"Kau tahu, putrimu itu seusia dengan putriku. Aku sempat berpikir bahwa putrimu bisa menjadi teman putriku. Siapa nama putrimu? Ah, iya, Juwita. Nama yang sangat cantik.
Purie dan Juwita dapat menjadi teman karib di rumah ini. Aku seringkali melihat, putriku hanya berkawan dengan buku kesayangannya itu. Saat berada di rumah, ia menghabiskan lebih banyak waktu untuk membaca buku kesayangannya itu. Kupikir sudah puluhan kali ia menamatkan bacaan yang sama. Sejak memiliki buku itu, ia seolah tidak pernah tertarik dengan buku lain.
Sejujurnya hatiku merasa teriris ketika menyaksikan putriku lebih banyak menyendiri seperti itu. Di sekolah, mungkin dia memiliki beberapa orang teman untuk bermain dan berkeluh kesah. Tetapi di rumah, putriku benar-benar kesepian.
Purie selalu berusaha untuk tidak menampakkan kesedihannya di hadapanku. Tetapi, sebagai seorang ayah, aku dapat merasakan dengan jelas kehampaan yang dirasakannya. Putriku sangat merindukan sosok mendiang maminya. Saat sendirian, beberapa kali aku mendapati putriku memanggil-manggil mendiang maminya, meski dia sendiri tahu bahwa mendiang maminya tidak akan pernah muncul lagi di hadapannya.
Kurasa Purie hanya membutuhkan teman di rumah ini. Teman sebaya yang bisa menghiburnya, menemani kesendiriannya, mendengar keluh kesahnya, dan yang terpenting dia membutuhkan figure seorang anak muda yang tekun dan pekerja keras seperti putrimu. Aku berharap akhirnya Purie dapat mengambil banyak pelajaran dari perjuangan putrimu, Juwita. Dengan begitu mungkin Purie lambat laun akan menjadi sosok yang tegar dan mandiri, tidak lagi dijuluki sebagai "bayi".
Kau tenang saja, bila memang kau bersedia membawa putrimu ke sini, aku akan menjamin segala kebutuhannya. Dia akan hidup berdampingan dengan putriku, Purie, orang yang seringkali kau sebut sebagai putri raja yang cantik jelita dan juga dilimpahkan banyak keberuntungan. Aku pastikan bahwa putrimu akan memperoleh kebahagiaan yang setara.
Tidak banyak yang perlu Juwita lakukan. Dia hanya perlu mendampingi Purie ke manapun ia pergi. Dia yang akan menjadi teman Purie di rumah ini. Tugasnya menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan Purie. Kurasa, Juwita masih terlalu muda untuk menjadi pelupa sepertimu, hehehe aku hanya bercanda.
Mengenai pendidikannya, aku yang akan membiayai sekolahnya di sini. Bahkan, jika dia bersedia, aku akan memberikan beasiswa untuknya hingga ke perguruan tinggi. Kau tidak perlu mengkhawatirkannya. Kau bilang kau ingin agar putrimu itu memiliki masa depan yang cerah? Aku akan membantu untuk mewujudkannya. Bukankah, ijazah dari sekolah ternama ibukota akan lebih menjanjikan daripada ijazah dari sekolah anakmu di desa?
Aku tidak akan lupa bahwa aku berhutang budi cukup besar padamu, terlebih pada mendiang suamimu. Tetapi aku sudah tidak bisa lagi mempertahankan dirimu di rumah ini. Bagiku mungkin kesalahanmu kemarin adalah hal sepele, tetapi tidak untuk putriku. Selama ini aku berusaha untuk berada di pihakmu, dan akhirnya putriku bisa menerima pembelaanku. Tetapi aku tidak bisa menggunakan kartu itu terus-menerus. Aku tidak ingin membuat putriku kecewa, maka kali ini aku berada di pihaknya.
Hari ini, kau bisa kembali ke rumahmu di desa dengan tenang. Ini, aku berikan padamu sejumlah uang sebagai bentuk apresiasi kinerjamu selama berada di rumah ini. Kuucapkan banyak terimakasih padamu. Ini tidak terlalu banyak, tetapi kurasa cukup untuk membiayai hidup keluarga kecilmu sampai kau dapat mata pencaharian yang baru. Aku harap kau bersedia menerimanya dengan senang hati.
Terakhir, izinkanlah aku membalas budi melalui putrimu."
