup membuat ujung pedang menjadi runcing. Tak pikir panjang, kulihat ayah segera melempar pedang dan menembus leher lawannya diseberang sana membuat badannya menancap dipermukaan dinding. Disamping sisi, vampir yang memiliki bibir sumbing itu melayangkan pedangnya tepat pada ibuku yang hendak melarikan diri ke pintu belakang. Tiba-tiba, benda tajam itu menusuk punggungnya begitu dalam. Menyaksikannya, kedua kaki ku terasa lemas sehingga aku jatuh berlutut dilantai. Kudengar tangisan anak kecil itu seiring tubuh ibuku yang lemas dan tergeletak di lantai.
"Hiro....", wanita itu berusaha melepaskan pedang yang menancap pada punggungnya. "Ibu….", pipiku semakin dibanjiri air mata ketika melihat ibuku tengah kesakitan yang teramat sangat. Mendengar tangisan putranya, ayahku segera memutar badannya untuk melihat keadaan anak dan istrinya. Satu detik... dua detik... bahkan sampai detik ketiga, ayah masih terpaku berdiri ditempat. Ekspresinya menunjukkan sebuah kesedihan yang teramat dalam. "Maafkan aku, Yang Mulia. Namun, ini bukanlah sepenuhnya kesalahanku. Andai saja kau bisa diajak bekerjasama, tentu saja hal seperti ini tak akan terjadi", kata utusan itu dengan tanpa rasa bersalah sedikitpun. "Dasar kau iblis", dengan langkah cepat ayah berlari kearahnya dengan mengarahkan tinjunya kearah wajahnya. Namun dengan mudahnya ia dapat menangkis serangan ayahku. Sehingga membuatnya jatuh terpental beberapa meter. Ayah menahan tubuhnya yang terhempas dengan kaki kanannya kearah belakang sehingga membuat suara decitan dilantai. "Dulu, kau telah mengajariku dengan baik teknik ini, kawan. Kau melupakan kenangan bersejarah itu?", jawab sinisnya. "Kau telah salah jalan, temanku", kata ayah sambil beranjak berdiri. Ayah meraih sebilah pedang yang terpajang didinding dan duel dimulai. Sudah tertera goresan demi goresan pedang pada kulit mereka yang pucat itu. Perih dan kadang mati rasa karena ada syaraf yang terputus.
Suara pedang yang beradu itu membuat lampu ruangan semakin redup. Redup dan semakin redup disebabkan oleh suasana hati yang penuh amarah di dalam ruangan itu. "Wahai Sang Raja Penguasa, jika sekarang kuputuskan batang lehermu itu, siapakah yang akan menolongmu? Pengawalmu, prajuritmu, ataukah panglima perangmu? Tak ada seorangpun disini kecuali aku. Mulailah memohon, maka akan kupikirkan kembali." Nyawa ayah sekarang bagai diujung tombak. Tubuhnya sekarang terpelanting dan pedangnya terlepas dari tangannya. Terlihat senyuman kecil pada sudut bibir ayah, "Tentu bukanlah pengawalku, prajuritku, bahkan bukan juga panglima perangku yang akan menolongku. Tetapi Allah yang akan menolongku!" Mendengar kata 'Allah', tangan si utusan itupun menjadi gemetar dan jatuh berlutut. Dengan sigap ayah merebut pedang lawan lalu segera berdiri. "Bagaimana jika sekarang aku yang akan menusukkan pedang ini ke lehermu, temanku? Siapakah yang akan menolongmu?", kata ayah dengan suara lantang dan mengarahkan mata pedang kearah wajah lawannya itu, tepat beberapa senti didepan wajahnya. Beberapa detik tercipta suasana hening disana. "Jika kau benar-benar mengayunkan pedang itu padaku, tidak akan ada yang bisa menolong nyawaku. Bahkan diriku sendiri belum tentu bisa untuk menghadangnya. Kecuali kau mengampuniku", terlihat ekspresi tegang di raut mukanya. Sesekali ia melirik ke mata pedang yang tengah tertuju kearahnya.
"Mengampunimu? Apakah aku punya alasan untuk itu? apakah kau pantas untuk mendapatkan pengampunan dariku? Kau harusnya berpikir dua kali sebelum datang kemari", tak pikir panjang, ayah menebas lehernya sampai putus. Sesaat setelah itu ia segera berlari ke tubuh ibu yang sudah tidak bernyawa lagi. Ia duduk berlutut sambil menompang tubuhnya. "Ayah, ada apa dengan ibu? Kenapa ia tak cepat bangun?", rengek anak kecil itu. "Hiro, ayah masih disini untukmu. Semua akan baik-baik saja." Suara tangisan putranya semakin menjadi-jadi dipelukan ayahnya. Perlahan, penglihatanku semakin lama semakin memburam. Lalu gelap semuanya.
"Hiro_kun? Daijoubu?", terdengar suara Sato samar-samar. Ku buka kelopak mataku yang terpejam. Lalu aku segera mengangguk. "Hontou?", tanyanya memastikan. "Tentu", senyumku padanya. "Kalau begitu ayo masuk", ajakan Sato langsung kurespon dan mengikutinya ke arah ruang keluarga. Terlihat piano kuno yang bercorak coklat dan hitam didekat perapian. Ukiran-ukiran dipermukaannya mirip dengan salah satu piano di istana. Serta piringan hitam yang terletak tak jauh dari piano itu. Kulihat pula ada tiga orang laki-laki disana. Salah seorang yang berdiri ditengah kira-kira berumur 50 tahun, dan dua orang lainnya sekitar umur 20-an. Mereka berpakaian sederhana dan menyambutku dengan ramah. Mereka juga membungkukkan badan tanda memberi salam padaku. Akupun membalas senyuman mereka. "Siapa mereka?", bisikku pada Sato. "Mereka?", ia seketika menghentikan langkahnya. Sato menatapku dengan tatapan aneh. "Ayolah Hiro, jangan bercanda. Disini tidak ada siapapun kecuali aku dan kau", katanya. "Ssst, jangan membuat mereka tersinggung", kataku sambil memukul lengannya pelan. Ia menghela nafas panjangnya lalu berkata, "Sungguh, kau mulai membuatku takut."
