Sejak hari itu, hubungan Alluna, dan Vian semakin dekat, walau tanpa kata saling. Keduanya kini terlihat selalu membersamai satu sama lain. Vian selalu menunggu Alluna dengan sepedanya di persimpangan jalan yang memisahkan arah rumah Alluna, dan rumahnya setiap pagi saat akan berangkat sekolah. Sementara di saat pulang sekolah keduanya juga akan bersama-sama mengayuh sepeda, hingga kemudian berpisah di persimpangan yang menjadi batas desanya, dan desatempat tinggal Alvian.
'Apakah Lastri marah dan merasa terabaikan?'
'Jawabnya, tidak!'
Lastri sama sekali tidak marah ataupun merasa terabaikan dengan Alluna yang lebih memilih pergi, dna pulang bersama Alvian, karena sejak beberapa minggu yang lalu Lastri, dan Alluna sudah jarang berangkat bersama karena Lastri sudah lebih dulu punya gebetan di kelasnya, yang juga anak desa sebelah.
Seperti pagi ini, Alvian yang masih irit kata walaupun sedang berdua, meski sikapnya mulai lebih manusiawi kepada Alluba. Alluna yang telat sepuluh menit dari waktu yang biasanya, akhirnya dijemput ke rumah oleh Alvian.
Ini merupakan kali pertamanya Alvian datang kerumah Alluna, hanya untuk menanyakan apakah Alluna masuk sekolah atau tidak, sebab kemarin saat keduanya pulang bersama Alluna mengeluh sakit perut karena sedang datang bulan.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikum salam." Nini membalas sapaan tamu yang datang pagi ini.
Sekilas Nini memindai penampilan Alvian yang kini sudah berdiri di depan pintu.
"Teman Luna ya?"
"Iya Ni." Alvian membalas singkat, menutupi kegugupannya. Saat ini dalam hati Alvian dirinya sedang mengutuki keputusannya yang impulsif untuk datang melihat keadaan Alluna
"Luna ada di belakang, lagi ngambek ban sepedanya bocor."
Alvian yang mendengar penjelasan Nini mengerutkan dahinya, mencerna kata-kata Nini.
"Maaf Ni, boleh saya ke belakang? Tanya Alvian sopan.
Nini mengangguk. "Masuklah."
Menghela Alvian masuk dan mengantarkan Alvian ke belakang tempat Alluna duduk merengek, dengan bekas airmata yang tadi menggenang.
Alluna belum menyadari saat Alvian datang, dan berjalan mengikuti langkah Nini ke dapur, tempat Alluna sedang menumpahkan kekesalannya pada sang mama yang kemarin sore meminjamkan sepedaku pada Bik Yayuk, tetangga sebelah hingga bannya kempes, dan kini Alluna tak bisa sekolah.
"Luna, ada temanmu mencari."
Suara Nini yang datang dengan tiba-tiba serta membawa seseorang yang sungguh Alluna kenali itu, cukup membuatnya tercengang. Alluna sedikit kehilangan fokus melihat wajah Alvian yang datar. Pandangannya dingin seperti biasanya.
"Vian?" desah Alluna lirih, nyaris hanya Luna yang mungkin mendengarnya.
Nini beranjak meninggalkan sang cucu, dan teman sekolahnya yang kini tengah berhadap-hadapan. Alluna bahkan kini masih dengan baju tidurnya, dan handuk di kepala, dengan mata sembab, dan air hidung yang masih sesekali ingin keluar itu, membuat terlihat sangat kacau di hadapannya saat ini.
"Sekolah?"
Suara Alvian akhirnya terdengar menanyakan niatanku untuk berangkat ke sekolah atau tidak.
Alluna melirik sekilas ke arah jam dinding yang terpasang di atas pintu dapur. Dua puluh lima menit lagi kereta yang biasa akan mengantarkan kami ke sekolah itu akan berangkat.
"Apa masih sempat?" batin Alluna bermonolog.
Secara impulsif Alluna mengangguk, walaupun sesungguhnya Alluna sungguh tidak yakin, mereka tidak akan terlambat. Hanya satu yang menjadi motivasi di alam bawah sadar Alluna saat ini bahwa Alvian tahu sepedanya rusak, dan itu artinya bila Alluna mengiyakan, maka dia akan membonceng Luna saat pergi dan pulang sekolah hari ini.
