Chereads / Bukan Stasiun Terakhir / Chapter 14 - Satu Sama

Chapter 14 - Satu Sama

Alvian sangat terkejut dengan pertanyaan gadis yang ada dihadapannya ini. 'Bisa-bisanya dia mengatakan hal seperti itu saat ini.'

Tidak dapat Alvian pungkiri dia cantik, pintar, dan Alvianpun mulai memiliki hati, bahkan beberapa minggu ini keduanya selalu bersama. Seperti hari ini, karenanya juga Alvian terlambat ke sekolah, dan membolos.

Tapi sayangnya Alvian belum berani membalas pertanyaannya sekarang, Alvian yang merupakan anak yatim piatu, dan merasa belum punya apa-apa, takut menjadi tak sesempurna yang dia bayangkan.

Alvian memalingkan pandangan matanya yang sedari menikmati setiap inci wajah cantik Alluna yang akhir-akhir ini sungguh mengganggu pikirannya, dan juga menyakiti hatinya karena selalu berdegub dengan lebih kencang setiap kali mengingat, dan merindukannya.

"Aku mau tidur ya, tadi malam aku begadang ngerjain fisika," Balas Alvian mengalihkan pertanyaannya.

Alvian cukup tahu balasannya itu telah merubah airmuka Alluna, senyuman manis yang tadinya bertengger di wajah gadis itu pun kini berubah dengan dia mempoutkan bibir kecilnya yang sungguh mneggemaskan di mata Alvian.

"Oh Tuhan, itu sangat menggemaskan!" batin Alvian, menahan gejolak di dadanya untuk tidak menggemasinya dengan mencubit, atau bakan menciumnya sekarang.

"Tidur sana!"

Untuk pertama kali selama keduanya saling mengenal ini kali pertama ia mendengar Alluna ketus menjawab ucapannya.

Namun, tak urung Alvian tetap tersenyum menanggapinya, Alvian cukup memahami kekesalan yang mungkin saja Alluna rasakan, karena bertanya hal apa dijawabnya apa?. Padahal mungkin saja juga untuk bertanya seperti tadi ia sudah membuang jauh-jauh rasa malunya.

"Maafkan aku Luna, ini belum waktunya." kembali Alvian bermonolog dalam hati.

"Aku mau tidur juga." Luna ikut menyuarakan keinginannya dengan ketus.

"Ya udah, kamu tidur biar aku jaga."

Akhirnya Alvian yang mengalah, sebenarnya pun ia tidak mengantuk. Tadi itu hanya alasannya mengalihkan pembicaraan yang salah, karena ia telah memancingnya untuk mengatakan pertanyaan yang ia sendiri belum berani menjawabnya. Meski sebenarnya iapun merasakan hal yang sama seperti apa yang Alluna rasakan padanya.

***

Luna benar-benar tertidur di samping Alvian, sedangkan Alvian masih terus memandangi wajah damai Luna yang terlena belaian semilir angin yang berhembus di sekitar keduanya.

Perlahan tangan Alvian mengasur membelai rambut halus Luna dengan sayang. "Maafkan pengecut ini." guman Alvian lirih.

Kadang perasaan memang tak semudah itu untuk di ungkapkan dan Aluna adalah gadis yang cukup agresif untuk mengutarakan perasaanya itu tidak siap menerima penolakan halus dari anak laki-laki introvert yang masih takut memulai.

Bukan karena Alvian tak menyukai Aluna, namun yang Alvian tahu, Aluna selalu hidup bahagia, berkecukupan. Sedangkan dirinya harus mencari rumput untuk sapi dan kambing yang ia gembala untuk mendapat makan dari keluarga pamannya.

Menjadi anak yatim piatu itu sungguh berat, apalagi tanpa adik dan kakak tempat dia berbagi bahagia ataupun sedih.

Itu sebabnya diluar Alvian menjadi pribadi yang menyendiri, sulit di dekati, dan dingin seperti es batu, sebab ia merasa takut penolakan akan terjadi bila ia terlalu berbaur dengan mereka yang memiliki segalanya sedangkan dia bukan siapa-siapa.

Kelopak mata yang sedari tadi tertutup kini mulai ada pergerakkan. Pelan-pelan terbuka dan bersirobok dengan tatapan memuja Alvian.

Sejenak Luna terpaku seperti yang sudah-sudah saat harus berhadapan dengan mata indah di hadapannya ini. Namun kali ini tak butuh waktu lama untuk ia tersadar kembali menarik tatapannya.

"Apa lihat-lihat?" ketus Aluna menghardik. "Nanti kalau kamu jatuh cinta aku tolak!" ucapnya lagi penuh kesal.

