Chereads / Bukan Stasiun Terakhir / Chapter 16 - Kue Lumpur

Chapter 16 - Kue Lumpur

Pagi ini Aluna begitu bersemangat, senyumnya yang terbit pantang surut sejak ia bangun hingga kini berpamitan kepada Ibu dan Nininya untuk berangkat ke sekolah.

"Bekal kamu kak!" Seru Mama mengingatkan Aluna yang sudah berjalan menuju sepedanya.

"Oh iya, lupa."

Aluna melangkah berbalik, mengambil kotak bekal yang setiap hari disiapkan ibunya untuk dibawa ke sekolah.

"Masih pagi, jangan buru-buru." Pesan Ibunya lagi.

"Siap Maa, Assalamu'alaikum."

Aluna mulai mengayuh sepedanya dengan riang, bersenandung kecil seperti biasa menemani angin yang semilir berhembus membersamai perjalanannya menuju sekolah pagi ini.

Alvian terlihat menunggu di atas sepedanya, tepat di persimpangan jalan seperti hari-hari biasa.

"Ayuuuk!" Tanpa turun dari sepedanya, Aluna mengajak Alvian untuk mengikutinya. Mengayuh sepeda mereka secara beriringan.

Alvian masih tertegun beberapa waku, saat melihat Aluna melewatinya sembari mengajaknya untuk mengikutinya. Padahal semalam Luna masih terlihat marah dan meninggalkannya sendiri. Hingga detik berikutnya tak urung dirinya mengikuti Luna yang sudah berada cukup jauh dari tempatnya.

Samar-samar alunan suara Luna yang sudah lama Alvian rindukan menyapa indera pendengarannya. Sebuah lagu cinta ceria, yang sangat sering Luna perdengarkan sejak mereka berangkat sekolah bersama-sama.

Awalnya Alvian tidak begitu menyukai lirik lagu yang yang dinyanyikan Aluna, namun seiring kebersamaan mereka dan seringnya Luna menyanyikannya, Alvian justru menjadi hapal, dan kini lagu itu masuk ke dalam daftar playlist favoritnya bila ia merindukan Aluna seperti kemarin.

"Lagi bahagia ya?" Tanya Alvian yang tak mampu lagi menyembunyikan rasa ingin tahunya melihat Luna yang terus tersenyum dan berdendang seolah dunia ini miliknya seorang hari ini.

Aluna menoleh ke arah Alvian yang mengayuh sepeda beriringan disampingnya, senyumnya masih belum pudar menyertai anggukan yang menjadi jawaban sekilas atas pertanyaan yang Alvian ajukan.

Keduanya kembali mengayuh sepeda hingga tanpa terasa mereka tiba di stasiun kereta api, menantikan kedatangan kereta yang akan mengantarkan mereka ke sekolah.

*****

Bel istirahatpun akhirnya berbunyi nyaring, menggema mengedar ke seluuh penjuru kelas yang ada di sekolah "Harapan Bangsa", tempat Aluna, Alvian dan Komodo Squad menuntut ilmu.

Seperti biasanya Luna tetap berada di kelas sementara teman-temannya sibuk hilir mudik menuju kantin atau jajan di luar pagar sekolah. Luna sibuk dengan buku bacaannya tentang dunia photography dan kue-kue basah yang selalu dibawakan ibunya sebagai snack, agar Luna tidak selalu jajan sembarang.

Aluna terlihat sangat serius hingga kedatangan Alvian pun tak mampu membuatnya berpaling hanya untuk sekedar meliriknya.

Alvian mengambil tempat duduk tepat dialsebelahnya, memperhatikan wajah Aluna yang terlihat lebih menawan dengan sinaran matahari yang dengan sombongnya menyelinap masuk melalui jendela-jendela kelas.

"Ehm."

Alvian mencoba berdeham, agar Aluna terusik dan menyadari kehadirannya yang kini sudah sangat dekat. Usaha pertama yang gagal, Aluna tidak sedikitpun terpengaruh dengan kode yang Alvian lakukan.

Kembali mencari ide untuk membuat Aluna meliriknya, Alvian kini mengalihkan pandanganya pada kotak bekal diatas meja Aluna yang terbuka, memperlihatkan beberapa kue basah yang sungguh mampu membuat Alvian menelan saliva.

Tiga buah kue lumpur, satu potong kue lapis pelangi, dua buah kue lemper. Alvian tahu Aluna sering sekali membawa kotak bekal makanan seperti ini, tapi baru pertama kali Alvian tahu ternyata isinya kue-kie basah seperti sekarang, bukan nasi dan lauk pauknya.

"Gosah ngences si kotak bekal aku, kalau mau ambil aja, tapi jangan habisin kue lumpurku."

Suara Aluna berhasil membuyarkan lamunan Alvian tentang isi kotak bekal makanan itu.

Alvian kembali memandang Aluna yang masih belum memalingkan matanya dari buku yang dibaca. Sebuah senyum tipis berhasil terbit dari bibir tebal itu.

Tangannya terangsur mengambil sebuah kue lumpur milik Aluna yang memang sedari tadi menjadi pusat perhatiannya, terlihat paling aneh, namun juga menggoda. Sensasi rasa manisnya yang pas di lidah Alvian, juga taburan keju gurih di atas adonan lembut itu itu, sungguh memanjakan lidah Alvian yang terasa tak ingin menyudahinya. Niat awal untuk menggoda Aluna buyar sudah terganti dengan godaan kue lumour yang berhasi masuk memanjakan indera pengecapnya. Satu buah kue lumpur rasanya tak cukup membasuh lidahnya yang kini benar-benar menginginkannya lagi.

