Sinar mentari tampak telah terbit, kendati wajah mungil nan menggemaskan itu masih tenggelam di balik selimut hangat berwarna pink cerah. Ia membuka lapisan selimut yang sebelumnya menutupi wajahnya nan cantik jelita itu. Bukan untuk bergegas bangkit, namun untuk sekedar mengulat dan berganti posisi.
Layaknya seorang bayi yang tengah lelap dalam tidurnya, ia tak acuh pada suara-suara yang terdengar nyaring menyebut-nyebut namanya. Baginya, kenikmatan tidur saat ini lebih penting daripada masa depannya, yang tak lain adalah sekolah. Lagipula, ia tidak akan kehabisan harta benda sekalipun ia hanya menghabiskan waktunya di dalam kamar.
"Non Purie, bangun, Non! Ini sudah jam tujuh pagi, nanti Non terlambat datang ke sekolah!"
Bik Arum berucap cukup lantang dari luar kamar, setelah sebelumnya ia mengetuk pintu beberapa kali. Namun nihil, seolah tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalam kamar. Bik Arum pun mengulangi aksinya beberapa kali hingga ia berhasil membangunkan Nyonya mudanya tersebut.
"Non, bangun, Non! Buka pintunya, Non! Ayo mandi dan sarapan!" teriak Bik Arum lagi.
Mendengar suara yang terus-menerus tanpa henti itu, Purie pun merasa cukup terganggu. Hingga akhirnya ia bangkit duduk dari tidurnya dengan raut kesal.
"Berhenti bicara, kepalaku pusing mendengarnya!" protes Purie dengan kedua bola mata yang masih sedikit merekat.
"Buka pintunya, Non! Ayo siap-siap mandi dan sarapan!" desak Bik Arum lagi, kali ini ia tampak lebih optimis karena majikannya itu telah memberi tanggapan.
Krekkk.
Pintu yang sebelumnya terkunci rapat itu akhirnya terbuka lebar dari dalam, menampakkan sesosok gadis bertubuh kurus dan tinggi semampai, dengan rambut panjang, hitam dan sedikit bergelombang, di ambang pintu kamar. Ia tampak begitu cantik meski dalam keadaan baru terbangun dari tidurnya dan tanpa riasan sedikitpun.
"Nah, kalau seperti ini kan, Bibi jadi tenang. Ayo, Non bergegas mandi! Setelah itu turun ke meja makan untuk sarapan. Tuan sudah menunggu sejak tadi," terang Bik Arum seraya merekahkan senyumnya yang ramah dan keibuan.
Purie melenggang pergi dari hadapan Bik Arum tanpa berucap sepatah katapun. Bik Arum pun hanya memaklumi sikapnya dengan sebuah senyuman kecil. Bagi Bik Arum itu bukanlah hal baru, memang seperti itulah sosok majikan mudanya yang cantik jelita itu; cuek dan dingin. Namun Bik Arum paham bahwa hal itu tentu bukanlah tanpa sebab. Purie yang sebelumnya adalah anak yang periang dan hangat. Ia berubah drastis seperti itu semenjak ditinggal oleh sang Mama untuk selama-lamanya.
Purie duduk di tepi tempat tidurnya, kemudian menyodorkan telapak tangannya ke arah Bik Arum. Tanpa waktu lama, Bik Arum pun segera menaruh satu helai handuk berwarna pink di atas telapak tangan halus Purie tersebut. Purie pun bangkit berdiri dan bergegas melangkah ke kamar mandi.
Bik Arum hanya menggeleng-gelengkan kepalanya dengan lamban sembari tersenyum saat memandangi kepergian Purie. Ia tidak pernah ambil hati atas sikap sang majikan mudanya yang cuek dan dingin itu. Bik Arum selalu saja berusaha untuk memahami sikap Purie, bahkan Bik Arum terkadang justeru merasa iba terhadapnya. Ditinggal oleh ibu kandung untuk selama-lamanya di usia yang masih belia, tentu tidaklah mudah bagi Purie. Terlebih, semasa hidupnya, Mama Purie sangat menyayangi dan selalu memanjakan putri semata wayangnya tersebut.
