Chereads / Bukan Stasiun Terakhir / Chapter 12 - Pelukan Imajiner

Chapter 12 - Pelukan Imajiner

Menjelang tengah hari saat kelas di bubarkan, dan ini adalah saatnya berpetualang ria bersama squad kodomo. Aluna sudah tidak sabar melakukan perjalanan kali ini, sebab tidak seperti biasa, kali ini ada tamu istimewa yang turut dalam perjalanan mereka.

"Nanti jangan jauh-jauh dari aku ya," Aluna membisikan kata-kata genit yang ditanggapi dingin oleh Alvian.

Melangkah beriringan dengan orang yang disukai tentulah menciptakan desir di dalam hati sendiri, apalagi ini bisa jadi cinta pertama untuk seorang Aluna yang masih SMA.

Senyum yang tak mau tanggal dari tempatnya, sejatinya menambah aura kecantikan Luna bagi siapa pun yang melihatnya tak terkecuali Alvian.

Sayangnya Alvian bukanlah pria ekstrovert yang akan dengan mudah mengekspresikan rasa suka ataupun kagumnya secara gamblang seperti Aluna. Baginya perasaan yang seperti itu disimpan dalam-dalam akan jauh lebih baik daripada diumbar.

Semua anggota squad kodomo sudah berkumpul di depan pagar sekolah, menunggu sebuah angkutan umum yang sengaja di sewa untuk mengantarkan mereka ke rumah Dinda.

"Let's go"

"Jom ... jom ...."

"Ayoo, kita kemon!"

Masing-masing mereka berseru mengajak dengan bahasa sesukanya.

"Kamu duluan," tawar Luna pada Alvian yang sedari tadi berdiri dibelakangnya.

"Ngaco! Ladies first lah." tolak Alvin sembari mendorong pundak Luna untuk masuk terlebih dahulu.

"Ciee, udah main senggol-senggolan aja nieh," ledek Rusdi yang mendapat sorak sorai anggota squad yang lain.

Luna terlihat sangat sumringah mendengar ledekan teman-temannya, sedangkan Alvian justru terlihat menatap dingin ke arah Rusdi.

Hendra yang melihat ketidak nyamanan Alvian pun mengambil alih pembahasan mereka.

"Hsssst, biseeeng kali kelen, dah lah bang pir, jalan bang." seru Hendra pada supir angkutan umum itu menghentikan gurauan teman-temannya

Hamparan pohon jati menjadi pemandangan yang kini dinikmati oleh Luna dan teman-temannya, udara yang cukup segar menyapa lewat semilir angin yang singgah pada setiap indera peraba mereka yang berlalu lalang siang itu.

Aluna yang sejak awal hanya fokus memandang wajah Alvian yang duduk tepat dihadapannya, tak menghiraukan canda tawa teman-temannya yang terus saja berlangsung. Hingga akhirnya mereka tiba di pinggiran sungai tempat alat transportasi yang bernama getek itu bersandar menantikan penumpang.

Alvian turun lebih dulu, karena memang ia duduk tepat di sebelah pintu, tempat keluar masuk teman-teman yang lain diikuti oleh Luna yang keluar paling akhir.

"Hoaaaam ...." Ridho menguap sembari menggerak-gerakkan badannya ke kiri dan ke kanan.

"Jauh juga ya? Tapi seru sih tempatnya enak, rindang gak panas," ucap Luna penuh dengan kekagumannya.

Luna mengambil kamera DSLR yang sudah ia siapkan dari rumah. Kamera yang dia beli dengan uang hasil penjualan cincin pemberian dari Andre itu saat ini memang memjadi alat penghasil uang sekaligus penyalur hobi buta Luna.

Yaa, Luna memang membuka jasa photographer di desanya. Dirumah Nini, ia menyediakan studio photo kecil untuk mereka yang ingin menggunakan jasanya. Bahkan akhir-akhir ini Luna telah berani mengambil job photo prewedding pasangan-pasangan di desa yang akan segera menikah.

Bersyukur, usahanya mulai memperlihatkan kemajuan. Luna bahkan telah memiliki beberapa pelanggan tetap yang merupakan pemilik-pemilik jasa penyewaan dekorasi dan musik hajatan yang ada di desa, hingga tak jarang akhir pekan menjadi jadwal yang padat untuk Luna bekerja memperluas jaringan pelanggan jasa photonya tersebut.

Tanpa sadar sedari tadi Luna telah mengambil beberapa photo candid Alvian untuk ia simpan sendiri.

"Lun, photo dulu dong." pinta Nina

Tanpa basa basi dengan cekatan Luna mengambil beberapa gambar teman-teman centilnya itu. Kegiatan potret memotret pun terinterupsi dengan kehadiran getek yang akan membawa mereka ke desa sebelah. Karena memang angkutan umum tidak memliki akses kesana, jadilah angkutan yang mereka sewa hanya mengantarkan mereka sampai disini saja. Untuk selanjutnya mereka akan menyebrang dengan getek, serta mencari tumpangan mobil pasir untuk bisa tiba dirumah Dinda.

Luna dan Alvian saling berpandangan satu sama lain, entah apa arti tatapan itu, namun Luna membalasnya dengan senyuman dan segera melangkah ke arah getek, tempat teman-temannya yang lain sudah menunggu.

