Hari demi hari mereka lewati dengan penuh antusias dan harapan bisa hidup lebih baik, tenteram dan nyaman dengan kepindahan mereka. Ayah Sere dan Papa Sean mulai kembali bekerja, sedangkan para ibu sibuk dengan aktivitasnya masing-masing sambil menjaga dan merawat anak mereka. Ayah Sere sering pulang larut malam serta pergi keluar kota karena tuntuan pekerjaan. Beruntungnya, Sere adalah anak yang cerdas dan tidak manja, hingga Sere dan ibunya selalu bisa mengerti dan memahami pekerjaan sang ayah. Sama halnya dengan Papa Sean, Ardi. Pekerjaannya dalam bidang arsitektur juga sering membuatnya banyak menghabiskan waktu untuk menggambar, terjun ke lokasi pembangunan proyek yang sedang dikerjakan, hingga pergi ke luar kota. Namun, karena Sean adalah anak yang sedikit manja dan ekspresif, Sean selalu menanyakan papanya dan sering menangis ketika papanya belum pulang.
Waktu terus berjalan mengiringi kisah dua keluarga yang saling bertetangga itu. Waktu juga mengantarkan mereka pada masa Sean dan Sere yang terus bertumbuh besar. Komplek perumahan yang semula masih sepi kini banyak dibangun rumah-rumah didalamnya. Komplek perumahan itu menjadi ramai dihuni. Berbagai kisah unik terus terjadi setelah hari dimana sere menatap Sean dengan dingin dan acuh.
Bertahun-tahun kemudian, penghuni di perumahan itu mulai datang, pergi, dan berganti-ganti. Namun, keluarga Sere dan Sean tidak pernah berubah sedikit pun, mereka tetap tinggal dirumah yang saling berhadapan itu. Karena rumah mereka yang dekat satu sama lain, membuat kedua orang tua mereka pun menjadi dekat. Hubungan mereka sangat baik, Sean dan mamanya sering main ke rumah Sere, begitupun sebaliknya. Ayah Sere dan papa Sean juga sering mengobrol bersama, selain karena mereka bekerja dibidang yang sejalan, mereka juga akrab akan hal-hal lainnya. Kedua orang tua mereka akrab, namun anak mereka tidak akrab satu sama lain, yakni Sere dan Sean. Hubungan dekat yang terjalin antara orang tua mereka rupanya tidak juga membawa hubungan mereka menjadi dekat. Sean selalu mengajak Sere bermain, bercanda, dan mengobrol bersama, dan seperti biasa, Sere tidak banyak meresponnya. Sere juga tidak pernah benar-benar mendiamkan Sean, Sere menjawab pertanyaan-pertanyaan Sean serta membalas percakapan yang sedang mereka bahas, tentu Sean yang memulainya. Sere jarang bermain dengan Sean karena Sean sangat aktif, ekspresif dan tidak bisa diam, jadi biasanya Sere hanya memperhatikan Sean bermain sendiri, atau ia akan main dengan dunianya.
Karena sejak kecil mereka sudah dekat, hal itu pula yang membuat Sere dan Sean selalu bersama dalam berbagai hal. Sere dan Sean selalu bersekolah di sekolah yang sama. Apa yang dilakukan Sere, juga dilakukan Sean. Oleh sebab itu, mereka juga selalu duduk bersama, menjadi teman sebangku. Sebetulnya Sere sering mengeluhkan hal ini kepada ayah dan ibunya, namun ayah dan ibunya tetap meyakinkan Sere dan mendukung mereka duduk bersama.
"Ayah, Ibu, Sere ngga mau duduk sama Sean terus!" keluhnya
"Kenapa nak?" tanya ibu
"Ngga mau, bosen!" jawabnya
"Sere, Sean maunya duduk sama Sere, Sean ngga mau duduk sama yang lain. nggapapa ya nak?" ujar ayah menenagkannya
"Sean kan baik sama Sere, Sean ngga nakal kan?" tanya ibu kembali
"Iya, tapi dia cengeng!" keluhnya sekali lagi.
Ayah dan Ibu Sere tertawa mendengar ucapannya putrinya itu. Sejak awal mereka di taman kanak-kanak, mereka sudah bersama. Sean adalah aktif dan sering usil, akan tetapi dia adalah anak yang manja dan cengeng. Sean anaknya yang tidak bisa terjatuh dan tercolek sedikit oleh teman-temannya. Pernah suatu ketika, Sean ingin bermain di taman bermain yang terdapat jungkat-jungkit, ayunan, perosotan dan berbagai permainan semacamnya. Ia tidak sengaja menabrak temannya, Rio. Karena Rio itu lebih besar, jadi Seanlah yang terjatuh. Bukan hanya iitu, Sean juga menangis. Mendenngar tangisan Sean, Sere pun datang dan membela Sean. Ia membangunkannya dan memarahi Rio, padahal Rio lah yang ditabrak oleh Sean. Tiak hanya itu, Sere juga melaporkannya kepada guru mereka, yang membuat mereka bertiga dipertemukan, seperti sidang, namun sidang yang lebih santai dan dilakukan oleh guru TK kepada murid-muridnya.