"Ini hari senin, berarti buku-buku mata pelajaran ini yang perlu dibawa Non Purie," decit Bik Arum sembari membaca sebuah jadwal mata pelajaran yang terpampang di dinding kamar Purie.
Ya, selagi Purie di kamar mandi, Bik Arum bergegas menyiapkan segala keperluan Purie. Mulai dari buku-buku pelajaran, seragam sekolah, hingga benda terkecil berupa aksesoris jepit rambut untuk Purie. Satu rumus yang perlu diingat baik-baik oleh Bik Arum, adalah bahwa Purie harus mengenakan barang apapun dengan warna senada. Purie merupakan sosok yang perfectionis, ia sangat tidak menyukai penampilan yang abstrak. Oleh karena itu, Bik Arum mengambil satu persatu barang perlengkapan sekolah Purie dengan warna yang sama. Mulai dari kaos kaki, jam tangan hingga jepit rambut kali ini Bik Arum pilihkan yang berwarna putih.
Beberapa hari lagi, Purie akan tepat menginjak usia tujuh belas tahun. Usia di mana seseorang dikatakan telah beranjak dewasa dan meninggalkan masa-masa remaja. Namun jauh berbeda dengan Purie, yang hingga kini masih saja berperilaku layaknya seorang bayi. Bagaimana tidak, mulai dari bangun pagi hingga akan tidur kembali, Purie terus-menerus dilayani. Segala sesuatu yang dibutuhkan Purie akan dipenuhi oleh Bik Arum dan juga beberapa ART (Asisten Rumah Tangga) lainnya di rumah ini. Hal sekecil apapun yang Purie lakukan, selalu membutuhkan pertolongan. Seperti memotong kuku, menyisir rambut, memakai baju, sepatu, hingga makan pun tak jarang masih disuapi. Tak salah jika ia mendapat julukan bayi besar (Giant Baby).
Seno Perkasa, yang tak lain adalah ayah kandung Purie, tidak pernah mempermasalahkan sikap putri semata wayangnya yang manja dan kekanak-kanakan tersebut. Tuan Seno menganggap bahwa sangatlah wajar bagi Purie bersikap demikian. Sebab, Purie terbilang sangat cepat kehilangan sosok ibu kandung kesayangannya untuk selama-lamanya. Orang yang telah merawat dan menyayangi Purie dengan begitu baik telah mendahuluinya ketika Purie masih belia. Seno merasa bahwa Purie berperilaku seperti itu karena merindukan pengasuhan dari sang Mama tercinta. Oleh karena itu, Tuan Seno menyediakan tenaga kerja khusus untuk melayani segala keperluan Purie. Sebab, biar bagaimanapun Seno adalah kepala keluarga yang bertanggung jawab menghidupi keluarganya. Ia telah begitu sibuk menjalankan perusahaan, sehingga tidak bisa selalu ada di sisi putrinya layaknya mendiang sang istri.
Tuan Seno telah mempekerjakan sekitar sepuluh orang tenaga kerja di rumahnya dengan tugas yang berbeda-beda. Khusus untuk mengurus dan melayani Purie, putri semata wayang kesayangannya itu, Tuan Seno memilih Bik Arum. Sebab, Tuan Seno melihat bahwa Bik Arum memiliki sifat yang dibutuhkan dalam merawat dan mendampingi Purie. Bik Arum merupakan orang yang penyabar, penyayang, telaten dan keibuan. Kendati tidak akan pernah ada yang bisa menggantikan sosok sang Mama, paling tidak Purie tetap menerima perhatian dan kasih sayang layaknya seorang ibu.
"Di mana seragam sekolahku?" cetus Purie saat baru saja keluar dari kamar mandi.
Bik Arum bergegas membawakan seragam sekolah lengkap untuk Purie yang masih dibalut handuk tebal berwarna putih.
"Ini, Non!"
"Balikkan badanmu!" pinta Purie.
Bik Arum mengangguk satu kali kemudian berbalik membelakangi Purie. Ia sudah sangat hafal bagaimana ketika Nyonya mudanya itu hendak mengenakan pakaian.
