Selepas mendengarkan percakapan telepon antara Bik Arum dengan putrinya yang tinggal di desa, Tuan Seno tidak bisa mengabaikannya begitu saja. Hati Tuan Seno cukup tersentuh sekaligus iba atas perjuangan "Single Mother" seperti Bik Arum demi bisa menyambung hidup bersama putri semata wayangnya itu, tanpa kehadiran sang suami. Biar bagaimanapun, Tuan Seno juga berada di posisi yang sama. Ia berjuang untuk membahagiakan putri semata wayangnya, tanpa kehadiran sang istri.
Sepulangnya dari kantor tadi, ia mendengar desas-desus dari beberapa pekerja di rumahnya tersebut bahwa siang tadi putrinya itu sempat mengumpulkan seluruh pekerja di sana, hanya untuk mempertontonkan kemarahannya pada Bik Arum, pelayan pribadinya. Tuan Seno juga mendengar bahwa Purie berniat untuk memecat Bik Arum. Tuan Seno bermaksud untuk memastikannya langsung kepada sang putri. Namun, oleh karena ia pulang dari kantor cukup larut malam, ia mendapati Purie sudah tertidur pulas sembari memeluk buku kesayangannya itu. Tuan Seno tidak sampai hati untuk membangunkannya. Hingga akhirnya Tuan Seno memutuskan untuk mendatangi Bik Arum secara langsung, untuk mengetahui duduk permasalahannya dengan jelas. Meski pada kenyataannya Tuan Seno hanyalah mendapatkan kesedihan dari kisah hidup Bik Arum yang berat.
Langkah Tuan Seno begitu lamban ketika menaiki tangga menuju kamarnya di lantai dua. Sesekali ia mengusap keningnya yang sudah memiliki garis-garis kerutan itu. Tuan Seno merasa sedikit pening dan dilema. Di satu sisi ia tidak ingin membuat putrinya kecewa karena keputusannya terus mempertahankan Bik Arum di rumah ini. Di sisi lain ia tidak sampai hati memberhentikan Bik Arum dari pekerjaannya, oleh sebab Bik Arum adalah tulang punggung untuk putrinya yang berstatus pelajar, beserta ibu kandungnya yang sudah berusia lanjut.
"Bagaimana bisa aku menyingkirkan orang yang sudah begitu berjasa dalam hidupku," gumam Tuan Seno dengan suara berat.
***
Malam yang pekat telah berganti pagi yang cerah. Sinar mentari jatuh ke atap-atap rumah mewah yang berbaris di sisi jalan pemukiman elite tengah kota. Pagi-pagi sekali, tepatnya jam enam lewat tiga puluh menit. Bik Arum berdiri di hadapan meja kerja milik Tuan Seno. Di dalam ruang kerja pribadi milik Tuan Seno yang dipenuhi oleh buku-buku berkualitas di tiap raknya. Ruangan yang memiliki kesan elegant dengan nuansa coklat tua. Tuan Seno memanggil Bik Arum ke sana.
"Selamat pagi, Tuan." Bik Arum menyapa dengan canggung.
"Ya, selamat pagi." Tuan Seno menyambutnya dengan hangat.
Bik Arum hanya berdiri mematung seraya terus menundukkan wajahnya yang sembab.
"Duduklah!" pinta Tuan Seno lembut.
Bik Arum menganggukkan kepala satu kali kemudian memenuhi perintah Tuan Seno untuk duduk.
"Saya sudah mendengar hal ini dari teman-temanmu di bawah. Tetapi, saya harus mendengarnya langsung dari mulutmu," ujar Tuan Seno.
"Apa yang Tuan dengar dari mereka, itulah yang terjadi sebenarnya." Bik Arum menjawab seperlunya, sebab ia tahu bahwa penjelasannya kali ini tidak dapat mengubah apapun.
"Saya rasa itu bukanlah kesalahan besar," imbuh Tuan Seno membesarkan hati Bik Arum.
Bik Arum hanya diam dan menundukkan wajahnya. Seolah ada angin segar yang menerpa wajahnya.
"Tetapi, sayangnya putriku masih terlalu naif untuk bisa menerimanya. Kau tahu...,"
"Saya tidak berharap bahwa Tuan akan kembali mempertahankan saya. Saya tidak ingin membuat Nona Purie merasa tidak nyaman dengan keberadaan saya. Saya sudah mengemasi seluruh barang-barang milik saya. Saya akan pergi dari rumah ini sekarang juga. Sebelum Nona Purie bangun untuk berangkat ke sekolah. Saya tidak ingin menambah kemarahan Nona Purie hanya karena melihat wajah saya masih ada di sini," potong Bik Arum dengan tergesa.
