Keempat anggota keluarga Ali terlihat bingung. Nyi Ayu yang masih berada dalam tubuh Ali mulai memahami di mana ia sekarang. Sepertinya dia sudah jauh di masa depan, tapi bagaimana caranya untuk kembali masa lalu. Ke masa dirinya berada. Nyi Ayu memikirkan, pasti ayahanda dan ibundanya sedih kehilangannya. Jikalau tahu akan begini, seharusnya dia menuruti permintaan ayahandanya untuk menikah.
Wajah Ali lemas kemudian berdiri dan hendak masuk ke kamar, tetapi di dalam tubuhnya masih Nyi Ayu. Dia tidak bisa membuka pintu kamarnya. Dia baru menyadari pegangan pintunya berbeda dengan di kamar kerajaanya, lalu memegang gagang pintu kamar itu yang bentuknya bulat, kemudian mendorongnya dan mencoba diputarnya bentuk bulat itu ke kanan.
Klikk.
'Terbuka.' Gumaman Ali pelan, wajahnya terlihat lega dan bahagia karena bisa membuka gagang pintu yang menurutnya aneh.
Ali kemudian masuk ke dalam kamar. Keempat keluarga Ali memperhatikan Ali yang sudah masuk dan mereka terus memperhatikan pintu itu, karena gagang pintu kamar yang bulat itu masih bergerak. Keluarga Ali berusaha memahami apa yang dikatakan Ali, lalu terdengar suara tangisan Ali dari kamarnya.
"Bagaimanan ini, Mak? Kayanya dia beneran bukan Bang Ali," tanya Adel pada Iin ibu mereka. "Kita harus membantu, orang yang ada ditubuh Ali untuk menukar tubuhnya dengan Ali. Tapi gimana caranya?"
**
Nyi Ayu tiba-tiba berasa berada di tempat yang tak dikenalinya. Sekeliling tempat itu seperti sebuah kabut putih. Dia melihat tangannya, tangannya sudah kembali, memeriksa semua wajah dan anggota tubuhnya ternyata benar itu tubuhnya. Baju yang dipakainya baju miliknya, kain batik sutera, kemben dengan sulam benang emas, selendang sutera warna hijau kesukaannya dan aksesoris kerajaan yang melekat ditubuhnya.
"Yeeehhh." Nyi Ayu bersorak riang.
Tetapi dia merasa heran di mana sekarang. Dia berjalan menyusuri tempat itu, tetapi hanya beberapa langkah saja dia tak bisa menembus jalannya, seakan menabrak sebuah dinding yang memantul, bughh.
Seperti ada pembatas yang tak terlihat. Saat Nyi Ayu menyentuh dinding tak tampak itu terlihat seperti air yang disentuh. Lalu Nyi Ayu menginjak kasar dinding lantainya, sama. Saat diinjak keras kabut putihnya berubah menjadi seperti gelombang air yang disentuh. Kemudian Nyi Ayu mencoba mengetuk sebelah lain pun sama. Nyi Ayu seperti terkurung di dalam ruang dengan dinding tak terlihat.
Nyi Ayu mulai frustasi, "seseorang tolong aku!" teriaknya, berharap ada yang mendengar.
Lalu dari kejauhan terlihat seperti sebuah tubuh manusia. Tubuh itu melayang dan mendekat. Tubuh itu tubuh lelaki yang ia masuki, Nyi Ayu terkejut tak mengerti. Nyi Ayu menoleh ke arah lain ada busur panah dan anak panahnya melayang membuat Nyi Ayu menyipitkan matanya bingung.
"Gunakan tubuh itu dan selamatkan tubuhmu dan tubuh serta jiwa orang itu! Hanya kamu yang bisa melakukannya!" Sebuah suara terdengar makin mengejutkan Nyi Ayu.
"Apa maksudmu, siapa kamu? Tunjukan rupamu padaku!" Teriak Nyi Ayu, tetapi tak ada jawaban.
Nyi Ayu berteriak-teriak memanggil suara itu, sampai dia merasa kelelahan, dan tiba-tiba terkaget.
Ali membuka matanya, ternyata tadi mimpi yang di alami Nyi Ayu. Nyi Ayu masih dalam tubuh Ali. Saat Ali tersadar karena bangun dari mimpinya, dia terkaget lagi karena 4 pasang mata menatap ke arah wajahnya, "Wuuaaa.." pekik Ali kaget.
Tubuh Ali bereaksi bangun dan mundur karena terkejut. Dugghh.
Kepalanya terbentur dinding dengan keras, saat tubuhnya refleks mundur karena terkejut tadi, "awww."
"Lu masih si Nyai apa sudah jadi Ali?" Tanya Sarji was-was.
Wajah Ali hanya melongo, matanya membulat, tak menjawab, "Sepertinya masih si Nyai, Pak." Ujar Iin kecewa.
