Chereads / (Giant) Babysitter / Chapter 17 - 17. Benda Mati yang "Bernyawa"

Chapter 17 - 17. Benda Mati yang "Bernyawa"

Hari minggu merupakan hari yang paling ditunggu-tunggu, oleh sebagian besar orang di desa maupun di kota. Meski cara mereka untuk menikmatinya berbeda-beda, namun tidak sedikit yang memanfaatkan waktu libur itu untuk berkumpul dengan sanak keluarga. Tidak terkecuali dengan Tuan Seno, seorang pengusaha ternama yang lebih sering menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mengelola perusahaan miliknya.

Kali ini, pada hari minggu yang cukup cerah, Tuan Seno bermaksud untuk menghabiskan waktunya di rumah. Tanggung jawabnya yang cukup besar dalam menjalankan perusahaan miliknya, yang memiliki cukup banyak karyawan tersebut membuatnya begitu sibuk. Sehingga Tuan Seno mendedikasikan lebih banyak waktu untuk perusahaan dibandingkan untuk keluarga dalam istana megahnya itu. Meskipun dalam istana megah tersebut hanya tinggal menyisakan ratu kecilnya yang bernama Purie, putri tunggal kesayangannya.

"Bik Ana!" panggil Tuan Seno seraya menuruni anak tangga.

Suara Tuan Seno cukup lantang hingga menggema di seluruh pelosok rumah mewah dan luas miliknya itu. Tak lama kemudian seorang wanita bertubuh cukup tambun muncul di hadapan Tuan Seno.

"Iya, Tuan." Bik Ana menundukkan kepalanya saat baru saja tiba di hadapan Tuan Seno.

Tuan Seno menghentikan langkah kakinya ketika telah sampai pada ujung anak tangga yang terakhir.

"Di mana putriku?" cetus Tuan Seno sembari menyembunyikan telapak tangannya di balik saku celana.

"Biasanya, saat hari libur sekolah seperti ini, Nona Purie memerintahkan Bik Arum untuk merawat kulitnya, rambutnya atau sekedar memasangkan kutek pada seluruh kuku tangan dan kakinya, Tuan. Nona Purie juga biasa menghabiskan waktu liburnya hanya di dalam kamar untuk membaca buku kesayangannya, Tuan." Bik Ana menerangkan dengan santun.

"Apa dia tidak memintamu untuk melakukan hal yang sama dengan Bik Arum?" Tuan Seno memastikan.

Bik Ana menggelengkan kepalanya dengan cepat.

"Tidak, Tuan. Saya sudah menawarkan diri namun Nona Purie menolaknya. Mungkin saja Nona Purie khawatir apabila kemampuan saya tidaklah sebaik Bik Arum. Jadi, ia khawatir apabila saya hanya akan mengotori kuku maupun tubuhnya saja." Bik Ana menambahkan.

Tuan Seno mengangguk-anggukkan kepalanya pertanda mengerti.

"Lalu, ke mana putriku sekarang? Aku baru saja mendatangi kamarnya, dia tidak ada di sana." Tuan Seno tampak sedikit kebingungan.

Bik Ana pun turut merasa kebingungan. Sebab, sejujurnya ia belum memahami betul bagaimana aktivitas keseharian Purie. Selama ini, orang yang paling sering berada di sisi Purie hanyalah Bik Arum, mantan pelayan pribadi Purie yang baru saja dipecat tersebut.

"Ti-tidak ada, Tuan?" cetus Bik Ana balik bertanya.

Tuan Seno hanya menganggukkan kepala sekali lagi.

"Ba-baiklah kalau begitu, biarkan saya mencarinya sekarang, Tuan." Bik Ana membungkukkan badannya pertanda pamit dari hadapan Tuan Seno.

"Tidak perlu," sergah Tuan Seno.

Bik Ana pun dengan cepat menghentikan gerak kakinya. Ia menatap wajah Tuannya tersebut dengan raut heran.

"Kenapa, Tuan?" tegas Bik Ana lembut.

"Biarkan dia menikmati waktunya sendiri. Aku tidak ingin kalau sampai kehadiranku justeru mengusik ketenangannya," imbuh Tuan Seno.

***

"Mami, hari begitu cepat berganti. Tidak terasa tujuh hari sudah terlewati. Ketika semua orang begitu mendambakan akhir pekan, aku justeru menginginkan agar hari-hariku hanyalah senin sampai jumat. Mami tahu kenapa? Karena pada hari itu aku disibukkan oleh kegiatan di sekolah dan dipertemukan dengan teman-temanku. Sementara pada akhir pekan aku hanya sendirian. Menghabiskan hari libur seorang diri di dalam rumah sebesar ini merupakan penyiksaan bagiku!"

Purie menumpahkan segala keluh kesahnya di hadapan sebuah foto dalam bingkai yang berukuran besar. Sebuah foto yang menampilkan sesosok wanita cantik nan anggun, yang tak lain adalah Nyonya Winona, mendiang ibu kandung Purie Winona Perkasa.

Purie duduk memeluk lutut tepat di hadapan foto besar milik mendiang Maminya. Foto tersebut merupakan satu-satunya benda yang tampak bersih dan terawat di dalam gudang yang saat ini Purie tempati. Ya, saat tengah merasa gundah dan kesepian, Purie acapkali mendatangi gudang tersebut. Meski tempat tersebut merupakan tempat penyimpanan benda-benda yang sudah tidak lagi digunakan, yang menjadikan tempat itu tampak kotor dan usang, namun Purie merasa nyaman untuk menyendiri di sana. Sebab, di dalam gudang tersebut menyimpan cukup banyak barang-barang yang mengandung kenangan manis maupun pahit kala Maminya masih hidup di dunia. Terlebih, di dalam sana, Purie dapat dengan bebas menumpahkan segala keluh kesahnya.

