Kedua lutut gadis berseragam putih abu-abu itu terkulai lemas di atas tanah. Wajahnya telah memerah dan basah oleh bulir air yang kian menetes dari pelupuk matanya. Raganya seolah mengapung tanpa nyawa. Juwita, kini tengah menumpahkan kepiluan hatinya di atas pusara sang ayah tercinta.
"Ayah," Juwita mulai meraba batu nisan yang tampak berdebu.
Ya, sepulang sekolah tadi Juwita tidak langsung bergegas pulang ke rumahnya, melainkan pergi mengunjungi makam sang ayah. Entah mengapa, setelah tidak sengaja mendengarkan percakapan antara sang ibu dengan sang nenek pagi tadi, hati Juwita diliputi dilema yang mendalam.
Juwita merasa tidak ingin lagi hidup terpisah dengan sang ibunda. Jarak yang memisahkan terbilang cukup jauh, antara desa dan kota. Baru hitungan hari ia merasa bahagia atas kepulangan sang ibu ke rumah tempat asal mereka. Juwita juga merasa berat hati meninggalkan sekolah beserta teman-teman baiknya di desa. Namun di sisi lain, Juwita tidak bisa berdiam diri begitu saja melihat keluarga kecilnya ditimpa kemalangan.
Bik Arum, sang ibunda telah kehilangan pekerjaan serta sejumlah uang pemberian terakhir Tuan Seno dalam jumlah yang tidak sedikit. Uang yang tidak tersisa satu lembar pun lagi, kecuali bahan-bahan baku kue serta belanjaan lainnya. Paling tidak sedikit bisa dijadikan untuk modal awal usaha kecil-kecilan yang hasilnya dipergunakan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Namun, sampai berapa lama mereka mampu bertahan dengan hanya mengandalkan itu? Apakah Juwita bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya demi menggapai cita-citanya? Apakah mereka bisa membiayai pengobatan Nenek Sari yang sering sakit-sakitan?
Juwita belum mengutarakan keluh kesahnya, namun air mukanya telah banyak menyiratkan kegelisahan hatinya.
"Ayah, ketika ibu baru saja kembali, apakah kini giliran aku yang harus pergi? Apakah kita tidak bisa hidup bahagia di atap yang sama seperti dulu lagi? Setelah kepergian ayah untuk selama-lamanya, aku tidak pernah lagi merasakan hangatnya keutuhan keluarga." Juwita mulai terisak.
Jemari lentiknya masih mengusap-usap batu nisan milik mendiang sang ayah, kemudian bergerak ke arah gundukan tanah pusara. Seolah Juwita merasakan kehadiran sang ayah dan ia tengah membelai lembut tubuh ayahnya tersebut.
"Ayah, aku harap kau tidak ikut bersedih melihatku seperti ini. Aku hanya tidak tahu harus bercerita kepada siapa lagi, ketika kesedihan dan kemalangan menimpaku secara bertubi-tubi! Dalam keadaan hidup ataupun mati, aku tetap membutuhkan ayah sebagai pendengar setiaku."
Setelah beberapa saat menitikan air mata, kini Juwita mulai tampak mengukir senyuman kecil di wajahnya yang lugu nan mungil itu.
"Ayah, jika esok atau lusa aku benar-benar harus berangkat ke kota. Aku harap ayah tidak merasa kesepian saat aku tidak lagi bisa sering-sering mengunjungi makam ayah! Ayah tenang saja, bukankah ibu sudah kembali ke desa? Mungkin sudah waktunya giliran ibu yang merawat tempat peristirahatan terakhir ayah ini. Ayah juga sudah begitu merindukan kedatangan ibu, kan?" tutur Juwita.
Semilir angin bertiup ramah menerpa rambut Juwita yang panjang dan tergerai. Membuat Juwita tidak kegerahan meski di bawah terik mentari siang menuju sore hari. Bagi Juwita, pemakaman yang di penuhi oleh pusara-pusara yang berbaris rapi di sekitarnya itu, sama sekali tidak membuatnya takut. Juwita justeru merasa cukup tenang kembali setelah menumpahkan kegundahan hatinya di sisi pusara sang ayah.
"Ayah, dikarenakan hari ini aku datang ke sini tanpa perencanaan sebelumnya, jadi aku tidak membawa apapun untuk ayah, kecuali banyaknya air mata yang baru saja kutumpahkan ini."
Juwita tertawa kecil kemudian mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Ia mengeluarkan sebuah kotak makan berukuran sedang dan menunjukkannya pada pusara sang ayah.
