Chereads / (Giant) Babysitter / Chapter 6 - 6. Sejarah Pertemuan

Chapter 6 - 6. Sejarah Pertemuan

Satu tetes, dua tetes air bening itupun mengalir dari sudut kedua bola mata indah milik Purie, melewati pipi halusnya hingga akhirnya terjatuh di atas wastafel. Purie memandangi wajah cantiknya yang kini tampak begitu menyedihkan dari pantulan cermin toilet sekolah. Suasana hatinya hari ini menjadi sedikit buruk ketika saat pertama kali tiba di kelas, Leon dengan sangat menjengkelkan kembali mencoba untuk menggodanya. Padahal, beberapa hari lalu kedua sahabatnya yakni Liz dan Rei baru saja melabrak Leon. Bahkan Rei sempat mendaratkan pukulan yang menjadi jurus andalannya dalam ilmu taekwondo. Sampai-sampai Leon mengalami luka lebam dan nyaris saja pingsan. Entah untuk yang ke berapa kalinya, namun tak juga membuat Leon jera.

Tidak hanya itu, ketika Purie berusaha untuk memperbaiki suasana hatinya, Purie dihadapkan oleh situasi yang membuatnya terpaksa kembali mengingat mendiang sang Mami. Entah mengapa hari ini hatinya menjadi sangat sensitif. Ia kembali mengingat Maminya, sosok yang Purie harapkan selalu ada saat ia ingin menumpahkan keluh kesahnya.

"Mami, tidakkah kau melihat bahwa putrimu hari ini begitu menyedihkan? Apakah kau tega membiarkan aku terus-menerus tumbuh dalam kesedihan dan kesepian? Di mana kau letakkan janjimu yang dulu? Kau bilang akan selalu ada di sisiku dalam situasi apapun. Tak peduli bahwa aku akan tumbuh menjadi gadis dewasa, kau akan tetap menganggapku sebagai bayimu yang lucu. Bayi yang akan selalu ada dalam dekapanmu. Lantas, apa buktinya? Kau justeru pergi meninggalkan diriku untuk selama-lamanya, bahkan tanpa sempat menemaniku melalui masa-masa remaja." Tangis Purie pun pecah, dadanya terasa sesak hingga ia menangis sesegukan.

Toilet sekolah tempat di mana kini Purie berada tengah dalam keadaan sepi, karena saat ini merupakan jam pelajaran kedua, sehingga Purie dapat dengan bebas menumpahkan air matanya.

Pandangan orang-orang terutama siswa-siswi yang berada satu sekolah dengan Purie, hanya menganggap Purie sebagai sosok gadis angkuh dan congkak yang memiliki banyak keberuntungan dalam hidup. Purie memiliki kecantikan wajah dan fisik yang nyaris sempurna. Ia juga membawa takdir sejak lahir untuk menjadi pewaris tunggal atas seluruh kekayaan Papinya yang merupakan pengusaha sukses. Namun, orang-orang tersebut tidaklah melihat sisi lain di balik sosok Purie, yang ternyata juga memiliki hati yang rapuh.

Terkecuali Liz dan Rei, mereka berdualah yang menemani Purie menjalani masa-masa sekolahnya. Meskipun keduanya bertemu Purie pertama kali pada saat duduk di kelas satu SMA, yang mana tepatnya pada saat Purie telah kehilangan Maminya. Namun Liz dan Rei begitu memahami kondisi Purie dan berusaha agar mengisi sedikit kehampaan di hati Purie. Walaupun pada akhirnya mereka juga berdua tidak lepas dari kesalahan yang membuat Purie bersedih.

Kini Purie dalam keadaan berjongkok dan memeluk lutut. Wajahnya telah memerah dan basah karena terus menangis. Hingga akhirnya ia mendapati orang lain masuk ke dalam toilet, Purie pun bergegas bangkit berdiri sembari menyeka butiran air matanya.

