Adel meminta Aji untuk menghubungi nomor Ali, ia curiga karena Ali terus-menerus melirik ke arah sofa.
Kringggg... bunyi ponsel Ali terdengar, mereka mencari arah suara dering ponselnya. Benar dugaan Adel ternyata memang suara ponsel abangnya berbunyi, "kok lu tau Del, ponselnya di sana?" tanya Sarji heran.
"Adel denger ponsel Bang Ali bunyi, terus tadi mata Bang Ali tuh ngelirik terus ke sofa." jelas Adel bangga, karena ia merasa jenius kemudian tersenyum lebar.
"Pinter banget sih, anaknya Babeh." Puji Sarji lalu mencubit pipi chubby Adel, "aarrggghhh... sakit Beh." Pekik Adel kesakitan.
"Tapi kenapa, Bang Ali takut yah?" ujar Aji heran, kemudian memandang ketiga keluarganya secara bergiliran, "kayanya Bang Ali kaget kali. Kan kita belum jelasin tentang ponsel." Imbuh Aji menduga-duga.
Sarji dan Iin hanya manggut-manggut seolah mengerti, "yasudah tugas lu berdua kalau gitu. Sana pergi jelasin!" pinta Iin seraya menunjuk pintu kamar Ali. Aji dan Adel langsung menuju kamar Ali dan membukanya, klekkk....
Bughhh...
Rupanya saat itu, Ali sedang menguping pembicaraan keluarganya dengan menempelkan telinganya di pintu. Ali tak menyadari kalau Aji dan Adel sudah berjalan menuju kamarnya sehingga saat pintu di dorong ke dalam mengenai kepalanya, "awwww..." ringkih Ali karena dorongan pintunya sangat keras mengenai kepalanya.
Aji dan Adel langsung terkejut, "lu kenapa, Bang?" tanya Adel tak merasa bersalah, sementara Ali mengelus-ngelus kepalanya agar rasa sakitnya berkurang, "kalian kalau masuk kamar orang, ketuk pintulah!" oceh Ali kesal.
"Tapi, kan ini kamar gua juga, Bang," jawab Aji tak merasa bersalah juga. Ali tak menghiraukan ucapan Aji, ia merasakan kepalanya seperti mau pecah.
"Bang Ali tadi jatuhin ini, yah?" tanya Adel langsung seraya menunjukan ponsel tepat di hadapan wajah Ali.
Seketika rasa sakit di kepala Ali menghilang, ia memasang wajah tak bersalah, "benda apa lagi itu?" tunjuknya pura-pura tak mengerti, namun Aji dan Adel bisa menebak ekspresi wajah Ali yang pura-pura tak mengerti.
Kedua adik kandung Ali langsung nyengir kuda, "sungguh, aku baru belihat benda itu," kilah Ali tetap pura-pura tak mengerti, "kenapa tadi Bang Ali langsung lari dan masuk ke kamar?" desak Aji dengan tetap nyengir kuda.
Ali terlihat jadi salah tingkah dan ia tetap memasang wajah pura-pura tak mengerti. "Bang Ali juga terus ngelirik ke arah sofa, karena benda ini ada di bawah sofa kan? Perbuatan Bang Ali kan, ponsel ini ada di bawah sofa?" Adel ikut mendesak juga.
Wajah Ali langsung terkejut, "tidak, bukan aku yang memasukan ponsel itu ke bawah sofa. Aku hanya terkejut, dan benda itu jatuh ke bawah sofa," cerocos Ali keceplosan, 'aduhhhh...' gerutu hatinya menyesali perbuatannya.
Ali pun membalas senyuman kuda Aji dan Adel dengan senyuman kambing. Aji dan Adel lalu memasang wajah serius saat Ali memaksakan senyuman kambingnya dan terlihat membungkuk merasa bersalah, "apakah Emak marah lagi?" bisik Ali ketakutan.
"Emak, gak marah," jawab Aji tegas. Mata Ali langsung berbinar-binar, "benarkah?"
Aji dan Adel serempak mengangguk. Ali merasa lega, ketakutannya tak menjadi kenyataan, "sekarang gua dan Adel mau jelasin benda ini." tegas Aji membuat Ali menunduk.
Aji dan Adel kemudian membawa Ali untuk duduk di atas kasurnya yang tak menggunakan ranjang. Mereka mengajari cara menggunakan ponsel tersebut.
"Ini namanya ponsel, fungsinya untuk melakukan panggilan suara dengan orang yang berada di jarak yang jauh. Bisa juga digunakan untuk mengirim pesan," Jelas Aji menunjukan filtur-filtur isi ponsel tersebut, "Del, lu coba telepon nomor Bang Ali dari kamar lu!" pinta Aji pada Adel.
