Seorang pramusaji datang menghampiri meja Aluna dan Alvian, mengantarkan makanan yang tersaji apik dengan sopan. Aluna kembali memandangi tatanan indah pada piringnya.
Cekrek. Suara kamera handphonenya terdengar nyaring. Sebelum akhirnya di lumat habis, Aluna berniat mengabadikannya terlebih dahulu.
"Ketemu makanan itu berdoa, bukan malah di photo," tegur Alvian, persis ayah yang menasehati anaknya.
"Hehehe …." Aluna membalasnya dengan tawa dan cengiran absurd.
"Cepat do'a, terus makan."
"Siap Jendral!"
Keduanya menikmati makan siang bersama untuk pertama kalinya. Aluna sibuk mencerna rasa yang ada pada makanannya. Alvian justru menikmati setiap ekspresi yang Luna tampilkan saat makan.
Entah sejak kapan Alvian mulai menyukai gadis agresif di depannya itu. Bahkan sebelum ia menyadari ucapannya di stasiun terakhir waktu itu, Alvian masih ragu dengan perasaannya. Barulah saat Aluna mendiaminya hingga beberapa hari bahkan hampir menggenapi seminggu. Alvian baru sadar bahwa gadis ini membuatnya rindu.
"Enak." Puji Aluna sambil mengunyah makanannya. "Udah pernah kesini sebelumnya kah dirimu?"
Alvian menggeleng. Enggan bersuara saat makanan masih dalam mulutnya.
"Lain kali kita kesini lagi ya, ada menu yang pengen aku makan lagi." Ajak Luna lagi.
Alvian meletakkan sendok dan garpu, mengangsurkan tangannya mengambil gelas berisikan air mineral miliknya, meminumnya sebelum akhirnya menyuarakan protesnya pada Aluna yang tak henti berbicara saat makan.
"Habiskan dulu makanannya baru bicara, pamali bicara sambil ngunyah, nanti tersedak."
Aluna mengangguk bak anak sholehah yang patuh pada petuah orang tuanya. Melanjutkan makannya tanpa bersuara lagi begitu juga Alvian yang kini fokis dengan apa yang masuk kedalam mulutnya.
Waktu berlalu dalam hening hingga keduanya menandaskan makanan mereka dari piringnya. Masing-masing menghela nafas menikmati sisa-sisa kenikmatan yang tertinggal dalam rongga mulut.
"Aku minta maaf, selama ini mungkin banyak membuatmu tersinggung dengan ucapanku."
Alvian mencoba memulai pembicaraan yang sejatinya menjadi alasan utamanya membawa Aluna makan siang di tempat ini.
Kedua alis Aluna bertaut, dengan dahi yang mengernyit. Mencoba memcerna apa yang
Alvian katakan padanya barusan.
'Ada angin apa ini, memdadak minta maaf segala?' batin Aluna bermonolog
"Aku memang bukan orang yang pintar merangkai kata untuk membuat orang tertarik dengan ucapan ku. Jadi aku harap kamu bisa mengerti kekuranganku itu," kembali Alvian menyuarakan kegundahan hatinya sendiri.
Aluna menyimak tiap kata yang Alvian utarakan, hatinya mulai berdetak tak karuan. Dirinya memanglah gadis agresif. Namun, rasanya berbicara serius dengan orang yang disukai seperti sekarang ini bukanlah hal yang mudah untuk tetap terlihat biasa saja.
"Setelah hari dimana kita bertengkar di stasiun terakhir itu, aku mulai berpikir, berdiam merasakan apa yang sebenarnya perasaanku rasakan. Hingga aku menyadari aku merindukan kamu yang selalu hingar di sekitarku."
Alvian masih terus mengutarakan perasannya dengan sungguh-sungguh, tanpa menyadari lawan bicaranya mulai berkeringat dingin mendengarkan rangkaian kata yang diucapkan oleh pria yang mengaku bodoh dalam urusan berkata-kata ini.
Perasaan senang bercampur haru, entah datang dari mana hingga kini mencemari hati Luna, merusak sistem kerja jantungnya yang bertalu bak irama kopi dangdut. Membuatnya serasa kaku beku tak bisa berkata menghadapi pria pujaan hatinya, yang terkesan dingin dan sombong ini. Akhirnya apa yang diharapkannya selama ini terjadi, cintanya tak bertepuk sebelah tangan.
"Aluna Sophia, disini di tempat ini, hari ini secara resmi, bolehkah aku mengatakannya sekali lagi?" Ucap Alvian dengan tatapan yang mampu membuat Aluna merasakan sendi-sendinya lepas.
"Aku menyukaimu, ayoo kita mulai cerita kita." Ungkapnya lagi.
Aluna terdiam semakin kaku, bak es balok yang menunggu di pahat agar terbentuk lebih indah. Hilang kata, otaknya terasa penuh dengan bunga-bunga dan gelombang cinta yang sungguh membuatnya bahagia. Dengan mata yang berkaca-kaca haru Aluna menganggukan kepalanya dengan penuh keyakinan.
"Ayo, kita mulai."
*****
Aluna POV
Apa kalian pernah jatuh cinta?
Rasanya sungguh berjuta macam, seperti hari ini yang aku rasakan. Debar-debar aneh seperti diserbu sejuta kupu-kupu yang tak berkesudahan. Cinta berbalas itu seperti kamu dapat hadiah lotre yang isinya satu milyar kali ya. Haha. Apalagi ini cinta pertama ku.
Hari ini moodku sangat baik, semalam setelah perbincanganku lewat panggilan telepon dengan Andre sahabat baikku di ibukota. Segala rasa kesalku pada Alvian mendadak sirnah, lenyap tanpa bekas.