Kalimat-kalimat itu masih terngiang di telinga Bik Arum. Kedua kakinya melangkah perlahan menuruni tangga, seolah anak tangga yang ia pijak merupakan sebuah pilihan jawaban antara "Ya" dan "Tidak". Tangan kanannya menggenggam sebuah buku catatan dengan sampul berwarna hitam. Buku yang sebenarnya hendak ia berikan kepada Tuan Seno. Sebab ia merasa bahwa buku catatan tersebut sangat dibutuhkan oleh sosok pelayan pribadi Nona Purie yang baru nanti. Namun Tuan Seno menolaknya, ia justeru meminta pada Bik Arum untuk memberikan buku tersebut untuk Juwita putrinya. Tuan Seno telah cukup optimis bahwa Bik Arum akan menerima tawarannya tadi. Bik Arum juga meletakkan sejumlah uang pemberian Tuan Seno yang terbungkus dalam amplop coklat itu di dalam buku catatan miliknya.
Bik Arum merasa begitu dilema. Kendati tawaran yang di berikan oleh Tuan Seno, yang hari ini resmi menjadi mantan majikannya tersebut cukup menjanjikan. Namun, Bik Arum juga diliputi kecemasan atas konsekuensi-konsekuensi yang akan diterima oleh sang putri apabila tinggal di ibukota.
Juwita adalah gadis lugu dan polos. Semasa hidupnya hanya menghabiskan waktu di desa yang asri dan rukun. Ia belum memiliki bekal apapun untuk menjalani hidup di ibukota yang cukup keras. Meskipun Tuan Seno begitu baik, belum tentu Purie dapat memperlakukan putrinya dengan baik pula. Bisa saja Purie bersikap dingin kepada Juwita, seperti yang selama ini Bik Arum rasakan.
Seketika Bik Arum juga teringat akan cita-cita sang putri yang bertekad untuk menjadi seorang Lawyer. Juwita memiliki niat mulia untuk dapat menegakkan hukum dan juga keadilan bagi orang miskin seperti dirinya. Cita-cita yang cukup sukar digapai bila ia hanya mengandalkan berjualan kue di desanya. Bik Arum pun menyeka butir air di pelupuk matanya. Sungguh ini pilihan yang cukup sulit untuknya.
Tak terasa kini Bik Arum memijakkan kaki pada anak tangga yang terakhir. Entah ini hanyalah sebuah kebetulan semata atau justeru sebuah pertanda, tepat pada anak tangga yang terakhir itulah menunjukkan pilihan "Ya". Meski begitu, Bik Arum tetap saja masih merasa ragu-ragu.
"Bik Arum!" seru beberapa orang yang berbaris di bawah anak tangga.
Bik Arum pun mengangkat wajahnya yang sedari tadi tertunduk murung. Di depan sana, beberapa langkah dari tempatnya berdiri saat ini, berbaris rapi ke sembilan orang pekerja lainnya untuk menyambut hangat Bik Arum.
Bik Arum tersenyum haru. Sungguh ke sembilan orang itu adalah teman seperjuangannya selama bekerja di rumah ini. Layaknya keluarga sendiri, mereka amat terpukul dengan pemecatan Bik Arum tersebut. Mereka merasa amat sedih dan kehilangan sosok pelayan yang baik dan rajin seperti Bik Arum.
Bik Arum perlahan melangkahkan kaki menuju teman-temannya itu. Ketika telah dekat mereka pun bergegas menyambut Bik Arum dengan pelukan hangat dan juga air mata tak tertahan.
"Kalian jangan menangis! Hal itu hanya akan membuatku semakin berat untuk pergi dari sini!" protes Bik Arum.
"Pergi? Apakah Tuan Seno tidak menahanmu?" cetus Bik Mira, seorang koki andalan di rumah itu yang menjadi kawan terdekat Bik Arum.
Bik Arum menggelengkan kepala seraya memaksakan senyumnya.
"Tidak, memangnya aku ini siapa? Aku tidak seistimewa itu, ya!" sahut Bik Arum seraya bergurau.
Mereka pun tertawa dalam tangisnya.
"Kau orang baik, Bik. Aku yakin setelah ini kau akan mendapatkan keberuntungan yang berkali-kali lipat!" cetus Bik Mira lagi dengan penuh keyakinan.
Bik Arum tersenyum lebar.
"Semoga saja, akupun sejak lama menantikannya!" timpal Bik Arum penuh harap.
***