Mobil mewah berwarna merah itu berhenti tepat di halaman parkir sekolah yang begitu luas. Sekolah yang memiliki area sangat luas serta bangunan yang kokoh dan megah tersebut diperuntukkan khusus hanya untuk kalangan menengah ke atas.
"Kita sudah sampai, Nona." Pak Didi menoleh ke arah kursi belakang tempat di mana Purie bersandar.
Purie bergegas meraih tas punggung yang ia letakkan di sisi kanan tempat duduknya tanpa berucap sepatah katapun kepada sang sopir. Pintu mobil mewah itu terbuka otomatis, bergeser ke kanan untuk memberi jalan keluar pada majikan muda nan angkuh tersebut.
Kedua kaki jenjang yang dibalut sepatu kets berwarna putih itu satu-persatu menuruni mobil. Purie baru saja memijakkan kedua kakinya, dan angin pun berhembus seolah menyambut kedatangannya dengan gembira. Rambut panjangnya yang hitam dan panjang itu berkibas, mengeluarkan aroma harum semerbak yang khas dan mewah. Orang-orang sekitar pun seolah ikut tersihir akan cantik dan harumnya sosok Purie, yang memang memiliki predikat sebagai "Queen of Beauty" di sekolah tersebut.
Purie menghela napas pendek, kendati menjadi dewi yang dipuja-puja oleh seluruh penjuru sekolah, Purie justeru merasa begitu risih. Bagaimana tidak, keberadaannya selalu saja menjadi pusat perhatian seluruh siswa dan siswi berkat kecantikan dan kesempurnaan fisiknya. Terlebih, Purie juga menjadi pewaris tunggal dari keluarga pengusaha ternama. Hal tersebut membuat banyak orang ingin sekali berada di posisi seorang Purie Winona Perkasa. Meski pada kenyataannya, Purie sendiri tidaklah selalu merasakan kebahagiaan.
"Baby Puriiie!"
Seketika suara teriakan yang memanggil namanya itu dengan cepat mengubah ekspresi Purie. Ia yang tadinya tampak tidak bersemangat dan risih karena pandangan orang-orang di sekitar yang terus memerhatikannya. Kini Purie dapat tersenyum sumringah.
"Haiii!" sahut Purie dengan ceria sembari melambaikan tangannya.
Kedua orang siswi yang baru saja memanggil nama Purie itupun akhirnya berlari untuk menghampiri Purie. Kedua orang siswi tersebut merupakan sahabat karib Purie. Di sekolah, bisa dikatakan bahwa Purie hanyalah berkawan dengan dua orang tersebut. Tidak ada lagi selain mereka berdua yang dapat menembus lingkar persahabatan Purie. Hal itu dikarenakan Purie merupakan orang yang amat selektif dalam memilih teman. Kalau saja kedua orang itu tidak memiliki strata sosial yang tinggi, sudah pasti Purie juga tidak akan bersedia dekat dengan mereka.
Dua orang siswi yang menjadi sahabat terdekat Purie di sekolah maupun luar sekolah yang pertama adalah Lizty Amora, atau lebih akrab disapa Liz. Ia memiliki rambut dengan panjang sepinggang seperti Purie, namun lebih lurus dan memiliki poni depan yang hampir menutupi alisnya. Ia juga memiliki kedua lesung pipi. Liz adalah siswi cantik dan imut yang begitu setia kawan pada Purie.
Kedua, dia adalah Reinatha Gabriella yang lebih sering dipanggil Rei. Berbeda dengan Purie dan juga Lizty yang terbilang feminin dan anggun, Reinatha justeru memiliki karakter tomboy. Ia kerapkali mengikat rambut hitam yang panjangnya sebahu itu menjadi satu. Rei adalah sosok perempuan yang kuat secara fisik maupun mental. Ia begitu giat menekuni kegiatan ekstrakulikuler taekwondo di sekolahnya.
"Queen Baby kita akhirnya sampai juga di sekolah!" seru Liz dengan raut ceria.
Kini ketiga gadis sekawan itu berdiri sejajar. Purie berdiri di tengah, sementara Liz dan Rei berdiri di sisi kanan dan kirinya sembari merangkul Purie.
"Hhh, kalian ini tidak ada bedanya dengan Papiku. Sudah tahu bahwa aku sebentar lagi akan berulang tahun yang ke tujuh belas. Tetapi kalian masih saja memanggilku bayi!" gerutu Purie sembari mengerucutkan bibir mungilnya.
"Apa kau mulai tidak menyukai panggilan itu?" sergah Rei.
Purie mengangguk sembari menatap Rei yang berdiri di sebelahnya.
"Ya, sepertinya begitu!" jawab Purie.
"Kalau memang seperti itu, maka mulai saat ini kau berhenti menjadi 'Anak Papi', bagaimana?" pungkas Rei menantang Purie.