Alvin terkikik kecil mendengar ucapan Aluna. Memancing emosi Luna kembali tersulut.

"Balas dendam kamu?" ujar Alvian masih dengan menahan tawanya.

"Siapa yang dendam?" kali ini Luna berlagak seolah-olah tak ada kejadian sebelumnya yang membuatnya harus kehilangan harga diri. Karena mengutarakan perasaan hati, namun berbalas dingin tak dihiraukan.

"Alhamdulillah kalau gak dendam," syukur Alvian, yang membuat Luna kembali menggeram.

Semudah itu Luna pikir Alvian menganggap semuanya biasa saja, sedangkan dirinya harus menahan malu dan kecewa secara bersamaan, membuat moodnya semakin anjlok dan malas untuk berinteraksi lagi dengan pria pujaannya ini.

"Udah panas, ayo kita pulang." Ajak Alvian akhirnya, sembari mengaitkan tangannya ke tangan Luna.

"Tapi, ini belum jam pulang sekolah." tolak Luna.

"Kamu mau jadi cewek kampung, hitam, dekil?" tanya Alvian dengan alis mata yang menyatu di dahinya. "Nanti bukan cuma aku yang nolak kamu, cowok lain juga bakal gak ada yang mau sama kamu."

Ucapan Alvian yang bermaksud bercanda itu ternyata membuat Luna murka. Sontak Luna menghempaskan pegangan tangan Alvian. Sedikit terperangah Alvian tertegun dengan sikap Luna yang tak disangkanya.

Aluna segera bangkit dan beranjak dari tempatnya, berjalan cepat meninggalkan Alvian yang masih dalam kebingungannya.

"Luna...Aluna..." panggil Alvian kemudian setelah kesadarannya kembali dan melihat Aluna yang sudah berjalan jauh.

Aluna terus melangkahkan kakinya lebih cepat, buliran kristal bening sudah tak lagi mampu dia tahan, perlahan dengan kurang ajar menjamah wajah cantik yang tadinya bahagia.

"Siapa dia? Sombong sekali?" ujar Luna bermonolog.

Alvian terus mengejar Luna, hingga kini mereka berjalan cepat beriringan.

"Maaf, aku cuma bercanda." mohon Alvian dengan iba.

Kali ini Aluna benar-benar marah, tak acuh dengan apa yang Alvian katakan, pandangannya fokus ke depan, tak sedikitpun ingin berpaling menatapnya.

Luna berhenti mendadak dari langkahnya. Membuat Alvian yang berjalan disampingnya ikut berhenti dengan kebingungan.

"Belum lama kau mengajariku tentang maaf yang mubazir, dan sekarang kau melakukannya!"

Aluna berkata dengan berapi-api, terpancar jelas kemarahannya dari manik mata yang selalu Alvian rindu.

"Aku hanya berniat menggoda." ucap Alvian dengan suara yang semakin lirih.

"Ya, dan kau berhasil menggodaku, menggodaku untuk menghajarmu!" Aluna semakin menggebu meluahkan emosinya.

"Kalau kau, tidak menyukaiku. Setidaknya jangan menyumpahiku atau mendoakanku untuk tidak laku!" Luna mengakhiri percakapan mereka, melangkah lebih dulu untuk menjauh dari Alvian yang masih setia berdiri di tempatnya.

Langkah Luna kembali terhenti setelah beberapa meter menjauh dari Alvian. Sebab Alvian yang mulai kembali ke kesadarannya kembali berteriak.

"Aku menyukaimuuuu Alunaaa."

Sedikit menghangat di sudut hati Luna, namun kali ini dia tak mau kalah egois dari Alvian, kembali dilanjutkannya langkahnya tanpa menoleh ke arah suara yang paling merdu dengan kata-kata yang paling ia ingin dengar dengan cepat, namun bukannya bertemankan airmata seperti sebelumnya melainkan ada senyum manis yang menghiasi wajah cantiknya, tanpa Alvian mampu melihatnya kali ini.

Luna tiba di tempat mereka meletakkan sepeda. Samar luna mendengar suara yang tak asing baginya di susul dengan munculnya sosok yang membuat Luna yakin, itu Lastri. Sepupu sekaligus teman dekatnya.

"Lastri!" pekik Luna

Sepertinya Tuhan mendukung sandiwara aleman Luna pada Alvian hari ini. Kehadiran Lastri sungguh menjadi penyempurna ide jahilnya untuk membalas sikap Alvian yang menyebalkan tadi.

"Luna?"

