Chereads / (Giant) Babysitter / Chapter 24 - 24. Tidak Layak Pakai

Chapter 24 - 24. Tidak Layak Pakai

Tak hanya di kota, pagi yang cerah pun menyapa sejuknya kehidupan di desa. Senin ini, hari di mana Juwita akan kembali ke sekolah setelah seharian kemarin libur. Hari ini menjadi cukup istimewa karena pertama kalinya, setelah beberapa tahun terakhir, Juwita dapat berpamitan secara langsung kepada sang ibunda tercinta.

"Ibu, aku pamit berangkat ke sekolah, ya."

Juwita menyunggingkan seutas senyuman di wajah mungilnya. Ia berdiri di hadapan sang ibu sembari menyodorkan telapak tangan untuk bersalaman. Sejujurnya, Juwita merasa cukup berat untuk pergi meninggalkan sang ibu, meski hanya pergi ke sekolah. Sebab, baru saja kemarin keduanya tertimpa musibah. Sejumlah uang pemberian Tuan Seno raib oleh pencopet di pasar. Juwita tahu benar bahwa sang ibu masih shock atas kejadian tersebut. Begitu juga dengan dirinya sendiri.

Bik Arum, sang ibu satu anak itu tak langsung menyambut uluran tangan Juwita. Bik Arum yang tengah duduk sambil mengemasi beberapa jenis kue ke dalam kotak makan itu sejenak menghentikan aktivitasnya. Ia menoleh ke arah putrinya dengan raut iba.

Bik Arum mengamati penampilan sang putri dari ujung kaki hingga ujung kepala. Seketika hatinya terenyuh, tidak ada yang tampak istimewa dari penampilan gadis mungil itu kecuali memang karena parasnya yang cantik dan mungil. Ini kali pertama Bik Arum melihat kembali secara langsung, sang anak mengenakan seragam sekolahnya. Atasan putih yang Juwita kenakan sudah tampak sedikit menguning. Sementara rok selutut berwarna abu-abu yang dikenakannya itu terlihat memiliki jahitan kasar di bagian paha kanan, seperti bekas sobekan yang dijahit ulang. Tidak hanya itu, sepatu yang Juwita pakai pun tampak sudah rusak. Begitu juga dengan tas yang kondisinya tidak cukup baik.

"Apakah uang kiriman dariku selama ini tidaklah cukup untuk sekedar membeli perlengkapan sekolahmu?" Bik Arum menatap Juwita bulat-bulat.

Sontak Juwita menarik kembali uluran tangannya yang hendak bersalaman dengan sang ibu. Kini Juwita meraba pakaian sekolah yang dikenakannya sendiri.

"Ke-kenapa, ibu? Apakah ada yang salah dengan penampilanku?" tutur Juwita pelan.

Bik Arum menghela napas berat-berat. Ia tidak habis pikir bahwa Juwita sama sekali tidak merasa ada yang aneh dengan penampilannya. Juwita tampak begitu santai dengan keadaan dirinya yang apa adanya. Mengingat seharusnya gadis seusia Juwita sudah pandai merawat dan menghias diri, dari ujung kepala hingga ujung kaki. Terlebih, Bik Arum terbiasa berhadapan dengan mantan majikan mudanya, yakni nona Purie.

Purie adalah gadis yang sebaya dengan Juwita. Berhadapan dengan nona Purie setiap hari, membuat Bik Arum kembali teringat akan sosoknya yang cantik dan perfectionis. Dibandingkan dengan putrinya sendiri, penampilan nona Purie sangat jauh berbeda. Seragam sekolah yang Purie kenakan seolah selalu tampak baru setiap harinya. Purie juga selalu berganti tas maupun sepatu sesuai keinginannya. Seketika batin Bik Arum merasa begitu miris mengingat nasib sang putri yang tidak seberuntung nona Purie.

"Tidak. Hanya saja, mungkin selama ini aku salah karena tidak memperhatikanmu dengan baik. Kalau memang uang yang aku kirimkan selama ini tidaklah cukup, kenapa kau tidak memberitahuku kalau kau membutuhkannya? Seragam sekolahmu, tas dan sepatumu, sama sekali sudah tidak layak pakai!" omel Bik Arum dengan suara yang mulai bergetar.

Juwita menundukkan pandangannya untuk memastikan kondisi sepatu yang dikenakannya. Kemudian pandangannya terus bergerak naik memeriksa pakaian sekolahnya.