*Hontou= Sungguh*
*Daijoubu= Baik-baik saja*
Kuputuskan untuk memilih menutup mulut saja. Pasti mereka adalah penjaga rumah ini. "Bagaimana kesanmu pada rumah ini? Kuharap aku tak mengecewakanmu", kami duduk berhadapan. Aku pura-pura melihat sekeliling. Dan sesekali melirik ketiga orang itu. Mereka masih tersenyum padaku dan terkadang mereka berbisik satu sama lain. "Hmm... Aku suka. Rumah ini tampak nyaman", aku merangkai kata-kataku sedemikian rupa. Kulihat senyuman merekah dari pemuda bernama Sato ini. "Syukurlah...", ia terlihat tengah menghela nafas lega. Entah apa artinya itu. Berhasil menemukan sebuah tempat tinggal untukku ataukah sebaliknya, menemukan penghuni yang bersedia menempati rumah tua ini jadi pamannya tak susah mencari alasan jika pemerintah untuk kesekian kali hendak merobohkannya dan membangun infrastruktur diatasnya. Apapun itu yang terpenting saat ini aku mendapat kenyamanan tersendiri saat memasuki rumah lamaku ini. Aku tersenyum simpul.
"Tunggu. apa yang akan terjadi kalau ia tau bahwa aku adalah Vampir?", terlintas dipikiranku saat melihat senyumannya itu. Sesungguhnya, hal itu yang aku takutkan saat memasuki dunia manusia ini. Akankah aku ditangkap dan diburu lalu mereka menusukkan belati kedadaku? Atau aku akan dibedah dan diawetkan? Kalau itu yang akan terjadi, tamatlah riwayatku. Diincar oleh dua kerajaan, Kerajaan Vampir Souka dan Kerajaan Manusia. "Apakah kau sakit? Wajahmu terlihat begitu pucat", Sato tampak membetulkan letak kacamatanya lalu menyipitkan kedua matanya memandangku. "Tidak... hanya....", Pertanyaannya kali ini membuatku bungkam. Apakah secepat ini rahasiaku akan terungkap? Hei, aku baru saja datang! Aku terpaksa harus memutar otakku cepat untuk menjawabnya.
Inilah aku. Aku seorang Vampir! Tak ada aliran darah didalam tubuhku ini. Jangan ditanya mengapa dan bagaimana ini bisa terjadi. Karena inilah aku.
"Hmm... mungkin dari gen keturunan ya? Dari gen ayahmu atau ibumu yang merupakan bangsa kulit putih eropa atau amerika", ia tampak berfikir keras menantiku yang tak kunjung bicara. Aku mengangguk pelan. "Sebaiknya, kau istirahat saja sekarang. Kau pasti sangat lelah. Ada lima kamar dirumah ini. Dua kamar utama ada diatas dan tiga lainnya dibawah. Jika kau bisa memasak, dapur yang cukup luas berada dibelakang lengkap dengan peralatannya yang masih tersimpan rapi dilemari tetapi untuk malam ini jika kau lapar, kau bisa membeli makanan di toko seberang sana. Itu buka 24 jam", Sato beranjak dari duduknya. Aku pun turut berdiri hendak mengantarnya sampai pintu besar itu. Ia melambaikan tangannya dan berjalan menuju gerbang. Ku amati dia sampai hilang dibalik dinding beton. "Mitsuo Masato, taukah kau? Bahwa malam ini kau bertemu dengan Vampir", senyum khasku menghiasi bibirku. Muncul kilauan cahaya merah di ujung mataku. Angin sepi-sepoi menerpa kulitku yang pucat. Aku segera menutup kedua daun pintu itu. Belum sempat aku membalikkan badan, sebuah suara terdengar. "Selamat datang Pangeran Hiro. Telah lama kami menanti anda." Kulihat ketiga orang itu berjalan menghampiri dan seseorang yang berumur 50 tahun itu sebagai pemimpinnya. "Kami semua tau bahwa anda akan kembali dan pasti anda telah melupakan semua ini." Aku tetap terdiam, berfikir apa yang harus kukatakan. "Pertama-tama, perkenalkan. Kami adalah penjaga rumah ini. Anda cukup memanggil saya 'J', lalu disebelah kanan saya 'L', dan disebelah kiri saya 'Y'."
Tak lama kemudian ia berkata lagi. "Semenjak kepergian ayah pangeran dari dunia manusia, kita ditugaskan untuk menjaga rumah ini. Beliau mengatakan bahwa anda akan kembali pada suatu hari nanti. Dan kami bertanggung jawab penuh atas anda." "Jadi, ayah telah merencanakan semua ini bahwa aku akan kembali kesini?", sahutku tak percaya. Ternyata ayah telah menduga bahwa aku adalah anak yang telah diramalkan. "Dan prisma kristal yang anda miliki itu... Anda harus menyimpannya baik-baik. Ada dua akibat jika anda kehilangannya. Anda tak akan pernah bisa kembali ke dunia vampir lagi atau sebaliknya, utusan dari Kerajaan Vampir Souka akan menemukan persembunyian anda." Aku terus berusaha memahami apa yang ia katakan.
"Ada satu hal lagi yang sangat penting yang harus anda ketahui. Hindari sinar matahari mengenai langsung pada rambut anda. Karena sesungguhnya, itu adalah sumber kekuatan anda di dunia manusia. Hal itu akan menjadi sangat fatal akibatnya jika anda lalai. Dan ada beberapa peraturan bagi seorang vampir jika memasuki dimensi ini. Salah satunya adalah anda hanya diperbolehkan untuk membunuh hewan pada saat bulan purnama datang." "Lalu apa yang harus aku lakukan? Aku bahkan bisa melihat aliran darah-darah itu dibawah kulit manusia, terlihat sangat segar." "Itu tantangan yang istimewa untuk anda dan anda harus mencari solusinya sendiri. Anda sangat memahami bahwa darah manusia akan mencemari kesucian derajat seorang vampir karena sifat hina manusia yang turut serta mengalir didalam darah mereka. Anda hanya membutuhkan asupan darah saat bulan purnama saja untuk mengisi energi anda berminggu-minggu setelahnya. Karena hanya dimalam itulah taring anda akan tumbuh. Di dunia manusia dan di dunia vampir sangatlah berbeda. Dunia ini juga memiliki aturan tersendiri untuk bangsa anda. Anda hanya merasakan haus darah saat bulan purnama tiba. Jadi pada situasi itu, usahakan anda terhindar dari manusia. Jika tidak, anda akan terangsang untuk menyerang mereka di alam bawah sadar anda."
Setidaknya hanya itu yang harus aku pahami untuk saat ini. Sungguh unik dunia manusia ini. Ada satu hal yang membuatku beruntung, bahwa malam ini bukanlah malam bulan purnama.
Satu minggu kemudian....
