Usai berkomunikasi dengan mantan tuannya lewat saluran ponsel, kini wajah Bik Arum tampak kembali murung. Bagaimana tidak, Tuan Seno terdengar begitu mengharapkan Bik Arum agar segera menyutujui tawarannya, untuk mengirimkan putrinya Juwita ke kota sebagai penggantinya menjadi pelayan pribadi Nona Purie. Kendati Tuan Seno telah memberikan jaminan khusus untuk masa depan Juwita, namun tetap saja sebagai orang tua, Bik Arum mencemaskan keadaan sang putri semata wayangnya.
Bik Arum merasa kehidupan di kota tidaklah cukup aman untuk putrinya yang lugu tersebut. Terlebih, Juwita masih dalam tahap menempuh pendidikan tingkat SMA. Kewajibannya saat ini adalah belajar dengan tekun. Tidak seharusnya ia membebankan sebuah pekerjaan sebagai pengasuh bayi besar bernama Purie untuk Juwita, batin Bik Arum.
Di sisi lain, Bik Arum tidak enak hati apabila harus membuat kecewa mantan majikan yang telah begitu baik padanya tersebut. Perasaan dilema kian merasuk dalam benak Bik Arum. Ia menghela napas panjang sembari menatap langit-langit kamarnya, kemudian meletakkan ponsel miliknya itu di atas meja di sisi tempat tidurnya.
"Aku merasa keadaan saat ini tidaklah terdesak sampai aku harus mengirim putriku sendiri untuk bekerja di kota. Aku hanya perlu merangkai kata-kata yang baik agar tidak menyakiti hati Tuan Seno. Ya, sepertinya keputusan ini jauh lebih baik!" gumam Bik Arum sembari menggenggam sebuah amplop coklat berisi sejumlah uang pemberian terakhir Tuan Seno.
Bik Arum menganggap bahwa uang pesangon itu cukup untuk sekedar menyambung hidup dirinya, putrinya dan juga ibunya yang sudah renta. Seperti rencana yang sudah ia sampaikan pada Juwita dan Nenek Sari di meja makan tadi, bahwa ia akan menggunakan uang tersebut untuk membuka usaha kecil-kecilan, dan sisanya akan ia simpan sebagai tabungan pendidikan putri tunggalnya tersebut.
Bik Arum menghembuskan napasnya, kali ini ia merasa sedikit lebih yakin dengan pilihannya sendiri. Ia hanya perlu mencari waktu yang tepat untuk menyampaikan penolakannya tersebut pada Tuan Seno. Bik Arum pun bangkit berdiri dari tepi ranjang tempat tidurnya. Ia hendak melenggang pergi ke luar kamarnya. Namun, betapa terkejutnya Bik Arum ketika menyibak tirai kain pintu kamarnya tersebut kemudian mendapati sesosok wanita tua renta berambut putih.
"Aaa! Ibu, sejak kapan ibu berdiri di situ?" cetus Bik Arum dengan kedua mata terbelalak takjub.
Nenek Sari hanya memasang raut datar.
"Sejak kau memulai percakapan dengan Tuanmu lewat telepon tadi!" sahut Nenek Sari ketus.
Bik Arum masih sedikit menganga, ia tidak tahu harus berkata apa ketika sang ibu rupanya telah mendengar percakapan dirinya dengan Tuan Seno tadi.
"Apa ada hal yang coba kau sembunyikan lagi dari kami? Apa sebenarnya rencanamu dengan Tuanmu itu terhadap cucuku Juwita?" desak Nenek Sari.
Seketika wajah Bik Arum menjadi tegang. Bahasa tubuhnya pun menunjukkan bahwa ia tengah gugup menghadapi pertanyaan sang ibu.
"Rencana? Rencana yang mana, Bu?" elak Bik Arum membalikkan pertanyaan.
Nenek Sari tertawa sinis.
"Hhh, apa kau sedang berusaha akting di depanku? Asal kau tahu, meskipun aku sudah setua ini, tetapi indra pendengaranku masih berfungsi dengan baik!" sergah Nenek Sari.
Kini Bik Arum hanya menundukkan wajahnya. Ia tidak bisa mengelak apapun ketika Nenek Sari bahkan telah lebih dulu mengetahui kebenarannya sebelum Bik Arum sempat menyangkalnya.
"Jadi, cepat jelaskan sekarang tentang rencanamu dengan tuanmu itu terhadap cucuku!" ulang Nenek Sari mendesak.