Kadang aku merasa begitulah manfaat sahabat, membuatmu nyaman dan kembali ke suasana hati yang lebih baik saat kita bener-bener down.
Hari ini Mama membawakan bekal snack berupa kue-kue basah yang di beli dari Bi Sinah tukang kue langganan Nini. Naasnya aku baru makan satu potong, sedang kan sisanya dihabiskan Alvian. Kesel? Pastilah. Tapi semuanya sebentar saja, karna setelahnya Alvian ngajak aku makan siang dan kalian tau?. Alvian ngajakin aku buat jadi pacarnya dan memulai semua cerita indah kami dari awal.
Aku berharap, sungguh-sungguh berharap hubungan kami akan terus membaik dan berakhir bahagia nantinya.
*****
Alvian POV
Semalaman aku tak bisa tidur nyenyak, pikiranku terus terkenang pada wajah cantik yang selalu ku buat kesal. Aluna Sophia.
Gadis yang baru beberapa bulan ini hadir dalam lembaran kehidupanku yang sepi. Paska kepergian Ayah, Ibu, dan Kakak perempuanku satu-satunya dalam kecelakaan pesawat itu aku memanglah selalu merasa hampa, hingga akhirnya ia hadir dengan sejuta tingkah absurdnya yang membuatku selalu merasa kehilangan bila tak melihatnya.
Aku tak pernah tau sejak kapan perasaan itu hadir mengisi relung kalbuku, yang kutahu pasti sejak Aluna berani mengungkapkan perasaannya di stasiun terakhir itu, aku selalu memikirkannya. Hingga akhirnya kemarin aku kembali membuatnya kesal.
Perempuan penuh semangat itu, perempuan agresif yang selalu berusaha membuatku tersenyum melihat segala usahanya mendekatiku.
Malam ini aku berpikir untuk menyudahi ketidakpastian sikapku, aku ambil celengan ayam yang terbuat dari tembikar, aku pecahkan untuk mengambil isi didalamnya. Aku rasa cukup untuk mengajaknya makan siang di cafe dekat sekolah yang selalu kami lewati. Sebagai sebuah permohonan maaf dan tentu saja agar terlihat seperti film-film drama percintaan yang sekilas pernah ku lihat di televisi, seorang pria akan mengutarakan perasaannya di tempat yang bagus dengan cara yang romantis. Untuk menjadi romantis sepertinya aku belum sanggup. Namun, setidaknya aku bisa mengatakannya di tempat yang bagus.
Jadilah hari ini, sejak pagi aku melihat moodnya yang sangat baik, padahal kemarin saat kami berpisah jalan setelah pulang sekolah, ia masih terlihat kesal karena setelah berhari-hari kami saling mendiami merasa saling asing satu sama lain. Sungguh aku kehilangan warna dalam hidupku tanpa tingkah absurdnya yang dia buat khusus untukku.
Akh, sungguh ini seperti gayung bersambut. Sepertinya ini adalah hari yang tepat untuk aku mengajaknya berbicara dari hati ke hati seperti rencanaku tadi malam. Dan aku mulai menyusun kata untuk mengajaknya makan siang, sejak keberangkatan kami ke sekolah sedari pagi ini.
Bel istirahat berdentang tiga kali saat mata pelajaran sesi pertama berakhir. Aku memindai ke sekeliling kelas, melihat seperti biasanya Aluna yang tak beranjak dari tempat duduknya untuk pergi ke kantin bersama teman-teman squad absurdnya itu. Aluna mengeluarkan sebuah buku dan kotak bekal dengan gambar tokoh disney si beruang madu kesukaannya. Yaa, aku tahu ia sangat menyukai tokoh Winnie The Pooh, sebab hampir semua aksesoris alat tulisnya selalu terlihat dengan gambar itu.
Aluna mulai membaca bukunya, sembari mengunyah makanan yang ia ambil dari kotak bekalnya saat aku mengambil temoat duduk disampingnya. Aku berdehem beberapa kali agar dia mengalihkan pandangannya kepadaku. Namun gagal, Aluna asyik dengan bukunya hingga tak memperdulikanku, padahal biasanya dia yang menarik perhatianku, bukan aku yang seperti ini.
Sedikit mengalihkan pandangan mataku ke arah isi kotak bekalnya, dengan beberapa jenis kue basah yang menggugah salivaku untuk berproduksi lebih banyak.
"Gosah ngences di kotak bekal aku, kalau mau ambil aja, tapi jangan habisin kue lumpurku."
Aluna bersuara mengizinkanku mencicipi bekalnya. Naasnya, lidahku justru tak mau menyudahi kegiatan mencecap rasa enak yang dihasilkan oleh kue yang aku makan ini, hingga tersisa sebuah kue lumpur, sesuai dengan pesan Aluna tadi dan sontak Aluna meneriaki aku dengan suaranya yang kencang, membuat seisi kelas beralih pandang ke arah kami.
Aku yang merasa bersalah hanya mampu menampilkan cengiran kuda yang sama sekali tak indah dipandang, aku menggaruk tengkuk belakang kepalaku sebelum akhirnya menyampaikan keinginanku mengajaknya makan siang di cafe seberang sekolah seperti rencanaku semula lalu beranjak pergi kembali ke bangku ku.
Aku merasa begitu lega, saat akhirnya melihat anggukan kepala Aluna, menyetujui ajakanku untuk memulai cerita cinta kami dari awal dengan sikap yang lebih baik. Semoga aku bisa membahagiakan kamu, wanita pertama yang mampu membuatku sepi tanpa kehadirannya disisiku.