Jam pelajaran kedua baru saja berakhir. Bel yang berbunyi menandakan waktu istirahat. Satu-persatu murid pun mulai berangsur ke luar kelas untuk segera menuju kantin.
"Ayo kita pergi ke kantin!" ajak Rei cukup bersemangat. Dua mata pelajaran yang telah dilewati membuatnya cukup lelah sehingga perutnya terasa kosong.
"Ayo," imbuh Liz seraya bangkit berdiri dari tempat duduknya.
Sementara Purie masih saja tampak lesu dan tak bersemangat. Bukan karena sama laparnya seperti Rei, namun lebih karena Purie belum bisa memperbaiki suasana hatinya.
"Purie, ayo kita ke kantin!" ulang Rei pelan.
Purie menggelengkan kepalanya.
"Tidak, kalian saja. Aku sedang tidak berselera untuk makan." Purie menampakkan senyuman kecil di akhir kalimatnya.
Mendengar hal itu, Liz yang sudah dalam posisi berdiri pun akhirnya duduk kembali seperti semula.
"Kenapa? Apa kau masih merasa sedih karena hal tadi?" cecar Liz penasaran sekaligus tak enak hati.
Purie dengan cepat menggelengkan kepalanya kembali.
"Bukan begitu, aku memang sedang tidak berselera untuk makan saat ini," jelas Purie.
Liz menjatuhkan bahunya sembari membuang napasnya.
"Baiklah, kalau seperti itu akupun jadi ikut tak berselera," imbuh Liz.
"Apa yang kau katakan barusan? Kau pikir aku tidak mendengar bunyi perutmu yang keroncongan, bahkan saat jam pelajaran kedua baru saja dimulai? Sudahlah, cepat pergi ke kantin! Aku hanya sedang ingin menyendiri, bukan ingin dikasihani!" bantah Purie ketus, ia tidak ingin kalau sampai kedua sahabatnya itu membatalkan niat pergi ke kantin hanya karena dirinya.
"Purie, apa kau benar-benar tidak ingin pergi ke kantin bersama kami?" cetus Rei menegaskan sekali lagi.
"Ya, aku sedang tidak ingin kemana-mana. Jadi, segeralah pergi ke kantin, sana!" sahut Purie.
"Hei, bidadari hatiku!" sergah Leon yang secara tiba-tiba menghampiri meja Purie.
Sontak Purie, Liz maupun Rei memasang raut kesal. Laki-laki itu memang benar-benar menjengkelkan. Ia selalu saja mencuri kesempatan untuk dapat mengambil hati Purie.
"Kalian berdua ingin pergi ke kantin, bukan? Pergilah, biar aku saja yang menemani nona Purie di sini," sambung Leon seraya menatap Liz dan Rei.
"Siapa bilang aku bersedia?" sahut Purie ketus.
"Oh, Nona Purie. Sampai kapankah kau terus bersikap dingin seperti itu padaku? Tidakkah kau melihat ketulusan hatiku padamu selama ini?" tandas Leon.
"Sampai kau lenyap dari bumi ini!" sentak Purie sinis.
Liz dan Rei pun menertawakan nasib Leon yang terus-menerus diabaikan oleh Purie.
"Leon, mari kita bertanding basket di lapangan, sekarang!" ajak salah seorang teman yang baru saja menghampirinya.
Leon menghela napasnya, seolah ajakan itu tidaklah tepat waktunya. Sebab, bagi Leon, Purie dan basket merupakan kecintaannya.
"Hhh, kalau begitu, Purie, pergilah ke lapangan basket bersamaku! Aku akan seribu persen lebih semangat bila ada dirimu di sana," bujuk Leon dengan lembut.
"Jangan berharap!" sergah Purie ketus.
Wajah Leon pun hanya dapat memelas mendengar penolakan Purie.
"Ayo, cepat!" kawan Leon itupun menyeret Leon untuk segera pergi ke lapangan basket bersamanya.
"Dasar pecundang!" maki Rei ketika Leon berlalu pergi.
"Purie kau tetap tidak ingin pergi ke kantin? Kau benar-benar tidak sedang marah padaku, kan?" pungkas Liz memastikan.
"Aku akan marah pada kalian berdua kalau tidak cepat-cepat pergi! Sudah, sana pergi ke kantin! Kasihanilah cacing-cacing di perut kalian yang sudah meronta-ronta kelaparan itu!" ujar Purie.