"Purie, benar saja kau ada di sini." Rei cukup terkejut mendapati sahabatnya itu tengah menangis di dalam toilet.

Sementara Liz dengan ragu berjalan di belakang Rei untuk menghampiri Purie. Biar bagaimanapun, Liz merasa amat bersalah karena menyebabkan kesedihan yang tak terelakkan bagi Purie. Meskipun pada kenyataannya Liz tidak bermaksud membuatnya seperti itu.

"Purie, maafkan aku. Aku benar-benar tidak bermaksud untuk membuatmu bersedih seperti ini. Aku hanya...," ujar Liz sedikit canggung.

"Sudahlah. Tidak perlu meminta maaf untuk hal yang bukan menjadi kesalahanmu. Aku tahu kau hanya menanyakan sesuatu yang ingin kau tanyakan. Itu sangat wajar. Hanya saja, suasana hatiku hari ini memang tidak cukup baik. Karena itu aku cenderung menjadi lebih sensitif," potong Purie mencoba berbesar hati.

"Maafkan aku. Aku sudah berbuat bodoh dan ceroboh padamu. Kau pasti menjadi sedih karena perkataanku," sambung Liz.

"Tidak ada yang salah dengan perkataanmu. Aku yang ceroboh karena terlalu lama membiarkan kerinduanku terhadap Mami semakin membesar, sehingga aku belum juga rela melepaskan kepergiannya. Aku juga yang bodoh membiarkan diriku terus-menerus berharap bahwa Mami akan kembali ke sisiku seperti sedia kala." Purie kembali meringis.

Liz dan Rei pun dengan sigap mendekap tubuh Purie dari sisi kanan dan kirinya. Sehingga Purie pun dapat lebih leluasa meluapkan kesedihannya di dalam pelukan kedua sahabatnya itu.

"Menangislah terus sampai air matamu terkuras habis. Kita berdua akan tetap di sini untukmu. Sampai kau benar-benar lega dan tidak lagi mempunyai air mata untuk menangis di kemudian hari. Berjanjilah pada kami bahwa kau tidak akan bersedih seperti ini lagi. Kami ingin kau menyadari bahwa kami berdua akan selalu ada untukmu setiap saat kau butuhkan. Sadarilah keberadaan kami dan janganlah pernah lagi merasa kesepian!" ujar Rei dengan lembut sembari membelai rambut panjang Purie.

"Dengarlah apa yang Rei katakan barusan. Kalaupun kau ingin marah padaku, marahlah sepuasnya hari ini. Namun berjanjilah, bahwa esok hari kau akan bersedia untuk kembali menjadi temanku." Liz memohon dengan raut sedih.

"Kau ini bicara apa!" protes Purie di tengah tangisnya.

"Selain dirimu, mungkin tidak akan ada yang bersedia menjadi teman sebangku ku kala itu. Ingatkah kau beberapa tahun lalu, saat kita pertama kali bertemu di kelas sepuluh. Aku hanyalah seorang gadis bodoh, culun dan menjijikan. Namun kau dengan tangan terbuka mempersilakan aku duduk di sebelahmu. Meski pada awalnya kau adalah sosok yang dingin padaku, namun kebersamaan kita setiap waktu akhirnya mampu mencairkanmu. Kau pun berhasil mengubah penampilanku yang buruk menjadi aku yang bersinar seperti sekarang! Sekali lagi, maafkan aku." Liz mengungkap kembali bagaimana pertemuan pertamanya dengan Purie kala itu, sebuah kenangan manis nan berharga yang akan selalu ada dalam ingatannya.

Purie hanya tersenyum mengingat kembali ulasan cerita pertemuannya dengan Liz kala itu.

"Tidak perlu dramatis, mungkin saja aku bersedia untuk berteman denganmu hanya karna kau merupakan putri dari salah satu donatur tetap di sekolah kita. Kalau saja kau bukan berasal dari keluarga terpandang, belum tentu aku bersedia menerimamu untuk berada di sisiku!" elak Purie.

