Chereads / (Giant) Babysitter / Chapter 27 - 27. Gerbong Menuju Masa Depan

Chapter 27 - 27. Gerbong Menuju Masa Depan

Hari kian berganti. Tak sedetikpun waktu berlalu tanpa keresahan. Sejak saat itu, hari di mana Juwita tak sengaja mendengar percakapan antara sang ibu dengan sang nenek. Hatinya terus-menerus diliputi rasa gundah. Keadaan seolah mendesak dirinya agar lekas-lekas pindah. Beranjak pergi ke kota, meninggalkan desa.

Langkah kaki gadis lugu itu tampak ragu-ragu. Begitu juga dengan raut wajahnya nan cantik jelita, menyiratkan bahwa kepergiannya penuh paksa. Rambut panjangnya yang lurus dan membelah pinggir itu dibiarkan tergerai. Hingga angin peron stasiun kereta menerpa rambutnya tanpa sungkan.

Juwita kali ini mengenakan atasan kaos lengan pendek dipadukan dengan sweater tebal lengan panjang yang memberikan rasa hangat pada tubuhnya. Sweater berwarna biru telur asin itu adalah pakaian kesayangan Juwita. Sweater tersebut merupakan pemberian terakhir mendiang sang ayah sebelum tutup usia, sebagai hadiah ulang tahun Juwita yang terakhir kali bisa mereka rayakan bersama-sama.

Oleh karena itu, Juwita merasa bahwa sweater tersebut merupakan benda paling berharga peninggalan ayahnya, hingga ia merasa amat perlu membawanya ke kota. Entah mengapa Juwita merasakan kehangatan dekapan sang ayah setiap kali ia mengenakannya. Juwita juga mengenakan rok motif bunga-bunga yang panjangnya sedikit melewati lutut. Sedemikian sederhana penampilannya, Juwita tampak begitu cantik dan anggun khas gadis-gadis kembang desa.

"Putriku!"

Seketika Juwita menghentikan langkah kakinya, kemudian membalikkan badannya ke arah sumber suara tersebut.

"Ibu," imbuh Juwita sedikit takjub, bagaimana bisa sang ibu menyusulnya sampai ke peron.

Sang ibu pun berlari kecil menghampiri Juwita, melewati beberapa orang yang berlalu lalang di sekitarnya.

"Ibu, kenapa ibu menyusulku sampai sini?" Juwita bergegas meletakkan satu buah tas besar di dekat kakinya, kemudian ia memegangi lengan sang ibu erat-erat.

Wajah Bik Arum tampak memerah dan basah karena air mata.

"Tidak apa-apa, ibu hanya ingin memastikan sekali lagi, apakah kau benar-benar yakin dengan keputusanmu sendiri?" pungkas Bik Arum lirih.

"Ibu, sudah berapa kali kukatakan. Ini adalah pilihan terbaik yang bisa kuambil. Aku tidak ingin melewatkan kesempatan baik ini, Bu!" tutur Juwita mencoba meyakinkan, meski dengan mudahnya Bik Arum dapat menangkap seberkas keterpaksaan dari kedua bola mata putrinya.

Kedua tangan Bik Arum mulai bergerak naik dan memegangi pipi Juwita erat-erat. Seolah ia begitu ingin menahan kepergian putri semata wayang kesayangannya itu.

"Jangan pernah membohongi perasaanmu sendiri. Kalau memang kau merasa keberatan, mari pulang bersamaku sekarang! Bukankah di desa juga memiliki cukup banyak peluang kerja? Asal kita mau berusaha keras dan sabar!" papar Bik Arum.

Juwita merekahkan senyuman kecil ditengah derai air mata yang mulai melewati pipinya.

"Tidak, bahkan ibu sudah merelakan sisa uang yang ibu punya hanya untuk biaya transport ku ke kota. Aku berjanji akan bekerja dengan baik di sana, agar dapat menggantinya dengan jumlah yang jauh lebih banyak untuk ibu dan nenek, untuk keluarga kecil kita."

"Sebesar apapun jumlah uang yang akan kudapatkan, tidak akan pernah bisa menebus kebahagiaanku atas kehadiranmu, putriku!" sergah Bik Arum.

"Ibu, ingatlah bagaimana ketika kau harus pergi meninggalkanku ke kota. Bukankah ibu selalu bilang bahwa itu tidaklah bersifat selamanya. Kita dapat berjumpa kembali dalam waktu dekat. Lagipula, aku menerima tawaran ini demi kebaikan kita dan masa depanku sendiri. Aku hanya membutuhkan dukungan serta doa dari ibu saat ini," sekali lagi Juwita meyakinkan sang ibu sekaligus dirinya sendiri.