"Aku tunggu di depan."
Lagi Alvian bersuara, melangkah ke luar rumah Niniku. Membiarkan Luna sesaat, untuk menikmati punggungnya yang semakin menjauh.
*****
Apa yang Luna takutkan terjadi, mereka akhirnya terlambat tiba di stasiun, hingga tertinggal kereta yang akan mengantarkan mereka ke sekolah seperti hari-hari sebelumnya.
Luna dan Alvian kini terduduk di jajaran kursi tunggu yang ada di stasiun itu. Luna sibuk dengan rasa bersalahnya, sedangkan Alvian sibuk menemukan tempat untuk mereka bisa menghabiskan hari hingga jam sekolah usai, dan mereka bisa pulang tanpa ketahuan bolos sekolah hari ini.
Luna masih duduk memperhatikan gerak gerik Alvian yang sejurus kembali menatapnya penuh semangat.
"Mau pulang atau ikut aku?" tawar Alvian pada Luna yang masih dengan wajah lugunya.
"Kamu mau kemana?" tanya Alluna menyelidik
"Stasiun terakhir!"
Luna sedikit mengerutkan dahinya, mencoba mengingat nama tempat yang biasanya menjadi tujuan wisata di kotanya itu, tapi seingatnya tidak ada tempat dengan nama itu.
"Ikut." Putus Alluna akhirnya sembari berjalan mengikuti langkah kaki panjang Alvian menuju tempat penitipan sepeda.
Saat tiba diparkiran, Alluna langsung naik ke boncengan sebelum Alvian menaiki sepedanya.
Membuat Alvian menatapnya tajam membuat ngeri. Namun Alluna tetap tersenyum manis membuatnya menggelengkan kepala, dan tetap menaiki sepedanya, tanpa menyuruh gadis itu turun.
Hembusan angin yang melewati indera peraba mereka, membelai surai Alluna yang tergerai, seolah melambai. Tak banyak kata dan cerita yang terjadi selama perjalanan. Diam menjadi pilihan untuk masing-masing keduanya memberikan kesempatan pada perasaan yang sedang fokus pada objek kenikmatannya.
Hingga tanpa sadar, Alvian memberhentikan sepedanya, pada tempat yang tak asing bagi Alluna. "Stasiun Tua".
Alvian turun dari sepedanya dengan Alluna yang masih bingung, kenapa mereka kesini. Pikiran absurd kembali menggangguisi kepala Alluna. "Jangan bilang kalau Alvian itu sejenis wolfman yang akan memangsaku, karena dia pikir aku punya darah suci. Atau jangan bilang dia marah, lalu akan melakukan hal-hal yang mengerikan, aku belum siap terkenal dengan cara begitu, sekalipun aku ingin sekali masuk majalah, tapi sebagai photographer terkenal bukan korban pemerkosaan atau mutilasi," Alluna berimajinasi.
"Kenapa masih disitu?"
Suara tanya Alvian itu sungguh membuat Alluna yang amsih dengan pikiran anehnya itu seperti kerbau di cucuk hidungnya, respon Alluna yang selalu diluar nalar seperti sekarang ini, bukannya malah bertanya mau kemana? Kenapa kesini?, Alluna justru berjalan mendekatinya, mengekor dibelakangnya, mengikuti arah langkahnya hingga tiba pada gerbong tua, tempat pertama kali keduanya bertemu, dan kala itu Alluna berlari tunggang langgang karena menganggapnya hantu.
"Aku gak mungkin pulang, bibi pasti akan memarahiku," ucapnya Alvian kali ini lirih.
Alluna yang membuat mereka menjadi menjadi terlambat mendapat kereta, hingga akhirnya tidak bisa datang ke sekolah. Bila harus menunggu kereta selanjutnya itu hanya akan datang satu jam kemudian, sudah pasti sekolah ditutup, dan mereka tetap tidak bisa masuk kelas.
"Maafkan aku." Suara Alluna terdengar tidak kalah miris, menyesali kecerobohannya.
"Percuma."
Alluna terperangah dengan balasan Alvian. "Bahkan untuk memaafkan saja makhluk Tuhan satu ini sulit?"