"Ya, itu mungkin saja. Tetapi, selain dirimu, saat itu tidak ada seorangpun yang bersedia memandangku. Aku bagaikan ulat bulu yang akhirnya kau ajak bermetamorfosa menjadi seekor kupu-kupu!" tegas Liz.

"Ya, kau hanya tidak pandai memanfaatkan harta orang tuamu!" sergah Purie.

Liz tertawa kecil. Sementara Rei menyimak dengan seksama percakapan antar kedua sahabatnya tersebut.

"Benar, aku hanyalah gadis malas dan bodoh dari keluarga kaya yang dituntut untuk selalu menjadi nomor satu oleh kedua orangtuaku. Hingga akhirnya aku depresi dan tidak bisa merawat diri. Namun akhirnya gadis culun dan menjijikkan itu mulai belajar memperbaiki penampilan dari seorang ratu kecantikan bernama Purie Winona Perkasa. Hingga akhirnya kedua orangtuaku berhenti menuntutku untuk mendapatkan nilai terbaik di sekolah, dan memberiku dukungan penuh untuk menggali potensiku di bidang seni lukis," papar Liz lagi.

"Apa kau sedang berusaha membuatku merasa terharu?" tandas Purie.

"Meskipun aku merupakan sahabat yang lemah dan tidak berguna untukmu. Setidaknya aku adalah pendengar yang baik untuk setiap keluh kesahmu, kan? Lagipula, kehadiran Rei sudah cukup untuk melengkapi persahabatan kita. Rei adalah sosok sahabat yang tangguh dan mengayomi. Ingatkah ketika pertama kali Leon berusaha mengganggumu? Aku tidak mampu berbuat apapun untuk melindungimu. Sampai akhirnya Rei datang dengan gagah berani menghadapi Leon. Rei gadis tomboy yang ternyata juga merupakan atlet taekwondo itu akhirnya menjadi sahabat kita. Sampai saat ini, kita bertiga harus saling melengkapi kekurangan kita masing-masing!" papar Liz lagi dan lagi. Kendati Purie mencoba untuk tidak ikut terbawa perasaan, Liz tetap berusaha agar Purie mengenang semuanya.

"Ya, dengarlah kembali bagaimana sejarah kisah persahabatan kita dimulai. Hal itu terlalu berharga jika digantikan dengan kesalahpahaman semata." Rei menambahkan dengan wajah haru.

"Kalian ini benar-benar sahabatku yang cerewet. Bukankah sudah kukatakan bahwa aku tidak marah?" sergah Purie.

"Kami ingin mempercayainya, tetapi wajahmu mengatakan yang sebaliknya!" gerutu Rei.

Liz menganggukkan kepalanya sambil memelas.

"Itu sangat benar!" timpal Liz.

Purie membuang napasnya.

"Hhh, kenapa dalam gank persahabatan kita ini, hanya aku yang tidak memiliki pendukung? Liz dan Rei selalu satu hati. Sedangkan aku? Apakah kita perlu menambahkan anggota agar jumlah kita tidak lagi ganjil seperti ini?" protes Purie.

Liz dan Rei pun tertawa.

"Aku rasa hanya kau yang memiliki wewenang atas itu. Bukankah kau yang menjadi pemimpin dari gank ini? Nyonya Purie?" goda Rei.

"Baiklah, akan kupikirkan matang-matang. Yang pasti orang itu bukanlah dari kalangan sembarangan!" sahut Purie.

Rei dan Liz menganggukkan kepala pertanda setuju.

"Kalau begitu, apakah sekarang kau sudah merasa lebih baik?" cetus Rei menegaskan.

Purie mengangguk lamban.

"Sedikit lebih baik," jawab Purie.

"Baiklah, kita sudah harus segera kembali ke kelas. Jam pelajaran kedua sudah dimulai!" seru Rei memperingati sembari melihat jam di pergelangan tangannya.

***