"Pak!"
Mbak Nia melambaikan tangan, memanggil angkot langganan yang biasa kami tumpangi mobilnya. Angkot itu berhenti sesaat, lalu kepala Pak Sopir menyembul keluar dari jendela menghadap ke belakang, ke arah kami.
"Penuh, Dek!" kemudian kembali berjalan.
"Sepertinya, kita harus jalan ke simpang empat ni, Mbak."
"Mau gimana lagi, kita harus nunggu di halte sana. Angkot cuma dua itu saja yang melintas di desa kita. Udahlah, itung-itung olahraga."
Aku dan Mbak Nia berjalan beriringan menuju ke simpang empat, karena dua angkot yang biasa lewat depan rumah sudah penuh semua. Meskipun kami satu rumah, tapi semenjak sudah sama-sama beranjak remaja kami jarang sekali saling bermain dan bercerita. Mbak Nia suka sibuk dengan dunianya sendiri, aku pun seperti itu.
