Juwita masih berdiri di tempatnya, sementara Nenek Sari masih saja mengawasi Bik Arum dengan sorot mata cukup tajam. Seolah Nenek Sari tengah menghakimi Bik Arum yang telah berbuat sebodoh itu. Bukankah Nenek Sari baru saja memperingatkan Bik Arum agar berjuang keras demi masa depan yang cerah untuk Juwita? Lantas kini terbongkar bahwa penyebab kepulangannya yang tiba-tiba itu tak lain karena Bik Arum baru saja dipecat oleh majikannya. Bila dari hasil keringatnya menjadi seorang pelayan saja tidak cukup untuk memenuhi segala kebutuhan keluarga kecilnya, lalu bagaimana nasib mereka selanjutnya setelah Bik Arum kini kehilangan mata pencahariannya.
"Ya, aku dipecat oleh Tuanku, kemarin," pungkas Bik Arum lirih.
Nenek Sari menggeleng-gelengkan kepalanya, ia tampak benar-benar tidak habis pikir dengan pernyataan yang baru saja dilontarkan oleh anaknya tersebut.
"Apakah kau melakukan kesalahan yang fatal?" cecar Nenek Sari.
"Entahlah, aku merasa bahwa aku selalu salah di mata Nona Purie." Bik Arum memasang raut heran.
"Kau ini! Apakah tidak belajar dari diriku? Kalau memang sikap dan kinerja kita baik, sudah pasti akan jadi pelayan kesayangan majikan dan tidak akan mudah disingkirkan begitu saja! Aku selama dua puluh tahun bekerja sebagai pelayan di rumah yang sama dan tidak pernah pindah! Karena apa? Karena sikap dan kinerjaku sangat baik di mata majikanku sehingga mereka selalu mempertahankanku! Aku heran, mengapa orang kecil sepertimu saja tidak becus menjadi pelayan. Apa kau sedang bermimpi menjadi seorang Nyonya?" oceh Nenek Sari.
Bik Arum hanya menundukkan wajahnya ke meja makan. Hatinya sudah cukup hancur ketika menerima pemecatan dari Tuannya, ditambah kini sang ibu turut menghakiminya. Sementara kini Juwita sudah tidak tahan menyaksikan ibunya dicecar sedemikian rupa oleh sang nenek. Juwita pun bergegas duduk di kursi makan sebelah sang ibu.
"Ah, sudah-sudah! Apa yang salah dengan pemecatan ini? Aku tahu dengan jelas bagaimana ibuku. Berbuat salah ataupun tidak, bukankah seorang Tuan tetap memegang kuasa untuk memecat pelayannya kapan saja? Sudahlah, Nek, Bu, ini bukanlah masalah besar. Aku bahkan gembira karena mulai saat ini kita bisa menjalani hidup bersama-sama lagi di rumah ini. Tuhan mendengar doa-doaku yang setiap saat merindukan kehadiran ibu. Mungkin ini hanyalah cara Tuhan untuk mempersatukan kita lagi, bukan?"
Juwita berusaha untuk menunjukkan raut bahagia dan berpikir positif, sebab ia tidak ingin melihat sang ibu semakin tertekan akibat komentar pedas Nenek Sari. Lagipula, sudah pasti sang ibu pun tidak menginginkan hal ini terjadi.
Nenek Sari mulai menutup mulutnya untuk tidak lagi berkomentar. Sementara Bik Arum mulai tersenyum kecil usai mendengar pembelaan dari sang putri tunggalnya yang cukup menenangkan itu.
"Ayo, sekarang kita nikmati buah segar ini!" seru Juwita.
Situasi kali ini sudah cukup hening. Juwita, Bik Arum maupun Nenek Sari mengambil sepotong demi sepotong buah untuk dinikmati bersama.
"Ini hari minggu, kegiatan apa yang biasa kau lakukan saat libur sekolah?" Bik Arum menatap lembut Juwita.
"Biasanya, aku bangun pagi-pagi sekali untuk membuat kue donat yang banyak. Lalu aku pergi ke lapangan dekat kantor desa. Setiap minggu pagi, di sana ramai orang berolahraga. Kue donatku selalu laris manis di sana. Tetapi, karena kemarin aku dan teman-teman sekolah baru saja berwisata ke candi, aku masih merasa lelah hari ini. Lagipula, aku juga ingin menyambut kedatangan ibuku tercinta ini! Juwita tersenyum lebar di ujung kalimatnya.
Bik Arum tersenyum tipis, antara bahagia dan iba mendengar penjelasan putrinya barusan.
"Begitu, ya? Apa kau tidak main dengan teman-teman sekolahmu saat hari libur sekolah? Pergi ke pusat perbelanjaan atau sekedar main ke rumah mereka?" tandas Bik Arum.
Juwita menggelengkan kepalanya lamban.
"Aku tidak pernah tertarik untuk membuang waktuku untuk hal yang menurutku tidaklah penting. Bagiku, waktu adalah uang. Kalaupun ada waktu di mana aku tidak bisa menghasilkan uang, paling tidak aku tidak membuang-buang uangku," jawab Juwita.
Bik Arum menatap sendu wajah polos nan cantik jelita milik putrinya, kemudian mengalihkan pandangannya pada potongan buah di hadapannya.
"Sekali-sekali, tidak masalah kau menikmati waktu dan uangmu untuk bersenang-senang. Itu bukanlah hal yang buruk, justeru hal yang baik untuk menghibur dirimu sendiri agar dapat menjalani hidup dengan perasaan bahagia." Bik Arum menganjurkan.
