Hari minggu telah berlalu, berganti senin yang menggebu. Derap langkah bercampur gelak tawa kembali meramaikan setiap sudut sekolah. Bangunan gedung sekolah yang kokoh dan megah kini tampak jauh lebih hidup dibandingkan pada saat hari libur. Para siswa-siswi penuh kharisma telah kembali dan siap tempur dengan berbagai mata pelajaran di sekolah. Usai menikmati akhir pekan, mereka kembali hadir dengan semangat dan antusias yang telah terbarukan.
Beberapa menit sebelum bel tanda masuk berbunyi, berkumpul tiga orang gadis cantik di kursi belajar milik mereka masing-masing. Purie duduk bersebelahan dengan Liz, sementara di barisan belakang mereka ada Rei seorang diri. Kawan sebangku Rei yang bukan merupakan bagian dari gank mereka tersebut, kerapkali mengosongkan kursi miliknya sendiri dan menjauh dari gank terpopular di sekolah itu. Ia hanya akan menempati kursi miliknya yang terletak persis di sebelah Rei, hanya pada saat jam pelajaran berlangsung.
"Purie, kudengar kau akan merayakan ulang tahunmu kali ini?" Liz mengarahkan pandangannya pada kawan sebangkunya itu.
Siku lengan kiri Purie bertumpu di atas meja, sementara telapak tangannya menopang kepala. Ia pun mengarahkan pandangannya pada Liz.
"Ya, itu benar." Purie tersenyum simpul.
Rei yang duduk di belakang keduanya itupun ikut berkomentar.
"Wah, biasanya, pesta perayaan ulang tahun yang ke tujuh belas itu paling istimewa. Terlebih, kau merupakan pewaris tunggal keluarga pengusaha ternama. Aku tidak dapat membayangkan bagaimana mewahnya pesta perayaan ulang tahunmu nanti!" timpal Rei dengan raut antusias.
Menyaksikan reaksi Rei yang sedemikian antusias, Liz pun ikut terbawa.
"Ya, benar yang dikatakan Rei barusan. Purie, tentunya kau akan menghadirkan kami berdua sebagai tamu istimewa, kan? Bukankah aku dan Rei adalah sahabat terbaikmu?" pungkas Liz penuh percaya diri, ia meletakkan ibu jari dan juga jari telunjuk yang telah membentuk checklist itu ke dagunya.
Kini giliran Rei yang menirukan tingkah Liz tersebut.
"Ya, tentu saja kami berdua layak menjadi tamu kehormatan di acara perayaan sweet seventeen mu nanti!" samber Rei memanasi.
Purie membuang tawanya. Ia mengangkat kepalanya dari meja. Memerhatikan wajah dua orang sahabat baiknya itu satu-persatu.
"Uhmmm, bagaimana, ya? Memang benar aku begitu mengharapkan kehadiran tamu istimewa. Tetapi, sepertinya orang itu bukanlah kalian berdua!" sahut Purie dengan mimik meledek.
Seketika Liz maupun Rei memasang raut tak terima. Keduanya bahkan melipat kedua tangannya di dada sembari memelototi Purie.
"Apa? Jadi, rupanya selama ini kau memiliki sahabat lain yang lebih baik daripada kami berdua? Begitu?" cecar Liz.
"Atau kau diam-diam telah memiliki pacar? Sementara di depan kami, kau berlagak seperti orang yang keras hati dan tidak tertarik sama sekali pada pria manapun!" tambah Rei memanasi lagi.
Purie pun hanya cekikikan mendapati kedua sahabatnya yang tampak begitu posesif tersebut.
"Berhentilah bertingkah seperti itu! Aku khawatir kedua bola mata kalian akan lepas!" timpal Purie bercampur tawa.
Seketika Liz maupun Rei menghentikan aksi mereka dan justeru ikut tertawa bersama Purie.
"Hhh, kau tenanglah! Kami berdua tidak sekejam itu! Siapapun orang yang istimewa di dalam hatimu, kalau dia telah membuatmu bahagia, kami juga akan turut berbahagia. Bukan begitu, Rei?" tutur Liz di ujung tawanya, ia pun menoleh ke arah Rei.
Rei menganggukkan kepala dengan cepat.
"Tentu saja," jawab Rei singkat.
"Terimakasih sahabat-sahabatku yang manis," Purie tersenyum gemas.
Di tengah keseruan bincang-bincang antar tiga sekawan paling popular di sekolah itu, tiba-tiba hadir seorang siswa yang membuat Purie mendadak kehilangan selera. Ya, siapa lagi kalau bukan Leon. Siswa yang memiliki wajah manis namun takdir pahit sebab kerapkali mendapat penolakan dari Purie, dambaan hatinya.
"Selamat pagi, Nona-nona tercantik di seluruh penjuru sekolah ini! Tetapi, tetap di dalam hatiku, Purie lah nomor satu! Apa kabar? Kabarku buruk karena seharian kemarin menahan rindu. Hari ini, akhirnya kita kembali bertemu!" ujar Leon dengan sumringah, ia berdiri tepat di sebelah kursi milik Purie.