"Ibu, semua yang aku kenakan masih dalam kondisi baik-baik saja. Ini tidak jauh berbeda dengan penampilan teman-temanku yang lain di sekolah. Lantas, apa yang perlu ibu sesalkan? Mengenai uang kiriman ibu, tidaklah kurang sama sekali. Aku dan nenek selalu makan enak selama ini. Aku bisa membeli buku-buku maupun keperluan sekolahku yang lain. Bahkan, aku bisa menggunakan sisanya untuk modal berjualan donat." Juwita mengusap lembut pundak sang ibu.

Bulir air mulai menggenang di pelupuk mata Bik Arum. Kendati sang putri selalu berupaya untuk membesarkan hatinya, Bik Arum tetap saja merasa tidaklah becus menjadi orangtua. Ia merasa tidak mampu membahagiakan anak semata wayangnya.

"Jika di kota besar, dengan penampilan seperti itu kau bahkan layak disebut sebagai gelandangan. Jadi bagaimana bisa aku tidak menyesali diriku sendiri. Aku begitu apik mengurus putri orang lain tetapi tidak becus dalam mengurus putriku sendiri!" keluh Bik Arum dengan wajah yang mulai memerah.

Juwita bergerak cepat untuk merangkul sang ibu. Ia membelai lembut rambut Bik Arum yang memiliki aroma dapur.

"Ibu, tentu keadaan di kota dengan di desa itu jauh berbeda. Sekarang ibu kembali tinggal di desa, jadi tidak perlu lagi membandingkannya dengan kehidupan di kota. Lagipula, ibu merawat putri orang lain pun atas dasar pekerjaan, kan? Karena pekerjaan ibu itulah aku bisa bersekolah dan makan enak setiap hari. Jadi, seharusnya ibu merasa cukup bangga dengan jerih payah ibu sendiri selama ini!" papar Juwita meluruskan.

Sontak Bik Arum tertawa kecil di tengah bulir air yang membasahi pipinya.

"Kau ini, sepertinya mewarisi sifat mendiang ayahmu. Kau sangat mahir dalam menghibur kesedihanku!" pungkas Bik Arum.

Kedua mata milik Juwita seketika menyipit karena tawanya cukup riang kali ini. Begitu juga dengan Bik Arum, ia bahkan sedikit melupakan musibah yang kemarin baru saja menimpanya.

"Tentu saja. Ayah mewarisi sifat-sifat baiknya dalam diriku. Sementara ibu, mewarisi kecantikan parasku. Bukan begitu?" timpal Juwita seraya tersenyum lepas.

Bik Arum mengangguk bangga sembari menatap lekat-lekat wajah putrinya. Ia membelai lembut rambut panjang Juwita yang hitam tergerai.

"Ya, padahal sebetulnya kau jauh lebih cantik dibandingkan denganku waktu seusiamu dulu!" imbuh Bik Arum meluruskan.

"Benarkah? Kalau begitu, berarti aku juga memiliki peluang untuk mendapatkan seseorang yang jauh lebih tampan daripada ayah! Bukan begitu, ibu?" timpal Juwita.

Bik Arum mengangguk kembali.

"Tampan ataupun tidak, yang terpenting orang itu selalu membahagiakan putriku yang cantik dan baik hati ini!" sahut Bik Arum sembari menjepit wajah Juwita dengan kedua telapak tangannya.

Seketika pipi Juwita yang cukup berisi itu menyembul, membuatnya tampak semakin imut dan menggemaskan.

"Aamiin, tetapi aku tetap mendambakan seseorang yang tampan, ibu! Paling tidak dia sedikit mirip dengan aktor Lee Min Ho. Bagaimana menurut ibu?" sergah Juwita.

Bik Arum terkekeh.

"Terserah kau saja! Sekarang bukan waktunya untuk membahas soal pasangan! Anak kecil ini hanya perlu menuntut ilmu dengan baik dan sungguh-sungguh! Sudah, cepat pergi ke sekolah sekarang juga!" oceh Bik Arum.

Seketika Juwita menegakkan tubuhnya kembali.

"Siap, komandan!" sahut Juwita sembari memberikan sikap hormat.

"Belajarlah dengan tekun! Semoga esok hari, kau sudah bisa mengenakan perlengkapan sekolah yang baru, yang jauh lebih baik daripada ini!" tutur Bik Arum dengan raut sendu.

Juwita kembali menjulurkan telapak tangannya, dengan cepat Bik Arum menyambutnya.

"Baik, Bu. Ibu tidak perlu mencemaskan hal itu! Aku bahagia dengan apa adanya diriku saat ini. Ya sudah, aku pamit ke sekolah dulu, Bu!" Juwita mengecup punggung tangan Bik Arum kemudian bergegas pergi.

*****