"Aku bahagia menjalani hidupku saat ini. Siapa bilang aku tidak bahagia? Bahkan aku lebih bahagia ketika aku bisa menghasilkan uang dari keringatku sendiri. Aku bahagia dengan sekedar melihat pelanggan-pelangganku menyukai kue donat buatanku. Aku bahagia menjadi seorang Juwita Kemala. Gadis mandiri, lugu dan cantik dari desa, yang juga menjadi murid berprestasi di sekolah kecilnya. Terlebih, mulai saat ini aku akan hidup bersama lagi dengan ibuku tercinta. Lengkap sudah kebahagiaanku, bukan?" cetus Juwita dengan wajah berbinar-binar.
Bik Arum seketika tersenyum haru. Ia tahu bahwa Juwita tengah berusaha untuk menghiburnya. Ia juga tahu bahwa sebenarnya putri semata wayangnya itu turut mengkhawatirkan nasib keluarga kecilnya. Hanya saja memang Juwita merupakan sosok yang sudah terlatih untuk hidup mandiri dan pekerja keras, sehingga membuatnya kian tangguh untuk menjalani kehidupan dalam keadaan terhimpit sekalipun.
"Ya, aku tahu bahwa kau adalah anak yang periang dan juga tangguh. Kau tidak perlu mencemaskan apapun. Selagi aku masih hidup, aku akan tetap berusaha untuk membahagiakanmu, putriku," ucap Bik Arum lembut.
Juwita memasang raut gemas, ia pun bergegas merentangkan tangannya pada pundak sang ibu kemudian memeluknya dengan erat.
"Oh, ibuku so sweet sekali!" imbuh Juwita.
Sementara Nenek Sari hanya tersenyum kecut sembari mengunyah potongan buah di dalam mulutnya.
"Ini, pesangon terakhir dari Tuanku. Seperti yang kau bilang tadi, jumlahnya tidaklah sedikit. Kurasa cukup untuk modal awal membuka usaha kecil-kecilan, dan sisanya kita simpan untuk tabungan pendidikanmu kelak. Bagaimana? Sepertinya kau sangat berbakat dalam membuat kue donat, dan kau sudah memiliki cukup banyak pelanggan, bukan? Mari kita sedikit demi sedikit memperbesar usaha kita. Kurasa hasilnya cukup untuk sekedar memenuhi kebutuhan kita sehari-hari," Bik Arum meraih sebuah amplop coklat di dekatnya, memegangnya erat-erat dan menatapnya penuh harap.
Juwita melepaskan pelukannya dari sang ibu cepat-cepat. Ia tampak begitu antusias mendengarkan rencana sang ibu.
"Apa? Apakah barusan Ibu sedang menawarkan kerjasama bisnis denganku? Kedengarannya sangat menarik. Tentu saja aku sangat bersedia!" seru Juwita dengan sumringah.
Bik Arum pun tersenyum bahagia melihat sang putri tampak begitu bersemangat menerima tawarannya. Tidak hanya Bik Arum, Nenek Sari pun kini tampak lebih ceria dibanding sebelumnya. Nenek Sari turut bahagia menyaksikan anak kandung beserta cucu kesayangannya itu bahagia. Paling tidak, ia mendapatkan sedikit angin segar mengenai nasib mereka selanjutnya. Terutama untuk masa depan Juwita, cucu kesayangannya.
"Aku akan mendukung rencana baik kalian itu. Tetapi, aku tidak bisa membantu apa-apa. Usiaku sudah setua ini dan tubuhku sudah selemah ini. Aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk kalian kecuali berdoa," ungkap Nenek Sari lirih.
"Nenek ini bicara apa? Bukankah dalam bisnis usaha donat yang akan kita bangun ini justeru Neneklah orang yang paling berpengaruh? Aku belajar membuatnya dengan resep Nenek. Aku memiliki banyak pelanggan karena mereka suka dengan donat yang aku buat menggunakan resep yang Nenek berikan padaku itu. Jadi, dalam bisnis ini, Nenek adalah Masternya!" sergah Juwita membesarkan hati sang Nenek.
Bik Arum maupun Nenek Sari tertawa kecil mendengar ungkapan Juwita barusan.
"Begitukah? Kalau begitu sepertinya aku akan menagih royalti pada kalian berdua!" timpal Nenek Sari.
"Tentu saja! Itu akan kami perhitungkan. Bukankah begitu, Ibu Direktur?" celoteh Juwita sembari melirik sang ibu.
Seketika Bik Arum terbahak mendengar putrinya memanggil dirinya dengan sebutan "Direktur".
"Kau ini, ada-ada saja. Mana mungkin bisnis kita nanti akan sebesar itu? Aku tidak pernah berkhayal setinggi itu! Realitas kehidupan hanya mengajarkanku bagaimana cara untuk mendapatkan sesuap nasi untuk bertahan hidup, tidak lebih." Bik Arum berkecil hati.
"Ibu, sekali-sekali kita perlu menciptakan mimpi manis dalam situasi pahit! Agar kita setidaknya memiliki sedikit harapan untuk tetap melanjutkan hidup. Bukankah begitu, Master of J'Donuts?" sergah Juwita kemudian melirik sang Nenek di akhir kalimatnya.
"J'Donuts?" tanya Nenek Sari kebingungan.
Juwita mengangguk sumringah.
"Yeah! J'Donuts! Juuuwita Donat! Bukankah aku pencetus bisnis ini? Jadi, nama akulah yang layak dijadikan brand usaha ini! Bukan begitu?" gurau Juwita semakin menggila.
Seketika Bik Arum dan Nenek Sari kembali terbahak, mendengarkan harapan besar Juwita tersebut.
"Ya, ya. Kau benar! Teruskanlah mimpimu itu! Bermimpilah yang manis-manis! Semanis donat buatanmu!" timpal Nenek Sari.
***