Chereads / Bukan Stasiun Terakhir / Chapter 15 - Apa Kabar

Chapter 15 - Apa Kabar

Udara dingin, dan aroma petrikor siang ini terasa begitu menusuk indera peraba dan indera penciuman sepasang remaja awal yang beriringan tanpa bertegur sapa. Sang pemuda mengikuti gerak laju sepeda sang gadis pujaan yang sejak beberapa hari lalu mendiaminya.

Biasanya, sang gadis akan bersenandung di sepanjang perjalanan mereka, sangat mengusik gendang telinga sang pemuda. Namun tidak beberapa hari ini, sang gadis berubah menjadi tak acuh, seolah tak melihat sang pemuda tersebut ada disekitarnya.

Tidak hanya dalam perjalanan pulang dan pergi sekolah saja mereka bagaikan dua orang asing, disekolah pun keduanya tidak lagi bertegur sapa, atau sekedar bertukar pikiran untuk tugas-tugas sekolah kala salah seorang diantaranya belum memahami penjelasan guru bidang studinya seperti hari-hari kemarin.

Alluna bukan tidak tahu, Alvian selalu mengayuh sepedanya lebih lambat dibelakangnya, menunggunya saat pergi sekolah di tempat biasa walaupun tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya untuk sekedar menyapa, jangankan suara, melirik saja Luna enggan.

Bukan karena ia masih marah dengan sikap dan kata-kata Alvian tempo hari di stasiun tua, hanya saja Luna berharap dengan begini Alvian akan menjadi lebih agresif dan berani mengatakan perasaannya pada Luna, namun sepertinya perjalanan merubah sikap Alvian itu masih akan sangat panjang. Alvian masihlah Alvian yang kemarin, yang pelit kata, pelit ekspresi, dan sungguh dingin.

"Tau salah, tapi gak mau minta maaf!" gumam Luna berbisik pada dirinya sendiri ditengah perjalanan.

"Mau sampai kapan diemnya?"

Suara Alvian tiba-tiba menyapa indera pendengaran Luna, membuat bulu-bulu halus milik Luna meremang.

Perlahan keduanya kini mengayuh sepedanya,

beriringan walau masih tanpa suara lagi, namun kali ini mereka menyadari kehangatan yang menjalar di hati karena satu sama lain.

"Aku minta maaf."

Alvian kali ini mengucapnya dengan nada sungguh-sungguh, sembari menghentikan kayuhan sepedanya, membuat Aluna yang menyadari gerakan Alvian itu turut memghentikan laju sepedanya beberapa meter di depannya.

Aluna memalingkan wajahnya ke arah Alvian, membuat kedua pasang mata itu bersirobok penuh rindu. Perlahan Alvian turun dari sepedanya dan menuntunnya ke arah Aluna yang masih terpaku di depannya.

"Aku memang tidak terbiasa bercanda, jadi ku harap, kamu mau memaafkan lelucon garingku kemarin." Alvian kembali melanjutkan kata-katanya. Kali ini wajahnya menunduk, tak berani berhadapan langsung dengan manik mata cokelat milik Aluna.

Aluna mematung, pikirannya masih mengolah kata apa yang sebaiknya ia keluarkan untuk membalas Alvian. Akan terasa sangat mudah untuk Alvian mengulangi kesalahannya bila Aluna langsung memaafkannya. Namun, Alluna juga mendadak disergap rasa takut bila Alvian akan menjadi lebih jauh, bila Aluna bersikeras mempertahankan egonya untuk membuat Alvian lebih bucin darinya.

"Tidak semudah itu mengobati hati yang luka karena kata-katamu kemarin."

Aluna mulai menyuarakan isi bohlam yang ada diatas kepalanya. Sebuah senyum jahil kini tersungging di paras gadis ayu itu.

"Kamu harus melakukan beberapa syarat yang akan kuberikan, sebelum akhirnya seratus persen aku memaafkan dari lubuk hatiku yang terdalam."

"Syarat?" Beo Alvian

"Iyaa, syarat."

"Tapi, bukannya kemarin aku juga sudah mengatakan bahwa aku juga menyukaimu. Apa itu belum cukup mengobati luka hatimu karena candaanku?"

Alvian menyuarakan ketidak setujuannya atas syarat yang bahkan belum Luna utarakan.

Aluna kembali tersenyum. "Aku tidak memaksa, hanya bila kamu ingin aku memaafkan mu seratus persen tanpa dendam untuk membalas."

"Menurut kamu, memberi maaf dengan syarat, itu berbeda dengan balas dendam?" tanya Alvian sembari mengernyitkan dahinya

Aluna kembali terdiam, senyum yang sejenak terbit ternyata tak bertahan lama untuk kembali surut. Sepertinya kata-kata yang diucapkan menjadi boomerang buat dirinya sendiri. Alvian sungguh teliti dalam setiap ujaran Aluna.

Senyuman kini berbalik menghiasi wajah manis Alvian yang sadar dengan perubahan gurat wajah Luna yang kehabisan kata-kata untuk membalasnya.

"Hmm, baiklah. Katakan apa syaratnya. Kalau masuk akal, akan aku lakukan. Anggap saja sebagai hadiah, karena kamu berani mengungkapkan perasaanmu untuk ku selangkah lebih dulu."