Alvian nyaris menghabiskan kue-kue jatah cemilan Aluna hari ini, bila saja suara gebrakan meja yang dilakukan Ridho berhasil membuyarkan fokus Aluna pada buku di depan matanya itu.

Aluna menengadah, mengalihkan pandangannya pada anak laki-laki bertubuh tambun itu, yang tak lain adalah sahabatnya, Ridho.

"Apa sih datang-datang ngegebrak meja Dho?"

"Masih siang, jangan pacaran di kelas." Goda Dinda sembari berlalu meninggalkan meja Aluna sembari menarik Ridho untuk ikut berlalu bersamanya.

"Siapa juga yang pacaran?." Gumam Aluna, melerakkan bukunya di meja, dan beralih mengambil kue yang ada di kotak bekalnya.

"Viaaaaaaaaannnn."

Suara Aluna membahana ke seluruh ruangan kelas, membuat semua mata siswa yang ada dikelas tersebut beralih pandang ke arah sepasang siswa yang duduk di deret bangku belakang itu.

Spontan Vian menutup kedua telinganya. Jaraknya dan Aluna begitu dekat sehingga gendang telinga Alvian cukup terganggu dengan suara keras, kencang, dan padu milik Aluna yang mewakili kekesalannya.

"Kok dihabisin hah?" protes Aluna dengan galak.

"Kan masih ada?" Alvian menjawab dengan santai

"Sebiji doang di sisain?" keluh Aluna lagi.

"Katanya tadi boleh, asal gak dihabisin kue lumpurnya." Masih berusaha berkilah, Alvian kembali mengingatkan ucapan yang Aluna sebelumnya

Dengan sisa kekesalannya, Aluna mulai mengunyah satu-satunya bekal yang tersisa.

"Untung sayang."

Bisik Aluna namun masih bisa di dengar Alvian dengan jelas. Menerbitkan sebuah senyum hangat yang menawan, membuat kekesalan Aluna menguap bersama nafas yang terhembus sembari memandangi senyum dari pemilik hatinya. "Nanti kita makan siang bareng ya, pulang sekolah. Gantiin kue kamu." Ucap Alvian sembari mengundurkan diri dari bangku sebelah menuju ke posisi duduknya yang sebenarnya, bersamaan dengan bel istirahat yang telah usai dan akan berlanjut ke pelajaran selanjutnya.

*****

Matahari berada tepat diatas kepala, terik, menyapa kulit sepasang siswa sekolah menengah atas yang terlihat berjalan beriringan menuju sebuah tempat yang di sebut cafe.

Heartbeat Cafe, tempat nongkrong anak-anak sekolah yang biasanya tidak langsung pulang entah karena memanfaatkan wifi untuk mengerjakan tugas sekolah atau sekedar berkumpul bersama dengan teman-teman mereka, tak jarang juga menjadi tempat ngedate bagi pasangan-pasangan bau kencur.

"Mau makan apa?" Tanya Alvian membuka pembicaraan sesaat setelah mereka masuk ke

dalam cafe dan mendapatkan tempat duduk.

Aluna masih memindai seluruh penjuru tempat yang baru ia singgahi hari ini. Aluna tak menyangka bahwa di kota kecil seperti ini ada cafe dengan interior sebagus dan semodern ini.

"Hmmm...oh, iya." Aluna gelagapan menjawab pertanyaan Alvian.

Diambilnya daftar menu berbentuk buku yang Alvian serahkan padanya, melihat apa kiranya yang menarik untuk ia icipi sembari melirik ke daftar harga yang tertera.

"Kamu lagi banyak uang, ajak aku kesini?" Tanya Aluna, sebelum akhirnya benar-benar memutuskan makanan apa yang akan ia pesan.

"Ada, gak banyak."

"Aku bayar sendiri aja."

Alvian merubah raut wajahnya yang semula penuh binar kehangatan, menjadi tegas, dingin, seperti pertama kali mereka bertemu, dan itu cukup membuat Aluna bergidik.

"Apa gak bisa ya, kamu mencerna setiap ucapan dan ajakan aku dengan hati?" Ujar Alvian dengan nada serius dan tatapan yang tak main-main.

Aluna tercengang, tak mengerti maksud kata-kata Alvian.

"Maksudnya?"

"Pilih dan makanlah dengan baik, aku yang ajak artinya aku yang bayar." Tegas Alvian.

"Gak gitu Vian, aku tahu kamu. Aku cuma gak mau susahin kamu." Aluna dengan lembut menjelaskan maksudnya.

"Aku berani ajak kamu, berarti aku bisa bayarin kamu Lun."

"Ya, oke. Kali ini aku terima traktiranmu."

Aluna akhirnya mengalah, menghindari perdebatan yang akan semakin memanas, selayaknya udara diluar ruangan cafe yang dilengkapai dengan air conditioner ini.

"Kamu itu kalau diajakin romantis gak bisa ya Lun?" Alvian masih saja memuntahkan kekesalannya.

"Aku minta maaf Vian, maksudnya gak gitu. Ya udah aku pesan nasi goreng seafood sama ice lemon tea ya." Putus Aluna agar mereka dapat segera mengakhiri perdebatan dan beralih menikmati makan siang. Kadang perut kosong juga bisa buat hati dan pikiran panas. Maka makan yang kenyang adalah salah satu obat ampuh untuk emosi jiwa.

Alvian mereda, ikut memilih menu yang akan ia jadikan santapan makan siangnya. Seporsi ayam saus bali dan air mineral menjadi pilihannya.