Nyi Raden Ayu Dewi Sartika, adalah putri raja kerajaan Kencana lor, sebuah kerajaan kecil di sebelah utara pulau Jawa. Walaupun kerajaan ini kecil, tetapi rakyatnya sejahtera, tata cara kepeminpinan Raja Airlangga yang mengayomi rakyatnya, selalu melalukan temu muka mendengarkan keluhan setiap rakyatnya, menjadikan raja yang berwibawa, dihormati serta dicintai rakyatnya.
Nyi Ayu, panggilan sang Putri, seorang gadis cantik jelita, warna kulitnya putih langsat, rambut panjang terurai, postur tubuhnya yang tinggi langsing, begitu sempurna untuk penampilan seorang putri raja. Seorang putri yang mewarisi sifat ayahandanya, anggun dan ramah kepada rakyatnya.
Putri raja satu-satunya, sehingga dididik langsung oleh ayahandanya agar bisa menguasai sifat-sifat seorang penguasa yang arif dan bijaksana. Nyi Ayu sudah dikenalkan sejak dini dengan strategi berburu dan berperang, sejak kecil selalu ikut serta dengan ayahandanya berburu ke hutan berlatih langsung di alam.
Ibundanya Nyi Mas Senggiri sebenarnya tak menyukai, jika putri cantiknya lebih menyukai panah dan hutan belantara. Ibundanya sudah mengenalkan sedari kecil dengan memasak, merajut, menenun dan menyulam layaknya tugas seorang perempuan.
Tetapi Nyi Ayu, tetap lebih suka panah dan hutan, Nyi Ayu selalu bersemangat jika ayahandanya bercerita tentang kesuksesannya menaklukan musuh di medan perang. Hingga Nyi Ayu yang sudah dewasa pandai menggunakan panah, namun tetap anggun.
**
Nyi Ayu tiba-tiba seperti berada di halaman masuk kampus, berjalan masuk ke dalam kampus, langkahnya seperti sudah biasa di lingkungan itu. Banyak mahasiswa yang sedang berkumpul berkelompok, mereka menyapanya. Lalu langkah kakinya menuju sebuah perpustakaan kampus dengan suasana yang sunyi dan tenang. Tangan Nyi Ayu, memilah-milah sebuah buku, dilihatnya setiap judul buku yang berjejer rapi di rak buku tersebut. Lalu mengambil sebuah buku dan berjalan menuju sebuah kursi, diletakannya buku tersebut di atas meja.
"Nyi Ayu, Nyi Ayu. Bangun Nyi Ayu!"
Nyi Ayu membuka matanya, ternyata dia bermimpi. Mimpi yang aneh menurutnya, karena di dunianya kini tak ada kampus dan tak ada mahasiswa. Nyi Ayu, lalu bangun dan duduk di ranjang tidurnya, Dayang Ratih yang membangunkannya memberikan air di dalam cangkir emas, "minumlah dulu, Nyi Ayu!"
Nyi Ayu menerimanya, dan meminumnya air di cangkir emas tersebut sampai habis.
"Aku bermimpi yang sama lagi." Ucapnya pelan, suaranya seperti ketakutan.
"Berarti sudah tiga kali, Nyi Ayu mimpi seperti itu. Haruskah, saya tanyakan pada Ki Surta? Agar mengetahui arti mimpi Nyi Ayu, ini?" tanya Dayang Ratih khawatir pada Nyi Ayu.
"Tidak usah Ratih, ini hanya bunga tidur saja." Jawab Nyi Ayu, lalu turun dari ranjangnya.
Terlihat ada seseorang masuk, yaitu Dayang Sarti. Dayang Ratih dan Dayang Sarti adalah pelayan Nyi Ayu, mereka bertugas memenuhi semua kebutuhan Nyi Ayu, "Nyi Ayu, saya dapat pesan dari Den Mahesa."
Dayang Sarti memberikan sebuah gulungan perkamen kecil yang di ikat pita berwarna keemasan, Nyi Ayu tersenyum menerima perkamen tersebut, dan membuka isi perkamen tersebut, "tentu saja, aku akan menemuimu kanda."
Nyi Ayu terlihat bahagia, Den Mahesa adalah lelaki yang ia sukai, mereka akan bertemu sore hari di taman samping istana, sesuai dengan isi pesan dalam perkamen, yang ia terima.
Mereka kini sudah berdua di samping taman, Nyi Ayu terlihat tersenyum gembira melihat pujaan hatinya yang sudah ada di hadapannya. Tetapi Den Mahesa terlihat murung.
"Ada apakah gerangan, Kanda? Mengapa Kanda, terlihat murung?" tanya Nyi Ayu yang terlihat sedih.
"Aku hanya sedang bersedih saja, Nyi Ayu." Jawab Den Mahesa lirih.
"Apa yang membuatmu bersedih Kanda? Ceritakanlah padaku!" pinta Nyi Ayu.
