Jam kecil yang terletak di sudut meja itu menunjukkan pukul sembilan malam. Waktu yang semestinya digunakan untuk beristirahat, tidur dengan lelap agar esok hari bangun dengan keadaan segar dan dapat kembali bekerja dengan cukup tenaga. Namun pada kali ini, Bik Arum tidak lagi melakukannya. Ia tidak tidur, tidak dapat tertidur. Bik Arum masih sibuk mengemasi barang-barangnya, dengan kondisi kedua bola matanya yang memerah dan sembab.
"Cepat atau lambat, segala sesuatu memang sudah pasti akan berakhir. Lantas, kenapa aku harus menangisinya?" gumam Bik Arum membesarkan hati.
Bik Arum duduk di sisi tempat tidurnya yang tidak terlalu besar itu, tempat tidur yang hanya cukup untuk satu orang saja. Di sebuah kamar berukuran kecil yang letaknya terpisah dari rumah utama. Ya, Tuan Seno memang menyiapkan bangunan khusus untuk tempat tinggal para pekerjanya. Sebuah rumah kecil yang mempunyai beberapa kamar. Letaknya hanya beberapa meter dari pintu belakang rumah utama.
Bik Arum mengangkat tumpukan baju yang baru saja ia bereskan, kemudian memasukannya ke dalam tas jinjing besar. Beberapa barang perlengkapannya selama tinggal di rumah tersebut pun tak lupa ia kemasi. Hingga ketika seluruh barang-barang miliknya telah masuk ke dalam tas, Bik Arum mendapati sebuah buku catatan dengan sampul berwarna hitam itu jatuh ke lantai. Bik Arum terdiam sejenak dengan raut sedih, lalu perlahan mengambil buku tersebut.
Bik Arum menelan saliva sembari menyeka butiran air di pelupuk matanya. Buku dengan sampul berwarna hitam itu kini berada di genggamannya. Ia pun mulai membuka lembar demi lembar buku tersebut. Seketika air mata yang sejak tadi berusaha ia tahan itu kini membuncah. Tangisnya mulai pecah.
Sebuah buku yang berisikan catatan-catatan penting terkait pekerjaannya menjadi pelayan pribadi di rumah tersebut, khususnya untuk Nona Purie. Catatan tersebut terdiri dari jenis-jenis pekerjaan yang harus ia lakukan setiap harinya mulai dari bangun tidur hingga akan tidur kembali. Catatan tersebut juga dilengkapi dengan jadwal-jadwal kegiatan Nona Purie. Mulai dari kegiatan harian, mingguan, bulanan bahkan tahunan.
Tidak hanya itu, Bik Arum juga mencatat berbagai hal yang disukai dan tidak disukai oleh Nona Purie. Seketika pandangan mata Bik Arum terhenti pada sebuah halaman buku yang mencantumkan jenis makanan yang membuat Nona Purie alergi.
"Kau, adalah bayi besar yang hampir saja celaka karena seekor udang dalam nasi gorengmu. Semua atas kelalaianku. Biar bagaimanapun, kau tetaplah gadis yang baik bagiku karena telah bersedia mempertahankanku, meski kau melakukannya dengan terpaksa." Bik Arum mengenang kembali masa-masa yang telah ia lalui selama menjadi pengasuh Purie.
"Terlebih, ayah dan mendiang ibumu. Keduanya adalah orang yang benar-benar baik dan bijaksana. Mereka hanya menegur dengan lembut pada saat aku dan para pekerja lainnya melakukan kesalahan. Setelah itu, mereka memaafkan dan memberikan kami kesempatan sekaligus solusi. Sungguh, hanya kebaikan-kebaikan itu yang semestinya selalu aku ingat. Kali ini, anggap saja aku sudah sampai pada masa pensiunku." Bik Arum bergumam lirih.
Beberapa saat berlalu membawa Bik Arum kembali bernostalgia dengan masa lalu. Masa-masa di mana ia mulai bekerja menjadi seorang Assisten Rumah Tangga (ART) hingga ia ditunjuk khusus untuk menjadi pengasuh bayi besar bernama Purie Winona Perkasa. Pada saat itu Bik Arum masih sempat merasakan kehadiran Nyonya Winona, mendiang ibu kandung Purie. Nyonya besar yang memiliki kecantikan fisik dan juga hati.
Cukup lama Bik Arum mengabdi di dalam rumah mewah tersebut. Hingga buku catatan miliknya itupun menghasilkan banyak tulisan yang membuatnya nyaris penuh.
"Sepertinya aku perlu memberikan buku ini pada Tuan Seno. Bukankah ini cukup penting untuk dimiliki pekerja yang akan menggantikan posisiku? Paling tidak orang itu sedikit tahu tentang Nona Purie. Sehingga memperkecil kemungkinan ia berbuat kesalahan," gumam Bik Arum.
*Dering ponsel berbunyi*
Seketika terdengar bunyi ponsel berdering, Bik Arum pun bergegas mengusap wajahnya yang sudah cukup basah karena air mata. Kemudian ia meraih sebuah ponsel kuno miliknya itu di atas meja.
"Juwita," gumam Bik Arum lirih.
Ya, Juwita adalah putri semata wayang Bik Arum dengan mendiang suaminya. Putri yang terpaksa ia tinggal sejak beberapa tahun lalu demi mengadu nasib di ibukota. Di desa tempat tinggalnya, Juwita tinggal bersama neneknya yang sudah renta di sebuah rumah sederhana. Juwita memiliki usia yang sebaya dengan Purie, majikan muda Bik Arum tersebut. Itulah sebab mengapa Bik Arum terlihat begitu tulus ketika melayani Purie, karena ia merasa seperti mengasuh anaknya sendiri.