Dengan cepat, matahari muncul dari ufuk timur. Pagi-pagi begini, Sato telah menganggu jam santainya. Hiro melihat sekilas judul koran yang dilempar Sato keatas dan ditangkapnya. "Selamat pagi, Hiro_kun!", sapa Sato dari bawah. Sato melanjutkan kalimatnya saat melihat Hiro masih memperhatikannya, "Dibulan ini, akan diadakan lomba marathon di sekolah kita." Hiro meletakkan cangkirnya. "Dan kau dipilih sebagai perwakilan sekolah kita." Pernyataan Sato membuat Hiro terkejut. "Eh? Aku?" Sesaat kemudian tanpa dipersilahkan, Sato segera masuk ke dalam rumahnya dengan berlari pelan. Sedangkan dilantai dua, Hiro tengah membuka pintu kamarnya dan melangkahkan kaki menuruni anak tangga. Sejenak ia berhenti dan mengamati telapak tangan kirinya. Hari ke hari semakin tampak aliran darah dibawah kulitnya yang pucat itu. Hal itu menandakan kematian tak lama lagi akan tiba menjemputnya jika semakin banyak aliran darah yang mengalir didalam tubuhnya. Udara di dunia ini berbeda dan menciptakan aliran darah itu didalam tubuh Hiro. Ia teringat bahwa telah seminggu lamanya ia berada di dunia manusia.
Ia mendapati bahwa Sato telah menantinya di ruang tamu. Mereka pun duduk berhadapan. Sato memulai pembicaraan terlebih dahulu, "Seperti yang telah kukatakan tadi, maukah kau berpartisipasi dalam lomba itu?" Hiro berpikir sejenak. "Ayolah Hiro... Aku tau kau takkan keberatan kan?" lanjutnya. "Kenapa harus aku?", ucap Hiro spontan. "Karena ini adalah perintah", jawab Sato ringan. Pemuda berkulit pucat itu berdecak lidah dan meninggalkan Sato di ruang tamu. "Hei... informasi selanjutnya bacalah di koran itu..!", lanjut Sato dengan sedikit berteriak. Namun Hiro tak menghiraukannya. Hiro tetap menaiki anak tangga itu. Namun sesaat kemudian, Hiro berhenti dan berbalik. "Akan aku pikirkan kembali ", mendengar kata singkat darinya, senyum bahagia Sato terlihat. "Aku akan berteriak sekeras-kerasnya untuk mendukungmu di arena nanti."
Beberapa saat kemudian, Hiro duduk di atas tempat tidurnya dengan menggenggam koran itu. Perkataan Sato masih terngiang dikepalanya. "Dapatkah aku?", bisik Hiro dalam lamunannya. Keraguan besar memenuhi lubuk hatinya. Dibukanya lagi koran yang ia genggam. Lalu direbahkanlah tubuhnya ke tempat tidur yang nyaman itu. Sesaat ia memejamkan mata dan menghela nafasnya dengan kencang. Ia pun menatap langit-langit kamarnya yang berwarna putih bersih itu. "Tentu anda bisa melakukannya, pangeran. Anda bisa melakukan apa saja yang anda inginkan", sebuah suara yang tak asing seketika terdengar. "Entahlah, L. Aku bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya padaku", jawab Hiro sambil menghela nafasnya.
"Sebaiknya anda harus lebih berhati-hati, pangeran. Aliran darah itu semakin menjalar di tubuh anda. Dan itu adalah sebuah ancaman terbesar bagi setiap vampir." Kubangun dari rebahanku dan kutatap L yang tengah berdiri disampingku. "L, apakah ini akan lebih sulit nantinya?", tanyaku dengan wajah putus asa. Kulihat ia hanya mengangguk pelan. "Perjalanan anda masih panjang sekali dan akan ada suatu tantangan yang lebih berat nantinya, pangeran. Namun semua itu pasti ada solusinya. Tak mungkin ayahanda pangeran mengorbankan anda, apalagi menyelakakan anda. Pasti beliau sudah memiliki rencana jauh-jauh abad sebelumnya", lanjutnya. Beberapa detik kita hening sejenak. "Aku baru menyadari sesuatu, pangeran", ia mulai bersuara lagi. Seketika tatapanku langsung tertuju padanya. "Wajah anda sangat mirip dengan Yang Mulia Paduka Keiji. Padahal saat anda masih kecil, anda begitu mirip dengan ibunda anda. Kami bertiga tak menyangka bahwa anda akan tumbuh sebagai pemuda yang tampan, berkharisma, dan menarik seperti sekarang ini. Aku yakin anak-anak manusia itu pasti semuanya jatuh hati pada anda." Aku tersenyum mendengarnya. "Lalu kenapa? Apakah kau sekarang juga mulai menyukaiku? Sudahlah L. Berhenti memujiku. Tentu dibandingkan ayah, aku jauh tertinggal dibelakangnya. Dengan semua ketampanannya, kegagahannya, dan lain-lain. Bahkan aku pernah hampir memiliki enam ibu baru sekaligus. Namun sepertinya cinta ayah telah padam dan bersemayam di pusara ibu", kataku lirih. "Pangeran, kami siap membantu anda kapanpun itu." Aku hanya tersenyum lalu mengangguk mendengarnya. Seketika itu, ia pun menghilang entah kemana. Saat ini setidaknya ada seseorang yang menemaniku dirumah sebesar ini. Walaupun seseorang itu adalah sesosok makhluk halus sekalipun. Sesaat kemudian aku memandang jauh kedepan. Dan pikiranku jauh melayang.
"Aku butuh sebuah keajaiban..."
Pagi itu waktu berjalan semakin cepat. Tak terasa perlahan cahaya matahari muncul dari balik jendelanya sesaat ia hendak menompang tas dipunggungnya. Ia melihat sekilas cahaya matahari itu. Hiro berdecak licah lalu mengambil topinya yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Ia pun memakainya dan melanjutkan langkahnya keluar kamar.
Dihalaman rumahnya, Sato telah menunggunya dengan seragam yang lebih rapi dari biasanya. Sato menyapanya dengan senyuman. Senyuman yang sering ia lihat diwajah pemuda itu. Hiropun membalas senyuman Sato. "Hari ini kau tampak berbeda....", sahut Hiro menyapanya. "Benarkah? Hmm.. mungkin akan ada seorang wanita yang jatuh cinta kepadaku hari ini", leluconnya membuat gigi kelinci Hiro terlihat. "Walau kau tidak melakukannya, sudah banyak wanita yang jatuh hati kepadamu, Sato." "Aku tau itu. Namun jumlah mereka tak sebanding dengan jumlah yang kau miliki. Dan aku ingin menjadikanmu sebagai sainganku", kata Sato sambil memukul lengan pemuda pucat itu. Hiro tertawa. "Kukatakan padamu, bahwa aku serius tidak akan bisa menyaingimu, Hiro. Bagaimana bisa aku mengalahkan seorang Dai Akihiro dengan wajah tampan yang dimilikinya?", katanya. "Berhenti memujiku seperti itu, Sato." "Kenapa? Kau memang tampan... Bahkan sang bulan pun bisa jatuh hati padamu." Sesaat kemudian, terdengar riuh dedaunan pohon yang tengah menyapa Hiro secara bergantian. Mereka telah bangun rupanya. Ataukah memang mereka tak pernah tidur? "Ayo naik ke sepedaku. Kau tak mau kan kalau nanti kita terlambat lalu dihukum?", Sato segera mengambil sepedanya yang bersandar di salah satu pohon.
