Chereads / (Giant) Babysitter / Chapter 21 - 21. Membuka yang Tertutup

Chapter 21 - 21. Membuka yang Tertutup

Langkah kaki wanita renta itu begitu lamban, tampak sang pemilik kaki tersebut berusaha menyeretnya sekuat tenaga. Bagaimana tidak, di usianya yang telah menyentuh angka delapan puluh, membuatnya tidak lagi sebugar masa muda dulu. Telapak tangan kirinya tampak menempel rekat-rekat pada dinding, ia berupaya mendapatkan keseimbangan untuk tubuhnya yang cukup berat namun lemah.

Sesampainya ia pada tempat tujuan, ia bergegas menyingkap tirai kamar yang terbuat dari kain tradisional yang sudah cukup kuno, untuk membuka jalan masuk. Ya, saat ini Nenek Sari tengah berupaya mencapai kamar tidur putri kandungnya, yang tak lain adalah Bik Arum.

Tentu bukanlah tanpa sebab dan tujuan. Nenek Sari seolah menyelundup masuk ke kamar putrinya sendiri dengan maksud dan tujuan tertentu. Sebelum Bik Arum dan juga Juwita berangkat ke pasar untuk berbelanja keperluan rencana usaha kecil-kecilan mereka, Nenek Sari telah tak sengaja mendengarkan percakapan antara Bik Arum dengan mantan majikannya. Nenek Sari merasa begitu curiga bahwa ada hal yang coba putrinya sembunyikan, dan ia hendak memastikannya secara langsung pada Bik Arum. Namun nihil, ia tidak mendapatkan jawaban apapun atas rasa penasarannya tersebut.

Oleh karena itu, Nenek Sari berupaya mencari jawaban sendiri. Ketika sang putri dan sang cucu tengah pergi ke pasar untuk berbelanja, Nenek Sari mencoba menggeledah kamar Bik Arum.

"Ketika kau mencoba menutupi sesuatu dariku, aku akan terus berusaha membuka kebenarannya," gumam Nenek Sari dengan suara berat.

Ia terus menyeret kedua kakinya yang tampak berat itu satu-persatu. Hingga akhirnya ia menghentikan langkahnya di hadapan sebuah meja di sisi tempat tidur Bik Arum.

"Aku akan mulai mencoba untuk mencarinya di sini. Mungkin saja aku akan menemukan sedikit kata kunci. Demi kebaikan hidup cucuku maupun putriku sendiri, tidak boleh ada rahasia menyangkut hidup kita."

Nenek Sari terus meraba dan mencari petunjuk di sekitar meja tersebut dengan gerakan yang lemah dan lamban. Ia sangat yakin bahwa ada petunjuk berharga yang di simpan rapat-rapat oleh Bik Arum di tempat tersebut. Hingga pada akhirnya Nenek Sari membuka satu buah laci meja dan menemukan ponsel berwarna hitam.

"Anak itu bahkan meninggalkan ponselnya di sini. Apakah itu artinya ia tidak ingin mempersulit nenek tua ini dalam mencari jawaban atas kecurigaannya sendiri? Hhh, baiklah, yang harus kupikirkan saat ini adalah cara bagaimana untuk mengoperasikannya?" tutur Nenek Sari ketika mendapati ponsel milik Bik Arum di dalam laci.

Nenek Sari berjalan beberapa langkah untuk menghampiri tepi ranjang tempat tidur Bik Arum. Perjalanan dengan jarak sependek itupun cukup membuat lelah tubuhnya yang kian melemah. Nenek Sari duduk di tepi ranjang tempat tidur tersebut untuk mengistirahatkan tubuhnya yang renta sekaligus mengamati ponsel berwarna hitam di genggamannya.

"Bukankah ponsel ini tidak lebih modern daripada milikku? Seharusnya cara untuk mengoperasikannya pun tidak akan jauh berbeda," gumam Nenek Sari.

Ya, meski usianya sudah terbilang renta, namun Nenek Sari memiliki satu buah ponsel pribadi. Ponsel itu merupakan pemberian dari putrinya, yang tak lain adalah Bik Arum. Bik Arum sengaja memberikan ibunya itu sebuah ponsel sekaligus mengajarkan cara untuk mengoperasikannya. Hal itu ia lakukan sebagai bentuk kepeduliannya terhadap sang ibu. Bik Arum tahu bahwa kepergiannya ke kota untuk bekerja, dan juga Juwita yang setiap harinya harus berangkat ke sekolah, membuat Nenek Sari kerapkali ditinggal seorang diri di rumahnya. Ponsel tersebut berguna sebagai alat komunikasi antar Nenek Sari dengan Juwita, maupun antar Nenek Sari dengan Bik Arum sendiri. Apabila sewaktu-waktu ada hal darurat yang terjadi, Nenek Sari dapat menghubungi Juwita maupun Bik Arum.

