Chereads / Bukan Stasiun Terakhir / Chapter 22 - Jangan Cemburu

Chapter 22 - Jangan Cemburu

Seperti di sambar petir di siang bolong tatkala suara Alluna yang begitu Alvian kenali sebagai penyemangatnya akhir-akhir ini menyuarakan kekagumannya terhadap ria lain, tanpa rasa bersalah dihadapnnya, dan banyak orang lain dengan begitu bahagia. Seolah dirinya yang memang jauh dari kata tampan ini pun tidak ada apa-apanya dibandingan dengan pria yang berstatus ketua basket tersebut.

Bukan hanya Alvian saja yang terkejut dengan riuh gemuruh yang di hasilkan dari celotehan tiga wanita yang sangat mereka kenali tersebut. Rusdi, dan Ridho pun terlihat kesulitan menelan salivanya mendengar Alluna berseru dengan entengnya di depan Alvian yang kini wajahnya sudah tidak dapat lagi di deskripsikan.

"Siapa tadi namanya? Zain? Duh kayak nama member boyband yang aku suka," lagi-lagi suara Alluna terdengar begitu bahagia. Namun, menjengkelkan buat Alvian.

'Belum selesai urusan yang satu. Ini udah nyari gara-gara lagi.' Alvian membatin, dongkol.

"Emang cakep banget ih, ya Allah kayaknya memang aku harus diet deh," timpal Dinda yang diiringi gelak tawa ketiganya.

"Satu keluarga memang cakep-cakep banget tahu!" Nina, menyertai. "Ayahnya masih ada keturunan Arabnya.

"Arab apa? Arab-arab cemas, atau arab-arab maklum?" Ridho merangkul Nina, ikut menimpali dengan penuh penekanan.

"Apaan ih? Ikut-ikut ghibahan cewek-cewek aja," keluh Nina seraya menepis tangan Ridh yang sudah bertengger di bahunya.

"Tahu akh … ganggu aja kau Dho," Dinda ikut senewen.

"Yee … aku kan nanya, kok jadi pada sewot sih?"

Bukannya menjawab ketiga gadis tersebut justru melengos meninggalkan Ridho sendiri yangmasih bergeming menatap sang kekasih yang hanya memberikan senyum simpul tanpa tanda keikhlasan di sana.

Rusdi yang melihat hal tersebut pun, menghampiri Ridho. Memukul pelan pundak sahabatnya yang bertubuh tambun itu. "Balik ke kursi kau, udah masuk. Bentar lagi Bu Tiur masuk," ujarnya mengingatkan seraya melangkah kembali ke tempat duduknya yang berada tepat di belakang bangku Alluna.

***

Matahari semakin tinggi dengan cahaya panas yang menyengat hingga ke permukaan kulit. Alluna tengah membenahi semua peralatan tulisnya saat Alvian melewati tempat duduknya, tanpa menyapa sepatah katapun. Membuat Alluna spontan memanggil pria yang beberapa hari lalu itu resmi menjadi kekasihnya.

"Vian!"

Alvian yang mendengarnya itupun seketika kembali membalikkan tbuhnya kea rah Alluna yang sedang menatapnya dengna penuh keheranan.

"Mau kemana?" imbuh Alluna kembali melanjutkan pertanyaannya.

"Pulang!" jawab Alvian singkat.

"Kamu gak ngajak aku?" tanya Alluna seraya mengarahkan telunjuknya ke wajahnya sendiri.

Alvian menaikkan sebelah alisnya, sebelum akhirnya kembali berujar menjawab pertanyaan Alluna. "Emang masih mau pulang sama aku?"

Alluna mengangguk. "Terus aku pulang sama siapa kalau gak sama kamu?" tanya Alluna bingung.

"Bukannya tadi kelihatannya seru banget ya, sama kapten basket yang cakepnya kayak personil boyband?" sindir Alvian, sembari memiringkan kepalanya, dengan tangan terlipat di dada.

Alluna bergeming, mematung. Ia lupa saking serunya obrolan dengan kedua sahabatnya tadi ternyata membuat Alvian marah.

"Ciee … cemburu ya Al?" goda Nina yang sedari tadi menjadi penonton, seperti teman-teman lain yang masih tersisa di dalam kelas.

"Sensitif banget sih, kayak perawan datang bulan," imbuh Dinda yang kini mengambil posisi di depan tempat duduk Alluna yang sudah kosong, dengan senyum jahil menatap Alvian yang masih memasang aura mengerikan untuk Alluna.

Tidak lagi menjawab ledekan teman-temannya Alvian pun bergegas meninggalkan ruang kelas tersebut, sebelum kasak-kusuk tentang sikapnya menjadi bahan perbincangan hangat esok. Sementara Alluna masih belum dapat berkata-kata. Tatapannya lurus kearah langkah kaki Alvian yang ia tahu pasti saat ini sedang sangat kesal.