"Oh, ya. Ayah, pagi tadi ibu menyiapkan beberapa jenis kue untuk teman-teman sekelasku. Sebenarnya, ibu mengatakan bahwa kue tersebut dijadikan tester untuk produk jualan kami berikutnya. Tetapi, aku tidak mengatakan demikian! Aku mengatakan pada mereka bahwa kue tersebut merupakan bentuk salam perpisahan dariku. Entah mengapa, sejak tadi pagi aku merasa akan benar-benar berpisah dari mereka!"
Juwita mengambil satu buah kue yang tersisa di dalam kotak makan tersebut. Bersamaan dengan tangis Juwita yang mulai pecah, ia melahap kuenya dengan gelisah. Beberapa detik berlalu hanya dengan tangis yang tersedu-sedu. Juwita juga tak hentinya mengusap kedua pipi halusnya yang memerah dan berderai air mata. Juwita bahkan merasa bahwa dirinya sendiri saat ini begitu menyedihkan.
"Aku tidak ingin pergi! Aku tidak ingin meninggalkan ibu dan juga nenek! Aku tidak ingin meninggalkan ayah! Aku tidak ingin meninggalkan sekolah dan juga teman-teman baikku! Aku tidak ingin meninggalkan desa ini...," papar Juwita mulai meringis sembari memeluk pusara sang ayah.
Wajah halus nan polos tanpa polesan make up sedikitpun itu, kini menempel di atas tanah. Sehingga membuat air mata yang keluar langsung jatuh mengenai tanah.
"Tetapi, aku lebih tidak bisa berdiam diri dan membiarkan keluarga kecilku terus-menerus dalam kesusahan! Jadi, kuminta pada ayah, izinkan aku untuk pergi! Demi masa depanku, juga demi kesejahteraan nenek dan ibu!"
Juwita kembali mengangkat tubuhnya yang sempat terkulai di atas pusara. Kini ia duduk tegak melipat lututnya dan membasuh air matanya. Juwita menunjukkan sikap bahwa ia telah menentukan pilihannya dengan yakin.
"Ayah, anggap saja bahwa hari ini aku datang mengunjungi ayah untuk berpamitan. Aku akan menerima tawaran Tuan Besar itu. Aku akan bekerja di kota demi keluarga kecilku dan juga cita-citaku!" ulang Juwita menegaskan.
Juwita menghirup cairan bening yang naik turun di lubang hidungnya yang kecil. Menghapus air asin yang telah membasahi kedua pipinya. Juwita juga menepikan rambut panjangnya di balik telinga. Seolah ia tengah benar-benar berhadapan dengan mendiang ayahnya. Juwita berusaha bersikap lebih tegas dan tangguh daripada sebelumnya ketika ia baru saja tiba di pusara sang ayah. Juwita ingin terlihat bahwa ia bahagia dan rela atas pilihannya sendiri. Meskipun sebenarnya, dalam hati Juwita, bergejolak kegelisahan tentang bagaimana kehidupan barunya di kota nanti.
"Ayah, jika esok atau lusa ibu mendatangimu ke sini, tolong jangan ceritakan hal-hal buruk tentangku selama ini, ya. Seperti saat kau merahasiakan tentang kenakalanku semasa kecil dulu. Aku yakin, sampai saat ini, ayah masih menjadi pendengar terbaik sekaligus terpercaya untukku." Juwita tertawa kecil di ujung kalimatnya.
"Ayah, hidup ibu sudah dipenuhi oleh kemalangan. Aku tidak ingin menambah beban kesedihan dalam hidupnya. Dan saat ini, sudah waktunya bagiku untuk berjuang lebih keras lagi demi kebahagiaan ibu. Ayah, doakan aku agar hidup aman dan nyaman di kota nanti. Sebelumnya, aku sama sekali tidak pernah hidup merantau seorang diri. Hidup sendiri tanpa kehadiran ayah, ibu, ataupun nenek. Tetapi aku yakin doa kalian selalu menyertai setiap langkahku di manapun berada." Juwita tersenyum kecil.
Waktu terus berlalu, seiring dengan banyaknya keluh dan kesah yang tertuang di atas pusara sang ayah. Kini, Juwita merasa sedikit lebih baik dari sebelumnya.
"Ayah, sepertinya ini sudah waktunya untuk aku pulang. Aku pamit pada ayah, untuk beberapa waktu yang akupun tidak tahu sampai kapan. Ayah, selamat tinggal!" Juwita membungkuk untuk mengecup batu nisan sang ayah, sebelum akhirnya bangkit berdiri dan pergi.
*****