Adel langsung berdiri dan berjalan ke kamarnya. Mereka langsung mempraktekan cara menelepon dan mengirim pesan, "wah luar biasa sekali. Jadi, kalian bisa saling berkomunikasi dalam jarak jauh?" tanya Ali kagum, Aji tersenyum melihat respon Ali.
"Ini namanya smartphone. Panggil aja ponsel pintar," jelas Aji lagi, wajah Ali menyimak serius, "pintar?" ujar Ali bingung.
"Iya namanya ponsel pintar. Jadi, Bang Ali tak hanya bisa melakukan panggilan telepon saja, Bang Ali bisa melakukan panggilan video juga," terang Aji, "video? Apa itu?" Ali makin bingung, karena di dunia Nyi Ayu tak ada istilah seperti itu.
Aji terlihat menggaruk rambutnya kasar, ia merasa frustasi karena harus menjelaskan semuanya secara detail, "langsung gua praktekin aja lah," ucapnya kesal namun Ali hanya tersenyum kuda menyadari ia yang banyak tanya hingga Aji kebingungan karenanya, "maafkan aku."
Aji langsung melakukan panggilan video dengan Adel yang ada di kamarnya, "kenapa Adel ada di dalam sana?" pekik Ali terkejut saat panggilan video sudah terhubung Adel, "ini namanya video, Bang." Jelas Aji kesal.
"Maksudanya kalau ada gambar bergerak ini, namanya video," geram Aji, "kalau panggilan telepon kan cuma bisa ngobrol pakai suara aja, nah kalau panggilan video bisa sambil tatap muka gini. Jadi Bang Ali bisa lihat wajah Adel, dan tahu Adel lagi ngapain," jelas Aji mencoba tenang.
Ali manggut-manggut mengerti dan takjub. Setelah itu, Aji menerangkan tentang media sosial dan filtur-filtur yang ada di ponsel pintar tersebut. Dengan sabar Aji terus menjawab semua pertanyaan Ali, agar Ali bisa menggunakan ponselnya.
"Uwaaaahhhhhh..." Teriak Ali membuat Aji yang ada di sampingnya terkejut, "kenapa ada wajah pria buruk rupa di sana?" celetuk Ali ketakutan saat ada panggilan video masuk ke ponselnya.
Aji langsung meraih ponsel Ali, ternyata teman Ali menelpon video, " ini temen Bang Ali, namanya Edi. Sembarangan disebut buruk rupa." Gerutu Aji kesal.
Rambut Edi terlihat gimbal dan tak teratur, wajahnya terlihat kucel dan bibir Edi tebal hingga jiwa Nyi Ayu menganggapnya buruk rupa. Ali merasa bersalah karena Aji terlihat kesal, "maafkan aku, aku akan hati-hati."
"Nih, angkat sekalian Bang Ali latihan jawab telepon. Tapi, jangan macam-macam yah, inget sekarang lu tuh Ali bukan Nyi Ayu!" gertak Aji seraya menyodorkan ponsl milik Ali.
"Baiklah," jawab Ali lemas, kemudian ia menggeser layar di ponselnya dan menjawab panggilan telepn tersebut di hadapan Aji, sementara Aji mengawasi Ali dengan tatapan waspada.
"Ali, lu masih hidup?" tanya Edi dari balik panggilan video tersebut, "Ali...." ternyata di balik video tersebut, semua-teman Ali muncul dan menghadap ke arah kamera. Ali langsung kebingungan karena semua mata mereka seolah menatapnya tajam, blugh..
Ponsel di tangan Ali terjatuh dan wajah Ali ketakutan, Aji langsung berubah panik, "kenapa, Bang?"
"Kenapa mereka semua menatap ke arahku?" tanya Ali ketakutan, ia kemudian meringkuk mendekat ke dinding, membuat Aji makin panik kemudian dia langsung mengambil ponsel Ali yang masih tersambung dengan panggilan video tersebut.
"Maaf yah, Bang. Bang Ali masih belum sehat, masih butuh istirahat." Ucap Aji sopan saat ia menatap ponsel yang masih dalam mode panggilan video, kemudian Aji langsung menutup panggilan videonya.
"Bang, mereka menatap lu karena yang mereka lihat di balik ponselnya tuh cuma lu." Gerutu Aji kesal.
"Ya Tuhan, kenapa yang masuk ke dalam tubuh Bang Ali itu orang di masa dahulu, seharusnya orang yang berada di masa depan. Jadi gua gak cape ngajarin orang gaptek," ringkih Aji hampir menangis.