Bik Arum menganggukkan kepala beberapa kali dengan lamban. Mulutnya tampak bergetar menahan tangis. Ia menyempatkan diri untuk membelai rambut putrinya sekali lagi. Memerhatikan dengan awas wajah mungilnya.

"Baiklah kalau memang itu keputusanmu. Aku tidak akan menghalanginya lagi. Jaga dirimu baik-baik di sana. Telepon aku sesering mungkin. Ceritakan apapun yang kau alami di sana. Suka atau duka, tangis atau tawa. Jangan pernah menyembunyikannya!" tutur Bik Arum lembut.

Juwita mengangguk dengan cepat, kemudian memeluk tubuh sang ibu erat-erat.

"Baik, ibu. Di manapun aku berada, aku tidak akan melupakan setiap nasehat baik ibu! Ibu pun jaga diri baik-baik, ya. Aku menyayangimu," isak Juwita.

Selama beberapa detik pemandangan antara seorang ibu dengan anaknya yang tengah berpelukan erat itu mencuri perhatian orang-orang di sekitar peron. Hingga akhirnya terdengar suara pengumuman bahwa kereta tujuan ke kota yang Juwita maksud telah tiba di pemberhentian. Keduanya pun bergegas melepas pelukan satu sama lain.

"Ibu, keretaku sudah tiba. Sudah saatnya aku pergi. Ibu jangan bersedih terlalu lama, ya. Anggap saja, itu adalah gerbong menuju masa depanku. Jadi, ibu harus melepasku dengan perasaan bahagia! Selamat tinggal, ibu." Juwita menyeka bulir air mata di pipinya, kemudian meraih tangan kanan sang ibu lalu mengecupnya pertanda pamit.

"Hati-hati di jalan! Jaga dirimu baik-baik, putriku!" imbuh Bik Arum lirih.

Juwita mengangkat kembali tas besar miliknya, kemudian melangkah cepat namun ragu menghampiri kereta. Sementara Bik Arum hanya bisa menahan tangis sembari memeluk tas selempang miliknya. Memerhatikan langkah putrinya semakin jauh di antara orang-orang yang berlalu lalang di sana. Hingga akhirnya Bik Arum menyadari sesuatu, ia telah melewatkan hal yang sebenarnya menjadi tujuan utamanya mengejar Juwita. Oleh karena Bik Arum terlalu sedih melepas kepergian putrinya.

"Bukankah aku hendak memberikan ini pada Juwita? Kenapa aku bodoh sekali!" cetus Bik Arum merasa heran pada dirinya sendiri.

"Putriku, tunggu!" teriak Bik Arum sembari berlari menghampiri kereta dan mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya.

Untung saja Bik Arum segera menyadarinya sebelum kereta hendak melaju pergi. Juwita pun masih berdiri di dekat pintu gerbong kereta untuk menyaksikan sekali lagi keberadaan sang ibunda sebelum akhirnya mereka benar-benar berpisah.

"Ibu, ada apa?" pungkas Juwita sedikit terkejut mendapati sang ibu mengikutinya hingga di muka pintu gerbong kereta.

"Aku melupakan sesuatu. Ini, benda yang wajib kau pelajari selama di sana! Jaga dan baca buku ini baik-baik, maka kau akan selamat selama berada di sana!" papar Bik Arum memperingati seraya memberikan sebuah buku catatan miliknya kepada Juwita.

"Baik, ibu." Juwita bergegas menerima buku itu dengan raut sedikit kebingungan.

Tak lama kemudian, pintu gerbong kereta pun perlahan menutup. Juwita bergegas melambaikan tangannya pada sang ibu dengan raut sedih. Begitu juga sebaliknya, Bik Arum hanya berdiri dengan lemas sembari melambaikan tangan pada sang putri tercintanya. Kereta kian menjauh pergi membawa Juwita. Sedemikian bising suara kereta yang melaju dengan cepat, namun hati Bik Arum merasa begitu sunyi.

Juwita kini telah duduk di bangku kereta paling pinggir dekat pintu. Kedua bola matanya kembali berair. Selama beberapa detik ia termenung memandangi buku catatan pemberian ibunya tadi, kemudian memeluknya dengan begitu erat.

"Ibu, belum satu jam kita berpisah. Aku sudah merasakan rindu yang begitu dalam padamu. Apakah aku bisa menjalani hari-hariku tanpa kehadiran ibu ataupun nenek? Bahkan di sebuah tempat yang begitu asing bagiku," isak Juwita di dalam hati.

***