Hari sudah beranjak sore, langit berhiaskan mega senja indah menaungi dari atas sana. Kayuhan sepeda kedua insan yang masih dengan candu asmaranya itu menambah kehangatan semesta.
"Besok mau kemana?" tanya Alvian dalam iring-iringan mereka menuju jalan pulang.
"Belum tahu, gak ada jadwal photo sih. Kan masih bulan Muharram juga." balas Aluna.
Di desa mereka, bulan Muharram merupakan sebuah bulan yang tidak boleh digunakan untuk melangsungkan sebuah pesta pernikahan, pamali. Panas kalau kata orang tua.
"Ke stasiun terakhir yuuk." ajak Alvian lagi.
Aluna mengangguk dengan semangat tanpa berpikir panjang. Stasiun terakhir merupakan destinasi yang paling Aluna sukai untuk sekedar melepas penat dan lelah.
"Besok aku jemput kamu jam 8 ya, biar gak terlalu panas."
"Oke, siip..."
*****
Aluna bangun sejak pagi, selesai salat shubuh, Aluna tidak tidur lagi seperti yang biasa ia lakukan bila hari libur seperti hari ini.
Aluna menyiapkan bekal yang akan dibawanya seperti rencananya dengan Alvian kemarin yang akan ke stasiun terakhir hari ini.
Nasi goreng seafood kesukaannya, beberapa tangkup sandwich isi daging ayam, jus jeruk, dan teh hangat. Itulah rencana bekal yang sejak tadi malam sudah direncanakan Aluna untuk ia siapkan.
Dengan riang gembira sejak pagi Aluna bersenandung, bersemangat mengolah bahan-bahan yang di temuinya dalam lemari es dua pintu milik sang nenek.
"Anak gadis Mama rajin banget ini pagi-pagi bangun buat sarapan untuk kita-kita." puji sang ibu sembari membelai lembut surai rambut hitam kemilau milik Aluna.
Aluna tersenyum sangat manis mendengar pujian sang Ibu, "hehe...bukan hanya untuk Mama, Uti, dan Arsen, tapi juga Alvian." balas Aluna riang.
Sang ibu mengerutkan dahi, "Alvian?".
Aluna menganggukkan kepalanya, sembari menatap sang Ibu yang juga memandangnya. "Temen dekat Luna, Ma."
"Pacar?"
Sekali lagi Aluna mengangguk membalas pertanyannya sang Ibu dengan senyum sumringah yang tak pudar.
"Andre?" tanya sang Ibu
Kali ini Aluna yang dibuat mengerutkan dahi atas pertanyaan sang Ibu. Seolah paham dengan tatapan sang putri, Ibu kembali menjelaskan. "Mama pikir, selama ini kamu sama Andre punya hubungan khusus?".
"Haisss....si Mama, ngaco!" seru Aluna
"Kalian kan deket banget kelihatannya."
"Aluna udah anggep Andre kayak saudara Ma."
"Mama juga, udah anggap Andre anak Mama sendiri." tegas Mama. "Mama kenal Andre, dia anak yang baik, sopan. Mama suka!".
"Tapi Aluna gak bisa sayang Andre, lebih dari sayang seorang saudara, sahabat."
Sang ibu menarik napasnya panjang dan setelahnya dikeluarkan perlahan, tanpa membantah penjelasan Aluna.
"Toh ini hanya cinta monyet kan?" ujar sang Ibu dalam hati. "Masak yang enak ya." pesan sang ibu akhirnya sembari berlalu dari dapur tempat dimana Aluna akan mengeksekusi masakannya.
Aluna hanya tersenyum mendengar titah sang ibu, sembari melanjutkan kegiatannya menyiapkan makanan tersebut.
*****
Pukul delapan kurang sepuluh menit, Alvian sudah menanti kehadiran Aluna dihalaman rumah Utinya.
Adriana, ibu Aluna melihat kedatangan Alvian dari balik tirai jendela. Hingga beberapa menit berlalu, Alvian tak kunjung turun dari sepedanya untuk mengetuk pintu. Alvian justru terlihat sibuk dengan ponsel di genggaman tangannya.
"Inikah anak lelaki yang Luna bicarakan padaku tadi pagi?" batin Adriana.
Adriana kembali memperhatikan segala gerak-gerik Alvian yang sedang menantikan kehadiran Aluna, anak perempuannya. Hingga di detik selanjutnya, Aluna keluar dari kamarnya melihat sang ibu yang tengah begitu serius memandangi objek yang ada di luar jendela ruang tamu mereka.
"Ada siapa ma?" tanya Aluna membuat fokus sang ibu buyar.
"Temen dekat kamu, kayaknya." jawab sang ibu acuh dan berlalu.
Aluna memandang sang Ibu heran, namun baginya itu bukan suatu hal yang harus ia pikirkan sekarang. Sebab prioritasnya saat ini adalah menemui Alvian yang sudah menunggunya di depan halaman rumahnya, dan bersenang-senang sesuai rencana.
Dengan penuh kebahagian Aluna melangkahkan kakinya. Membuka pintu dan melihat ke arah Alvian berada dengab senyum paling manis yang dia punya.
"Sorry, lama ya nunggu aku." ucap Aluna dengan wajah yang dibuat memelas, dan itu sungguh menggemaskan di mata Alvian.
"Gak kok," balas Alvian dengan senyum yang tak kalah sumringah. "Udah siap? Yook." ajak Alvian lagi.
Aluna mengangguk, menyusun bekal yang dibawanya ke dalam keranjang yang ada di depan sepedanya, dan setelahnya menaiki sepeda, dan mulai mengayuh mengikuti Alvian menuju ke stasiun terakhir.