Lastri cukup terkejut Aluna sepupunya itu kini ada dihadapannya. Tawa yang menghiasi langkahnya dengan Dody yang ada disampingnya, kini berubah dengan wajah pucat, dan panik.

"Tenang aja, aku gak akan bilang siapa-siapa kamu bolos hari ini." ucap Luna menenangkan. Seolah tau ketakutan mendasar yang menjadi alasan perubahan ekspresi wajah ayunya.

"Kamu sendiri ngapain di sini?". tanya Lastri tak kalah garang.

Kesadaran lastri yang beranjak naik, melihat Luna dan dirinya tak jauh berbeda, nereka sama-sama berada di posisi membolos membuatnya kini berbalik menantang.

"Ck, boloslah. Apalagi?" Luna menjawab dengan santai tanpa beban.

Ekspresinya yang tanpa rasa bersalah itu kembali memciutkan Lastri.

"Aku boleh pinjam sepedamu ya, aku mau pulang."

"Sepedamu mana?"

"Rusak. Aku kesini sama Alvian, tapi aku males pulang bareng dia." terang Luna memelas. "Nanti aku cerita, sekarang kasi aku pinjam ya?" pintanya lagi semakin memelas.

"Hmm, bawalah. Nanti aku bisa minta anter Dody ambil ke rumahmu." akhirnya Lastri mengizinkan.

Luna tersenyum senang, tak lupa mengucapkan terima kasih. Kemudian mengayuhkan sepedanya dengan kencang berharapa Alvian tak melihat kepergiannya, dan juga tak akan berhasil mengejarnya.

Di lain tempat, Alvian yang sadar Luna sudah menjauh pergi entah ke arah mana membuatnya kebingungan berjalan ke sana kemari memanggil nama luna

"Luna...Lunaaaa...Alunaaa."

Alvian terus berteriak frustasi, seperti ayam kehilangan induknya.

Lastri yang mendengar teriakan Luna, mencari arah suara yang asing itu namun dengan nama yang sangat ia kenal. Di desa ini siapa lagi yang punya nama Aluna, pikir Lastri. Dody pacar Lastri yang sedari tadi memperhatikan sikap kekasihnya itu, ikut memasang telinganya baik-baik mencari arah suara yang sama.

"Disana." seru Dody menunjuk ke arah selatan.

Lastri dan Dody berjalan beriringan ke sumber suara yang di dengar. Hingga akhirnya mereka menemukan sesosok anak laki-laki sebaya mereka yang Lasri kenali tengah terduduk sembari menangkupkan wajahnya diantara kedua kaki yang disanggah kedua tangannya. "Alvian?" gumam Lastri ragu.

Alvian yang mendengar namanya disebut, menengadah menatap mata seseorang yang tak lain Lastri dan Dody teman SMP nya. Walau terbilang tak begitu dekat, tapi mereka saling mengenal.

Alvian bangkit, mendekat ke arah sepasang kekasih itu. "Lihat Luna?" tanyanya tanpa basa basi.

"Udah pulang naik sepedaku..."

Lastri belum selesai mengucapkan kalimatnya.

Alvian sudah berlari menuju tempatvia meletakkan sepedanya saat datang bersama Luna tadi.

Berharap bisa segera menyusul Luna, menyelesaikan masalah hati mereka saat ini juga. Alvian tidak ingin masalah mereka berlarut. Dan kesempatannya mendapatkan wanitanya itu hilang dan berganti dengan penyesalan. Sungguh kebodohan yang sangat mengenaskan. Alvian yang jarang sekali bercanda dengan orang lain, harus mengalami trauma saat tema bercandanya ternyata salah dan justru membuatnya kacau seperti sekarang.

Alvian mengayuh dengan sangat cepat, tak perduli lubang atau bebatuan yang dilewati, dirinya berusaha secepat mungkin mengejar Luna yang sama sekali sudah tak terlihat dari pandangan matanya.

Kali ini sepertinya ketakutan akan kehilangan kembali membayangi pikiran dan melukai perasaannya. Alvian memutuskan mengikuti arah jalan pulang ke rumah Luna, seperti dugaannya Luna baru saja membelokkan sepeda Lastri ke samping rumahnya.

"Terlambat." pikir Alvian. Berhenti sejenak di depan rumah Nini Luna, Alvian memikirkan apakah dia kan memanggil Luna keluar, atau membiarkannya dulu saja sampai emosi Luna mereda, dan mengajaknya bicara baik-baik nanti.

Alvian beranjak, memilih opsi yang ke dua. Berharap semuanya akan membaik seiring waktu yang berjalan esok hari.