Langkah kaki wanita paruh baya itu tergopoh-gopoh karena kelelahan usai menempuh perjalanan cukup panjang sembari membawa satu buah koper berukuran sedang dan juga satu buah tas jinjing. Ia melangkah mendekat pada pintu utama sebuah rumah sederhana.
"Selamat malam, permisi!"
Ucap Bik Arum begitu antusias ketika baru saja tiba di muka rumahnya. Rumah yang cukup lama ia tinggalkan karena harus pergi ke kota untuk mengadu nasib demi mencukupi kebutuhan keluarga kecilnya. Keluarga yang kini hanya menyisakan dirinya, satu orang putrinya dan terakhir adalah ibu kandungnya sendiri yang sudah berusia lanjut.
Saat ini waktu menunjukkan pukul sepuluh malam. Wajah Bik Arum pun tak dapat menyembunyikan raut kelelahan. Sekitar pukul tujuh pagi ia angkat kaki dari rumah Tuan Seno, yang kini telah resmi menjadi mantan majikannya. Menempuh perjalanan cukup jauh untuk sampai ke kampung halamannya.
Beberapa saat mengetuk pintu seraya mengucap salam, Bik Arum belum juga mendapatkan jawaban.
"Apakah ibu dan juga putriku sudah tertidur, ya? Lagipula ini sudah cukup larut," gumam Bik Arum.
Sesekali Bik Arum mengintip celah jendela yang tidak tertutup sempurna oleh kain gorden itu. Keadaan di dalam rumahnya tampak sunyi. Ia semakin yakin bahwa sang putri yang begitu dirindukannya beserta sang ibu telah lelap dalam tidurnya.
"Selamat malam, permisi." Bik Arum mengulanginya sekali lagi.
Di satu sisi ia tidak ingin mengganggu waktu tidur putri maupun ibunya. Namun di lain sisi Bik Arum juga sudah tidak sabar untuk menjumpai mereka. Hingga setelah beberapa saat, akhirnya Bik Arum mendapatkan respon dari dalam rumah.
"Malam, sebentar."
Samar-samar suara tersebut terdengar di telinga Bik Arum. Bersamaan dengan itu, senyumnya pun merekah. Suara yang begitu familiar di telinga. Suara yang hampir setiap hari ia dengarkan hanya melalui saluran telepon.
Sementara orang yang hendak membukakan pintu dari dalam itu tampak menggerutu sambil menahan rasa kantuk.
"Siapa sih orang yang bertamu malam-malam begini," keluhnya.
"Krrekkk."
Tiba-tiba suara pintu yang dibuka pun terdengar. Bik Arum melebarkan senyumnya ketika pintu tersebut pun terbuka lebar.
"Juwita, putriku!" sambut Bik Arum sumringah.
Seketika orang yang baru saja membukakan pintu tersebut membuka kedua matanya lebar-lebar. Seketika itu juga rasa kantuknya menghilang. Namun tubuhnya hanya terdiam mematung.
"I-ibu?" gumam Juwita cukup takjub.
Bik Arum hanya menjawabnya dengan senyuman.
"Apakah aku tidak salah lihat? Ah, sepertinya aku hanya sedang mengigau!"
Juwita beberapa kali mengucek kedua matanya, sebab ia merasa tidak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini. Baginya tidak mungkin sang ibu datang menemuinya malam-malam begini. Terlebih sang ibu selama ini terbilang sangat jarang untuk pulang kampung kalau memang bukan karena hal-hal yang bersifat darurat. Lagipula, orang itu hanya berdiam diri dan sebatas melemparkan sebuah senyum tanpa bersuara. Juwita semakin yakin bahwa saat ini ia hanya berhalusinasi.
"Ah, sepertinya aku terlalu kelelahan usai seharian ini berwisata ke candi. Lebih baik aku melanjutkan tidurku saja!" ujar Juwita sembari menguap dan membalikkan badannya untuk bergegas kembali ke kamarnya.
Ketika pintu tersebut hendak ditutup kembali oleh Juwita, Bik Arum pun bergegas menahannya.
"Hei! Kau tidak ingin menyuruhku untuk masuk?" omel Bik Arum.
Seketika Juwita pun menghentikan gerakannya, ia kembali menoleh ke arah luar rumah.
"Ka-kau bersuara? Apakah aku tidak sedang bermimpi?" cetus Juwita dengan raut polos.
Bik Arum hanya tertawa melihat reaksi putri semata wayangnya itu.
"Tidak. Kau sedang tidak bermimpi, ini kenyataan. Cepat keluar dan bawakan koper-koperku!" omel Bik Arum dengan gemas.
