Sepasang remaja awal keluar dari sebuah cafe, berjalan beriringan dengan bergandengan tangan. Raut wajah bahagia menghiasi hari yang telah beranjak sore dengan matahari senja yang menambah nuansa intim berdua semakin syahdu.
Alvian terus memandang wajah cantik gadis yang duduk manis penuh senyum yang sejak tadi tak surut mengukir bibir merah delima alami miliknya. Temaran cahaya senja menambah keindahan wajah Aluna untuk Alvian nikmati.
Sungguh Luna menjadi salah tingkah dengan pandangan Alvian yang sejak berada di dalam kereta tak beranjak dari wajahnya. Bahkan untuk bernafaspun Aluna harus berhati-hati agar Alvian tak mendengarnya.
"Enaknya panggilan sayang kita apa ya?" tanya Alvian tiba-tiba, membuyarkan keheningan yang ada diantara keduanya.
"Hah? ... panggilan sayang?" Aluna mengulang pertanyaan Alvian.
Alvian mengangguk, "seperti Ridho dan Nina." lanjutnya lagi.
Aluna menepuk dahinya pelan, menggelengkan kepala. "Aku gak nyangka kamu diam-diam memperhatikan kelakuan mereka."
"Mereka duduk di depan dan sampingku, mana mungkin aku bisa abai dengan kelakuan alay mereka."
"Haha ... lantas kamu kepikiran untuk mengikuti jejak mereka?" tanya Aluna terkikik.
"Hmmm ... aku pikir tak ada salahnya bila kita punya panggilan khusus kan?"
"Hmmm ... nanti kita pikirkan lagi."
"Oke, nanti kalau sudah ketemu yang cocok, katakan padaku."
Aluna mengangguk, dan kembali menikmati pemandangan sepanjang perjalanan kereta sore itu.
*****
Malam ini menjadi malam yang indah, sebuah kenangan yang mungkin tak akan terlupa di sepanjang hidup sepasang insan muda yang tengah dilanda asmara ini telah terjadi siang hari tadi.
Aluna dan Alvian, keduanya kini menatap langit yang sama dengan perasaan yang sama pula, jatuh cinta. Cinta pertama.
Rona bahagia, senyum ceria, senandung cinta bahagia yang sedari pulang sekolah tak lepas dari wajah Aluna, berhasil menjadi perhatian Ibunya.
"Mama perhatikan sejak pulang sekolah, anak gadis mama bahagia banget." ujar sang ibu menghampiri Aluna yang tengah asyik membaca buku pelajarannya.
Aluna sontak bangkit dari posisi rebahannya, terkejut dengan kehadiran sang ibu yang tiba-tiba.
"Hehe, kenapa Ma?" tanya Aluna kembali yang memang tak begitu jelas dengan pertanyaan sang ibunda, karena fokus dengan alam khayalnya yang dipenuhi oleh wajah sang kekasih.
"Kamu, kenapa bahagia banget, menang undian?" tanya sang ibu mengulang kembali.
"Hahaha, undian apa Ma?"
"Jajan orong-orong kali." balas sang ibu asal sembari mengambil posisi duduk di kursi merja belajar Aluna yang ada disisi tempat tidurnya.
"Hahahaa....gak loh Ma. Luna cuma lagi seneng aja."
"Jadian sama Andre?" tebak sang ibu yang penasaran.
Bukan tanpa alasan sang ibu menerka demikian, pasalnya Aluna dan Andre sudah menjadi teman dekat sejak masih taman kanak-kanak, dan untuk pertama kalinya Aluna dan Andre terpisah jarak yang jauh, dan bersekolah di tempat yang berbeda.
"Andre?" beo Luna
Sang ibu mengangguk, dengan dahi yang mulai berkerut, melihat kebingungan anak gadisnya, menyadarkan kekeliruan pemikirannya yang menganggap Aluna dan Andre memiliki hubungan lebih dari sekedar sahabat.
"Hahahaha ... Mama ngaco, mana mungkin Luna jadian sama Andre, dia itu sahabat baik Luna dari bayi ma. Mama lupa?
"Gak ada yang gak mungkin kan sayang?"
"No Mama, selamanya kami hanya akan menjadi sahabat, Luna gak mau kehilangan Andre, karena hubungan yang bisa saja tak abadi seperti percintaan abg kayak kami." balas Luna meyakinkan sang ibu.
