Suara kicauan burung menyambut pagi dengan riang membersamai kayuhan sepeda dua anak manusia yang sedang dilanda cinta. Entah sudah berapa puluh kali sepanjang perjalanan dari rumah menuju stasiun tempat mereka akan nenemukan transportasi untuk tiba di sekolah mereka mencuri pandang satu sama lain. Senyum terindah yang mereka miliki tak juga kunjung surut menantang hari, seolah dunia sedang berpihak hanya pada keduanya.
Mengayuh sepeda beriringan, dengan hati yang berbunga-bunga masih dengan euforia kasmaran yang sejak kemarin mereka tabur benihnya.
Kehangatan dalam dinginnya udara pagi terus terasa pada hati kedua insan yang sedang dimabuk asmara itu. Hingga tanpa mereka sadari perjalanan telah tiba pada tujuannya, sekolah.
Tak seperti biasa, Aluna yang biasanya riang, lengkap dengan segala kelincahannya, hari ini justru terlihat begitu tenang dengan wajah yang selalu bersemu. Khas sekali dengan gelagat orang jatuh cinta.
Hal itu tentu menarik perhatian Nina, yang duduk berdekatan dengannya. Menimbulkan tanya yang membuncah dalam dadanya. Namun bukan Aluna Sophia namanya bila dengan mudah mampu berbagi perihal masalah pribadinya dengan orang lain.
"Kau kenapa Lun?" Nina tak berhasil menahan tanya yang sejak kedatangan Aluna sufah bertengger dihatinya.
"Kenapa? Emangnya kenapa?" Aluna bingung menanggapi pertanyaan Nina.
"Wajahmu bersemu merah? Sakit?"
"Aakhh, tidak ... aku baik-baik aja kok."
"Luna gak sakit Na, tapi lagi jatuh cinta." celetuk Hendra sembari berjalan mendekati tempat duduk kedua teman perempuannya itu.
"Iya kan Hen? Aku juga tadi mikirnya gitu." timpal Nina, meyakini prasangkanya.
"Sama orang bisa bohong kau Lun, sama aku ya gak lah."
Aluna salah tingkah, tak berani menatap kedua temannya.
"Sama siapa?"
"Siapa lagi Na?"
"Es batu?" Nina kembali menegaskan pikirannya.
"Ya, iyalah" dengan yakin Hendra membalas Nina
Sedangkan Aluna yang menjadi tersangka, hanya diam, menahan malunya dengan wajah yang sudah hampir mirip dengan kepiting rebus.
Beruntung suara bel tanda pelajaran akan segera dimulai telah berbunyi, sehingga tak banyak lagi pertanyaan yang mampu menyudutkan Aluna dan membuatnya bertambah salah tingkah.
Tanpa dia sadari, Alvian yang senantiasa memperthatikan segala gerak dan geriknya dari bangku belakang.
*****
Panas terik kembali menyapa kulit dengan pongahnya, menyambut jam pulang sekolah siang itu. Seluruh siswa berhamburan keluar kelas, berbondong menyerbu pagar sekolah.
Bersama dengan rasa lelah, bosan, lapar bahkan dahaga yang meronta di tenggorokkan melawan panas. Beruntung bagi mereka yang masih memiliki sisa uang saku untuk kembali membelanjakannya di jajanan luar sekolah yang sanantiasa setia menanti waktu-waktu seperti saat ini. Namun, bagi mereka yang sudah kehabisan uang saku, saatnya mempercepat langkah untuk segera tiba dirumah, menuntaskan hasrat tenggorakan dan perut yang sudah minta hak nya disegerakan.
Aluna masih sibuk membenahi barang-barang bawaannya ke dalam tas, memastikan tidak ada yang tertinggal. Tanpa sadar, Alvian sudah berdiri di belakangnya menunggu untuk pulang bersama sejak beberapa waktu yang lalu memperhatikannya berkemas.
Aluna bangkit dari duduknya beranjak meninggalkan kelas, tanpa menoleh ke belakang lagi, sehingga Alvian yang sedari tadi menunggunya tertinggal dibelakang.
"Sayang!" seru Alvian mengalihkan semua pasang mata yang masih ada di dalam kelas.
Aluna yang tidak asing dengan suara tersebut lantas membalikkan tubuhnya dengan jantung yang berdetak begitu kencang. Tak pernah menyangka Alvian akan seperti ini.
"Kok aku ditinggal?"
Aluna masih mematung, sejak kapan Alvian berubah menjadi semanja ini?. Aluna memang lupa kalau masih ada Alvian di kelas ini, namun Aluna tidak pernah menyangka bahwa dirinya akan senekat seperti saat ini, memanggilnya sayang dengan lantang di depan banyak temannya.
"Ayo pulang!" Alvian meraih tangan Aluna menggandengnya, menggiringnya melangkah bersama, tak pedulu semua mata memandang ke arah mereka penuh tanya dan takjub.
"Temenin aku ke toko handphone dulu ya, aku mau beli handphone." ajaknya lagi dengan pandangan lurus ke depan tanpa melepas tautan tangannya dengan Aluna.
Aluna yang masih kebingungan dengan sikap Alvian hanya diam, mengikuti gerak langkah sang pujaan hatinya itu.
Sesaat kemuadian akhirnya mereka tiba di sebuah toko handphone yang tidak jauh dari sekolah mereka. Alvian dengan sangat bersemangat masuk kedalam, melihat-lihat
beberapa jenis handphone, dan menyesuaikan dengan budget yang dia punya. Hingga akhirnya sebuah smartphone Android yang sama seperti milik Aluna di belinya.