Dibawah langit biru dengan awan putih yang berarak, menambah kehangatan suasana hati kedua remaja belia tersebut di tengah hari cerah nan indah ini. Semesta seolah benar-benar mendukung kedua hati anak manusia yang tengah di landa asmara ini.
Tanpa terasa bersama dengan hembusan semilir angin yang menyapa Alvian dan Aluna, akhirnya mengantarkan keduanya tiba di hamparan padang rumput nan luas dengan bunga dandelion yang menghiasi diantaranya. "Huuummm....segar ya...."
Alvian tersenyum, mengangguk menanggapi ekspresi Aluna yang terlihat begitu menikmati suasana alam disekitar stasiun terakhir itu.
"Sepertinya cuaca akan cerah, secerah hatiku..." ucap Aluna lagi.
Alvian meletakkan kotak-kotak bekal yang disiapkan Aluna, sebelum akhirnya melangkah mendekat mengangsurkan tangannya membelai lembut surai rambut Aluna.
"Laper...." ujar Alvian, sembari memperlihatkan deretan gigi putihnya.
Aluna terkikik kecil, sembari menggamit tangan Alvian membawanya ke dekat kotak-kotak bekal makanan mereka.
Perlahan dibukanya satu persatu kotak bekal yang memeperlihatkan hasil tangan cekatan Aluna mengolahnya dan terlihat begitu menggiyurkan. "Kamu buat sendiri yank?" tanya Alvian yang terlihat antusias ingin segera merasakan hasil masakan sang kekasih.
Aluna mengangguk malu, seburat warna merah merona di wajahnya.
"Aku makan ya?" Cicit Alvian lagi meminta izin sembari mengangsurkan tangannya mengambil sesendok nasi goreng seafood.
Perlahan namun pasti Alvian mengunyah makanan yang dibuat Aluna tersebut dengan wajah yang terlihat sungguh menikmati.
"Enak?" tanya Aluna ragu.
Alvian mengangguk yakin, dan terus menyuapkan nasi goreng tersebut kemulutnya, sambil memberikan jempol ke arah Aluna.
"Pelan-pelan ish makannya, nanti tersedak Vian." tegur Aluna melihat cara makan Alvian yang serabutan. "Hmm...habis enak banget sih ini."
Aluna hanya kembali membalas dengan senyuman sembari mulai memakan sandwich yang juga dibawanya.
Dalam beberapa menit selanjutnya keduanya pun terlarut dalam hening, masing-masing menikmati sarapannya, dan suasana padang rumput yang begitu hijau, sejuk dipandang mata itu.
"Gak nyangka, kamu pinter masak." puji Alvian tulus.
"Aku belajar dari tukang masak di rumah nenek ku di kota."
"Lebih enak di kota, atau di sini?"
"Di sini!"
"Kenapa?"
"Karena ada kamu." goda Aluna.
Alvian menghentikan kunyahannya, menatap Aluna yang sudah menampilkan deretan gigi putihnya yang tersusun rapi.
"Hiss ... sejak kapan kamu pinter gombal yank?"
"Sejak mengenalmu." lagi, Aluna menggoda Alvian yang mulai salah tingkah dengan ucapan balasan Aluna.
"Aluna Sophia Hadinataaaaaa."
Sebuah seruan kencang dari arah barat tempat Aluna dan Alvian menikmati sarapanya pun tiba-tiba datang mengusik.
Aluna kenal betul dengan suara tersebut, ditambah panggilan itu hanya akan dilakukan oleh orang yang tak lain dan tak bukan pemilik suara bariton yang belum selesai puber.
"Andre ....?" gumam Aluna.
"Ada yang panggil kamu?" tanya Alvian bingung.
"Hmm ... sepertinya?"
"Alunaaaa ... dimana kamu?" kembali panggilan itu membahana.
"Sebentar ya," pamit Aluna, sembari beranjak meninggalkan Alvian menuju sumber suara.
Aluna berjalan, melewati padang rumput menuju peron tua, yang menjadi sumber suara yang berseru memanggil-manggil namanya. Hingga akhirnya ia menemukan seorang remaja pria seusianya yang sedang berdiri tegak membelakangi posisinya.
"Lunaa!" seru Lastri.
Aluna mengedarkan pandangannya kepada Lastri yang ternyata berada tak jauh dari tempat Aluna berdiri. Dan seketika itu juga pria remaja yang ternyata benar Andre itu berbalik arah, memandang ke arah Luna.
"Andre?" seru Luna lirih.
Dengan langkah seribu Andre berjalan cepat menuju Aluna yang masih mematung tak percaya, bahwa sahabatnya itu ada dihadapannya kini. Hinnga di detik selanjutnya tubuh Andre bertumburan dengan tubuh mungil Aluna, tanpa perlawanan. Ya, Andre memeluk Aluna.
Alvian dan Lastri menyaksikan segala pemandangan dramatis itu dalam hening dan kebingungan.
"Uhuuk..uhuuk ..."Aluna terbatuk. Pelukan Andre yang begitu erat membuat rongga pernapasannya terasa sulit melakukan pekerjaannya.
"Oops, sorry ...." ujar Andre sembari melepaskan pelukannya.
"Huuugh ...." Aluna menarik nafasnya perlahan, menyiratkan kelegaan.
"Kamu ngapain kesini?" tanya Aluna dengan kedua alis yang ditautkannya.
"Hmm ... kangen." balas Andre yakin.
"Sendiri?"
"Gak, ada Sandi, Reno, Dania juga. Mereka nungguin di rumah elu."
Mendadak wajah Aluna yang semula bingung, berbinar bahagia. Segera ditariknya tangan Andre, beranjak dari tempat mereka saat ini. Mereka melupakan Alvian dan Lastri yang sedari tadi masih dengan kebingungan memperhatikan sepasang sahabat yang telah lama tak bersua itu.