Suasana pasar pagi ini tampak lebih ramai dari biasanya. Orang-orang dari berbagai kalangan dan usia bergerumul di sana dengan berbagai keperluannya masing-masing. Akhir pekan memanglah menjadi hari di mana pusat-pusat perbelanjaan menjadi lebih ramai dibandingkan dengan hari biasa. Sebab, pada akhir pekan mayoritas orang libur dari rutinitas pekerjaan ataupun sekolahnya.
Juwita tampak berjalan dengan penuh semangat menerobos keramaian sembari menggenggam jemari sang ibu dengan begitu erat. Seolah Juwita tidak ingin lagi berpisah dengan ibunya. Juwita juga khawatir apabila wanita paruh baya itu terseret kerumunan orang-orang yang padat merayap di sekitar pasar.
"Ibu, ayo!" seru Juwita seraya mempertahankan kecepatan langkahnya.
Sementara tangan kiri Bik Arum dituntun erat oleh sang putri, tangan kanannya tampak mendekap erat sebuah tas yang ia selempangkan di bahu kanannya. Ia begitu mencemaskan sejumlah uang yang ia bawa di dalam tas tersebut.
"Apakah setiap pekannya, pasar memang selalu ramai seperti ini?" cetus Bik Arum dengan tatapan heran.
Purie menoleh dengan takjub ke arah sang ibu.
"Ibu, pertanyaanmu terdengar seolah kau adalah orang yang baru pertama kali menginjakkan kaki di pasar tradisional seperti ini. Apakah tinggal di kota dalam waktu yang cukup lama, membuatmu telah begitu asing dengan suasana tempat asalmu sendiri, ibu? Bahkan, pasar ini adalah tempat favorite kita untuk berekreasi setiap akhir pekan dulu." Juwita masih berjalan dengan cepat sembari menggenggam erat jemari sang ibu.
"Bukan begitu, hanya saja aku mencemaskanmu. Apakah selama aku bekerja di kota, kau seringkali pergi ke pasar seorang diri? Aku merasa tempat ini tidaklah cukup aman untuk gadis lugu seperti putriku," sahut Bik Arum seraya memerhatikan setiap orang yang berlalu lalang di dekatnya.
"Hhh, ibu. Bukankah saat kau muda dulu, juga merupakan gadis lugu yang kerapkali berbelanja ke pasar? Lalu apa bedanya dengan diriku saat ini? Lagipula justeru ini baik untuk melatih kemandirianku, kan?" tandas Juwita dengan senyuman kecil di sudut bibirnya yang tipis.
"Ya, itu memang benar, tetapi tidaklah menghapus rasa cemasku terhadapmu!" sahut Bik Arum.
"Ya, ibu. Aku akan selalu berhati-hati di manapun berada. Denganmu atau tanpamu. Ibu tenang saja, ya?" ucap Juwita menenangkan.
Setelah berjalan cukup jauh menyusuri keramaian pasar, akhirnya Juwita mendapati bahwa tempat yang ia tuju bersama sang ibu sudah kian dekat.
"Nah, ibu. Itu tempat langgananku berbelanja bahan kue sudah dekat!" seru Juwita dengan sorot mata berbinar-binar, seolah ia baru saja menemukan mata air di padang pasir.
"Oh, ya? Kalau begitu mari kita bergegas untuk berbelanja segala keperluan bisnis kita!" sahut Bik Arum dengan sumringah.
Tanpa melepas genggaman tangannya, Juwita mempercepat langkah kakinya untuk membawa sang ibu ke toko bahan kue yang cukup besar dan ramai pembeli tersebut.
Setelah tiba di depan pintu masuk toko bahan kue tersebut, Juwita melepas genggaman tangan sang ibu.
"Ibu, kita sudah sampai. Mari masuk!" ajak Juwita dengan bersemangat.
Juwita telah lebih dulu melangkah masuk melalui pintu yang terbuat dari kaca bening tersebut, sementara sang ibu hanya berdiam diri di tempatnya sembari mengamati gedung toko bahan kue tersebut dengan raut takjub.
"Wah, apakah ini benar-benar toko bahan kue yang menjadi tempat langgananku dan juga neneknya Juwita untuk berbelanja? Sepertinya aku bekerja di kota hanya beberapa tahun saja. Saat kini aku kembali, toko kecil ini telah berubah menjadi toko besar dan megah sementara aku masih begini-begini saja," gumam Bik Arum pada diri sendiri.