"Ya, sepertinya tidak terlalu rumit," cetus Nenek Sari sembari menerka-nerka tombol mana yang tepat untuk ia tekan.

Tak butuh waktu lama, Nenek Sari akhirnya berhasil membuka kunci layar ponsel tersebut. Hanya saja, penglihatannya yang tak lagi awas, membuatnya harus sedikit menyipitkan kedua pelipis matanya agar dapat membaca tulisan yang ada di layar ponsel itu dengan sedikit lebih jelas. Jemarinya yang tak lagi mulus dan memiliki urat-urat timbul itu mulai berselancar di atas tombol-tombol keyboard ponsel. Hal itu tidak terlalu rumit baginya, sebab cara mengoperasikan ponsel milik Bik Arum tersebut tidaklah berbeda jauh dengan cara mengoperasikan ponsel miliknya sendiri.

"Tu-an Be-sar," eja Nenek Sari ketika membaca sebuah pengirim pesan yang belum sempat dibuka oleh Bik Arum.

"Apakah ini Tuannya di kota itu?" imbuh Nenek Sari penasaran, ia mengernyitkan dahinya yang memang sudah penuh dengan kerutan itu.

"Apakah aku harus membacanya lebih dulu daripada putriku sendiri? Apakah dia akan marah bila aku lancang membuka pesan masuknya? Ah, sudahlah, apapun yang kulakukan saat ini karena ia sendiri mencoba menutupi sesuatu dariku," tutur Nenek Sari lagi.

"Pesan masuk dari Tuan Besar.

Selamat siang, Bik. Maaf bila aku mengganggumu dengan cara terus-menerus menghubungimu. Semua kulakukan hanya karena aku begitu menyayangi sekaligus mencemaskan putriku, Purie. Semenjak kepergianmu dari rumah ini, tidak ada perubahan baik yang terjadi pada dirinya. Mungkin Purie merasa cukup puas karena telah berhasil menyingkirkanmu, hanya itu, selebihnya, dia terlihat jauh lebih kesepian. Untuk itu, aku sangat berharap bahwa putriku memiliki teman baik di rumah ini yang akan selalu menemani, menjaga dan melayaninya sebaik dirimu. Satu-satunya orang yang tepat untuk melakukannya adalah putrimu, Juwita. Jujur saja, tidak ada terlintas seorangpun dalam benakku yang akan menjadi teman baik Purie di rumah ini selain putrimu, Juwita. Bukankah kau juga tahu, bahwa mereka pernah dipertemukan sebelumnya sewaktu mereka masih kanak-kanak? Kau juga tahu bukan bahwa keduanya tampak begitu riang gembira ketika bersama? Untuk itu, aku ingin Juwita menghadirkan lagi senyuman itu di wajah putriku. Dan mengusir sedikit rasa kesepian di dalam hatinya. Sebagai gantinya, aku akan menjamin pendidikan dan masa depan yang cerah untuk putri kesayanganmu, Juwita. Berilah jawaban baik sesegera mungkin, demi putriku, dan juga putrimu. Terimakasih. Tuan Seno."

Dengan perlahan dan terbata-bata, Nenek Sari berusaha membaca seluruh isi pesan yang dikirim oleh Tuan Seno untuk Bik Arum. Seketika ia termenung, memikirkan bagaimana dilemanya seorang Bik Arum. Biar bagaimanapun, tentu saja ia tidak akan tega mengirim putrinya ke kota seorang diri untuk bekerja menjadi pelayan tuan putri. Namun di sisi lain, Nenek Sari sedikit tergiur akan jaminan masa depan yang cerah untuk cucu kesayangannya itu.

"Kalau memang seperti ini, akupun mungkin akan dilema seperti Arum. Berusaha membanting tulang di desa untuk menghidupi dan membiayai pendidikan Juwita, atau mengirim putri kandungnya sendiri ke kota untuk menjadi pelayan seorang putri raja dengan jaminan masa depan cerah? Keduanya adalah pilihan yang sama-sama memiliki resiko. Apapun itu, aku yakin bahwa sudah pasti Arum akan melakukannya demi masa depan Juwita." Nenek Sari memandang lirih layar ponsel tersebut.

***