"Sebelum marah, sebaiknya kamu berpikir, apa itu perlu atau tidak, jadi gak ada kata maaf yang mubazir setelahnya." Alvian kembali melanjutkan ucapannya, kali ini terdengar seperti seorang Ayah yang memperingatkan anaknya.
Alluna tepekur memaknai kata-katanya yang sok bijak itu, untuk pertama kali Alluna mendengar kata-kata hikmah darinya. Biasanya Alvian hanya bicara satu sampai tiga kata saja dalam percakapan mereka.
Alluna tak membalas kata-katanya, gadis itu kembali menikmati udara yang kini hilir mudik disekitarnya dengan damai dengan pemandangan yang sungguh menyejukkan mata. Sementara Alvian masih terus berjalan melewati gerbong tua yang menjadi tempatnya bermain gitar kemarin, hingga samar Alluna mulai sebuah danau dengan padang rumput yang sungguh indah. Beberapa burung bangau menjadi penghuni yang semakin menjadi daya tarik untuk gadis itu hampiri, dengan wajah yang kini Alvian lihat berseri-seri.
Tanpa sadar Alluna berjalan lebih cepat hingga kini justru ia yang memimpin perjalanan. Bahkan sedikit berlari tak sabar dengan apa yang ada di depan matanya kini.
"Dasar perempuan." Gumam Alvian yang masih bisa Alluna dengar.
Alvian berhenti melangkah, menjatuhkan tasnya sedang Alluna masih dengan kekaguman memandang ke seluruh penjuru tempat yang mungkin setelah ini akan menjadi spot terbaik untuknya.
Berlari, berputar, melompat, mengejar bangau, selayaknya anak-anak yang mememukan tempat bermainnya hingga puas, dan kembali menghampiri Alvian yang berbaring di atas hamparan rumput hijau dengan mata yang tertutup, wajahnya terlihat begitu damai, tenang, nyaman, dan menggoda Alvian untuk ikut berbaring disebelahnya, memandang langit dengan cara yang sama.
"Kenapa kamu bilang ini stasiun terakhir?"
Alluna yang sudah dengan posisi tidur diatas rumput, menyuarakan pertanyaannya pada Alvian yang kini ada di sebelahnya.
Mata indah yang selalu membuat Alluna terpaku, terpesona itu menatapnya teduh untuk pertama kalinya, membuatku meremang. Sesaat Alluna melihat Alvian memindai wajahnya. Membuatku merona malu, ingin berpaling namun kesempatan bertatapan seperti ini pastinya akan sangat langka, dan Alluna tak mau merugi karenanya. Hingga beberapa detik berlalu setelahnya ia berpaling lebih dulu.
"Kamu tahu, kereta tua yang tadi kita lewati?"
"Hmm." Balasku sambil mengangguk
"Mbah Akungku adalah masinisnya."
Alluna mulai tertarik mendengarkan cerita Alvian.
"Berpuluh tahun kereta itu menemani mbah uyutku, sejak awal dia menjadi masinis saat usianya masih baru dua puluh tahunan." Alvian berkisah dengan mata yang lurus menatap langit.
"Mbah Akungku yang berasal dari luar daerah bertemu dengan Mbah Utiku yang asli orang sini pertama kali di kereta tua itu."
"Itu sebabnya aku menyebut ini stasiun terakhir, karena kereta tua yang berasal dari daerah sebelah itu bersama Mbah akungku mengakhiri perjalanan mereka di sini, di kota ini." pungkas Alvian yang kini pandangannya beralih kepadaku yang sedang menyimak ceritanya.
"Waah ... romantis sekali ya." Ujar Allina berbinar.
"He'eh, kereta itu menjadikan stasiun ini sebagai stasiun terakhirnya, dan Mbah Akung menjadikan Mbah Utiku sebagai stasiun terakhir untuk hatinya." Alvian kembali menjelaskan.
Alluna sungguh terpana dengan cerita Alvian, sejenak dengan rasa percaya diri yang tinggi, Alluna pun merasa ini sebuah kode untuk keduanya jadian, maka dengan lantang Alluna memberanikan diri bertanya.
"Apa aku boleh menjadi stasiun terakhir buat hatimu?"