Sato tampak menggayuh sepedanya lebih cepat dari biasanya. Kota ini masih diselimuti kabut putih yang berusaha ditembus oleh sinar mentari. Kini Hiro belajar di sekolah yang sama dengan Sato. Bahkan, di kelas yang sama dengannya. Dalam beberapa hari itu di sekolah sebagai murid baru, ia telah sebegitu populernya. Dengan wajah yang rupawan serta perawakan yang ideal, ia telah cukup melumpuhkan beberapa hati wanita. Bahkan, ia tergolong siswa yang pintar disana. Semenjak kedatangannya, ia telah mampu memberikan nafas di sekolah itu. Siswa-siswa yang sering tidak hadir menjadi berkurang karena ada sesosok malaikat diantara mereka. Kegiatan-kegiatan sekolah semakin ramai diminati oleh para siswa karena Hiro yang menggeluti beberapa bidang ektrakulikuler disana.
Bangunan yang bernama sekolah itu mulai terlihat dari kejauhan. Hanya berkisar beberapa meter dari sepeda Sato yang melaju kencang itu. Namun, hembusan angin yang sedikit kencang membuat topi Hiro terhempas. Hiro terkejut akan hal itu. Dan dilihatnya bahwa didepan mereka tak ada lagi perumahan yang menghadang sinar matahari untuk menjangkaunya. Tanpa pikir panjang, ia segera melompat saat sepeda Sato mulai menembus sinar matahari. Nyaris saja. Seketika, pemuda berkacamata itu menghentikan laju sepedanya saat ia mengetahui bahwa penumpangnya melompat secara tiba-tiba. "Kenapa?", tanya Sato dengan wajah bingung. "Topi ku terjatuh", jawab singkat Hiro dengan ekspresi panik. Pemuda bergigi kelinci itupun memutar badannya lalu secara tidak sengaja pandangannya tertuju pada seorang gadis yang tengah memegang topi miliknya. Gadis itu menyadari keberadaan Hiro yang tengah menghampirinya. Ia mengenakan seragam yang sama dengannya. Terlihat oleh kedua bola matanya, gadis itu membeku pada tumpuan kakinya dan terus memperhatikan langkah Hiro yang berjalan pelan kearahnya. Sampai saatnya Hiro berdiri tepat dihadapannya. Gadis itu memiliki rambut hitam panjang yang bergelombang. Ia tak berkedip sekalipun dan terus menatap sosok pemuda yang berdiri dihadapannya saat ini.
"Daijoubu?", Hiro membuka suaranya saat mendapati gadis dihadapannya itu tetap terdiam. "Maaf... I-ini punyamu?", nadanya terdengar sedikit bergetar. Hiro hanya mengangguk mengiyakan. Ia jelas mengetahui bahwa gadis dihadapannya saat ini terpesona karenanya. "Hirooo.... Cepatlaaaah..." Hiro segera menyambar topinya saat mendengar panggilan Sato dari kejauhan dan pemuda yang dipanggilnya berlari menuju Sato. Gadis itu masih memandangi perginya kedua pemuda didepan sana, lebih tepatnya memandangi punggung Hiro yang menjauh. Terlihat senyuman yang tertahan di bibir merahnya sedari tadi. "Dia.... dia menyentuh jemariku...", mata gadis itu berkaca-kaca sambil mengatur nafasnya yang sesak. Entah sejak kapan ia menahan nafasnya. "Hiro_kun...", berharap pemuda yang bernama Hiro itu mendengarnya.
Sato dan Hiro memasuki ruangan kelas yang ramai oleh siswa-siswa yang telah datang mendahului mereka. Mereka berdua tampak tertawa sambil memukul lengan satu sama lain. Menambah keramaian didalam kelas pagi itu. Hiro segera menuju ke arah mejanya. Kedatangan guru perempuan dengan rok mini serta sepatu ber-high heels membuat kelas hening seketika. Tanpa diperintah, para siswa memberi salam padanya. Beberapa saat kemudian, guru itu mulai berbicara, "Saat ini, kalian kedatangan murid baru lagi yang akan menjadi teman baru kalian." "Bu, bukankah kelas kita sudah terlalu banyak kedatangan siswa pindahan?", sahut salah satu siswa. "Ah kalau masalah itu, karena di kelas ini ada pemeran utama novel ini", jawab sang guru. "Dia mengatakannya lagi..." Beberapa detik kemudian, sang guru mempersilahkan siswa baru itu untuk memasuki kelas dan memperkenalkan dirinya. Mata Hiro melebar saat melihat kedatangan siswa baru itu. "Selamat pagi teman-teman. Perkenalkan, namaku...", kalimatnya terputus saat melihat sosok Hiro yang duduk diantara bangku-bangku di kelas itu. "Dia.....?", nafasnya kembali tak beraturan. Terasa udara hangat memenuhi didadanya. "N-n-nama ku Takazawa Kina. A-aku dari Tokyo", gadis itu menjawab dengan gugup.