Sere memang sering cuek kepada Sean, namun, Sere adalah orang yang selalu melindungi Sean, dan menjaga Sean. Aneh memang, seperti peran yang terbalik, namun begitulah adanya. Sere adalah teman yang baik, hanya saja ia tidak ekspresif seperti Sean. Sejak mulai sekolah, Sere juga tidak banyak bergaul dengan teman-temannya. Bisa dibilang kalau, yang paling sering berinteraksi dengan Sere, adalah Sean. Hal itulah yang membuat Sean selalu meminta kepada papa dan mamanya untuk bersama Sere, karena tidak ada yang bisa memahami dan menjaganya seperti Sere. Sean mampu menerima sifat Sere dengan lapang dada. Meski cuek dan pendiam, tapi Sere pintar dan baik hati.
Kebersamaan mereka terus terjalin hingga SMP. Di semester akhir sekolah mereka, Sere mulai mendapat rekomendasi dari guru-guru untuk mengikuti tes pendaftaran beasiswa ke sekolah SMA favorit. Sere adalah anak yang pintar dan cerdas dibalik sifatnya yang pendiam. Sedangkan Sean adalah anak yang sering mendapat peringkat akhir. Sean tidak sepandai Sere, meskipun mereka duduk bersebelahan, namun mereka punya kebiasaan yang berbeda ketika sedang belajar. Sere biasanya akan fokus ketika pelajaran dimulai, dia akan sangat memeprhatikan gueu didepannya dan mengerjakan soal denga teliti. Sedangkan, Sean biasanya tidak bisa diam, dia akan menggambar hal yang abstrak (Sean tidak bisa menggambar) atau mengobrol dan bercanda dengan teman didekatnya. Namun, karena sere pernah memarahi Sean sampai mendorongnya jatuh ke lantai dari kursinya karena ia berisik, jadi Sean berusaha untuk tidak berisik, meskipun tetap bercanda (setidaknya ia tidak mengganggu Sere). Sere juga akan diam saja dan tidak peduli dengan Sean yang terus bercanda, asalkan Sean tidak berisik dan menyenggolnya.
Hari itu Sere dipanggil oleh wali kelasnya, Bu Tyas. Rupanya bu Tyas memberi informasi sekaligus anjuran agar Sere terus giat belajar untuk mengikuti tes masuk sekolah SMA terbaik dan terfavorit. Sean mengetahui kalau Sere dipanggil bu Tyas, rasa penasaran membanya bertanya pada Sere ketika main kerumah Sere sepulang sekolah.
"Re, tadi bu Tyas ngomong apa?"
"Ngga ngomong apa-apa"
"Jangan rahasia-rahasia dong, ada apaan sih?"
"Ngga ada apa-apa"
"Ih, kamu bikin masalah ya? Nanti aku bilangi ayah ibu kamu nih!"
"Apaan sih, pengen tau aja deh!"
"Ih biasa aja, lagian kamu ngga mau kasih tau"
"Aku disuruh tingkatin belajar, biar bisa ikutan tes seleksi masuk sekolah favorit!"
"Wih keren! Pantesan aku ngga dipanggil ya" Sean sambil tersenyum
"Aku juga harus tingkatin belajar kalo gitu nih!" lanjut Sean dengan percaya dirinya
"Tumben" Sere dengan singkat
"Ya biar bisa masuk sekolah favorit bareng kamu dong!" kata Sean dengan semangat
Sere mengerutkan dahinya dan menggeleng-gelengkan kepalanya dengan yakin
"Ngga!" kata Sere tegas
"Lho, kita kan selalu bareng, pokonya aku juga ikut!" Sean kukuh
"Ngga mau, aku bosen bareng terus sama kamu!" Sere menolak
"Re, kan ngga ada yang bisa ngerti kamu selain aku, Cuma aku yang paham sama kamu!" Sean meyakinkan
"Pokonya Nggak Ada!" Sere tegas
"Pokonya aku akan rajin belajar, kalo nanti aku juga lolos tes bareng kamu, terima kenyataan ya!" Sean optimis
"Terserah deh!" Sere yang mulai tidak peduli dengan ocehan Sean.
Sean tertawa melihat Sere yang kesal. Sean mengajak Sere bermain keluar tapi ia menolaknya, Sere lebih memilih mengerjakan PR dan kemudian menggambar. Sere tidak suka menunda dalam mengerjakan PR, berbeda dengan Sean yang suka menunda dan pada akhirnya ia lupa. Hari menjelang sore, Sean pun pamit dan pulang ke rumahnya. Sesampainya dirumah, Sean duduk di meja belajarnya memandangi tumpukan buku-buku pelajarannya.
Dalam hati kecilnya, Sean ingin bisa membuktikan pada Sere kalau ia akan benar-benar belajar dan lolos tes sekolah favorit bersama Sere, namun, jangankan belajar, melihat tumpukan buku saja dia sudah malas. Sean terus memikirkan apakah ia bisa lolos tes dan masuk sekolah favorit bersama Sere? Sedangkan Sean tidak sepandai Sere dalam hal belajar. Keraguan-keraguan dalam diri Sean juga mulai muncul, meskipun ia sudah belajar dengan giat, sepertinya kecil kemungkinan ia bisa menyaingi Sere. Rasa khawatirnya itu menyelimuti dan menghantuinya sampai ia tertidur.