Chereads / Bukan Stasiun Terakhir / Chapter 11 - Cerita Kita

Chapter 11 - Cerita Kita

Waktu berjalan begitu cepat, tanpa terasa sudah tiga bulan Luna melewati masa-masa SMAnya di sekolah yang menurutnya sangat luar biasa ini, dan hari ini adalah jadwal ujian mid semester terakhirnya.

Luna mampu melewati masa-masa adaptasi di lingkungan sekolah barunya, ia mendapati banyak teman baru di kelasnya, sebab selain Luna adalah seorang anak yang cerdas, pada dasarnya ia juga seorang gadis yang humble dan menyenangkan. Bahkan saat ini dirinya telah tergabung dalam sebuah squad kelas yang dipenuhi orang-orang jenaka dengan tingkat keabsurdan yang diatas rata-rata, dan itu sungguh memberikan sebuah kenyamanan tersendiri untuknya.

***

"Jadi arisan kita hari ini dirumah kau kan Din?" seru Hendra salah satu anggota squad yang diberi nama "KODOMO" itu.

Nama kodomo sendiri terinspirasi dari sebuah iklan pasta gigi anak di televisi yang sering kali dilihat, dengan tagline nya "teman baikku", jadilah squad ini memiliki nama tersebut.

"Pastilah, ku bacok kalian kalau sampai gak datang, Mamakku udah motong ayam kesayangan Bapakku biar kalian perbaikan gizi." balas Dinda galak.

Ya, salah satu agenda rutin yang dilakukan oleh para member kodomo adalah membuat sebuah arisan, yang isinya makan siang dirumah salah satu anggotanya secara bergilir setiap dua minggu sekali.

Sebuah alasan sederhana mengapa arisan ini menjadi sebuah kesepakatan, adalah agar semua anggota member lebih dekat tidak hanya secara personal, melainkan dekat, dan kenal juga dengan keluarga masing-masing, dan ini merupakan pengalaman baru yang sungguh menyenangkan untuk Alluna.

Hidup dan besar di kota membuat Alluna yang sebagai murid transmigran, mendapati sensasi baru bisa berkeliling dari desa ke desa mengunjungi rumah teman-temannya sekaligus mencicipi berbagai macam makanan tradisional yang berbeda-beda yang disajikan oleh orangtua atau keluarga teman-temannya tersebut.

Begitu juga dengan hari ini, setelah ujian matematika yang sungguh membuat lelah, Alluna, dan teman-temannya merasa sangat bersemangat untuk berpetualang ke desa dimana teman satu squad itu tinggal.

Nina pernah mengatakan bahwa untuk bisa sampai ke rumah Dinda, mereka harus menaiki sebuah sampan kecil yang ditarik dengan tali yang di ikat diujung sungai yang menjadi tujuan penumpang, orang desa sekitar menyebut alat transportasi tersebut dengan getek, lalu setelahnya mereka harus menumpang dengan truk pengangkat pasir yang hanya akan lewat pada jam-jam tertentu.

"Waaah, pasti masakan Mamakmu sodaaap botuuul ya Din?" puji Ridho girang. Ridho adalah member squad dengan tubuh yang paling tambun, dan jangan lupakan juga badan tambunnya itu mempengaruhi porsi besar makannya.

"Akh, kalau kau pasir campur tepung ubi juga enak." ledek Rusdi yang disambut gelak tawa kami semua.

"Hush ... jangan gitu lah, kasian Ridho loh" bela Nina yang memang punya hati dengan Ridho.

"Hilih, badan aja yang besar, gitu aja minta belain Nina." serang Rusdi lagi yang disambut riuh tawa kami semua kembali.

Ridho dan Nina yang menjadi bahan tertawaan bukannya marah atau risih dengan ujaran Rusdi, melainkan saling menatap dengan binar-binar cinta yang belum terucap.

Tawa dan riang canda masih terus berbalas diantara teman-teman Alluna tersebut, hingga pandangan matanya menangkap sosok dingin yang sudah tiga bulan ini Alluna dekati duduk menepi disudut kelas. Yaa, itu adalah spot terfavorit buatnya untuk menyendiri ditengah hiruk pikuk ruang kelas yang bebas tanpa pengawasan guru.

Dengan earphone yang bertengger di sepasang telinganya, Alvian sungguh terlihat menawan di mata Alluna. Pandangannya menatap lurus ke luar jendela, entah apa yang sedang ia pikirkan saat ini, yang jelas Alluna selalu menikmati saat-saat memandang wajahnya.

Mungkin Alvian tak setampan dewa-dewa pada mitologi yunani yang pernah Alluna lihat, dan baca deskripsinya di nonel, atau komik online. Namun, dimata Alluna pesonanya benar-benar tak bisa tergantikan. Berkat Alvian sepertinya Alluna mulai beranjak dewasa, dan merasakan getar-getar asmara.