"Kenapa harus seperti itu?" tanya balik Purie.
"Tentu saja karena Tuan Seno Perkasa begitu memanjakanmu seperti seorang bayi. Sehingga kau telah terbuai dengan berbagai fasilitas yang diberikan olehnya, termasuk pelayan pribadimu. Sampai-sampai kau begitu manja di usia sedewasa ini!" papar Rei.
Purie menaikkan sebelah alisnya.
"Apakah benar seperti itu?" sahut Purie.
Liz menganggukkan kepala.
"Kurasa benar yang dikatakan Rei barusan," imbuh Liz mengompori.
Rei tersenyum puas.
"Nah, kau dengar sendiri. Dua suara berbanding satu suara. Kau tidak memiliki siapapun di pihakmu saat ini!" goda Rei.
Purie meletakkan jari telunjuknya di dagu.
"Mmm, kalau begitu. Teruskanlah memanggilku bayi sampai kapanpun!" sahut Purie seraya melarikan diri dari kedua sahabatnya tersebut.
Liz dan Rei pun kini saling bertatapan sepeninggalnya Purie.
"Dia benar-benar tidak akan kalah dari siapapun!" celetuk Rei.
Liz mengangguk cepat.
"Ya, itu adalah takdir miliknya yang mutlak!" sahut Liz.
"Hei, bayi besar, tunggu kami!" teriak Rei.
Keduanya pun berlari mengejar Purie.
***
"Pssst, ratu kecantikan di sekolah kita sudah datang!" desis salah seorang siswa kepada teman sebangkunya.
"Akhirnya, motivasiku datang ke sekolah setiap harinya sudah tiba. Dia benar-benar berhasil membangkitkan semangatku. Aku tidak habis pikir bagaimana jadinya jika aku berhasil memiliki dia seutuhnya. Aku pasti akan mati terkapar," sahutnya.
"Hhh, karena itu kau tidak pernah bisa memilikinya. Karena buktinya kau masih saja hidup sampai sekarang, Leon!" timpal siswa tadi.
Purie melangkahkan kaki jenjangnya ke dalam kelas. Bersamaan dengan sorot mata semua penduduk kelas yang hanya terpusat kepadanya saja. Ia berjalan perlahan menuju kursinya yang terletak di barisan kedua.
"Silakan duduk, Tuan Putri!" siswa bernama Leon yang memiliki wajah cukup manis itu dengan cepat menarik kursi milik Purie dan mempersilakannya duduk.
Leon dan teman sebangkunya tadi duduk tepat di belakang kursi milik Purie. Alih-alih mengucapkan terimakasih atas perhatian kecil siswa tersebut, Purie justeru memasang raut ketus dan menduduki kursi miliknya itu dengan berat hati.
"Apakah Tuan Putri yang cantik jelita ini sudah sarapan?" cetus Leon lagi.
"Bukan urusanmu," sahut Purie sinis.
Sontak teman sebangku Leon tersebut menertawakan nasib Leon yang diperlakukan dingin oleh Purie. Namun siswa yang sudah terbiasa menggoda Purie itu tidak pantang menyerah, ia masih saja berusaha merayu Purie.
"Bagimu hal itu memang bukan urusanku. Tetapi bagiku, kau adalah segalanya untukku." Leon berdecit dengan cukup berani.
"Aku tidak peduli," sergah Purie yang mulai naik pitam.
"Aku juga tidak peduli. Suka atau tidak, aku akan selalu memperhatikanmu, Purieku," kekeh Leon.
"Kau memang laki-laki gila. Seharusnya kau tidak berada di sekolah, tetapi di rumah sakit jiwa. Apa perlu aku turun tangan untuk mengirimmu ke sana?"
"Tidak, tidak! Jangan lakukan itu, Nona! Kumohon. Aku bisa tambah gila bila berada di sana. Sebab aku tidak bisa melihatmu lagi setiap harinya," pinta Leon memelas.
"Kalau begitu cepatlah menjauh dari tempatku! Sebelum aku benar-benar mewujudkan rencanaku! Kau tahu bukan? Bahwa aku bisa melalukan apapun yang aku inginkan?" ancam Purie dengan sinis.
Seketika wajah Leon berwarna merah padam. Mengetahui bahwa orang tua Purie bukanlah orang sembarangan dan memiliki cukup kuasa di sekolah tersebut, membuat Leon merasa tidak aman usai mendengar ancaman Purie tersebut. Ia tahu benar bagaimana Purie bisa melakukan apapun yang diinginkannya. Leon menelan salivanya, kemudian bergegas mengambil tas miliknya dan mengajak paksa teman sebangkunya itu untuk pindah kursi dan pergi menjauh dari tempat duduk Purie.
***