"Aku bermimpi, kalau aku harus menyelamatkan tubuhku dan tubuh serta jiwa orang ini," ucap Ali, membuat yang lain ikut melongo menatap Ali. "Bagaimana caranya, Bang?"
Pertanyaan Aji mewakili wajah cemas seluruh keluarganya, mereka menatap Ali menunggu penjelasan Ali, "aku tidak tahu, hanya itu saja yang aku lihat dalam mimpi." Ucap Ali lemas.
Kruyukkk... suara perut Ali berbunyi. Ali dan keempat keluarganya menatap perut Ali, kemudian Iin menyeringai menatap Ali, "kita makan saja dulu, biar bisa mikir jernih!" ujar Iin sambil beranjak keluar.
**
"Nih, Li, makan!" Ucap Emaknya sambil menyodorkan piring nasi.
Ali menatap piring yang menjadi tempat nasi di hadapannya, "buruk sekali piring ini." Nyi Ayu yang ada di tubuh Ali berguman pelan.
"Tidak adakah piring yang lebih cantik? Piring ini sangat buruk, tak seperti piringku di Istana kerajaan. Piring keramik terbaik dan gelas yang terbuat dari logam emas dengan bahan halus sekali. Aku tidak selera makan." Ucapnya penuh penekanan.
Keluarga Ali menoleh heran, "aku tidak bisa makan dengan piring buruk seperti ini! Ini merendahkanku." Ujar Ali kesal.
Plakkk, sebuah pukulan mendarat di kepala Ali. Iin memukul kepala Ali dengan centong nasi, "Awwww." Pekik Ali keras.
"Mak, entar jadi sangkuriang lho!" Ucap Aji menatap Iin.
Sedangkan Adel tertawa kecil, sambil menutup mulutnya dan Sarji menatap heran pada Ali.
"Bodo amat, dia mau jadi sangkuriang juga, tinggal makan aja pilih-pilih," umpat Iin kesal. "Tapi, aku tidak bisa makan dengan piring kotor dan buruk seperti ini, bagaimana jika Aku sakit, dan keracunan?"
"Heh, Ali selama 20 tahun makan pakai piring beginian kaga keracunan. Kalau lu gak mau, enggak usah makan! Piring di sini kaya gini semua. Piring hadiah dari detergent." Ucap Iin kasar, lalu mengambil piring di hadapan Ali.
Perut Ali berbunyi kembali. Rasa laparnya makin tinggi, lalu Ali merebut piring yang diambil Iin, "Baiklah, aku bersedia!" ucapnya dengan tatapan memohon.
Rasa laparnya mengalahkan rasa gengsinya. Ali kemudian melihat lauk pauk di atas meja itu, lalu menatap semua orang yang ada di sana. Mereka memperhatikan Ali.
Tatapan Ali seperti penuh pertanyaan dengan hidangan yang ada di atas meja, "Ini ikan asin, sambal terasi, tempe bacem, tumis kangkung. Makan yang ada aja!" ucap Iin dengan nada tinggi, sambil menyendok lauk tersebut ke piringnya.
Ali menelan salivanya. Selera makannya benar-benar menghilang, tapi perutnya tak bisa diajak kompromi. Sarji terlihat sudah mengambil lauk, diikuti oleh Ali dan Adel, nasi di piring Aji sampai tak terlihat dipenuhi tumis kangkungnya.
"Lu kebiasaan ya, Ji. Ngambil lauk kagak kira-kira. Tumis kangkung sampai tinggal berapa lembar doang." Oceh Iin kesal, sambil mengambil kangkung di piring Aji dan memindahkan ke piringnya.
Aji melebarkan bibirnya ke samping, mulutnya sudah penuh dengan makanan, "tumis kangkung Emak, kan yang paling enak." Aji menjawab sambil mengunyah makanannya sehingga nasi dan kangkung di mulutnya berhamburan.
"Dasar tak beradab." Pekik Ali kesal.
"Kali ini, Emak setuju dengan Ali. Lu kagak beradab," jawab Iin lalu tersenyum pada Ali. "Lu kagak ngambil lauk?"
"Biarin aja lah! Pilih-pilih makanan, biar mati kelaparan sekalian." Gerutu Sarji.
Wajah Ali terlihat kesal, tapi perutnya makin keras bunyinya. Dipandangnya tumis kangkung yang tinggal beberapa lembar, ikan asin yang tinggal seekor. Dengan berat tangannya meraih ikan asin tersebut membuat mereka menatap Ali.
Ali mencubit sedikit daging ikan asinnya, tangannya yang kekar, tapi dengan cara yang lentik saat mencubitnya. Meletakan cubitan ikan asinnya di atas nasi. Kemudian dicomotnya perlahan dan diangkat menuju mulutnya. Mulutnya mulai terpaksa membuka lebar agar comotan nasi itu masuk ke dalam mulutnya. Ali harus menghentikan suara cacing diperutnya. Blemmm.
Sarji, Iin, Aji dan Adel, menatap ekspresi wajah Ali dengan penasaran.