Wajah para pelayan yang berbaris rapi di ruang tengah itu tampak begitu cemas. Mereka berjumlah sepuluh orang yang terdiri dari tujuh orang perempuan dan tiga orang lainnya adalah laki-laki. Mereka memiliki posisi berbeda-beda di dalam rumah ini, diantaranya: empat orang ART (Assisten Rumah Tangga) yang bertanggung jawab atas kebersihan dan kerapian rumah, satu orang khusus untuk koki atau tukang masak di dapur, satu orang khusus bertugas menjadi pelayan pribadi Nyonya muda yang tak lain adalah Purie. Sementara tiga orang lainnya yang merupakan pekerja laki-laki menempati posisi sebagai tukang kebun, security dan tetakhir adalah sopir pribadi Purie.
Bukan tanpa alasan, mengapa mereka bersepuluh dikumpulkan di ruang tengah seperti sekarang ini. Persis seperti apa yang tengah mereka pikirkan dan mereka cemaskan, sudah pasti ada masalah besar yang menyebabkan kemarahan Nyonya muda di rumah ini, yang tak lain adalah Purie.
Putri semata wayang sekaligus pewaris tunggal keluarga Seno Perkasa yang kerap dijuluki bayi besar atau "Giant Baby" tersebut, bukan kali pertama mengumpulkan para pekerjanya di rumah ini. Jangankan masalah besar, hal sekecil apapun yang mengusik hatinya sudah pasti akan memicu kemarahannya hingga kemudian ia luapkan kepada para pekerjanya yang lemah tak berdaya itu.
"Apa kalian semua tahu, hal apa yang menyebabkan aku mengumpulkan kalian semua di sini?" ujar Purie dengan suara lantang.
Seketika sepuluh orang pekerja itu kian menundukkan kepalanya. Meski mereka belum mengetahui pasti hal yang menyebabkan majikan mudanya marah besar itu, namun mereka sudah terbayang-bayang akan ancaman pemecatan.
"Ti-tidak, Non."
Para pekerja itu menjawab secara bersamaan dan dengan suara pelan. Sementara Purie memerhatikan wajah mereka satu-persatu dengan raut ketus.
"Tidak tahu?" cetus Purie lebih pelan daripada sebelumnya.
Para pekerja itupun mengangguk ketakutan. Meski usia Purie jauh lebih muda daripada mereka, namun bagi mereka Purie seperti ular kecil yang berbisa. Satu kata yang keluar dari mulutnya bagaikan mantra, yang selalu saja dikabulkan oleh Tuan besar mereka, Tuan Seno Perkasa, yang tak lain merupakan ayah kandung Purie. Apa saja yang Purie minta selalu saja dituruti oleh Tuan Seno, semata-mata karena ia begitu menyayangi putri tunggalnya tersebut. Terlebih Tuan Seno merasa iba pada putrinya tersebut karena telah kehilangan kasih sayang seorang ibu untuk selama-lamanya.
"Kalau begitu, biar aku beri tahu sekarang!" sambung Purie dengan wajah sangar.
Purie melangkahkan kaki untuk mendekat pada salah seorang pekerja yang bertugas sebagai pelayan pribadinya, orang itu tidak lain adalah Bik Arum. Degup jantung Bik Arum pun kian berguncang ketika harum aroma parfum majikan mudanya itu tercium semakin tajam di hidungnya.
"Kau," gumam Purie pelan namun mematikan.
Bik Arum perlahan mengangkat wajahnya dan kemudian memberanikan diri untuk menatap wajah Purie. Wajah cantik Nona muda itu kini tampak begitu menakutkan, tidak terukir sedikitpun senyuman, yang ada hanyalah raut mengancam tanpa ampunan.
"I-iya, Non." Bik Arum menjawab dengan gugup.
"Apa kau tidak juga menyadari bahwa kaulah penyebab kemarahanku hari ini?" cetus Purie pelan namun menusuk.
Seketika ke sembilan pekerja lainnya pun ikut menyoroti wajah Bik Arum yang diliputi kecemasan.
"Sa-saya, Non? Apakah saya sudah membuat kesalahan?" tanya balik Bik Arum dengan kebingungan.
"Bukankah aku yang seharusnya bertanya padamu? Mengapa kau selalu lalai dalam mengerjakan tugasmu?" sergah Purie.
"Ma-maaf Non sebelumnya. Tetapi kesalahan apa yang sudah saya perbuat hari ini? Seingat saya, saya sudah mengerjakannya dengan sebaik mungkin," imbuh Bik Arum percaya diri.
Purie terbahak dengan begitu sinis. Persis seperti tokoh ratu jahat dalam sebuah cerita fantasi.
"Melihat kau sepercaya diri itu rasanya sangat lucu. Kau tidak juga menyadari kesalahan yang mengakibatkan kemarahanku hari ini! Lalu kau pikir, aku memanggil kalian semua saat ini hanya untuk bergurau?" sentak Purie kesal.