"Dimana kau tinggal sekarang? Berapa saudara yang kau miliki? Berapa nomor hp mu? Apakah kau sudah punya pacar?", pertanyaan tidak penting bertubi-tubi dilontarkan pada Kina secara bergantian. Dan kina menjawabnya dengan menahan tawa. "Ada lagi yang ingin bertanya pada Kina?", sang guru mulai berbicara. Semua siswa terdiam sambil melirik ke kanan dan ke kiri. Secara diam-diam Kina memandang kearah Hiro. Tak disangka, pemuda itu tengah memandang kearahnya setelah bercakap-cakap pelan dengan Sato. Masih terlihat sisa senyuman pemuda itu yang kini terarah pada sosok Kina yang berdiri didepan. Hal itu membuatnya salah tingkah dan jelas-jelas senyuman itu bukanlah tertuju padanya. Namun, demi melihat senyuman itu, Kina menahan nafas untuk kesekian kalinya. Kina segera memalingkan pandangannya kearah lain. Merasa tak sanggup untuk bertatapan dalam jangka waktu yang lama dengan pemuda itu. Namun beberapa saat kemudian, salah seorang dari mereka berkata, "Hiro_kun! Ayo katakan sesuatu..." Hiro tersentak kaget dan menatap temannya yang berbicara itu. Pernyataan itu didukung oleh seisi kelas. Pemuda berkulit pucat itu tampak berdehem sejenak. "Oke... Oke...", mendengar Hiro bersuara, seisi kelas pun hening seketika. Sesekali terdengar suara yang tengah menahan tawa dari salah satu temannya itu. Hiro tampak berfikir keras untuk menentukan apa yang harus ia katakan pada Kina. Dan Kina tentu saja semakin tak karuan detak jantungnya. Mendengarnya berdehem saja sudah sukses membuat kerja syaraf di tubuh Kina bekerja cepat. "Nyamankan dirimu dikelas ini ya! Karena..... kelas ini sedikit bermasalah", pernyataan Hiro membuat seisi kelas menjadi ricuh kembali. Beberapa gumpalan sobekan kertas dilempar kearah Hiro yang tengah berdiri itu. Sesekali Hiro menangkap salah satu gumpalan kertas itu dan melemparnya kembali pada salah satu temannya. Dan Kina tak dapat menahan tawanya saat melihat itu. Pipinya bersemu merah. Wajahnya terasa sangat panas.
"Diam semuanya..!", sang guru mulai menenangkan suasana kelas yang tengah melempari Hiro dengan gumpalan kertas. "Kina, sekarang kau duduk dengan...", guru itu tampak mengamati kursi-kursi yang masih kosong dikelas 2-A itu. "Dengan Hiro_kun saja", sang guru menunjuk kearah meja Hiro. Terlihat ekspresi terkejut dari keduanya.
"Denganku?", Hiro menunjuk ke arah dirinya sendiri. Lalu sang guru mengangguk pasti. "Hiro_kun! Jangan lupa untuk menyampaikan salamku padanya", ucap salah satu siswa laki-laki. Hiro langsung melemparnya dengan buku yang ada diatas mejanya. Seisi kelas tertawa melihat aksi Hiro itu. Ia segera mengambil tasnya yang berada dikursi satunya dan membiarkan Kina duduk bersebelahan dengannya. Tak lama kemudian, pelajaran pun dimulai. Kina terlihat sangat kaku ketika mengeluarkan buku dari tasnya, begitu juga ketika membuka buku tulisnya, serba salah tingkah. Kina bahkan tak bergerak sedikitpun, seperti beku mematung. Apalagi ketika lengan Hiro tak sengaja menyentuh lengannya ketika pemuda itu bersenda gurau dengan Sato yang duduk di seberang bangku mereka. "Bernafaslah, kalau tidak, kau akan jatuh pingsan." Hiro berkata dengan suara pelan sambil terus fokus menulis. Kina sontak menoleh ke asal suara itu. "Apakah kau.... masih mengingatku?" "Tentu", kata Hiro tak mengalihkan pandangannya. Tak ada yang istimewa bagi Kina pagi itu. Kesannya saat ini, Hiro adalah pemuda yang dingin dan acuh tak acuh. Tak ada percakapan yang hangat antar Kina dan Hiro sebagai teman sebangkunya. Gadis itu diam-diam melirik kearah pemuda yang duduk disebelahnya yang sedang menyimak pelajaran. Paras pemuda ini sungguh indah dipandang.... Namun satu hal yang membuatnya bingung. Warna kulitnya yang begitu pucat. Lengannya, lehernya, wajahnya, seputih bulu angsa.
Waktu telah menunjukkan siang hari. Hiro terus menerus berada di naungan gedung sekolah dengan topi disaku celananya. Ia tak pernah berniat untuk keluar dari gedung sekolahan untuk menikmati hangatnya cahaya matahari. Bagaimana ia dapat menikmatinya, jika hal itu akan membunuhnya secara perlahan. Cukup dari kejauhan ia memandang teman-temannya yang bermain kasti, sepakbola, basket, dan lain-lain. Teman-temannya sesekali melambai kearah Hiro mengisyaratkan untuk bergabung. Hiro terus membalik-balikkan halaman buku yang tengah ia baca. Entah telah berapa banyak halaman yang ia telusuri. Bersamaan dengan itu, ada suara berisik dari ruang perpustakaan dibelakangnya. Tampak terdengar seseorang yang tertimpa buku-buku. Kakinya membawanya menghampiri asal suara itu. Dugaannya ternyata benar. Seorang gadis telah tertimpa beberapa buku yang berjatuhan dari rak. Entah bagaimana hal itu bisa terjadi. Namun, saat ini Hiro tak dapat melihat jelas wajah gadis itu karena tertutupi oleh rambut hitam panjangnya itu.
Sepuluh menit yang lalu. Kina menikmati jam istirahatnya dengan makan siang di kantin. Ia masih bingung dengan sikap Hiro pagi ini. Sungguh menyebalkan! Tiba-tiba, wali kelasnya duduk dihadapannya. "Sensei!", Kina terkejut melihat kehadirannya. "Bolehkah aku duduk disini?", tanya guru itu dengan sopan. Kina mengangguk pelan. "Masih belum mendapatkan teman?", pertanyaan itu membuat Kina berhenti sejenak melahap makanannya. Kina menunduk dan mengangguk pelan. Terdengar guru itu berdecak lidah lalu berkata, "Kenapa? Bukankah sensei telah memilihkanmu sebangku dengan Hiro_kun. Dia seorang siswa yang mudah bergaul. Awalnya dia juga siswa baru disini." "Dari tadi dia bersikap dingin padaku, bahkan belum mengatakan sepatah katapun padaku. Hanya.....", Kina berdehem sejenak lalu melanjutkan kalimatnya. "Dan ia tak menghiraukanku sebagai teman sebangkunya", wajah muram Kina mulai terlihat. Guru itu mulai bergumam dan berfikir keras. "Cobalah untuk memulai sebuah pembicaraan padanya. Dan jadikan dia sebagai teman pertamamu. Dengan begitu, kau juga akan mendapatkan teman dengan perantara Hiro." Kina tampak ragu atas usulan wali kelasnya itu. "Lagipula, dia mempunyai wajah yang imut. Mungkin saja nanti kalian bisa berpacaran", godanya pada muridnya itu. Mendengarnya, gadis itu tersedak oleh minumannya. "Andai saja aku masih seumuran dengan kalian… oh iya, Kina, bisakah kau membantuku?" Mendengarnya, Kina mengangguk pelan. "Berhubungan ada kau, tolong ambilkan salah satu buku untukku diperpustakaan." Kina mengangguk mengiyakan. Setelah ia menghabiskan makanannya, ia segera menuju perpustakaan dan meninggalkan wali kelasnya yang tengah menyantap makan siangnya.