Bik Arum menghela napas panjang dan berusaha sebaik mungkin agar tidak menampakkan kesedihannya pada sang putri. Meski hanya berkomunikasi via suara, namun Juwita merupakan anak yang sangat peka. Ia begitu mudahnya menangkap perasaan sang ibu yang jauh di mata namun dekat di hatinya.
"Halo," sapa Bik Arum.
"Ibu, apa kau begitu sibuk hari ini sehingga mengabaikan setiap panggilanku?" oceh Juwita di seberang sana.
"Ma-maaf, putriku. Iya, aku cukup sibuk hari ini," sahut Bik Arum sedikit terbata.
"Ibu, apakah majikanmu itu mempekerjakanmu secara rodi hari ini? Hingga kau tidak sempat membalas satupun pesan dariku?" omel putri kecilnya lagi.
Bik Arum tertawa kecil, suara imut layaknya anak kecil itu memang selalu saja berhasil menenangkan hatinya. Biasanya, ia dan Juwita memang kerapkali mengobrol lewat telepon untuk sekedar melepas kerinduan dan mengetahui kabar masing-masing. Namun, hari ini, hingga larut malam begini, Bik Arum tidak menghubungi putri kesayangannya itu. Ia tidak tahu harus mengatakan apa pada putri semata wayangnya itu. Saat ia menerima kenyataan bahwa hari ini ia dipecat dari pekerjaannya sebagai pelayan di rumah tersebut.
"Ibu? Halo?" seru Juwita ketika lama tak mendengar jawaban sang ibu.
Bik Arum pun tersadar dari lamunannya.
"Ah, i-iya, putriku." Bik Arum kembali gugup.
"Ibu, sudah seharian ini aku berusaha untuk terus menghubungimu. Dan setelah aku berhasil mendapat jawaban darimu, kau hanya berdiam seperti itu. Apakah ibu tidak tahu bahwa aku sangat merindukan ibu setiap harinya? Paling tidak, dengan mendengar suaramu bisa sedikit membasuh rasa rinduku padamu." Juwita kembali mengomel.
Bik Arum membekap mulutnya sendiri untuk menahan tangis.
"Ah, i-iya, sayang, maaf. Pekerjaan ibu hari ini cukup melelahkan sehingga membuatku tidak fokus," elak Bik Arum.
Di tengah ocehan sang putri, hatinya bergumam.
"Tenanglah, sayang. Mulai esok hari, kita akan tinggal bersama lagi." Bik Arum bergumam dalam hati sembari mengingat kenyataan bahwa hari ini ia telah dipecat.
"Baiklah, kalau begitu sekarang ibu istirahat! Tidur yang nyenyak. Lagipula, besok aku harus bangun pagi-pagi sekali karena sekolahku mengadakan acara tour ke candi. Aku bersama teman-teman sekelasku akan pergi ke sana," papar Juwita.
"Pergi ke candi? Kenapa kau tidak mengatakan itu sebelumnya pada ibu? Ini sudah larut malam. Ibu tidak bisa mengirim uang untukmu," sahut Bik Arum takjub.
"Lagipula siapa yang meminta uang pada ibu? Aku tidak memerlukannya. Aku hanya meminta izin padamu untuk pergi ke sana," sergah Juwita.
"Lalu, bagaimana kau bisa pergi ke sana? Siapa yang membiayai ongkos dan jajanmu?" desak Bik Arum khawatir.
"Sejak mengetahui bahwa sekolah akan mengadakan tour ke candi. Aku menyisihkan lebih banyak uang jajanku dan lebih giat berjualan donat. Sampai besok aku akan berangkat ke candi, aku sudah memiliki cukup banyak uang di tanganku! Bahkan aku bisa membelikan cinderamata khas candi untuk ibu, jika ibu mau," papar Juwita dengan sumringah.
Seketika air mata Bik Arum pun kembali membuncah. Ia tak mampu menahan kesedihan atas nasib malang sang putri satu-satunya itu. Ia merasa bahwa Juwita terlahir dengan keadaan tidak beruntung. Juwita telah menjadi yatim ketika masih belia, sementara ibunya hanyalah seorang pesuruh di sebuah rumah keluarga pengusaha kaya raya. Nasib yang bagaikan langit dan bumi jika dibandingkan dengan nasib majikan mudanya, yang tak lain adalah Purie. Seorang putri semata wayang sekaligus pewaris tunggal keluarga Seno Perkasa.
"Putriku, maafkan aku, karena kau terlahir dari rahim seorang ibu miskin sepertiku! Hingga kau harus merasakan kesusahan tiada henti dalam hidupmu," isak Bik Arum.
"Ibu? Kau mengatakan apa? Aku tidak kesusahan. Aku senang melakukannya! Lagipula, aku justeru merasa bersyukur karena lahir dari rahim seorang ibu yang hebat sepertimu. Jangan berkata seperti itu lagi, ya!" protes Juwita.
Percakapan antara seorang ibu dan putrinya itu cukup mengiris batin Tuan Seno Perkasa. Entah sejak kapan tepatnya ia berdiri di sana. Di balik pintu kamar Bik Arum. Yang jelas, apa yang telah ia dengar dari balik pintu tersebut cukup membuat kedua bola matanya berkaca-kaca.
***