"Sekali lagi, mohon maafkan saya, Non. Sekiranya Non bersedia menjelaskan di mana letak kesalahan saya. Saya akan berusaha memperbaikinya...,"
"Memperbaiki? Memangnya, kau yakin aku akan memberimu kesempatan lagi?" potong Purie.
Seketika suasana menjadi semakin hening. Perkataan Purie barusan sudah cukup menjelaskan bahwa posisi Bik Arum saat ini benar-benar sedang dalam ancaman besar. Ke sembilan orang pekerja lainnya tersebut sudah sangat hafal, bagaimana Purie telah beberapa kali mencoba untuk menyingkirkan posisi Bik Arum di rumah ini. Meski pada akhirnya, hal itu tidak terjadi karena Tuan Seno menghalanginya, ia berusaha untuk memberikan pemahaman pada Purie hingga akhirnya Purie bersedia memberikan kesempatan untuk Bik Arum, lagi dan lagi. Namun kali ini, sepertinya Purie tidak akan berbelas kasih sedikitpun lagi.
"Ma-maafkan saya, Non." Hanya itu yang dapat dikatakan oleh Bik Arun.
"Tolong jelaskan, apa kesalahan saya, Non." Bik Arum melanjutkan.
Purie yang masih mengenakan seragam sekolahnya dengan lengkap itu kemudian melepaskan tas dari punggungnya. Purie tidak langsung memberikannya pada Bik Arum, melainkan mengayunkannya terlebih dahulu sebelum akhirnya menjatuhkan tas tersebut ke lantai.
"Kalau tadi kau mengatakan bahwa telah mengerjakan tugasmu dengan baik. Lalu di mana kau letakkan buku kesayanganku itu? Bukankah sejak pagi aku sudah ingatkan padamu, jangan sampai ada satu barangpun yang tertinggal? Lalu, kenapa di sekolah aku tidak menemukan buku itu? Bukankah kau tahu itu adalah benda keramat yang harus selalu aku bawa ke manapun dan kapanpun? Kau tahu bagaimana kacaunya perasaanku hari ini di sekolah dan aku sangat membutuhkan buku itu untuk menghibur hatiku. Tetapi hatiku justeru bertambah kacau karena tidak menemukannya di dalam tasku. Sempurnalah kesedihanku hari ini. Apa kau puas?" papar Purie dengan suara lantang bercampur isak tangis, ia tidak mampu menahan air matanya kali ini.
Bik Arum tampak ikut bersedih menyaksikan majikan mudanya itu bersedih karenanya. Bagaimanapun angkuhnya sosok Purie, ia tetap merasa bersalah ketika melihatnya menangis. Bik Arum perlahan menurunkan lututnya hingga menyentuh lantai. Ia bersimpuh di hadapan Purie dengan wajah yang sudah memerah dan basah karena air mata. Sementara ke sembilan orang lainnya hanya bisa berdiri mematung menyaksikan peristiwa dramatis antara seorang majikan dengan pelayannya tersebut.
"Sa-saya, saya bahkan malu untuk mengatakan maaf lagi. Sudah begitu banyak kata maaf yang saya ucapkan kepada Non selama ini. Sa-saya, saya sama sekali tidak berniat untuk membuat Non bersedih seperti ini. Seingat saya, saya sudah menyiapkannya. Ma-maafkan saya jika pada kenyataannya benda itu tidak terbawa, Non." Bik Arum meraih tas di dekat kaki majikan mudanya tersebut seraya berlutut di hadapannya.
"Aku, sudah muak mendengar permintaan maaf darimu, Nyonya tua! Aku sudah tidak bersedia lagi diasuh oleh wanita tua yang pelupa seperti dirimu! Sudah saatnya kau beristirahat di rumahmu! Mulai esok pagi, aku tidak ingin melihat wajahmu lagi." Purie menutup kalimatnya dengan tatapan tajam, setelah akhirnya ia angkat kaki dari hadapan pelayan pribadinya tersebut.
"Non, Non, maafkan saya, Non!" erang Bik Arum berderai air mata.
Purie tidak lagi menghiraukannya. Ia justeru mempercepat langkah kakinya menaiki tangga untuk bergegas ke kamarnya.
Sepeninggalnya Purie, ke sembilan orang pekerja lainnya yang merupakan teman seperjuangan Bik Arum selama bekerja di rumah Tuan Seno Perkasa itu, mulai memberanikan diri untuk mendekat pada Bik Arum. Mereka mencoba untuk menguatkan Bik Arum, merangkul dan membantu Bik Arum untuk bangkit berdiri. Meski pada kenyataannya mereka sudah cukup pesimis bahwa Bik Arum masih dapat bertahan menjadi pelayan di dalam istana tersebut.
***