Sesekali Bik Arum memerhatikan tubuhnya sendiri dari ujung kaki hingga pundaknya, kemudian mengarahkan kembali pandangannya pada bangunan toko tersebut. Seolah Bik Arum tengah mencari perbandingan antar keduanya.
"Ibu!"
Suara itupun akhirnya membuyarkan lamunan Bik Arum. Ia mendapati Juwita tengah melambaikan tangannya dari balik pintu kaca toko tersebut pertanda meminta Bik Arum untuk segera masuk.
"Ah, iya, putriku!" Bik Arum pun melangkah dengan cepat untuk menghampiri Juwita.
Juwita kembali menggandeng erat lengan sang ibu ketika ia telah tiba di sisinya.
"Kenapa ibu melamun di tengah keramaian seperti ini? Bukankah ibu sendiri yang mengatakan bahwa pasar merupakan tempat yang tidak aman bagi kita?" protes Juwita.
Bik Arum menganggukkan kepalanya sembari menepuk-nepuk lengan Juwita dengan lembut.
"Ah, iya. Maafkan aku. Aku hanya cukup terkesima melihat perubahan toko ini yang begitu drastis!" tutur Bik Arum.
Juwita tertawa kecil.
"Itulah bukti bahwa pemilik toko ini membangun bisnisnya dengan sungguh-sungguh! Bukankah sesuatu yang besar berawal dari yang kecil? Maka, mari kita memulai bisnis kue kita dengan sungguh-sungguh, ibu!" seru Juwita bersemangat.
Bik Arum tersenyum lebar ketika mendapati putrinya tersebut tampak begitu antusias untuk memulai usaha kecil-kecilan bersama dengannya. Bermodalkan sejumlah uang pemberian terakhir dari mantan majikannya, yakni Tuan Seno, Bik Arum optimis akan mampu melanjutkan hidupnya di desa bersama putri tunggal dan juga ibunya.
"Ya, putriku." Bik Arum tersenyum penuh haru di ujung kalimatnya.
"Kalau begitu, mari kita mulai petualangan kita hari ini, ibu!" seru Juwita sembari mengambil kereta dorong belanjaan di dekatnya dengan antusias.
Senyum haru yang terukir di wajah Bik Arum tak jua luntur, ketika menyaksikan putri tunggalnya itu memilih bermacam-macam produk belanjaan dengan telaten dan antusias. Seolah keberadaan Bik Arum di kota selama ini telah membuat putrinya itu menjadi sosok yang tangguh dan mandiri. Bik Arum menganggap bahwa Juwita sudahlah ahli dalam memilih bahan-bahan terbaik untuk membuat kue. Nyaris seperti Nenek Sari, ibu kandungnya semasa muda dulu yang begitu ahli dan pandai dalam membuat kue. Bahkan kini Bik Arum merasa kemampuan Juwita telah melebihi kemampuannya sendiri.
Lorong demi lorong yang terbentuk dari rak-rak produk itu telah ditelusuri oleh Juwita maupun Bik Arum. Menit demi menit berlalu seiring kereta dorong belanjaan yang kini nyaris terisi penuh. Sesekali Juwita dan ibunya tersebut berdiskusi mengenai produk yang hendak mereka beli pada penjaga toko di sana.
"Ibu, apa menurutmu masih ada yang kurang?" cetus Juwita memastikan.
Bik Arum terdiam sejenak.
"Kurasa sudah cukup," sahut Bik Arum.
"Kalau begitu, mari kita bergegas ke kasir, ibu." Juwita melangkah menuju kasir seraya mendorong keranjang belanjanya dengan sekuat tenaga.
Di luar toko, tampak seorang pria bertubuh tegap dan tinggi, mengenakan jaket kulit berwarna coklat sekaligus topi hitam tengah diam-diam mengamati meja bagian kasir. Pintu serta pembatas toko yang terbuat dari kaca bening itu membuat siapapun dapat dengan mudah mengamati suasana di dalam, begitupun sebaliknya.
Kini giliran Juwita beserta sang ibu yang akan melakukan pembayaran di kasir. Pria itupun tampak tersenyum menyeringai memerhatikan Bik Arum mulai mengeluarkan sejumlah uang dari dalam tas miliknya.
***