"Baiklah, kalau begitu aku dan Rei akan pergi ke kantin. Kalau ada sesuatu yang ingin kau sampaikan, telepon kami saja, ya." Liz menyarankan.
Purie menganggukkan kepalanya.
"Baiklah,"sahut Purie.
"Selesai dari kantin, aku akan bawakan roti isi daging dan juga susu kedelai kesukaanmu. Aku tidak akan membiarkanmu kelaparan sampai jam pulang sekolah tiba!" papar Liz sedikit khawatir.
"Ya, terserah padamu saja." Purie tersenyum kecil.
Liz dan Rei pun segera berlalu dari hadapan Purie.
Purie tetap duduk di tempatnya, sementara kawan sekelasnya satu-persatu pergi hingga tersisa dirinya seorang diri. Untung saja, laki-laki yang menjengkelkan bernama Leon juga tidak ada di kelas saat ini. Leon diajak oleh teman-temannya untuk bermain basket. Kalau saja mahkluk menyebalkan itu ada di dalam kelas bersama Purie, sudah pasti Purie tidak dapat menenangkan diri.
"Seperti biasa, menyendiri adalah obat terbaik bagiku!" imbuh Purie pelan.
Sebuah senyuman kecil pun nampak dari bibirnya yang mungil dan berwarna pink cerah. Pandangan kedua bola mata indahnya mengitari seisi kelas. Tak ia dapatkan keberadaan seorang pun di sana, kecuali dirinya sendiri.
"Sunyi adalah ritual terbaik bagiku, untuk menghadirkan sosok dirimu." Purie bergumam pelan diiringi senyuman.
Kedua tangan Purie pun mulai meraih tas punggung miliknya. Wajahnya tampak sedikit sumringah ketika sedang mencari-cari sesuatu di dalam tasnya.
"Dalam keadaan terburukku, hanya kau yang selalu berhasil memperbaikinya kembali. Jadi, aku hanya perlu membawamu kapan saja dan di mana saja!" gumam Purie lagi.
Namun, wajah cantik yang tadinya tampak cukup sumringah itu, kini berganti menjadi wajah yang muram. Purie mengernyitkan kedua alisnya, kedua tangannya yang belum juga menemukan sebuah benda berharga yang sedang dicarinya itu kini bergerak lebih cepat dan kasar.
"Di mana? Di mana dia? Di mana buku berhargaku itu? Kenapa tidak ada di dalam tasku!" oceh Purie cukup panik.
Amarah Purie pun kian terpancing, ketika ia tidak juga menemukan sebuah buku yang amat berharga baginya. Buku yang menjadi obat penenang dan selalu ia bawa ke manapun dan kapanpun. Hingga akhirnya Purie pun bangkit berdiri dari duduknya seraya mengangkat tas punggung miliknya itu. Dengan kesal Purie mengoyak-koyak dan menjatuhkan seluruh isi tasnya ke lantai. Namun nihil, dari semua benda yang Purie saksikan jatuh berserakan di dekat sepatunya itu. Tidak menunjukkan keberadaan buku kesayangannya tersebut.
Purie membuang napasnya berat, raut wajah yang tadinya sudah cukup ceria, kini dibuat muram kembali karena ia tidak juga mendapati benda berharga yang ia cari. Sebuah benda yang ia andalkan dapat mengobati suasana hatinya.
"Benar-benar tidak ada dalam tasku! Wanita tua itu!" kutuk Purie dengan sorot kedua bola mata yang tajam.
Jemari kedua tangan Purie pun mengepal dengan cukup keras. Ia terbayang akan sosok pelayan pribadinya yang ceroboh dan pelupa tersebut. Purie sangat tidak menyukainya. Terlebih, saat kelalaiannya kembali terulang untuk yang ke sekian kalinya.
Purie menjatuhkan kedua lututnya. Wajahnya menjadi datar kembali. Ia merasa bahwa hari ini nasibnya sial sekali. Hatinya berturut-turut dilanda kesedihan dan kekesalan. Hingga Purie tak sadar bahwa kedua bola matanya saat ini mulai berair.
"Wanita tua yang menyebalkan, tamatlah riwayat kau hari ini juga!" kutuk Purie lagi.
Cairan bening pun mulai menetes dari pelupuk matanya. Ia merasa sedih sekaligus kesal karena tidak menemukan buku kesayangan yang ia harapkan dapat mengobati suasana hatinya saat ini. Justeru sebaliknya, suasana hati Purie kini menjadi semakin parah hanya karena kelalaian pelayan pribadinya, yang tak lain adalah Bik Arum.
***