Sarji, Iin, Aji dan Adel melongo saat melihat Mbah Darwi meneguk es teh seperti orang kehausan, "astaga, ternyata dukun doyan es teh." Celetuk Adel sambil menepuk jidatnya.
Sarji menyikut tubuh Adel kasar, "hushhh..hati-hati, Del! Kalau ngomong," sikutan Sarji mengenai bahu kiri Adel.
"Aawww.. sakit, Beh." Ringkih Adel sambil mengusap bahunya.
"Kenapa? Dukun juga butuh tenaga biar bisa ngobatin Abang lu." Bentak Mbah Darwi kesal.
"Maafkan anak saya, Mbah! Harap maklum masih anak-anak, jadi gak ngerti apa-apa," sahut Iin cepat, menenangkan Mbah Darwi.
"Diam kalian semua! Aku akan mulai."
Mbah Darwi membuka bungkusan hitam di depannya, isinya sebuah tungku kecil sudah ada arang. Kemudian Mbah Darwi mengeluarkan korek dari jubahnya, lalu membakar arang tersebut. Tak butuh waktu lama arang tersebut sudah menjadi bara api, Mbah Darwi menaburkan menyan yang masih tersisa. Tercium aroma menyan menyerbak ke seluruh ruangan tersebut. Sementara Ali masih tertidur pulas, dengkurannya makin keras.
Mulut Mbah Darwi mulai berkomat-kamit semakin cepat sambil memejamkan matanya. Keluarga Ali terus memperhatikan Mbah Darwi penuh harap agar Ali segera sadar. Dalam keadaan menutup mata Mbah Darwi mengambil lonceng berwarna keemasan, menggoyangkannya ke atas, bawah, samping kanan, dan samping kiri.
Kring..kring..kring..kring..
Tiba-tiba mata Mbah Darwi terbuka cepat dan langsung melotot, membuat keluarga Ali terkejut, "berat sekali ini," guman Mbah Darwi pelan, wajahnya terlihat risau.
"Apa yang sudah anakmu perbuat?" tanya Mbah Darwi mengejutkan, lalu menoleh pada arah keluarga Ali berkumpul.
"Mmm..memangnya si Ali kenapa, Mbah?" tanya Sarji dengan nada ketakutan. "Jiwa anakmu disandera Dewa kegelapan."
Iin hampir terjatuh ke belakang karena terkejut mendengar jawaban Mbah Darwi, untunglah Aji sigap menangkap tubuh Iin.
"Tolong lakukan sesuatu, Mbah! Saya akan bayar berapapun itu." pinta Sarji memohon.
Mbah Darwi hanya berdeham, lalu ia memandang wajah Ali yang masih tertidur duduk di hadapannya dengan tubuh terikat rantai besi. Mbah Darwi mulai berkomat-kamit lagi, kemudian Mbah Darwi mengambil sapu ijuk dan menyelupkannya ke dalam air.
"Wahai kau dewa kegelapan, keluarlah! jangan ganggu anak ini, tempatmu bukan di sini!" Ujar Mbah Darwi dengan suara setengah berbisik dan serak.
Suasana di ruangan itu mendadak tegang. Wajah seluruh keluarga Ali terlihat gusar dan penuh harap. Mbah Darwi menggerak-gerakan sapu ijuk di dalam baskom berisi air kembang tersebut naik dan turun, kemudian mengangkat sapu ijuk itu tinggi, dan mengarahkan ke wajah dan tubuh Ali.
Prat..pratt..prattt..
Cipratan air tersebut mengenai tubuh dan wajah Ali, membuat Ali terkejut karena cipratan airnya membangunkannya dari tidur pulasnya. Mata Ali melotot tajam pada Mbah Darwi karena sudah mengusik tidurnya, tubuhnya hendak bergerak tetapi terkunci karena terikat rantai besi. Sarji dengan berat mengikat tubuh Ali, karena ia takut Ali akan berbahaya. Ali pasti tidak bisa melepaskan diri seperti saat tubuhnya terikat tali tadi.
"Sedang apa, kau tua bangka!" bentak Ali kasar, matanya menatap tajam penuh emosi pada Mbah Darwi.
Nyi Ayu masih berada di dalam tubuh Ali. Ia menoleh ke arah keluarga Ali, mereka semua langsung mengerutkan badannya ketakutan.
"Kenapa kamu memasuki tubuh anak ini?" teriak Mbah Darwi mengejutkan Ali yang masih menatap kesal pada keluarganya Ali.
Ali langsung menoleh pada Mbah Darwi, "aku saja tidak tahu. Kenapa aku ada di tubuh ini, tua bangka sialan," Pekik Ali dengan nada keras.