*Sensei=Guru*
Setibanya ia diperpustakaan, terlihat beberapa orang siswa disana yang tengah membaca buku. Kina tampak sedang berkonsentrasi dalam pencarian buku yang dimaksud. Terlihatlah buku itu di rak buku bagian paling atas. Dan ia tampak kesulitan meraihnya. Ia pun menaiki kursi didekatnya untuk menggapai buku itu. Lalu secara tidak sengaja ia menarik buku itu dengan kasar. Alhasil, beberapa buku berjatuhan menimpanya dan membuatnya terjatuh dari kursi yang dipijakinya. Ia merasakan rasa sakit pada kepalanya. Buku-buku itu jatuh dan berserakan disekelilingnya. Beberapa detik kemudian, terdengar suara langkah kaki menuju ke arahnya. Terlihat dari ekor matanya, seorang pemuda duduk berjongkok disampingnya dan membantu merapikan buku-buku itu kembali. "Daijoubu?", tanya Hiro ditengah-tengah merapikan buku-buku itu. "Ooh... ya... arigatou", jawab gadis itu terkesan masih kesakitan.
*Arigatou =Terima kasih*
Bertemulah bola mata Kina oleh Hiro. Bertemulah pandangan mereka yang kini saling menatap antar satu dan yang lainnya. Hiro pun mengalihkan pandangannya dan segera bangkit untuk meletakkan buku-buku itu kembali ke rak. Terlihat oleh ekor matanya, gadis itu tetap memperhatikan Hiro. Setelah ia meletakkan buku-buku itu, ia mengulurkan tangannya untuk membantu Kina berdiri. Kina pun dengan ragu-ragu menyambut uluran tangan pemuda itu. "Apa yang terjadi?", tanya Hiro sambil membersihkan seragamnya dari debu. "A-aku disuruh sensei untuk mengambil buku ini", lugas Kina. "Lain kali lebih hati-hati", pemuda ini melihat Kina sekilas lalu membalikkan badannya dan berjalan meninggalkan Kina. Gadis itu mulai muak dengan sikap Hiro yang seolah-olah tak mengenalnya. Dilihatnya punggung Hiro yang perlahan menghilang dari balik pintu perpustakaan. Kina lalu bergegas mencari buku yang tengah dicarinya itu.
Di persimpangan lorong, Kina tampak tengah berlari karena didengarnya bel masuk setelah ia memberikan buku itu pada wali kelasnya. Namun dihadapannya ada seseorang yang berhenti secara tiba-tiba lalu bercakap-cakap dengan temannya. Akhirnya, dengan tak sengaja Kina menabrak jatuh siswa itu. Entah siapa itu. Kina segera bangkit dan meminta maaf padanya tanpa melihat wajah pemuda yang terjatuh itu. Ia segera berlari menuju kelasnya tanpa membantu pemuda itu berdiri.
Di dalam kelas, guru masih belum memasuki kelasnya. Terlihat Kina yang bertopang dagu dan memandang jauh menembus papan tulis. "Dimana dia?", sesekali ia melirik ke kursi kosong disebelahnya. Saat itu, kelas tampak begitu ramai. Tak disadari olehnya, sebuah penghapus papan tulis sedang melayang kearahnya. Seketika itu kelas menjadi hening dan semua siswa memandang ke arah Kina. Gadis itu terkejut dan mengusap-usap belakang kepalanya yang terasa sakit. Seorang pelaku itupun menghampiri tempat duduk Kina, lalu berkata, "Daijoubu?" Kina mengangguk pelan. Pemuda itu menatap lamat-lamat wajah Kina. "Hontou ni?", tanyanya lagi pada Kina. "Iya, Sato_kun...", senyuman Kina tersirat dibibirnya. Pemuda itu masih terdiam untuk beberapa saat.
Tiba-tiba ia duduk dikursi Hiro. "Nanti kalau Hiro datang bagaimana?", tanyaku padanya. "Nanti kalau dia datang, berarti ada dua pilihan. Aku yang pindah, atau dia yang pindah", jawab entengnya sambil membuka-buka buku Hiro di atas meja. Kami pun bercakap-cakap. Sato orangnya asyik dan mempunyai banyak lelucon untuk membuatku tertawa. Aku merasa nyaman didekatnya. Mungkin ia yang akan menjadi teman pertamaku. Sementara itu, dari kejauhan tampak sosok Hiro yang mendatangi dan menghampiri kami berdua. Tanpa berkata-kata, ia langsung membereskan buku-bukunya diatas meja dan mengambil tasnya. Terlihat ekspresi dingin dari pemuda itu seperti biasanya. "Hiro_kun, duduklah disini", teman sebangku Sato telah menyiapkan kursi untuknya yang semula adalah kursi Sato. Dan yang membuatku geram lagi, teman sebangku Sato adalah gadis yang 'nakal'. Terbesit rasa kesal dalam hatiku ketika melihat gadis itu dengan sengaja berbicara dengan nada yang merayu.
Beberapa saat kemudian, sensei datang untuk menyampaikan materi. Selama pelajaran berlangsung aku diam-diam mencuri pandang pada pemuda yang bernama Hiro itu. Kulihat gadis disebelahnya pula mencari kesempatan untuk memegang lengannya yang pucat pasi itu. Terlihat beberapa kali Hiro yang tak merespon tindakannya dan membiarkan gadis itu menyentuhnya. Namun, tak lama kemudian, aku ketahuan oleh gadis itu yang tengah memandangi mereka. Lalu, kulihat ia berbisik pelan pada Hiro. Entah apa yang dibisikkannya, nyatanya Hiro langsung menoleh kebelakang dan memandangku dengan pandangan datar. Kemudian, ia memandangku dengan tatapan heran. Kulangsung membuang muka berpura-pura memperhatikan sensei yang tengah menjelaskan. Rasanya seperti pencuri yang tertangkap basah oleh si korban. Rasa malu bercampur salah tingkah menjadi satu. Menjadikanku seperti orang bodoh baginya. Apakah aku harus menjadi seperti gadis itu agar dapat mendekati Hiro? Aku adalah aku. Dia adalah dia. Aku adalah Kina. Biarkanlah sesuatu terjadi sesuai kehendak-Nya. Aku hanya bisa Pasrah dan berusaha. Itulah kodrati manusia.