"Dia ngambekan gitu ya Lun?" tanya Dinda lagi, dengan wajah tak suka.

Alluna mengedikkan bahunya. "Emang tadi ada yang salah sama ucapanku ya woii?" tanya Alluna mengutarakan kebingungannya.

"Ck! Dasar wanita …," timpal Ridho berdecak, seraya mengacak rambutnya.

"Memangnya kenapa wanita?" tanya Nina, dengan kedua bola mata yang membulat sempurna. Galak.

"Ya, kalian itu makhluk paling egois," Rusdi ikut menimpali, kesal.

Alluna mengerutkan dahinya, memberi pertanda agar Rusdi menerangkannya dengan lebih jelas. "Maksudnya?"

"Udah pada punya pasangan tapi kelakuannya kayak masih pada single aja. Kalau masih mau flirty … flirty, jangan mau diajakin jadian," ketus Rusdi, dan berlalu dengan menggait tas ranselnya ke punggungnya.

Sekali lagi Alluna bergeming, mencerna ucapan Rusdi yang masih coba ia cerna. "Emangnya aku flirty sama siapa?" gumam Alluna.

"Kapten basket tadi," jawab Ridho, menegaskan.

Alluna, Dinda, dan Nina seketika itupun bergeming. Kesulitan menelan saliva mendengar ucapan Ridho.

***

Sementara itu Alvian yang masih dengan kekesalannya terus melangkah semakin jauh meninggalkan gedung sekolah bernuansa Belanda itu, hingga akhirnya kini ia telah tiba di stasiun kereta api tujuannya.

Mulai dari kedatangan teman-temannya dari kota, hingga pagi ini masih dengan entengnya ia memuji ketampanan pria lain, sementara mereka baru saja jadian. Hingga kesabaran Alvian pun habis, dan memutuskan untuk pulang tanpa menunggu, dan mengajak Alluna untuk pulang bersama. Dirinya benar-benar tidak habis mengerti dengan apa yang Alluna pikirkan sejak kemarin, hingga tatapannya tadi terlihat sama seklai seolah tak berbuat salah apapun.

Dengan rasa kesal, dan cemas Alvian duduk sendiri menantikan kehadiran kereta yang akan membawanya pulang. Sesekali ia melirik kearah jam tangan jadul yang melingkar di tangan kanannya untuk memastikan jadwal keberangkatan kereta yang tak kunjung datang. Seolah tahu, isi hatinya yang melihat Alluna belum tiba di sana. Seolah kereta itu juga sedang menunggu kehadiran gadis yang saat ini benar-benar mengusik hati, dan pikirannya.

"Ini anak kemana sih, lelet banget. Kalau dia gak pulang sekarang, pasti bakalan kemalaman nyampe rumah,"gerutu Alvian semakin kesal.

Alvian baru saja hendak beranjak kembali ke sekolah, tatkala melihat Alluna yang setengah berlari dengan napas tersengal di sudut depan stasiun. Dadanya terlihat naik turun mengatur napas sebelum akhirnya melangkah mendekati loket pembelian tiket.

Dengan tatapan yang masih terus memperhatikan gerak-gerik gadis kesayangannya itu Alvian kembali duduk, hingga di detik selanjutnya ia mendengar suara khas klakson kereta api yang akan mereka tumpangi tersebut.

'Tuh kan bener, nungguin bocah satu itu,' Alvian kembali bermonolog pada dirinya sendiri. Namun kali ini sedikit ruang di atinya teraa lebih lega dari yang sebelumnya.

Alvian sudah berdiri di hadapan kereta yang perlahan mulai berhenti, untuk memberi kesempatan pada penumpangnya naik kedalam gerbong-gerbong kosong yang sudah tersedia di sana.

Sementara Alluna yang sedari tadi masih sibuk dengan tiketnya, mendadak bergeming, mematung seraya menatap lurus ke depan dimana Alvian berdiri tegak menjulang, menunggu pintu gerbong di buka.

"Sial! Kenapa gak kepikiran dari tadi kalau kami bakal ketemu di sini?" gumam Alluna pelan, bermonolog pada dirinya sendiri. Hingga di detik selanjutnya, dengan seluruh sisa keberanian yang ia miliki. Alluna menyerukan nama pria yang merupakan kekasihnya di beberapa hari terakhir ini.

"Alvian!" dengan sangat lantang, suara Alluna menyadarkan sang pemilik nama, dan lansung membalikkan tubuhnya, dan mengarahkan pandangannya kea rah sumber suara yang sangat ia kenali tersebut.

"Jangan cemburu."