Beberapa saat kemudian, Luna dan teman-temannya kini telah tiba di rumah Dinda, yang langsung disambut dengan hangat oleh Ayah, ibu, kakak lelaki serta adik perempuannya yang masih berusia 3 tahun. Tanpa menunggu waktu yang lama, hidangan makanan yang beraneka ragam itu kini tengah menggoda pandangan mata siapapun yang melihatnya, tak terkecuali Luna, yang memang sangat menyukai makanan-makanan baru, tak perduli rasanya, Luna seringkali mencobanya lebih dulu, bila tidak cocok dengan rasanya Luna tidak akan mengulang untuk memakannya, sesederhana itu cara Luna berpikir tentang makanan.

Ingkung ayam kampung, pepes ikan, sayur pucuk ubi yang dicampur dengan ikan asap yang berwarna hitam, sambel teri kacang tanah, sambel terasi, sop tetelan, dan satu termos es serut timun.

"Waaah...banyak banget makanannya," Ridho berucap menyiarkan kekagumannya atas hidangan yang tersedia.

Mata berbinar Luna yang tak luput dari pandangan Alvian pun ternyata mampu menguraikan senyum tipis yang nyaris tak terlihat oleh siapa pun.

"Biasa aja lihatnya, jangan norak." bisik Alvian yang memang duduk bersebelahan dengan Luna.

Seketika pandangan mata Luna berbalik arah kepada Alvian, mempoutkan bibirnya, yang membuat alvian berhasil tersenyum lepas.

Dan untuk pertama kalinya Aluna melihat senyuman yang begitu lepas dari seorang Alvian Chandra.

Senyuman itu menular kepada Luna, seperti tak mau tanggal, bahkan Luna yang biasanya paling pertama memulai perangn makan dalam setiap jadwal arisan squad Kodomo itu pun, kali ini menjadi orang yang paling akhir mengambil jatah makanannya.

"Sakit Lun?" Hendra bertanya.

"Hmmm, enggak." balas Luna datar namun masih dengan senyum manisnya.

"Tumben makannya gak maruk kayak biasa. Emang udah pernah makan yang beginian ya Lun?" Kali ini Dinda si empunya tempat yang melontarkan pertanyaan dengan raut wajah yang kecewa yang tak di tutup-tutupi.

"Apa gak enak ya Lun, masakan Mamakku?" timpalnya lagi.

Sontak pertanyaan terakhir Dinda membuat Luna menjadi merasa bersalah.

"Gak loh Din, ini makanannya enak banget tahu?" ucapn Luna akhirnya sembari menambah beberapa lauk lain yang turut terhidang di sana.

"Ridho aja makannya lahap banget itu" ujarku lagi sembari mengedikkan ke arah Ridho yang terlihat seru memakan makanannya.

Dinda pun membalas sanggahan Luna dengan senyum, ada kelegaan disana.

Luna kembali memakan makananya yang kali ini terlihat begitu antusias, ya memang seharusnya dari awal dia menjaga sikap tidak menyinggung Dinda seperti tadi. "Huuh, ini gegara senyum Alvian sih," desah Luna bermonolog.

Waktu berjalan begitu cepat hingga kebersamaan mereka pun harus berakhir di sore hari yang mendung ini. Udara lembab yang dingin mulai mengusik kulit. Dan benar saja, saat mereka tengah menantikan truk-truk pasir yang biasanya berlalu lalang untuk membawa mereka sampai di tepi sungai tempat getek yang mereka tumpangi saat kedatangan tadi, hujan mulai turun. Di awali dengan hujan yang rintik-rintik hingga akhirnya menjadi hujan angin yang cukup deras.

Hendra, Rusdi, Ridho, Nina, Dinda, Luna dan juga Alvian, mereka berteduh di sebuah gubuk yang terbuat dari tepas daun nipah, menurut Dinda tempat ini bekas warung yang sudah lama tak digunakan lagi. Luna menautkan kedua tangannya di dada, tubuhnya mulai menggigil, bibirnya samar terlihat membiru, baju seragamnya ternyata tak cukup tebal menghalau dinginnya udara disaat hujan seperti sekarang.

Pagi tadi Luna sedikit terlambat bangun, karena takut ketinggalan kereta menuju sekolahnya, Luna pun lupa membawa cardigan yang biasanya selalu ia gunakan. Gigi yang mulai gemeretak menahan dingin, ditambah gerak tubuh yang mulai menandakan ketidaknyaman Luna, tak luput dari perhatian Alvian.

Dengan gerakan slow motion seperti yang sering Luna lihat di drama-drama korea. Alvian membuka Hoodienya, dan menyerahkannya pada Luna untuk bergantian ia gunakan.

Serempak semua mata memandang ke arah Alvian yang kini berdiri gagah menjulang di hadapan Luna. "Pakai, nanti sakit!" titahnya.

Seperti tersihir dengan ucapan Alvian, Luna tanpa membantah melakukan perintahnya. Sebuah senyum justru terbit saat aroma khas Alvian kini dapat ia hidu lebih dekat dari hoodie yang kini seakan memeluknya memberi kehangatan.

"Terima kasih." Ucap Luna sebelum Alvian kembali duduk disebelahnya.

'Aku akan menganggap ini sebuah pelukan darimu.'