"Kenapa kamu tidak kembalikan aku ke duniaku?" cerca Ali heran. "Aku bukan Dewa. Gak bisa memindahkan jiwa orang."
Ali terlihat mencibir sinis pada Mbah Darwi, ia menyeringai, "Dukun bodoh!" oceh Ali sinis.
"APA..? Kamu ngomong apa?" teriak Mbah Darwi emosi, wajahnya memerah penuh emosi.
"Kau tuli? Aku katakan kau ini dukun bodoh!" Mata Ali menatap tajam pada Mbah Darwi.
Brukkkk...
Rantai yang mengikat tubuh Ali melorot dan jatuh di lantai saat tubuh Ali menggeliat. Mereka masih belum bisa memahami kalau yang ada di dalam tubuh Ali adalah Nyi Ayu. Nyi Ayu tak hanya diajari melepaskan diri dari ikatan tali, tapi Ayahandanya juga mengajarkan Nyi Ayu agar bisa melepaskan diri dari ikatan rantai.
Wajah Mbah Darwi yang semula emosi langsung terkejut dan ketakutan saat menyaksikan Ali menggeliat dan ikatan rantainya terjatuh. Mbah Darwi sampai mundur ke belakang dari posisi duduknya, wajahnya jelas-jelas ketakutan. Begitu juga keluarga Ali, mereka merasa makin terancam, keringat dingin mengucur di dahi mereka. Adel memeluk tubuh Iin kuat dan hampir menangis ketakutan, Iin pun memeluk kuat tubuh anaknya.
"Aku juga tidak ingin berada di tubuh orang ini." tegas Ali menatap tajam pada keluarga Ali.
Diam-diam Mbah Darwi bergeser mundur, bergerak perlahan dan menjauh, saat Ali menoleh dan menatap tajam ke arah keluarga Ali. Wajah Ali terlihat penuh emosi, mewakili jiwa Nyi Ayu yang berada di dalamnya, "mau kemana kau tua bangka bodoh?" bentak Ali yang menyadari kalau Mbah Darwi sudah menjauh dan hendak berdiri.
Nyali Mbah Darwi menciut, ia terlihat ketakutan. Ali langsung menoleh pada Mbah Darwi, menatap tajam seperti seekor harimau yang bersiap menerkam mangsanya, membuat wajah Mbah Darwi menjadi pucat.
"Bagaimana caranya aku bisa keluar dari tubuh ini?" tanya Ali mencoba untuk tenang.
Mbah Darwi makin ketakutan mendengar suara Ali, "aaa..aku tak tahu, aku gak bisa melihat apapun." Jawab Mbah Darwi gagap.
Ali makin menatap tajam, Mbah Darwi menelan salivanya.
"Senjata busur dan anak panah. Aku hanya melihat senjata busur." Jawab Mbah Darwi dengan suara ketakutan.
Ali terlihat menundukan pandangannya dari Mbah Darwi, ia terlihat berpikir, "busur dan anak panah," guman Ali pelan.
Saat Ali terlihat berpikir, Mbah Darwi langsung berlari cepat dengan rasa ketakutan. Secepat kemudian tubuh Mbah Darwi sudah tak terlihat.
Ali masih tertunduk, memikirkan ucapan Mbah Darwi tadi. Sementara keluarga Ali masih berkumpul ketakutan. Iin bergerak pelan menuju arah Ali.
"Aaa.. Ali. Maksudnya Nyi Ayu, maafkan kami! Kami hanya ingin anak kami kembali, kami gak ada maksud lain." Ucap Iin merasa bersalah.
Ali menoleh lemas dan menatap Iin, kemudian memandang Sarji, Aji dan Adel. Mereka terlihat ketakutan, "Aku juga ingin kembali." Lirih Ali, kemudian air matanya menetes.
Ali menatap satu persatu wajah keluarga Ali. Iin, Sarji, Aji dan Adel dengan tatapan rasa iba. Mereka yang melihat Ali meneteskan air matanya, rasa takut mereka mendadak menghilang, mereka semua mendekat dan duduk di dekat tubuh Ali. Iin mengusap pundah Ali lembut.
"Aku juga merindukan keluargaku. Aku merindukan Ayahandaku dan Ibundaku." Ucap Ali sedih, air matanya mengalir deras.
"Sabar ya, Nak. Keluargamu juga pasti merindukan kamu." Iin menarik tubuh Ali, lalu memeluknya dan mengusap lembut rambut Ali.
Sarji mengusap pundak Ali, "kita akan bantu lu untuk kembali ke dunia lu, dan mengembalikan Ali ke tubuh aslinya."