Kulihat, Hiro tak memandang kearahku lagi. Namun, gadis disampingnya menatapku dengan tatapan pedas. Dan aku muak melihat tatapannya itu. Jika aku boleh memilih, aku lebih baik melihat tatapan datar Hiro daripada tatapan gadis itu. Terkadang aku bimbang akan perasaanku. Buat apa aku mengejar Hiro? Buat apa aku mengharapkannya? Di dunia ini tak ada yang abadi. Semuanya pasti akan berputar pada waktunya nanti. Tunggu... kenapa dengan siku lengan Hiro? Kulihat sebuah plaster yang menempel pada sikunya. Apakah dia terluka?
Panggilan Sato pun mengalihkan perhatiannya pada Hiro. "Kina, maukah kau nanti kuantar pulang?", bisik kecil Sato. Kina hanya mengangguk mengiyakan ajakan Sato. Terlihat senyuman puas darinya. Kinapun kembali memusatkan pandangannya pada Hiro. Beberapa menit kemudian, alangkah terkejutnya dia saat mengetahui bahwa Hiro menoleh nan menatap Kina. Ia terpaku pada tatapan pemuda itu kali ini. Kini mereka tengah beradu pandang. Namun, itu tak berlangsung lama. Karena gadis disebelahnya segera memegang lengan Hiro dan berbicara padanya. Seketika itu, Hiro menoleh kearah gadis itu. Walau hanya sekejab, ia dapat merasakan tatapan yang berbeda dari Hiro kali itu. Tatapan itu seperti yang dilihatnya saat pertama kali bertemu dengannya pagi ini. "Takazawa_san, apakah kau memperhatikan pelajaranku?", seketika suara sang guru mengejutkannya. Semua siswapun segera memandang kearahnya. Gadis itu tak segera menjawab. Ia tampak bingung akan menjawab apa kali ini. Kini, ia melirik ke arah Hiro yang tengah memandangnya juga. "Sekarang kau keluar, dan berdiri didepan lorong sampai jam pelajaran saya selesai", perintah guru itu.
Ia merasa terkejut dengan kalimat yang dilontarkannya itu. Dengan terpaksa ia harus menerima hukuman dihari pertamanya masuk sekolah. Sungguh mengenaskan. Iapun bangkit dari duduknya dan segera menuju keluar kelas. Di lorong itu terasa sepi. Sesekali terdengar gema tawa dari kelas lainnya. Dari luar sini, ia masih dapat melihat Hiro lewat jendela kaca. Sesekali pemuda itu memandang ke arahnya yang tengah berdiri itu. Dan Kina ketahuan untuk kesekian kalinya yang tengah memandanginya juga. Malu dihati rasanya. Namun, bola matanya tak dapat berhenti untuk mencuri-curi pandang kearahnya. Ingin rasanya ia berhenti untuk menatap Hiro walau hanya sekejab saja. Namun, tampaknya ia tak bisa melakukannya. Tampak sulit untuk dilakukan. Wajah pemuda itu sungguh indah untuk dipandang.
30 menit kemudian, ia mendapati Hiro yang tengah menulis sesuatu pada sebuah sobekan kertas. Entah apa yang ditulisnya. Kini ia mulai merasakan lelah pada kedua kakinya itu. Ia sedikit menggerak-gerakkan kakinya yang mulai kaku syarafnya. Sesekali ia menguap dikarenakan oleh angin sepoi-sepoi yang menghembus pelan kearahnya. Beberapa saat kemudian, terdengar suara pintu kelas yang tengah dibuka. Ia melihat kearah orang yang keluar kelas itu. Pada awalnya ia mengira bahwa sang gurulah yang keluar kelas. Ternyata dugaannya salah. Ia melihat Hiro yang mendorong pintu putih itu. Namun pemuda itu melewatinya begitu saja tanpa memandang ke arahnya. Hiro menghilang dipersimpangan lorong. Kina berdecak lidah. Kini ia menatap lurus kedalam kelas. Tampak Sato yang juga memandang kearahnya. Kina tersenyum kecil mengisyaratkan bahwa ia baik-baik saja.
Tak lama kemudian, Hiro terlihat di ujung lorong kelas itu. Dari awal ia muncul dari persimpangan lorong, tatapannya tertuju kearah Kina. Kina merasa bingung akan tatapan itu. Jelas terlihat bahwa pemuda itu tengah menuju ke arahnya. Kini Hiro semakin mendekat kearahnya. Dan tatapannya kini semakin dalam pada Kina. Bola mata gadis itu terasa panas karena lupa bagaimana berkedip. Ia terhipnotis oleh tatapan pemuda bergigi kelinci itu. Melihat Kina yang tengah salah tingkah, Hiro tersenyum dan memperlihatkan gigi kelincinya.
Hiro berjalan perlahan melewatinya. Kina merasakan tangan Hiro yang menyentuh tangan Kina sekilas dan menyelipkan sebuah kertas pada telapak tangan gadis itu. Tanpa memandang, pemuda itu melewatinya lalu segera membuka pintu kelasnya. Menyadari hal itu, ia langsung membuka gulungan kertas itu. "Jangan lupa bernafas, atau kau akan jatuh pingsan", ia merasa geram setelah membaca isi kertas itu. Iapun meremas kertas itu dengan kepalan tangannya. Dapat dilihatnya, senyuman kecil dari bibir pemuda itu yang tengah memandang kearahnya saat ini.
Pelajaran sensei Takai pun telah usai. Tampaknya ada jam kosong. Karena para guru tengah mengadakan rapat mendadak. Kelas terasa lebih ramai karena tidak adanya pelajaran. Terlihat ada siswa yang tengah bermain kartu, ada pula yang tengah asyik bermain game lewat HP mereka, ataupun sms-an. Ada pula siswi yang berdiam diri sambil memperhatikan betapa indahnya kuku-kuku yang dimilikinya. Serta ada pula siswa yang memainkan alat musik gitar. Dan Kina hanya bertopang dagu melihat berbagai tingkah-laku teman-temannya.
Sato kini tak berada disisinya. Ia tengah bermain kartu disudut kelas dengan siswa laki-laki lainnya. Dan Hiro..... lupakanlah... Ia sekarang tengah bercakap-cakap dengan gadis itu. Terlihat begitu asyik pembicaraan mereka. Dan sesekali tampak sebuah senyuman yang tersirat diwajah mereka berdua. Tak ada sebuah kecanggungan sedikitpun pada Hiro dengan gadis itu. Namun, sebuah keanehan melanda dipikiran Kina. Tampak seperti adanya dua sisi yang berbeda dari pemuda itu. Dia memang seseorang yang tak mudah untuk ditebak. Terkadang menyebalkan, dan terkadang juga menyenangkan. Ya. Kina dapat melihatnya dari keakraban Hiro dengan gadis yang bernama Rin itu. Kina hanya dapat menghela nafas pendeknya. Lalu ia mulai membuka buku pelajaran dihadapannya.
