Chereads / (Giant) Babysitter / Chapter 18 - 18. Album Kenangan

Chapter 18 - 18. Album Kenangan

Jemari ringkih itu satu-persatu beradu pada sebuah meja kayu. Ketukannya menghasilkan sebuah bunyi yang cukup berirama. Bunyi yang apabila terdengar dapat menyiratkan makna sebuah kecemasan. Sembari menanti panggilannya terjawab, laki-laki paruh baya itu tetap memainkan jemari tangan kanannya di atas meja kerja pribadi miliknya. Sementara tangan kirinya menopang sebuah ponsel agar menempel tepat di telinganya.

"Apakah dia sudah menemukan kesibukan yang baru? Apa mungkin secepat itu?" keluh Tuan Seno sembari menyandarkan punggungnya pada kursi, ketika belum juga mendapatkan jawaban lewat saluran telepon yang ditujunya.

Sesekali Tuan Seno memandangi layar ponselnya yang menampilkan sebuah daftar kontak dengan nama "Arum Sari". Tuan Seno mengangkat punggungnya dari kursi, kemudian meletakkan kedua siku tangannya di atas meja agar ia lebih mudah untuk mengamati layar ponselnya. Ia terus mengulangi aksinya menelepon sang mantan pelayannya tersebut sampai ia berhasil mendapatkan jawaban.

"Halo, selamat siang, Tuan."

Suara dari seberang itu akhirnya terdengar, Tuan Seno pun dapat bernapas dengan lega.

"Ya, Halo, Bik. Bagaimana keadaanmu sekarang? Kau sampai ke kampung halamanmu dengan selamat, kan?" sapa Tuan Seno dengan hangat.

"Keadaan saya baik, Tuan. Bahkan tentunya jauh lebih baik setelah akhirnya saya dapat berjumpa kembali dengan putri saya, dan juga ibu saya. Saya sampai dengan selamat, Tuan. Bagaimana kabar Tuan sendiri dan juga Nona Purie?" timpal Bik Arum dari seberang.

Tuan Seno menghela napas pendek seraya tersenyum kecil, saat menyadari bahwa keadaan tidak lebih baik setelah kepergian Bik Arum. Meskipun putrinya terkesan begitu ingin menyingkirkan Bik Arum dari rumah tersebut, pada kenyataannya Purie tampak semakin kesepian. Paling tidak, saat Bik Arum masih menjadi pengasuh maupun pelayan pribadi Purie, nyonya muda nan manja itu mendapatkan pelayanan dan perhatian yang baik. Kendati seringkali bersikap dingin, setidaknya Purie memiliki sosok penyabar seperti Bik Arum yang selalu siap sedia mendengarkan segala ocehannya.

"Syukurlah kalau begitu, saya cukup tenang. Tolong sampaikan juga salam dariku untuk putri semata wayangmu dan juga ibumu," imbuh Tuan Seno.

"Baik, Tuan. Saya akan sampaikan pada mereka berdua nanti."

"Ya, terimakasih. Mengenai putriku, Purie. Setelah kepergianmu dari rumah ini, aku memang tidak melihat perubahan yang cukup signifikan darinya. Purie tetaplah gadis yang dingin dan cuek. Hanya saja, aku merasa dia lebih sering murung dan menyendiri. Mungkin saja dia merasa bahwa pengganti sementara dirimu itu tidaklah cocok dengannya. Biar bagaimanapun sikapnya terhadap dirimu, namun kinerjamu selama ini terbukti cukup baik. Hanya saja beberapa kelalaian dirimu yang tidak bisa diterima olehnya. Sehingga ia mempunyai alasan kuat untuk menyingkirkanmu." Tuan Seno bangkit berdiri dari kursinya sembari menyembunyikan telapak tangannya di balik saku celana.

"Iya, Tuan. Tidak masalah. Saat ini saya hanya berpikir bahwa memang ini sudahlah waktunya untuk saya kembali ke desa dan hidup bersama keluarga kecil saya lagi." Bik Arum membesarkan hati.

"Ya, aku tahu kau bukanlah orang yang pendendam. Kau selalu bisa untuk melihat sisi baik pada situasi yang buruk sekalipun. Karena itulah aku senantiasa mempertahankan orang sepertimu. Meskipun pada akhirnya kau harus pergi juga," papar Tuan Seno.

Bik Arum hanya terdengar tertawa kecil dan tidak membalas sepatah katapun atas sanjungan mantan majikannya tersebut.

"Oh, ya. Ngomong-ngomong, bagaimana soal tawaranku tempo hari? Apa kau sudah mempertimbangkannya?" sambung Tuan Seno.

Bik Arum lagi-lagi tidak langsung memberikan tanggapan, ia hanya terdiam untuk beberapa detik. Tuan Seno pun mampu menangkap kebingungan lawan bicaranya tersebut meskipun hanya lewat saluran ponsel.

"Bik, bagaimana?" ulang Tuan Seno menegaskan.

Terdengar suara helaan napas yang cukup berat disertai ucapan yang terbata-bata di telinga Tuan Seno tersebut.

"Ah, emm, so-soal itu. Ah, iya, mengenai tawaran Tuan kemarin, jujur saja saya belum memikirkannya dengan matang. Saya rasa saya masih perlu waktu lagi untuk mempertimbangkannya sekaligus mendiskusikannya dengan putri saya, Juwita. Mohon maaf sebelumnya, Tuan," papar Bik Arum dengan berat hati dan merasa cukup bersalah.

Seketika sedikit raut kekecewaan tersirat dari wajah Tuan Seno. Ia sudah berharap banyak pada Bik Arum bahwa ia akan segera menyetujui tawarannya. Namun di sisi lain Tuan Seno juga mencoba untuk mengerti segala keputusan Bik Arum.