Purie mengurut keningnya, tingkah konyol Leon selalu saja berhasil membuatnya muak.
"Cih, bahkan Purie selalu berharap kau akan lenyap dari sekolah ini! Pergi cepat ke bangkumu! Sebelum aku yang menyeretmu ke sana!" bentak Rei gusar.
Leon menjabarkan kedua telapak tangannya pertanda menghalangi tindakan yang hendak Rei lakukan padanya.
"Tunggu, sebentar saja. Aku hanya ingin menanyakan satu hal pada gadis tercantik di dunia versiku ini!" sergah Leon.
Kini tidak hanya Purie, kedua sahabatnya yakni Liz dan Rei pun ikut muak mendengar setiap ocehan laki-laki bajingan itu.
"Satu menit atau satu pukulan keras di perutmu!" desak Rei sembari mengepalkan jemari tangannya dengan keras-keras.
"Baiklah, satu menit cukup!" sahut Leon.
"Satu, dua...," Rei mulai menghitung bilangan detiknya.
Leon tampak kebakaran jenggot sebab memiliki waktu yang amat terbatas untuk mengutarakan maksudnya kepada Purie. Leon membenarkan posisi tas punggungnya kemudian bergerak mendekat pada Purie.
"Purie, aku ingat kapan waktu ulang tahunmu. Ya, beberapa hari lagi kau akan berulang tahun yang ke tujuh belas. Jadi, izinkan aku memberimu hadiah istimewa di hari istimewamu nanti. Apakah kau bersedia makan malam denganku, nanti? Aku berjanji akan menciptakan hari yang tak terlupakan pada saat moment sweet seventeenmu nanti!" papar Leon dengan tempo yang cepat dan penuh harap.
"Enam puluh! Ya, waktumu telah habis! Cepat pergi dari hadapan kami!" samber Rei.
Leon tampak keberatan dan memandangi Rei lekat-lekat.
"Hei, bahkan kau lihat sendiri bidadariku belum sempat memberikan jawaban!" protes Leon.
Purie tetap tak acuh atas keberadaan Leon. Ia tampak berusaha untuk tenang tanpa menjawab sepatah katapun. Sementara Rei telah memberikan aba-aba dan bersiap mendaratkan sebuah pukulan pada Leon sesuai dengan pernyataannya tadi.
"Jawabannya adalah, Purie akan mengundang seluruh siswa-siswi di kelas ini pada acara perayaan sweet seventeennya nanti, kecuali KAU!" sergah Liz cukup geram.
Leon cukup terkejut mendengar pernyataan Liz barusan. Sementara Rei sudah benar-benar siap melayangkan sebuah pukulan untuk Leon. Hingga akhirnya Leon pun terpaksa menjauh dari hadapan mereka.
"Huhhh, dasar pecundang hidung belang!" maki Rei seraya kembali duduk di tempatnya, sepeninggal Leon.
Liz mengusap lembut punggung Purie.
"Badut menyebalkan itu sudah pergi! Kau benar-benar tidak menginginkan kehadirannya pada saat perayaan ulang tahunmu nanti, kan?" bisik Liz memastikan.
Purie mengangguk cepat.
"Tentu saja! Bahkan dalam hidupku, dia adalah tamu tak diundang!" sahut Purie menegaskan.
"Tapi, omong-omong, sebenarnya apakah kau berniat mengundang tamu istimewa pada saat perayaan sweet seventeen mu nanti? Kalau iya, siapa orang itu?" cetus Rei penasaran.
Liz pun turut mengawasi wajah Purie dengan penuh rasa penasaran.
Purie terhenyak, ia menelan salivanya sejenak, kemudian menggelengkan kepala.
"Tidak," jawab Purie singkat.
"Ah, begitu," Rei hanya tersenyum tipis.
"Semua yang datang pada saat pesta perayaan ulang tahunmu nanti, adalah orang-orang istimewa. Mereka ingin turut meramaikan hari bahagiamu. Jadi, kau tidak boleh bersedih." Liz mencoba untuk membangkitkan semangat Purie kembali, ketika binar kedua bola mata Purie mulai meredup.
Purie kembali tersenyum meski kali ini tampak sedikit dipaksakan.
"Ya, kau benar," gumam Purie.
Liz memberikan usapan lembut pada lengan Purie. Tak lama kemudian, bel tanda masuk pun berbunyi. Satu-persatu siswa masuk dan memenuhi kursi-kursi di dalam kelas. Kendati kelas mulai ramai, seketika batin Purie justeru merasakan sunyi. Pandangan mata Purie menjadi sendu, senyumnya kian memudar dan berganti murung.
"Sejujurnya, aku begitu mengharapkan kehadiran seseorang yang bahkan tidak aku undang. Bagaimana bisa aku mengundang seseorang, yang namanya saja aku tidak tahu. Seistimewa apapun orang itu di dalam hatiku, hanya keajaiban dan takdir yang mampu menghadirkannya kembali ke hadapanku," gumam Purie di dalam hati.
*****