"Mami, aku tidak mengerti mengapa Papi menaruh fotomu ini di dalam gudang! Papi mengatakan bahwa ia tidak ingin melihatku terus-menerus mengingat dan menangisi kepergianmu. Tetapi, membiarkan foto Mami usang di dalam gudang bukankah merupakan sebuah penghinaan? Jadi, biarkan aku merawat dan menemanimu di sini." Purie menatap dalam-dalam foto mendiang sang Mami sembari merabanya dengan telapak tangan.

Seolah tengah berhadapan dengan sesama makhluk hidup, Purie terus-menerus mengajak benda mati di hadapannya itu untuk berbincang-bincang.

"Mami, di sekolah, aku baru saja mendapat tugas untuk membuat sebuah puisi ataupun pidato bertemakan kasih sayang seorang ibu dalam bahasa inggris. Pak Guru mengatakan tugas itu diberikan untuk memperingati hari ibu. Menurut Mami, aku lebih cocok untuk membaca puisi atau berpidato saja? Apa? Puisi? Mami ingin agar aku menulis puisi untukmu? Hah? Apakah aku harus memberi judul 'Pusara Ibunda'? Menyedihkan sekali!" Purie tersenyum getir di ujung kalimatnya.

"Mami, tahukah kau? Selain Liz dan Rei, aku memiliki dua teman baik lainnya yang selalu setia menemaniku di saat suka maupun duka. Kau tahu apa? Ya, yang pertama adalah fotomu yang begitu cantik dan menawan ini. Kedua, adalah buku kesayangan pemberian orang yang istimewa ini!" Purie memamerkan sebuah buku favoritenya itu di hadapan potret mendiang maminya dengan raut sumringah.

"Apakah kau penasaran dengan pemilik sesungguhnya buku ini? Ya, Mami pasti ingat, kan? Bukankah aku sudah pernah menceritakannya pada Mami? Fotomu dan juga buku ini mungkin memanglah sekedar benda mati, namun kedua benda ini seolah bisa menghidupkan lagi semangatku, untuk terus melanjutkan hidup di tengah kesunyian dan kehampaan."

Tak terasa kedua bola mata Purie saat ini mulai berair. Kendati ia berusaha keras untuk tetap terlihat tegar di hadapan foto mendiang maminya, namun Purie terlalu rapuh untuk menyimpan rapat-rapat kesedihannya. Satu tetes cairan bening mulai jatuh di pipi halusnya, Purie menghapusnya lekas-lekas sembari menyuguhkan cerita menyenangkan lainnya di hadapan benda mati yang ia anggap bernyawa tersebut. Purie tidak ingin terus-menerus meratap di hadapan foto besar milik mendiang Winona.

"Tidak, aku tidak boleh terlalu cengeng lagi! Aku akan segera berusia tepat tujuh belas tahun! Aku tidak boleh terus-menerus menangis dan bersedih. Aku akan buktikan pada Mami bahwa aku telah tumbuh menjadi gadis dewasa yang kuat dan hebat seperti Mami!" tutur Purie menguatkan diri sendiri.

Purie memperagakan dirinya sebagai sosok yang tegar di hadapan foto Winona. Menahan tangisnya serta memaksakan senyumnya. Namun hal itu hanya bertahan lebih kurang lima detik saja. Sebelum akhirnya tangis Purie justeru semakin pecah.

"Tidak bisa! Aku tidak bisa berpura-pura bahagia sementara hatiku selalu saja hancur saat mengingat kepergianmu! Aku merindukanmu sepanjang waktu tanpa mendapat kesempatan satu kalipun untuk bertemu! Dadaku begitu sesak setiap kali menyadari perpisahan ini. Datanglah, Mami! Datang! Peluk aku! Aku sudah begitu lama merindukanmu!" isak Purie dengan suara yang mulai berat.

Bulir air mata Purie kian deras. Wajahnya yang putih berseri kini mulai memerah sebab menahan amarah. Purie menyandarkan keningnya pada foto mendiang sang mami seraya memukul-mukul bingkai tersebut beberapa kali. Purie mengerang dalam tangisnya, berharap bahwa Winona dapat mendengar jerit batinnya. Seolah ia juga berharap bahwa Tuhan akan mengirimkan kembali nyawa sang mami ke dalam foto tersebut sehingga dapat kembali hidup.

Air mata yang mengalir deras tidak hanya membasahi wajah jelita milik Purie. Namun air mata kesedihan itu turut membanjiri wajah berkeriput milik seorang pria paruh baya, yang rupanya sejak tadi berdiri mengintip di balik celah pintu gudang rumahnya. Ia adalah Tuan Seno, ayah kandung yang begitu mencintai putrinya.

Sudah cukup lama ia berdiri mengawasi putrinya dari luar gudang. Meski terbilang jarang berada di rumah karena kesibukannya menjalankan perusahaan. Namun Tuan Seno mengingat baik di mana saja tempat-tempat putri semata wayangnya itu biasa menumpahkan kegundahannya. Tuan Seno melepas kacamata bening miliknya untuk menyeka bulir air mata. Sebelum akhirnya beranjak pergi dari tempatnya dan membiarkan Purie menuntaskan kesedihannya.

***