Dengan senyum sumringah Alvian menunjukkan pilihannya pada Aluna yang dibalas dengan senyuman dan anggukan. Sungguh Aluna baru melihat hal se-langka ini pada diri Alvian, setelag hampir setahun ini mereka saling mengenal.
"Aku pilih yang sama kayak yang kamu punya." pamer Alvian dengan bangganya.
Aluna terkikik kecil menanggapi Alvian, baginya kelakuan bucin Alvian kepadanya adalah sebuah mukzijat.
"Kok malah ketawa sih?"
"Lucu aja. Aku baru pertama kali lihat kamu se-ekspresif ini."
Alvian tersenyum kecut mendengar ucapan Aluna. Sebenarnya Alvian adalah seorang pria yang menyenangkan dan sangat bersahabat sebelum semuanya berubah setelah kecelakaan yang merenggut nyawa orang-orang yang dikasihinya tiga tahun yang lalu.
"Kamu gak suka?" dengan wajah yang dibuat sedih, Alvian bertanya pada Aluna.
"Suka, suka banget." balas Aluna, sembari memainkan ujung rambut Alvian dengan senyum manis, yang selalu membayangi pikiran Alvian saat mereka berjauhan.
Sperti sejuta kupu-kupu singgah di sudut hati Alvian yang mendapat perlakuan manis dari Aluna seperti itu. Hingga kedua mata mereka bersirobok menyalurkan gelenyar cinta yang yang membuncah.
"Dek! Ini kwitansinya." suara penjual handphone berhasil mengembalikan kesadaran keduanya, membuat mereka kembali terjaga bahwa ini masih di tempat umum.
Alvian menoleh ke arah sumber suara yang memyadarkannya dari pesona seorang Aluna.
"Oh iya, terima kasih Ko." ucapnya sembari memasukkan barang dan kwintansi itu kedalam tas ranselnya.
"Ayo pulang." ajak Alvian
"Beli es dulu ya, aku haus." pinta Aluna
"Air minum yang kamu bawa habis?"
Aluna menganggukkan kepala sembari memperlihatkan botol minum kosong yang di tentengnya sejak tadi.
"Jangan es lah, ini panas yank." ujar Alvian lagi, sembari membelai pucuk kepala Aluna.
Bergantian kini Aluna yang merasa disergap sejuta kupu-kupu dihatinya.
"Minum air kelapa aja ya, tapi gak usah pake es." tawar Alvian yang mendapat anggukan dan senyuman Aluna.
Keduanya sepakat, dan kembali melangkah menuju lesehan tempat biasanya orang-orang sekira menikmati air kelapa langsung dari batok kelapanya, di bawah pohon besar dan rindang, di tempat terbuka.
Ini pertama kalinya Aluna minum dipinggir jalan dengan perasaan yang sungguh luar biasa bahagianya. Ditemani cinta pertamanya.
Alvian yang sibuk mengotak-atik handphone barunya pun, tak Aluna hiraukan asal dirinya masih tetap ada disisinya.
"Yank, photo yuuk." Alvian tiba-tiba menyodorkan handphonenya, meminta Aluna mengambil gambar mereka.
Aluna sejenak tertegun memandang handohone yang disodorkan. Mereka baru kemarin jadian, tapi sikap Alvian sungguh berubah seratus delapan puluh derajat dari saat mereka dulu pertama kali berkenalan.
Aluna bukan tidak bahagia melihat Alvian yang saat ini menjadi lebih ekspresif, hanya sedikit kaget, geli, dan bingung menghadapinya.
"Ayoo, cepat yank." kembali Alvian meminta Aluna mengambil gambar diri mereka.
"Kamu kan photografer, harus bagus ya." pesannya lagi.
Aluna mengangguk, bersiap mengambil gambar mereka.
Satu
Dua
Ti...ga
Cekrek
Sebuah gambar berhasil diabadikan mereka, menjadi photo pertama yang masuk dalam memori handphone baru yang Alvian beli beberapa waktu lalu itu.
"Buluk banget aku ya yank?" sungut Alvian memandang wajahnya sendiri di dalam photo.
"Kamunya putih, akunya dekil. Kamu gak malu punya pacar kayak aku?" tanyanya lagi dengan wajah mengiba.
Sangat lucu, Alvian terlihat seperti anak-anak yang terus merengek melihat kekurangannya yang mungkin baru ia sadari sekarang.
"Baru sadar kalau kamu dekil? Uugh, gitu kemaren-kemaren sombong, sok cool." sindir Aluna mengingatkan betapa menjengkelkannya Alvian dulu saat awal Aluna mendekatinya.
Tak pelak Alvian menampilkan senyum kudanya mendengar sindiran Aluna.
"Untung pacar aku ini baik, nungguin sampe aku sadar ya kan?"
"Ya, kasian aja. Pasti susah buat kamu nyari pacar pertama."
"Makasih ya sayangku." Alvian menampilkan puppy eyes nya dengan genit membuat Aluna memutar bola matanya dengan malas.
"Mulai sekarang kamu panggil aku sayang juga yaa?" tiba-tiba Alvian mengutarakan permintaan yang menggelitik telinga Aluna.
Bukan karena Aluna tidak menyukai atau menyayangi Alvian, tapi rasanya punya panggilan seperti itu sungguh menggelikan.
"Panggil sayang aja?" Aluna mengulang pertanyaannya lagi, menegaskan.
"He'eh." Alvian berdeham, mengangguk sembari menyeruput air kelapa miliknya.