"Selamat pagi, keluarga kecilku yang berbahagia. Ayo segera bangun dan sarapan pagi!"
Wanita paruh baya itu meletakkan satu wajan nasi goreng spesial di atas sebuah piring besar berwarna putih. Raut wajahnya begitu sumringah ketika menyiapkan sarapan pagi untuk kedua orang tersayangnya, yang tidak lain adalah ibu kandung beserta putri semata wayangnya.
Harum aroma telur bercampur kecap begitu menggugah selera. Bukan hanya karena resep rahasia yang ia punya, namun karena ia juga membuatnya dengan penuh rasa cinta.
"Ibu, putriku, ayo cepat bangun! Nasi goreng spesial ini lebih lezat bila dihidangkan selagi hangat!" teriak Bik Arum lagi dengan sumringah.
Tak lama kemudian, sosok gadis mungil dan imut itu berjalan keluar kamar menuju meja makan. Kedua matanya masih sayup menyimpan rasa kantuk. Rambutnya yang panjang dan lurus itu tampak sedikit kusut belum tertata. Sebetulnya ia masih membutuhkan waktu tidur lebih lama. Hanya saja ia ingin menyambut dengan baik dan gembira hari pertama kepulangan ibunya di rumah tersebut.
"Ibu, maafkan aku. Seharusnya aku yang menyiapkan ini semua untukmu," cetus Juwita setibanya di meja makan, ia berdiri memegangi sandaran kursi makan.
Bik Arum memperhatikan putri cantiknya yang baru saja bangun tidur tersebut.
"Ah, sudah. Ini memang sudah keseharian ibu. Lagipula aku rindu memasak untuk kalian berdua," tepis Bik Arum.
Juwita tersenyum kecil.
"Sebetulnya akupun sangat merindukan masakan ibu. Tetapi aku tetap tidak enak hati karena kau bangun mendahuluiku. Padahal ibu pun pasti masih kelelahan usai menempuh perjalanan jauh dari kota ke desa," timpal Juwita.
"Tidak masalah. Aku merasa sangat gembira akhirnya bisa memasak lagi untuk kalian berdua, dan itu sama sekali tidak melelahkan. Lagipula, kau juga pasti masih kelelahan usai melakukan study tour ke candi kemarin, kan?" sahut Bik Arum sembari menata piring, buah pisang dan juga air putih untuk mereka sarapan pagi.
Juwita mengangguk pelan.
"Iya, sedikit melelahkan dan baaanyak mengesankan." Juwita tersenyum lebar.
"Kau menyukai tempat itu?" tanya Bik Arum.
Juwita mengangguk cepat.
"Tentu saja," sahut Juwita.
"Baiklah, kalau kau menyukainya. Lain waktu kita pergi ke tempat itu lagi bersama-sama, ya." Bik Arum merencanakan.
Seketika raut mengantuk Juwita hilang begitu saja. Berganti dengan raut antusias usai mendengar ajakan dari ibu kandungnya tersebut.
"Benarkah?" cetusnya.
Bik Arum menganggukkan kepalanya.
"Tentu saja. Sekarang, cepat kau panggilkan nenekmu untuk segera ikut sarapan!" sahut Bik Arum.
Juwita segera mengiyakannya sembari memberikan sikap hormat.
"Siap, komandan!" cetus Juwita.
Selagi Juwita pergi ke kamar sang nenek, Bik Arum mengisi tiga piring kosong itu dengan nasi goreng yang porsinya sama rata, hingga menyisakan sedikit lagi nasi goreng. Di tengah-tengah aktivitasnya tersebut, tiba-tiba Bik Arum teringat akan sosok gadis muda yang biasa ia layani sejak pagi hingga malam hari. Bik Arum menatap nasi goreng buatannya itu dengan tatapan kosong.
"Nona Purie, pagi ini pasti kau sedang sarapan dengan gembira tanpa kehadiranku," gumam Bik Arum seraya tersenyum getir.