"Mmm, ah, iya, soal itu...,"
"Ibuuu! Aku sudah siap. Ayo, kita pergi ke pasar sekarang!"
Tiba-tiba kedatangan Juwita tersebut memotong perkataan Bik Arum. Gadis manis bertubuh mungil itu tampak berlari kecil menghampiri sang ibu serta neneknya dengan gembira. Bagai pucuk dicita ulam pun tiba, kehadirannya yang tiba-tiba sedikit menyelamatkan posisi Bik Arum dari desakan Nenek Sari.
Juwita baru saja dari dapur untuk mencari tas jinjing khusus belanja yang biasa ia bawa ke pasar. Kini penampilannya juga sudah nampak rapi dan menawan, dengan atasan kaos lengan pendek dibalut cardigan rajut lengan panjang, dilengkapi dengan bawahan rok selutut motif bunga-bunga. Rambut hitam, lurus dan panjangnya mencapai pinggang ramping Juwita tersebut ia biarkan tergerai. Juwita tampak begitu cantik dan anggun khas gadis desa yang lugu, polos dan ceria.
"Ah, kau. Kelihatannya putriku sudah begitu siap untuk pergi ke pasar. Kau bahkan berpenampilan sangat cantik untuk sekedar belanja ke pasar tradisional, putriku!" timpal Bik Arum sembari memandangi Juwita dari ujung kepala hingga ujung kaki.
"Oh, ya? Tetapi, aku harus apa kalau memang kenyataannya aku selalu cantik di segala situasi!" sahut Juwita penuh percaya diri.
"Ah, iya. Terserah apa kata putriku saja," pungkas Bik Arum.
"Nenek, aku dan ibu akan pergi ke pasar untuk belanja kebutuhan sehari-hari sekaligus bahan-bahan yang diperlukan untuk membuat kue. Kita sudah sangat serius untuk memulai bisnis kecil-kecilan ini. Nenek baik-baik di rumah, ya." Juwita menggandeng lengan sang nenek yang berdiri di sampingnya itu dengan manja.
"Ah, iya, cucuku. Nampaknya kau jauh lebih riang sejak kepulangan ibumu ke rumah ini. Semoga seperti ini terus, ya!" sahut Nenek Sari seraya berupaya untuk menyindir halus Bik Arum.
Bik Arum seketika kembali gugup ketika mendengar sindiran dari sang ibu. Sementara Juwita hanya bertingkah polos dan ceria tanpa tahu ada sesuatu di antara nenek dan juga ibunya.
"Tentu saja, Nek!" balas Juwita.
"Kalau begitu, cepat pergi ke pasar selagi belum terlalu siang sehingga cucuku yang cantik jelita ini kulitnya terbakar matahari! Kalian berdua harus berhati-hati, ya. Di pasar adalah tempat keramaian dari berbagai jenis orang. Kalian tahu bahwa setiap orang tidak selalu memiliki hati yang baik, kan?" papar Nenek Sari sekaligus memperingati.
"Siap, Nenek! Aku akan menjaga ibuku dan kami berdua akan selalu berhati-hati." Juwita membuat sikap hormat.
Nenek Sari tersenyum sembari mengelus lengan sang cucu yang masih menggelayut manja pada lengannya tersebut.
"Baiklah, sebentar aku mengambil tasku di dalam." Bik Arum pun bergegas masuk kembali ke dalam kamarnya.
Setibanya di dalam kamar, Bik Arum segera mengemasi barang-barang keperluannya ke dalam tas selempang berukuran kecil miliknya.
"Sepertinya, aku tidak perlu membawa ini. Bukankah Juwita pasti membawa ponsel miliknya sendiri? Kalau memang dibutuhkan, aku akan meminjam miliknya." Bik Arum pun meletakkan ponsel miliknya ke dalam laci meja.
Setelah itu, tanpa berpikir panjang, Bik Arum bergegas memasukkan sebuah amplop coklat berisi sejumlah uang pemberian Tuan Seno ke dalam tasnya, tanpa menyisihkannya terlebih dulu. Entah karena ia masih merasa sedikit gugup akibat desakan Nenek Sari tadi, sehingga Bik Arum menjadi terburu-buru dan seolah ingin lekas-lekas melarikan diri. Setelah itu, Bik Arum bergegas keluar kamarnya.
"Ayo putriku, kita pergi sekarang!" ajak Bik Arum dengan antusias.
***