"Nyi Ayu. Aku tahu, seharusnya tak pantas, abdi negara sepertiku mencintai Nyi Ayu." Jawab Den Mahesa tak melanjutkan kalimatnya.
"Apa maksudmu, Kanda? Aku tak mengerti!" protes Nyi Ayu kesal, lalu menggenggam tangan Den Mahesa.
"Nyi Ayu! Nyi Ayu sudah dijodohkan dan akan menikah, dengan seorang pangeran dari negeri sebrang. Aku tak pantas bersanding denganmu Nyi Ayu, maafkan aku." Jawab Den Mahesa pilu.
Kemudian, Den Mahesa melepaskan genggaman tangan Nyi Ayu dan berlari meninggalkan Nyi Ayu.
Air mata Nyi Ayu mengalir deras, lalu dia berbalik menuju istana. Nyi Ayu mencari ayahandanya untuk menanyakan kebenaran tentang pernikahan dan perjodohannya. Nyi Ayu, berlari ke dalam istana, lalu langsung memasuki aula perjamuan. Tempat di mana ayahandanya berada.
Sebuah ruangan besar, dindingnya penuh ukiran indah dan atap yang indah dengan pernak pernik tergantung, di tengah aula perjamuan terdapat meja besar panjang lengkap berbagai aneka buah-buahan, saat pintu terbuka langsung terlihat meja yang penuh jamuan dan kursi ayahandanya yang paling besar dan megah menghadap pintu yang terbuka.
Di samping kanan dan kirinya sudah ada yang menduduki, mereka adalah para adipati kerajaan yang membantu kepemerintahan ayahandanya, ibundanya duduk di kursi kiri, sebelah ayahandanya.
"Ayahanda, apa maksudnya pernikahanku?" tanpa basa basi, Nyi Ayu langsung bertanya.
"Nyi Ayu, jaga sikafmu di hadapan Ayahandamu dan para Adipati Negara!" tegur Nyai Ratu ibundanya dengan nada keras.
"Tenanglah dahulu, Putriku! Biarkan Ayahandamu jelaskan. Kemarilah, duduk dan sapalah dahulu, para Adipati yang sudah hadir di sini!" ucap ayahandanya bijaksana.
Para adipati yang menatapnya, tersenyum ramah pada Nyi Ayu. Nyi Ayu kemudian membungkuk memberi salam kepada para adipati, lalu berjalan dan duduk di kursi samping kanan ayahandanya.
"Nyi Ayu. Ayahandamu ini sudah tua, sudah waktunya beristirahat, dan sudah waktunya pula kamu menggantikan tahta Ayahandamu. Saat kamu menggantikan tahta, kamu perlu pendamping untuk membantumu menjaga kerajaan ini." Jelas ayahandanya dengan lemah lembut dan sangat bijaksana.
"Tetapi Ayahanda. Aku tidak ingin menikah!" jelas Nyi Ayu membantah perintah ayahandanya.
"Nyi Ayu, bagaimana kamu menjaga kelangsungan kerajaan ini? Jika kamu tidak menikah, ini sudah jadi kodratmu, dan kamu tidak dapat membantahnya!" ucap ibundanya penuh tekanan disetiap katanya.
"Nyi Ayu, upacara penobatan tahtamu itu sekaligus hari pernikahanmu. Kami mohon jangan membantah, keinginan paduka Raja!" ucap salah satu adipati yang duduk di samping kanan Raja.
Adipati tersebut, terlihat yang paling tua, diikuti anggukan para adipati lainya. Tetapi wajah Nyi Ayu, terlihat kesal karena tak siap untuk menikah.
"Nyi Ayu Putriku, Ayahanda sudah mengirim utusan ke kerajaan lain, dan kerajaan tersebut sudah mengirimkan surat, bersedia meminangmu. Ini bukan hanya tentang pernikahan saja, tapi ekspansi kerajaan, agar kerajaan kita makin luas dan kuat, karena dua kerajaan akan bersatu." Terang ayahandanya penuh wibawa, ekspresi wajah sang raja penuh harap.
"Aku lebih baik mati, dari pada harus menikah! Apalagi, aku harus menikah dengan orang yang tidak aku kenali!" tegas Nyi Ayu penuh emosi.
Nyai Ratu terlihat kaget mendengar ucapan sang putri, "Nyi Ayu, hati-hati dengan ucapanmu! Bagaimana, jika Dewa mendengar ucapanmu?" ucap sang ibundanya yang terbawa amarah.
Nyi Ayu terlihat bertambah kesal. Lalu melangkah pergi tanpa pamit.
"Ini salahmu, Kanda! Terlalu memanjakannya, tak bisa mengerti tugas seorang wanita dan tugas seorang putri pewaris tahta." Nyai Ratu kesal, kemudian melangkah keluar.
Paduka Raja hanya tersenyum melihat permaisurinya marah.
"Tidak apa-apa! Biarkan, saya yang menangani mereka berdua." Ucap sang raja kepada para adipati yang terlihat bingung.