Bagaimanapun dinginnya sikap Purie ketika memperlakukan pelayannya, namun hal itu tetap menjadi kenangan yang akan selalu dirindukan oleh Bik Arum. Bagaimana tidak, Bik Arum sudah cukup lama memgabdikan dirinya pada keluarga kaya raya tersebut. Cukup banyak kisah yang ia lalui di dalam rumah tersebut, kisah suka maupun duka, tangis dan tawa. Tidak hanya hal itu, Bik Arum juga mendapatkan penghasilan yang cukup untuk ia menghidupi keluarga kecilnya itu. Bahkan untuk membiayai sekolah putri semata wayangnya, meski bukan di sekolah ternama.
"Ibuuu. Aku dan nenek dataaang!" seru Juwita sembari menuntun langkah sang nenek saat menuju meja makan.
Ibu kandung Bik Arum atau Nenek dari Juwita tersebut sudah berusia cukup renta. Sehingga untuk berjalan saja perlu didampingi. Saat Bik Arum mengadu nasib di ibukota, Juwita hanya tinggal berdua dengan Sari, neneknnya. Di rumah sederhana itu, rumah yang susah payah dibangun oleh Bik Arum dan juga mendiang suaminya, mereka bernaung dengan rukun dan damai. Meski keterbatasan ekonomi yang hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari dan juga biaya sekolah Juwita, namun mereka hidup dengan perasaan bahagia dan lapang dada.
"Ah, iya. Ibu, mari kita sarapan bersama!" sontak Bik Arum membuyarkan lamunannya saat kedatangan putri beserta sang ibu.
Juwita pun menuntun langkah sang Nenek hingga membantunya untuk duduk di kursi.
"Bagaimana, ibu, apa ibu sehat?" sambut Bik Arum dengan hangat.
Wanita tua itu memandang wajah putri kandungnya dengan takjub sekaligus haru.
"Bukankah aku selalu menitipkan kabar lewat putrimu ini, bahwa aku selalu sehat dan baik-baik saja? Bahkan aku tidak pernah kesulitan bila berada seorang diri ketika harus ditinggal oleh Juwita pergi ke sekolah atau ke tempat lain. Lantas, untuk apa kau mendadak pulang seperti ini?" sergah Nenek Sari.
Bik Arum seketika tersenyum kecut.
"Ibu, apakah aku tidak boleh melepas rindu dengan putriku dan juga ibuku sendiri? Aku merindukan kalian," ujar Bik Arum.
"Apa kau kira aku bodoh? Jauh sebelum dirimu. Aku lebih dulu menggeluti pekerjaan itu. Apa begitu mudahnya majikan zaman sekarang memperbolehkan pelayannya untuk pulang kampung hanya dengan alasan rindu keluarga?" sergah Nenek sari.
Seketika Bik Arum termenung, sehebat apapun ia menyembunyikan kebenaran, namun seorang ibu kandung lebih ahli dalam menerka isi hati anak kandungnya sendiri. Bik Arum terdiam untuk beberapa saat memikirkan jawabannya, sementara Juwita hanya terdiam kebingungan menyaksikan perdebatan antara ibu dengan neneknya.
"Ah, bukankah itu akan lebih baik apabila kita bahas setelah sarapan? Ayo, nenek, ibu, kita sarapan bersama! Bukankah ini pertama kalinya kita sarapan bersama kembali setelah beberapa tahun ke belakang?" sergah Juwita menengahi.
Bik Arum mengangguk mengiyakan.
"Ah, iya. Benar apa yang dikatakan oleh Juwita. Lebih baik kita habiskan sarapan terlebih dahulu," timpal Bik Arum.
Juwita, Bik Arum dan juga Nenek Sari pun akhirnya menyantap hidangan sarapan pagi ini dengan lahap.
"Wah, sudah lama sekali aku tidak makan masakan ibu. Masakan ibu tidak pernah berubah sedikitpun, tetap jadi makanan terenak untukku!" komentar Juwita sembari mengunyah nasi goreng di dalam mulutnya.