"Ya, baiklah kalau begitu. Saya akan memberimu waktu lagi untuk mempertimbangkannya baik-baik. Aku tidak akan mendesakmu. Selagi kau belum bersedia untuk mengirim putrimu ke rumah ini, aku tidak akan mencarikan pelayan pribadi pengganti untuk putriku, Purie. Entah mengapa firasatku mengatakan bahwa putrimu Juwita, adalah orang yang paling tepat untuk mendampingi putriku. Semoga kau tidak salah dalam mengambil keputusan, ya. Apapun itu, kau tentu lebih tahu mana yang terbaik untuk putrimu," terang Tuan Seno.

"Baik, Tuan. Sekali lagi saya memohon maaf pada Tuan apabila saya telah lancang."

"Tidak masalah, aku mengerti. Jangan sungkan untuk menghubungiku apabila kau telah mendapatkan jawabannya. Selamat siang," imbuh Tuan Seno sebelum akhirnya ia menutup panggilan tersebut.

Tuan Seno membuang napasnya berat. Dalam benaknya kali ini hanya memikirkan bagaimana agar ia bisa mengusir kesepian dalam diri Purie, putri tercintanya. Hatinya begitu sakit, ketika acapkali mendapati Purie dalam keadaan terpuruk. Purie seringkali hanya menyendiri sambil membaca buku kesayangannya yang entah sudah berapa puluh kali ia hatamkan itu. Buku yang ia anggap sebagai buku keramat, yang Tuan Seno sendiri tidak mengetahui darimana Purie mendapatkannya. Yang Tuan Seno tahu, Purie akan kembali tersenyum ketika membaca atau sekedar mendekap buku tersebut.

Tuan Seno paham bahwa putri semata wayangnya tersebut merupakan sosok yang tertutup. Purie tidak pandai bergaul, ia adalah sosok yang begitu selektif dalam memilih circle pertemanannya. Tuan Seno tahu bahwa teman dekat Purie saat ini hanyalah Liz dan Rei. Dua orang itu merupakan teman satu kelas Purie yang begitu dekat, selain itu, tidak ada lagi. Itulah mengapa Tuan Seno bermaksud untuk menghadirkan sosok Juwita ke rumahnya. Tidak lain untuk menemani keseharian putrinya yang cenderung selalu merasa kesepian di dalam istana megahnya.

Tuan Seno meletakkan ponselnya di atas meja. Perlahan ia pun mulai menyandarkan punggungnya yang kini terasa begitu berat pada kursi singgasananya. Seketika kedua bola mata Tuan Seno mengarah pada sebuah foto dalam bingkai kayu yang terletak di atas mejanya. Tuan Seno menegakkan kembali tubuhnya untuk meraih foto tersebut.

"Kalian berdua adalah intan berharga dalam hidupku. Tidak akan pernah terganti dengan apapun. Meski kini intan dalam hidupku hanya tersisa satu. Namun aku akan berusaha semampuku untuk memberikan kebahagiaan yang utuh!" papar Tuan Seno sembari menatap foto dalam genggamannya itu lekat-lekat.

Senyum pilu terukir di wajah Tuan Seno ketika ia mengamati foto bergambar mendiang sang istri ketika masih hidup beserta putri tunggalnya yang masih kecil tersebut. Keduanya tampak begitu bahagia ketika masih hidup bersama. Tidak lama kemudian Tuan Seno meletakkan foto tersebut di tempat semula. Lalu jemari tangan Tuan Seno mulai bergerak membuka laci meja kerjanya. Meraih sebuah arsip berupa album foto dari dalamnya.

Tuan Seno bergegas mengeluarkan album foto dengan sampul berwarna biru dan bertajuk "Happy Family" tersebut. Perlahan ia membuka halaman demi halaman yang memajang berbagai foto dirinya, putrinya, mendiang istrinya serta sanak keluarga lainnya beberapa tahun silam. Perasaan suka bercampur duka selalu hadir setiap kali Tuan Seno melihat album penuh kenangan tersebut. Seolah ia ingin sekali kembali pada masa-masa bahagia itu. Masa di mana keluarganya masih berkumpul utuh dan mendiang sang istri masih hidup di dunia.

"Andai aku bisa memilih, lebih baik aku yang pergi mendahului kau dan putriku. Purie, anak kita sangat menyayangi dan membutuhkanmu. Sementara aku tidak bisa merawat dan membahagiakannya dengan baik." Tuan Seno mulai terisak, kedua bola matanya mulai berair.

Seketika Tuan Seno membuang napasnya dan memaksakan senyumnya. Ia tidak ingin terlihat lemah di hadapan foto mendiang sang istri.

"Untung saja, putri kita mewarisi kecantikanmu. Kalau tidak, mungkin aku akan jauh lebih kesepian di dunia ini setelah kepergianmu," tutur Tuan Seno menghibur dirinya sendiri.

Jemari ringkih tersebut terus membuka halaman demi halaman album foto tersebut. Hingga tiba pada halaman terakhir. Tuan Seno tertegun, mendapati sebuah foto yang terpampang di bagian akhir album tersebut. Foto yang menampilkan dua orang gadis kecil berambut panjang tampak tengah tertawa gembira.

"Ya, aku tidak salah pilih lagi. Kehadiran anak ini akan membangkitkan keceriaan putriku seperti sedia kala. Aku akan tetap berusaha untuk membawanya ke rumah ini," gumam Tuan Seno sembari tersenyum kecil dan meraba foto tersebut.

***