Selang beberapa menit, tubuh tinggi nan putih bersih yang sebelumnya hanya terbalut sehelai handuk tersebut, kini telah mengenakan atasan kemeja putih lengan panjang dan bawahan rok selutut motif garis-garis berwarna biru. Dengan cepat Purie melenggang ke arah meja riasnya, dan duduk sembari menatap lurus bayangan wajah cantik pada cermin di depannya.
Bik Arum tersenyum kecil memandangi Purie berjalan melewatinya. Setelah itu Bik Arum pun menghampiri gadis cantik yang tengah duduk di kursi rias tersebut. Seketika bunyi pengering rambut pun terdengar cukup kencang, dengan telaten dan sangat hati-hati, Bik Arum mulai mengeringkan rambut sang majikan muda yang panjang dan hitam tergerai itu. Bik Arum telah bekerja cukup lama di rumah ini, ia pun sudah begitu hafal dengan step by step dalam mengurus bayi besar di hadapannya ini.
Sementara Bik Arum melayaninya dengan cukup telaten, Purie mengisi waktunya dengan bermain ponsel. Pemandangan yang sama persis ketika seseorang melakukan perawatan di sebuah salon kecantikan. Setelah cukup kering, Bik Arum mulai menyisir lembut rambut Purie. Rambut yang tampak begitu indah terawat, dengan panjang sepinggang, hitam dan harum semerbak. Ya, memang setiap jengkal tubuh Purie selalu mendapat perawatan yang baik. Hingga membuatnya selalu tampil cantik dan mempesona di segala situasi.
"Ctekkk."
Bik Arum memasangkan dua buah jepit rambut berwarna putih berbentuk pita di sisi kanan dan kiri rambut Purie. Setelah selesai, Bik Arum meraih sebuah dasi pita di atas meja kemudian memasangkannya pada kerah kemeja Purie. Lalu, Bik Arum bergegas menurunkan posisi tubuhnya dan berjongkok, untuk memasangkan kaos kaki beserta sepatu pada kedua kaki jenjang nan mulus milik majikannya tersebut.
Terakhir, Bik Arum akan memakaikan sebuah jas almamater sekolah yang berwarna biru senada dengan roknya. Purie bangkit berdiri dari kursi rias singgasananya, diikuti oleh Bik Arum yang baru saja selesai memakaikannya sepatu. Purie merentangkan kedua tangannya agar Bik Arum dapat dengan mudah memakaikannya almamater tersebut.
Kini Bik Arum berdiri sejajar dan menghadap Purie. Tubuh Purie yang tinggi semampai memperlihatkan dengan jelas perbedaan tinggi badannya dengan sang pelayannya tersebut. Tinggi badan Bik Arum hanyalah sebatas dada Purie. Satu-persatu kancing jas almamater sekolah Purie tersebut mulai Bik Arum kaitkan dengan perlahan. Senyumnya tidak juga memudar, kedua bola matanya kini tampak mulai berkaca-kaca. Betapa Bik Arum merasa seolah ia sedang mengurusi anak kandungnya sendiri.
"Sudah selesai. Sekarang Non bisa turun ke bawah untuk sarapan!" ucap Bik Arum sedikit getir.
Purie memalingkan wajahnya ke arah cermin tanpa menghiraukan ucapan Bik Arum. Ia tengah mengoreksi penampilannya kali ini, jika ia menemukan kekurangan sekecil apapun, ia akan komplain langsung pada Bik Arum.
Purie tersenyum sinis di hadapan cermin. Hatinya bergumam, "Aku cantik karena memang akan selalu cantik dalam keadaan apapun! Bukan karenamu."
Purie membalikkan badannya dan melenggang pergi dari hadapan Bik Arum.
"Bawakan tasku dan pastikan TIDAK ada satupun barang keperluanku yang tertinggal!" teriak Purie sambil menekankan kata tidak.
Bik Arum menganggukkan kepala sembari tersenyum getir dan menahan bulir air di pelupuk matanya.
"Siap, Non!" sahut Bik Arum seraya meraih tas sekolah Purie yang telah disiapkannya tadi, kemudian pergi menyusul langkahnya.
***