Aluna tercengang, wajahnya yang sedari tadi tertunduk tak berani membalas tatapan mata Alvian setelah pertanyaan terakhirnya, kini kembali mendongak, memindai pemuda yang ada dihadapannya.

"Apa syaratnya?" Alvian kembali bertanya.

"Lupakan."

Aluna mencoba untuk tidak melanjutkan rencananya, melangkah kembali menaiki sepedanya sebelum akhirnya benar-benar mengayuhnya, meninggalkan Alvian yang masih diam mematung ditempatnya. "Apa aku salah bicara lagi?, dasar perempuan susah sekali dimengerti." Alvian bermonolog, meraih sepedanya. Mengayuhnya dengan kencang mengejar Aluna yang sudah lebih dulu di depannya.

*****

Luna baru saja terbangun dari lelapnya tidur siang yang menyegarkan pikiran dan tubuhnya. Akhir-akhir ini hujan memang seringkali turun tanpa tahu waktu, entah pagi, siang, sore atau bahkan tengah malam sekalipun.

Ini adalah hari Minggu, dan kebetulan tidak ada jadwal pemotretan seperti biasanya sehingga Luna dapat memanjakan tubuhnya yang satu minggu penuh ini sudah bertugas dengan baik.

Luna meraih telephone genggamnya yang terletak di atas meja yang terletak di samping tempat tidurnya. Sebuah pesan dengan keterangan waktu penerimaan dua jam yang lalu tampil dari layar datar ponselnya tersebut dari sebuah nama yang sangat tidak asing baginya. Andre.

" Holla cewek."

Kalimat itu yang muncul dari balik pesan singkat yang dikirim Andre melalui sebuah aplikasi pesan yang hanya dimiliki oleh merk telephone genggam yang dimilikinya.

Sebuah senyum terbit dari gadis bermata indah itu, membalas pesan yang sudah dua jam lamanya menunggu untuk sekedar dibaca.

"Heh, anak laki-laki."

Luna mengirim balasan untuk sang pengirim pesan sebelumnya itu.

Satu menit.

Lima menit.

Sepuluh menit.

Alluna belum juga menerima balasan pesannya, ataupun sekedar dua centang biru yang menjadi tadi tanda pesannya sudah dibaca.

Sebelum akhirnya ia memutuskan untuk beranjak dari tempat tidurnya. Meninggalkan ponselnya, untuk sekedar melihat kondisi rumah yang dirasanya cukup sepi.

Tangannya nyaris menggapai kenop pintu kamar, sebelum akhirnya gagal, teralihkan dengan suara khas panggilan dari telephone genggamnya.

Aluna kembali berjalan mendekati sumber suara yabg berasal dari atas meja kecil disamping tempat tidurnya.

Andre

Sebuah nama yang muncul di layar benda pipih tersebut.

Tombol hijau yang tampil diantara dua warna yang ada dipilih Luna untuk kemudian digesernya, hingga sambungan antara dirinya

dan penelpon tersebut pun berlangsung.

"Hallo." Alluna menyahut.

"Hai nona sombong!" Balas Andre. "Elu itu ya, kalau gak dimulai berkabar, gak pernah mau kasih kabar duluan." Keluhnya lagi.

"Hehe...maaf Ndre, gue akhir-akhir ini lumayan sibuk," kilah Luna.

"Hilih, alasan. Lama banget ya nulis apa kabar?"

Andre masih belum menyerah dengan curahan kekesalannya pada Luna.

"Iya, maaf....maaf, tapi elu sehat-sehat aja kan disana, walaupun gak terima chat gue?"

"Hmm, Alhamdulillah walau tanpa perhatian lu, gue disini sehat wal'afiat." Balas Andre menyindir Luna.

"Dih, segitunya, hahaha." Luna tertawa lepas, mendengar celoteh Andre yang bermuatan keluh kesahnya terhadap sikap tak acuh Luna.

"Seeet dah akh, malah ketawa."

"Lah kan gue udah minta maaf tadi."

"Yo wess lah, lain kali jangan gitu ya?."

"InsyaAllah, kalau gak lupa."

"Dosa lu bawa-bawa Tuhan tapi gak niat berubah beneran."

"Haiiissss Ndre, lu nelpon gue cuma buat debat receh begini?" Luna mulai emosi dengan Andre.

"Buahaha...emosi nona?" Tawa Andre pecah. Dirinya paham betul Luna bukanlah orang yang suka disudutkan seperti yang Andre lakukan padanya barusan.

"Apa kabar bisnis lu?" Andre mengalihkan topik pembicaraan mereka.

"Alhamdulillah, lancar."

"Weits, udah jadi photographer profesional dong? Saingan sama Darwis Triadi kayaknya bentar lagi yaa." goda Andre

"Haiss ... parah ih ngeledeknya."

"Itu do'a nona, bukan ledekan."

"Aamiin, terima kasih deh kalau niatnya begitu."

Pembicaraan jarak jauh via sambungan telepon itu berjalan dengan baik, diselingi canda tawa tentang bahan perbincangan yang cenderung absurd. Hingga tanpa sadar waktu terus berjalan