"Tentu saja, dan resep ini ibu dapatkan dari nenekmu," sahut Bik Arum sembari melirik ke arah Nenek Sari.
Nenek sari melahap nasi goreng itu pelan-pelan, tidak secepat cucunya maupun putrinya sendiri yang masih muda dan bertenaga.
"Aku bukanlah orang yang berpendidikan. Sejak dulu keahlianku hanya memasak dan mengurus rumah. Karena itu profesiku hanyalah sebatas Asissten Rumah Tangga!" cetus Nenek Sari dengan suara yang berat dan tempo yang lamban.
Seketika Bik Arum maupun Juwita tercekat, keduanya begitu mengenal bagaimana sosok Nenek Sari, dan tentu sangat mudah bagi keduanya untuk mengetahui ke mana arah pembicaraan Nenek tua berambut putih tersebut.
"Nenek, bukankah seorang koki handal juga memiliki keahlian dalam memasak saja?" sergah Juwita sembari mengusap lembut punggung tangan sang nenek yang penuh dengan urat-urat timbul itu, ia sedang berupaya untuk membesarkan hati ibu maupun neneknya yang kebetulan memiliki pengalaman menjadi seorang pelayan.
"Ya, benar. Namun tempat menimba ilmu kami berbeda. Seorang koki handal belajar memasak di sekolah tata boga, sementara aku hanya belajar memasak dari dapur majikanku!" tandas Nenek Sari.
Bik Arum hanya menelan salivanya, berdiam diri dan tidak ikut berkomentar.
"Bukankah itu lebih baik daripada kita harus menjadi pengemis di pinggir jalan?" sergah Juwita lagi.
Bik Arum dengan cepat melirik tajam putrinya itu, untuk memperingatinya agar berhati-hati dalam berbicara. Juwita pun kini hanya menundukkan pandangannya, sikapnya yang ceria dan apa adanya membuat Juwita tidak kesulitan untuk mengekspresikan pikiran dan perasaannya. Meskipun terkadang hal itu justeru membuat dirinya sendiri terancam.
"Ya, itu memang benar. Tetapi ada yang jauh lebih baik daripada itu. Kau harus berpendidikan tinggi dan memperoleh pekerjaan yang lebih baik daripada menjadi seorang Asisten Rumah Tangga!" samber Nenek Sari.
Juwita masih menundukkan kepalanya.
"Ibu, bukankah di sekolah juga Juwita merupakan siswi berprestasi dan menjadi bintang kelas? Kurasa usahanya sudah cukup keras dalam menempuh pendidikan," tandas Bik Arum.
"Juwita harus kuliah!" potong Nenek Sari.
"Kau harus memperjuangkan perguruan tinggi untuknya! Jangan sampai gadis cantik dan cerdas seperti dia akhirnya hanya menerima tongkat estafet darimu untuk menjadi pelayan seperti kita! Aku, kau, ibuku dulu, hanyalah seorang Asissten Rumah tangga! Juwitalah yang harus memutus rantai kemiskinan ini!" sambung Nenek Sari dengan sorot kedua bola mata yang cukup tajam.
Perlahan Juwita menoleh ke arah sang nenek yang duduk di sampingnya, ia juga perlahan mengusap lembut lengannya.
"Nenek, sudahlah. Ibu baru saja tiba di rumah ini. Kita harus menyambutnya dengan hangat," anjur Juwita.
Nenek Sari pun akhirnya menghela napas dan tidak lagi membahas hal tersebut. Meski demikian, perasaan Bik Arum terlanjur kalut. Ia kembali memikirkan bagaimana saat ia dipecat, nasib selanjutnya keluarga kecilnya tersebut, terlebih perihal masa depan putrinya.
"Ah, sebentar. Aku lupa bahwa aku telah membelikan kalian buah-buahan segar dari kota. Aku akan mengambilnya dari tasku," cetus Bik Arum sembari berdiri dari kursi makannya dan ia tampak menyeka bulir air di sudut matanya.
Juwita hanya memandangi kepergian ibunya itu dengan raut iba.
***