Juwita hanya menganga, kedua matanya berkedip-kedip beberapa kali. Hingga akhirnya ia benar-benar tersadar bahwa sang ibu benar-benar tengah berada tepat di depan matanya.
"Ibuuu!" seru Juwita sembari berlari menghampiri sang ibu.
Bik Arum tertawa haru ketika sang putri kesayangan satu-satunya itu memeluk tubuhnya dengan begitu erat.
"Kau, kau benar ibuku?" sejenak Juwita memandangi wajah wanita paruh baya di hadapannya itu.
"Ya, kau benar ibuku!" imbuh Juwita sembari memeluk kembali sang ibu.
Bik Arum menaruh dagunya di pundak Juwita. Tak terasa kedua bola matanya mulai berkaca-kaca. Ia masih tak menyangka bahwa putri kecilnya itu telah tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik jelita.
"Ya, putriku, ini aku, ibumu!" gumam Bik Arum dengan lembut.
Juwita hanya mengeratkan pelukannya.
"Ini sudah larut malam. Ayo cepat kita masuk!" imbuh Bik Arum.
Juwita segera melepaskan pelukannya. Ia menganggukkan kepala sembari tersenyum saat memandang wajah ibunya. Wajah yang setiap saat ia rindukan, dan akhirnya ia bisa melihat wajah itu tepat di hadapannya.
"Baik, ibu. Ayo kita masuk!" Juwita bergegas membawakan barang-barang sang ibu ke dalam rumah.
Keduanya pun memasuki rumah dengan perasaan suka cita. Rumah sederhana yang dipenuhi oleh berbagai kenangan masa kecil Juwita, masa di mana saat keluarga mereka masih berkumpul dengan utuh, sebelum mendiang suami Bik Arum atau ayahnya Juwita meninggal dunia.
"Di mana nenekmu?" tanya Bik Arum sesampainya mereka di ruang tengah.
"Nenek sudah lelap tidur, Bu. Aku akan mengambil minuman untuk ibu di dapur, ya. Ibu pasti sangat haus dan kelelahan." Juwita pun bergegas untuk pergi ke dapur.
Bik Arum hanya tersenyum kecil. Sepeninggalnya Juwita, Bik Arum mengedarkan pandangannya ke setiap penjuru rumah. Ia merasa begitu merindukan tempat tersebut. Tempat yang tidak pernah berubah sejak dahulu sebelum ia meninggalkannya.
"Rumah ini tidak berubah, yang berubah adalah suasananya. Riang yang berubah drastis menjadi hening. Sunyi, sepi tanpa kehadiranmu lagi," gumam Bik Arum lirih sembari membayangkan sosok mendiang suaminya.
Ketika bulir air mulai membasahi pipinya. Juwita pun datang dengan membawakan segelas air beserta beberapa buah donat buatan Juwita. Saat menyadari kedatangan putrinya, Bik Arum pun bergegas menyeka air matanya.
"Ibu, segera minum dan cicipi donat buatan putrimu ini!" seru Juwita.
Keduanya duduk di sofa, Bik Arum bergegas meneguk segelas minumannya kemudian mencicipi satu buah donat kacang.
"Wah, ini sangat enak. Kau belajar resep ini darimana? Sepertinya akupun tidak pernah membuat ini sebelumnya," cetus Bik Arum.
"Tentu saja dari Nenek. Aku belajar membuatnya dengan sungguh-sungguh sampai akhirnya layak jual. Bagaimana? Lezat, bukan?" papar Juwita.
Bik Arum menganggukkan kepala dengan gembira.
"Bahkan lebih lezat daripada donat yang aku temui di kota," puji Bik Arum.
Juwita tersenyum bahagia mendengarnya.
"Kalau begitu segera habiskan. Besok aku akan membuatnya lagi khusus untuk dirimu dan juga pelanggan setiaku yang lainnya," cetus Juwita.
Bik Arum hanya tersenyum sembari melahap donat buatan putrinya. Hingga sesaat berlalu dengan hening, Juwita kembali angkat suara.
"Oh, ya. Ngomong-omong hal apa yang sebenarnya membuat ibu mendadak pulang seperti ini?" imbuh Juwita.
"Uhukk... Uhukk...." Bik Arum mendadak tersedak usai mendengar pertanyaan putrinya barusan.
Juwita bergegas memberikan minum untuk sang ibu. Bik Arum pun meminumnya dengan tergesa.
"Ini sudah cukup malam untuk membahas hal itu. Lebih baik kita tidur. Besok pagi aku akan menceritakannya," tutup Bik Arum sebelum akhirnya berdiri dan pergi menuju kamarnya.
***