Alluna melangkah perlahan mendekatinya, mencoba menawarkan ajakan untuk ikut acara squad kodomo siang ini dirumah Dinda, mungkin saja dia berminat, dan Alluna memiliki kesempatan untuk bisa lebih dekat dengannya.

"Hai Vian!" sapa Alluna agresif, yang langsung duduk di kursi kosong disampingnya, Alluna tau dia tidak akan mendengar apa yang Alluna katakan. Namun, pasti dia akan terusik dengan apa yang ia lakukan.

Seketika tatapannya beralih kepada Alluna, terkejut dan lantas melepaskan headset yang ia gunakan sebagai penutup telinga. Matanya tajam ke arah teman wanita sekelasnya itu, dan itu sudah biasa Alluna dapatkan, Alvian memang begitu ke semua orang yang ia temui di awal interaksi, kecuali orangtua-orangtua paruh baya. Ia akan terlihat sangat ramah dan bersahabat bila di depan mereka. Itu yang membuatku yakin bahwa sekalipun dia dingin dan terkesan kaku, namun dia adalah pria yang cukup baik.

"Hmm ...," gumamnya singkat.

Alluna mendengar gumamannya, pandangannya masih lurus menatap ke arah Alluna, sedikit canggung yang Luna rasakan saat ini. Namun, tetap tak menyurutkan keinginan Alluna untuk mengajaknya turut serta dalam perjalanan bersama teman-teman hari ini.

"Pulang sekolah ada acara gak?" tanya Alluna masih dengan nada riang. dihadap dingin, dan tidak bersahabat itu nyatanya tidak berhasil mengendurkan semangat Alluna untuk membuat pria di hadapnnya ini ikut bersamanya.

Alvian hanya menggeleng mendengar pertanyaan Alluna tersebut.

"Mau ikut aku sama temen-temen ke rumah Dinda yuuk?" tawarku lagi semakin bersemangat.

Sekali lagi Alvian menggeleng menolak ajakan Alluna.

Mungkin bila yang melakukannya orang lain, pasti akan mundur teratur dengan sikapnya ini. Namun, tidak dengan Alluna, pantang menyerah demi bisa dekat, dan mengenalnya lebih baik lagi.

"Ayolah Vian ... pleaseeee sekali aja, nanti kalau kamu gak nyaman gabung sama kita, besok-besok gak usah ikutan lagi deh."

Alluna kembali membujuknya, kali ini dengan jurus andalan eye puppynya, dan sedikit menggucang lengannya, Alluna berharap dia akan luluh dengan tingkah manjanya. Namun, semuanya tidak seperti yang di harapkan. Alvian justru membalikkan arah pandangannya, memasang kembali headsetnya, mengabaikan Alluna, membuat nyali gadis itu sedikit menciut, dan ingin beranjak dari sisinya.

"Nanti aku ikut!"

Tiba-tiba suara yang selalu terdengar merdu ditelinga Alluna itu kembali menginterupsi memberikan sensasi debaran bahagia tak terperi.

Langkah Alluna yang tadinya telah menciptakan jarak beberapa centi dari tempatnya, sejenak terhenti, Alluna mematung sesaat sebelum akhirnya berbalik kearahnya dengan senyum paling menawan yang ia punya. Naasnya dia sama sekali tak merubah posisinya sejak terakhir Alluna beranjak, jadilah senyuman itu hanya angin, dan cicak di dinding yang memandang penuh cela.

"Oke." balasku senang dan kembali melangkah berkumpul dengan teman-temanku yang lain lagi.

"Kau ngajakin es batu?" tanya Nina yang penasaran, padahal aku belum juga sampai dan duduk diantara mereka.

Semua mata mereka memandang Alluna penuh tanya, di beri tatapan yang demikian tentu aku risih, namun sepintas senyum tetap aku beri.

"Boleh kan Din?" tanya Alluna mendadak ragu, sedikit khawatir bila ternyata Dinda tidak nyaman dengan kehadiran Vian.

Dinda memandang dalam sebelum akhirnya dia tersenyum mengangguk," apa yang enggak buat mu Luna," ujarnya menghampiri sambil memeluk Alluna sayang.

"Kami akan mendukung perjuanganmu untuk menaklukkan es batu!" timpal Rusdi sembari mengepalkan tangannya ke atas seperti sedang menyemangatiku yang ingin ikut perang.

Senyum sumringah Alluna kembali terbit, mereka memang teman-teman yang baik buatnya. Mereka tahu Alluna menyukai Alvian, dan tidak pernah mengolo-olok kelakuan bucinnya yang kadang ditanggapi oleh gelengan kepala oleh mereka.