Chereads / (Giant) Babysitter / Chapter 28 - 28. Pijakan Pertama

Chapter 28 - 28. Pijakan Pertama

Jarum jam terus berderap maju. Tak terasa Juwita telah menempuh perjalanan cukup jauh. Gerbong kereta yang ia naiki tersebut telah memindahkan dirinya dari desa ke kota. Juwita terus menggenggam erat satu buah tas besar miliknya. Satu tas lagi yang berukuran lebih kecil ia selempangkan di pundaknya. Kereta telah sampai pada pemberhentian terakhir yang juga menjadi tempat tujuan Juwita. Ia bergegas melangkah ke luar gerbong.

"Deppp!"

Satu persatu kaki Juwita menapak di atas aspal peron, itu merupakan pijakan pertama Juwita di kota. Meski pada masa kanak-kanak Juwita pernah sesekali ikut ayahnya pergi ke kota, namun ini tetaplah menjadi kesan pertama lagi bagi Juwita setelah sekian lama tidak berkunjung ke kota.

Angin perkotaan bertiup menerpa rambut panjangnya. Tidak seperti udara di desanya yang begitu sejuk, angin perkotaan seolah turut membawa hawa panas. Juwita menyeka bulir peluh di sisi kanan dan kiri keningnya. Melirik ke kanan dan ke kiri untuk mengamati keadaan sekitarnya. Berada seorang diri di tempat asing membuat Juwita merasa sedikit kebingungan dan kurang percaya diri. Ia pun bergegas meraih sesuatu dari dalam tas selempangnya.

Juwita mengeluarkan sebuah ponsel miliknya untuk mengecek apakah ada pesan ataupun panggilan masuk. Benar saja, Juwita mendapati sebuah pesan masuk dari orang paling penting bagi perjalanannya saat ini.

"Selamat siang, Nak Juwita. Ini saya, Tuan Seno Perkasa. Tolong kabari saya apabila kamu telah tiba di stasiun kota. Saya akan mengirim sopir untuk menjemputmu di sana."

Juwita membaca pesan tersebut di dalam hati dengan diiringi gerakan bibir mungilnya. Seketika hatinya menjadi sedikit lebih tenang. Setidaknya, ia yang buta jalan kota akan sampai dengan aman dan selamat pada tempat tujuannya.

"Selamat siang, Tuan. Saya baru saja tiba di stasiun kota. Terimakasih atas perhatiannya, Tuan." Juwita bergegas mengirim balasan.

Selang beberapa detik, pesan balasan dari Tuan Seno pun masuk.

"Syukurlah kalau kau sudah sampai di stasiun kota dengan selamat. Tunggu di sana, dalam beberapa menit sopir saya akan tiba untuk menjemputmu. Kebetulan perusahaanku tidak jauh dari sana."

Juwita tersenyum kecil sembari mengetik pesan balasan.

"Baik, Tuan. Sekali lagi saya ucapkan terimakasih."

Juwita pun menaruh kembali ponselnya ke dalam tas. Ia melanjutkan perjalanan kecilnya menuju tempat yang menurutnya lebih nyaman untuk ia menunggu kedatangan sopir kiriman Tuan Seno. Kedua bola mata indah milik Juwita tak hentinya mengedar ke seluruh penjuru stasiun. Ia mengamati bagaimana orang-orang di sana berlalu-lalang membawa kesibukan masing-masing. Sampai akhirnya Juwita mendapati sebuah bangku panjang di dekat area pertokoan.

Juwita menduduki bangku panjang yang kebetulan kosong. Ia menaruh tas besar miliknya itu di sampingnya. Dari sekian banyak toko makanan maupun minuman, perhatian Juwita hanya tertuju pada satu toko di antara deretan pertokoan tersebut. Tiba-tiba Juwita mendapati sesuatu yang berhasil membangkitkan ingatannya kembali pada sebuah bisnis kecil-kecilan yang sempat ia rencanakan bersama ibunya. Juwita menatap lirih sebuah kedai yang khusus menjual donat.

"Ibu, kenapa tiba-tiba aku merasa lapar sekaligus sedih dalam waktu yang bersamaan?" imbuh Juwita.

Kedua bola mata Juwita masih menatap fokus pada sebuah brand produk donat yang cukup ternama itu. Seketika itu juga khayalannya melambung tinggi, bahwa suatu saat ia dan ibunya akan memiliki bisnis donat sebesar itu. Juwita pun tersenyum simpul di penghujung imajinasinya.

"Apakah mungkin hal itu terjadi? Rencana aku dan ibu untuk membuka bisnis kecil saja telah gagal, lalu bagaimana bisa menjadi besar?" keluh Juwita.

"Tetapi, bukankah setiap kegagalan akan menjadi pupuk yang baik untuk menyuburkan mimpi? Mungkin aku hanya perlu bertahan lagi dan lagi sampai aku berhasil menggenggam kesuksesan itu?" gumam Juwita mencoba menghibur diri sendiri.