"Andre baik nak, dan Mama suka, Mama setuju kalau kamu sama dia."
"Ckck ... jangan terlalu jauh Ma, Luna dan Andre cuma sahabat, dan akan selalu begitu, kedekatan kami cuma sebatas sahabat." Aluna menekankan kata sahabat pada penjelasannya, kepada sang ibu.
"Hmmm ... ya sudahlah, kalau kamu gak mau cerita, kenapa kamu bahagia seharian ini. Jangan tidur terlalu malam, jangan baca sambil tidur." pesan sang ibu mengakhiri pembicaraannya dengan sang gadis remajanya itu, sembari beranjak meninggalkan kamar Aluna.
Aluna membuang nafasnya dengan kasar. Aluna tahu, Andre juga sebenarnya punya rasa, tapi entah mengapa Luna selalu menyangkal itu. Baginya Andre adalah sahabat yang selalu ada dalam suka dukanya, tak ingin semuanya rusak, Luna akan selalu menganggapnya sahabat, hanya sahabat.
***
Alvian POV
Alvian masih juga tak bisa tidur, wajah cantik dan senyum khas milik Luna terus membayanginya.
"Sedang apa ya, dia di sana?"
"Apa dia sudah tidur?"
"Haaisss....belum apa-apa aku sudah rindu." Alvian terus saja bermonolog
Alvian kembali melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 21:30 wib. Secara impulsif nalurinya menuntun dirinya untuk beranjak dari kamar, menuju ke belakang rumah tempat dirinya menyimpan sepedanya.
Dengan langkah yang dibuat sehati-hati mungkin hingga nyaris tak bersuara, Alvian mengendap-endap berjalan keluar rumah dengan menggiring sepedanya agar Paman, Bibi, dan Sepupunya tak mengetahui kepergiannya.
Alvian mengayuh sepedanya dengan santai, bertemankan angin malam yang dingin, dan iring-iringan suara jangkrik yang bersahut-sahutan, Alvian mengarahkan perjalanannya ke rumah sang pujaan hati yang membuatnya masih terjaga seperti sekarang.
Kurang dari sepuluh menit, Alvian sudah mendapati, rumah sederhana bercat putih dengan dua tiang berkonsep minimalis berwarna hitam yang terpacak di teras rumah Nini Hafifah, tempat Aluna tinggal.
Matanya tertuju oada sebuah kamar yang terletak di sudut arah barat rumah itu, dengan dua jendela kaca yang menghadap ke arahnya, Alvian masih melihat cahaya lampu yang terang benderang dari dalamnya, menandakan sang empunya kamar masih terjaga.
Sebuah senyum terbit di bibir Alvian, menyadari sebuah tingkah yang dia rasa tak masuk akal, bagaimana bisa seorang Aluna yang tak pernah dibayangkan oleh seorang Alvian, mampu membuatnya segila malam ini, datang mengendap hanya untuk melihat cahaya dibalik jendela kamar sang pujaan hati.
Entah berapa lama Alvian terus memusatkan pandangannya ke arah kamar Aluna, hingga akhirnya pendar cahaya lampu disana mati, menyisakan kelegaan dalam hati Alvian yang akhirnya menuntunnya mengayuh sepeda mengarah pulang.
Setibanya di rumah Pamannya, tempat ia berteduh selama ini setelah keluarganya tak satupun selamat dalam kecelakaan pesawat yang mereka tumpangi tiga tahun silam. Alvian kembali mengambil sisa tabungannya dari si ayam yang ia pecahkan kemarin untuk mentraktir Aluna makan siang.
"Aku pikir besok, aku akan membeli sebuah handphone, agar bisa selalu bertanya kabar dengannya. Tapi, apa ini cukup?" gumamnya lagi.
Alvian kembali memikirkan cara, agar dapat selalu terhubung dengan Aluna. Sungguh rasa cinta yang membuatnya menjadi menggebu-gebu seperti sekarang ini membuatnya harus menguras seluruh tabungannya. Namun tak mengapa, sebab baginya kini Aluna adalah dunia cintanya, muara bahagia yang dia punya dan ingin selalu dia rasakan manisnya tanpa melewatkan sedetikpun dalam waktunya tanpa hadirnya sang pujaan hati.
Alvian benar-benar mabuk cinta, hingga seluruh dunianya kini hanya dipenuhi oleh Aluna, dan harapan indahnya di masa depan untuk selalu bersama.