Tuan Seno hanya termenung.
"Maaf, Tuan. Saya sudah lancang memotong perkataan Tuan," ujar Bik Arum merasa bersalah.
"Tak masalah. Yang jadi masalah sekarang adalah, bagaimana nasibmu selanjutnya? Kau akan pergi ke mana?" cetus Tuan Seno berempati.
Bik Arum memaksakan senyumnya sembari menggelengkan kepala.
"Saya belum memikirkannya. Yang saya inginkan saat ini hanyalah bertemu putri semata wayang saya secepatnya," sahut Bik Arum.
"Saya mengerti. Lantas bagaimana perihal sekolah dan masa depan putrimu nanti? Kalau kau sendiri tidak lagi bisa membiayai seluruh kebutuhannya?" cecar Tuan Seno.
"Untuk seorang wanita tua yang tidak memiliki latar pendidikan dan juga keahlian khusus yang mempuni seperti saya, terus terang saya belum menemukan solusinya. Tetapi saya juga tidak akan berdiam diri begitu saja. Untuk putriku satu-satunya, saya akan bekerja keras di bidang apapun itu pada akhirnya." Bik Arum menegaskan pendiriannya.
"Kasihan putrimu," gumam Tuan Seno.
"Ya, itu benar, Tuan. Kasihan sekali putriku. Dia tidak seberuntung Nona Purie yang terlahir di tengah keluarga ini. Putriku lahir di tengah keluarga miskin, dan memiliki ibu yang bodoh dan tak berguna seperti saya. Tetapi syukurlah putriku memiliki hati yang lapang dan juga pekerja keras. Sehingga dia tidak pernah sibuk membandingkan hidupnya dengan hidup siapapun." Bik Arum berucap dengan suara getir.
"Apa kau tidak ingin berusaha untuk mengubah nasibnya?" sergah Tuan Seno.
"Apakah selama ini Tuan tidak memandang bahwa pengabdian saya di rumah ini semata-mata untuk membahagiakan putri saya?" sahut Bik Arum.
"Pengabdian yang akan berakhir hari ini?" tandas Tuan Seno.
Bik Arum tercekat, ia pun menelan salivanya.
"Dia akan mudah mengerti, bila saya mengatakan bahwa saya sudah menjumpai masa pensiun," ujar Bik Arum.
"Setelah mengerti, apakah lantas ia juga akan mengubur mimpi-mimpinya? Mengingat bahwa putrimu merupakan gadis yang tangguh dan pekerja keras seperti ibunya, aku memiliki dugaan bahwa dia akan mengorbankan pendidikannya hanya untuk mengais uang untuk keluarga. Bagaimana, apakah dugaanku benar?" sergah Tuan Seno lagi.
Bik Arum lagi-lagi tercekat. Ucapan Tuan Seno barusan begitu akurat dan faktual.
"Sekalipun benar, saya tidak akan membiarkan hal itu terjadi!" tegas Bik Arum.
"Apa kau memiliki jaminan untuk itu?" desak Tuan Seno.
Bik Arum menganggukkan kepala dengan yakin.
"Jaminannya adalah umurku! Selama aku masih hidup di dunia ini, aku akan menjaga dan membahagiakan putriku. Tidak peduli bahwa aku akan diinjak-injak dan ditindas oleh orang lain. Asalkan tidak untuk putriku. Dia harus memiliki masa depan yang lebih cerah daripada saya!" tandas Bik Arum dengan kedua bola mata yang mulai berkaca-kaca.
Tuan Seno menganggukkan kepala beberapa kali pertanda bahwa ia memahami keteguhan hati seorang Bik Arum.
"Baiklah, bagaimana jika aku memintanya, bersediakah kau menyerahkan putrimu padaku?" sergah Tuan Seno.
Tiba-tiba Bik Arum merasakan sambaran petir mendarat tepat di pipinya. Apa yang Tuan Seno ucapkan barusan? Mengapa tiba-tiba ia meminta agar Bik Arum bersedia menyerahkan putrinya? Apakah Tuan Seno sedang mabuk? Batin Bik Arum bertanya-tanya.
***