"Oh, ya. Omong-omong aku harus menelepon ibu untuk memberi kabar bahwa aku sudah sampai dengan selamat!" cetus Juwita sembari merogoh kembali ponsel di dalam tasnya.

Tanpa membuang waktu, Juwita pun bergegas menelepon sang ibu.

"Halo? Putriku? Apakah kau sudah tiba di kota?"

Suara wanita paruh baya itu terdengar cukup antusias bercampur cemas. Bahkan Juwita tidak perlu menunggu lama untuk mendapatkan jawaban atas panggilannya.

"Halo, Ibu. Ya, bu, aku baru saja sampai di kota dengan selamat. Jadi, sekarang ibu bisa tenang, ya. Putri kecil ibu yang lugu dan polos ini akan mampu menaklukan ibu kota nantinya, hehehe," gurau Juwita.

"Hah, putriku. Kau belum ada satu jam berada di sana. Kau belum bisa membuktikan bahwa hidup di desa jauh lebih menentramkan daripada di kota! Tetapi, meski begitu aku tetap selalu mendoakan yang terbaik untukmu. Ini pilihanmu, semoga kau selalu menemukan kebahagiaan di manapun berada, putriku!" papar Bik Arum lewat saluran ponselnya.

"Baik, ibu, terimakasih atas segala doa-doamu. Ibu dan nenek jaga diri baik-baik ya, di sana. Jangan sampai melewatkan waktu makan! Jangan pula terlalu kelelahan! Kabari aku mengenai hal sekecil apapun! Aku sayang ibu, dan juga nenek," tutur Juwita lirih.

"Ya, sayangku! Kau pun jaga diri baik-baik di sana! Tuan Seno memanglah orang yang sangat baik, tetapi bukan berarti kau akan terhindar dari masalah. Apapun yang kau alami di sana, ceritakanlah pada ibu, ya!" desak Bik Arum dengan nada serius.

"Baik, ibu. Tentu saja aku akan menceritakan segalanya pada ibu!"

"Anak patuh! Baguslah kalau begitu."

"Ya, ibu. Aku tutup teleponnya sekarang, ya. Aku sedang menanti kedatangan sopir suruhan Tuan Seno untuk menjemputku."

"Ya, sayang. Aku sudah tenang dengan mendengar suaramu saja. Selamat siang."

"Selamat siang, ibu!" Juwita pun mengakhiri panggilannya, kemudian tersenyum lega.

Menit demi menitpun berlalu hanya dengan duduk bersantai sembari mengawasi setiap orang yang berlalu-lalang di hadapannya. Juwita merasa telah mendapatkan pengalaman baru dalam episode kehidupannya kali ini. Ia telah benar-benar tiba di kota. Sebuah tempat baru yang belum pernah ia bayangkan sebelumnya untuk menetap di sana. Kendati Juwita memiliki cita-cita yang tinggi, namun selama ini ia hanya berharap dapat menyelesaikan pendidikan di desanya dengan sebaik mungkin. Hingga akhirnya Juwita membulatkan tekad untuk menerima tawaran dari Tuan Seno, dan hanya dalam hitungan hari ia mengurus segala sesuatunya termasuk surat pindah dari sekolahnya.

"Dringgg."

Dering ponsel dari dalam tas itu membuyarkan lamunan Juwita. Ia pun dengan lekas mengambilnya.

"Panggilan masuk dari siapa?" gumam Juwita ketika mendapati panggilan masuk dari nomor yang tak dikenalnya.

"Halo, selamat siang!" sapa Juwita.

Tak lama suara berat dari seberang terdengar di telinga Juwita.

"Halo, selamat siang. Nona Juwita."

Suara pria paruh baya itupun sontak membuat Juwita takjub. Nona? Baru kali ini ada seseorang yang memanggilnya dengan sebutan Nona. Panggilan yang cukup mewah bagi gadis lugu sesederhana Juwita.

"Maaf, saya bicara dengan siapa?" tukas Juwita penasaran.

"Maaf sebelumnya Nona, saya adalah Pak Aldo, sopir pribadi Tuan Besar. Saya diperintahkan oleh beliau untuk menjemput Nona di stasiun kota," papar Pak Aldo, sopir pribadi Tuan Seno.

"Tuan Besar? Apakah maksud bapak itu Tuan Seno?"

"Ya, benar, Nona. Jadi, apakah bisa Nona jelaskan di mana posisi Nona saat ini?"

"Baik, pak. Kebetulan saya sedang menunggu di depan area pertokoan stasiun. Tepatnya di depan kedai Danielle's Donut. Apakah bapak dapat menemukannya?"

"Oh, ya. Baik, Nona. Saya tahu di mana tempat itu karena kebetulan saya juga seringkali mendampingi Tuan Besar ke stasiun. Mohon tunggu sebentar ya, Nona."

"Baik, pak. Terimakasih," Juwita pun menutup teleponnya kemudian bersiap-siap menunggu kedatangan Pak Aldo, sopir pribadi sekaligus orang kepercayaan Tuan Seno.

***