Sang raja siang kini telah berubah menjadi sang raja senja. Dan cahayanya pun berubah menjadi jingga. Terdengarlah bel berdering di seluruh sudut sekolah. Semua murid merenggangkan punggungnya karena pelajaran yang cukup melelahkan jiwa dan raga. Hiro melangkahkan kakinya untuk meninggalkan kelas pada urutan terakhir. Namun di lorong kelas terdengar suara yang memanggilnya. Terdengar suara langkah kaki yang tengah berlari kearahnya. Hiro segera berbalik dan mendapati Sato yang tengah berlomba mengatur nafasnya. "Dari mana saja kau?", tanya Hiro saat melihat Sato nyaris kehabisan nafas dihadapannya. "Hiro.... Tolong bantu aku....", katanya sambil terengah-engah. "Bantu apa? Apa yang terjadi?", terlihat kecemasan diwajah sahabatnya itu. "Ban-Bantu aku menemukan nafasku.... Apa kau melihatnya?", lelucon yang dilontarkan Sato membuat sahabatnya berdecak lidah. Pemuda berkulit pucat itupun memukul kepala Sato. "Apakah kelas sudah berakhir?", Sato tampak melihat ke kiri dan ke kanan. Hiro hanya mengangguk dan memberikan tasnya. "Terimakasih, Hiro", Sato menepuk pundak Hiro. Sesaat ketika ia hendak meninggalkan Hiro, iapun berkata, "Oh iya, satu lagi. Sepertinya aku tak bisa pulang bersamamu sore ini. Maaf ya." "Terserahlah...", jawab enteng Hiro sambil membuang tangan Sato yang berada dipundaknya. Ia pun meninggalkan Sato yang berdiri diambang pintu kelasnya. "Hei... Chotto, Hiro_kun! Jangan marah padaku", ia menghampiri sahabatnya yang tak jauh didepan dengan berlari pelan.
*Chotto=Tunggu*
Bel pulang telah berbunyi sejak lima menit yang lalu. Namun ia masih berdiri didepan gerbang sekolah. Sepertinya sedang menunggu seseorang. Terlihatlah olehnya sosok Hiro yang tengah berjalan seorang diri dengan topi dikepalanya dan ia tengah memperhatikan telapak tangan kirinya. Saat Hiro nyaris melewatinya, gadis itu menyentuh lengan kiri pemuda jangkung itu. Hiro pun berhenti untuk melihat seseorang yang memegang lengannya itu. "Hei, kau.... Penggemar rahasiaku, ada perlu apa?", tanyanya dengan nada mengejek. Kina mengatur emosinya sejenak dan menghela nafas pendeknya. Namun ketika Kina hendak membuka mulutnya untuk berbicara, Hiro mendahuluinya "Kau tidak pulang?", tanya Hiro sambil melangkahkan kakinya meninggalkan Kina. Melihat sikap dingin pemuda itu untuk kesekian kali, Kina hanya dapat mengamatinya dari kejauhan.
Namun beberapa saat kemudian, Hiro menghentikan langkahnya dan memutar badannya. "Mau pulang bersamaku?", tanya Hiro dengan nada yang lebih ramah dari sebelumnya. Kina menggeleng. Entah apa yang membuat Hiro tersenyum padanya saat ini. Kina lihat saat sapuan angin mengenai ujung-ujung rambut pemuda itu. Cahaya matahari senja mengenai ekor matanya dan menerpa sebagian parasnya yang nampak begitu pucat. "Baiklah kalau begitu", sahut pemuda itu dengan singkat. Tampaknya Hiro tahu bahwa gadis itu ingin mengatakan sesuatu padanya, ia memutuskan untuk menunggu. Satu detik, dua detik, bahkan detik ketiga, mereka berdua masih bergeming, berdiri ditumpuan masih-masih dengan jarak kurang lebih lima meter. "Kenapa…. Kenapa kau bersikap dingin padaku? Apa salahku?", tanya Kina sambil menahan emosi. Terlihat kedua matanya yang menyipit dan wajah putihnya yang merah padam. Senyuman pemuda itu semakin lebar saat mendengar pertanyaan itu dari Kina. Terlihat Hiro yang tengah memasukkan kedua tangannya kedalam saku celananya dan perlahan berjalan mendekati Kina. "Salahmu? Kesalahanmu adalah…. Pertama, kau sering mencuri-curi pandang padaku tanpa seijinku. Kedua, kau mengagumiku tanpa seijinku. Ketiga, kau duduk dengan Sato tanpa seijinku." Diakhir kalimatnya, kini kedua insan itu berhadap-hadapan dan Hiro yang sedikit membungkuk untuk menatap mata hitam Kina. "Jangan lupa bernafas. Sungguh, wajahmu yang memerah terlihat sangat jelek seperti kepiting rebus." Hiro pun berbalik lalu melangkahkan kakinya. Dirasakannya ada sesuatu yang memukuli punggungnya dengan sesuatu. Kina menggunakan tasnya untuk menyerang Hiro. Ia tak dapat menerima perlakuan pemuda itu lagi. Tentu pukulan itu tak berarti bagi Hiro. Ia tertawa geli melihat aksi Kina. "Hentikan… hentikan kepiting." Seketika itu angin disekitar gerbang bertiup agak kencang. Lalu setelahnya, Sato menghampiri mereka berdua. "Sudah lama menunggu?", tanyanya pada gadis itu. "Oh jadi ini pacar barumu? Hati-hati ya. Dia suka mencapit", disisa tawanya Hiro menepuk bahu Sato dan berlalu. Kina hanya dapat menggeleng pelan melihat punggung Hiro. Masih terlihat sisa marah di wajah Kina. "Ada apa dengan kalian?", Sato terlihat bingung dibuatnya.
Kina pun dibonceng Sato senja itu dengan menaiki sepedanya. Sepeda yang sama saat ia membonceng sahabatnya pagi ini. Pada akhirnya Sato menghentikan sepedanya didepan rumah gadis itu. "Kina, bisakah besok pagi aku menjemputmu?", tanya Sato percaya diri. Kina hanya mengangguk mengiyakan tawarannya.
Sang dewi malam pun tiba menggantikan tugas sang raja senja. Di samping perapian, Kina duduk disebelah ayahnya. "Ayah, pemuda ini sungguh menarik perhatianku. Aku menyukainya."