Matahari telah berada tepat diatas kepala saat hiruk pikuk para penimba ilmu berhamburan keluar dari istalnya. Bersenda gurau satu sama lain, seolah panas yang menyapa kulit bukanlah sesuatu yang patut untuk dihiraukan, dan mampu mengurangi keceriaan mereka.
Sudah hampir setengah jam Luna menunggu Lastri di depan pagar sekolah, berdiri sendiri sembari memindai satu persatu wajah para siswa yang berlalu lalang dihadapnnya kini, namun wajah Lastri tak kunjung menampakkan diri.
Rasa bosan yang mulai mengalir, menjadikan jenuh sebagai peraduan. Kakinya mulai meminta untuk di langkahkan pulang, tubuhnya mulai minta direbahkan. Namun, yang di tunggu tak kunjung datang.
Luna masih menjulurkan kepalanya mencari-cari keberadaan Lastri saat tanpa sengaja sepasang bola mata coklat miliknya menangkap sosok yang sejak beberapa waktu lalu mengusiknya.
'Dia manusia apa hantu sih?'
Luna masih memandanginya, hingga sesaat kemudian pandangan mereka bertemu ketika murid laki-laki yang di prasangkakan sebagai hantu gerbong kereta tua itu, memandang ke arah bola mata Luna.
Entah mengapa tiba-tiba hawa dingin kembali merayapi indera peraba Luna, membuat bulu-bulu halus di sekujur tubuh Luna meremang. Murid laki-laki itu memandang semakin lekat sampai jarak diantara keduanya semakin dekat untuk kemudian murid lelaki itu menghentikan langkahnya, memastikan arah pandangan Luna yang memang terpaku padanya.
Luna kembali ke kesadarannya saat suara cempreng Lastri menegur dengan tidak sopan masuk ke dalam gendang telinganya. "Alunaaaakuu ..." teriaknya dengan riang gembira, tanpa menyadari Luna yang hampir mati bosan menunggunya.
Tak membalas, sejenak setelah pandangannya teralihkan pada Lastri, Luna kembali mencari sosok yang tadi sudah hampir mendekatinya itu. "Shiiit ...!" umpatnya perlahan yang hanya mampu untuk di dengarnya sendiri. Murid lelaki itu sudah tidak berada ditempatnya lagi, menghilang seolah terbawa angin, begitu cepat dan tanpa jejak.
Luna masih bergeming saat Lastri semakin dekat tak berjarak, mengajaknya untuk melangkah pulang. Sekali lagi Luna memastikan pandangannya berbalik ke arah yang sama. Namun tetap Nihil. Ia menghilang.
***
Luna tak banyak mengeluarkan suara dan kata sepanjang perjalanan pulang mereka. Bahkan dirinya tak benar-benar menyimak apa yang Lastri keluhkan sepanjang jalan pulang. Di kepalanya saat ini yang ada hanya murid laki-laki itu.
'Siapa sih anak itu? Hantu bukan ya?'
Masih seputaran pertanyaan itu yang menggelayuti pikiran kecilnya. Tanpa Luna sadari kereta yang mereka tumpangi telah tiba di stasiun desa tempat mereka harus turun.
"Dari tadi mikirin apa sih?" suara Lastri tiba-tiba menginterupsi pikiran Luna yang melanglang buana entah kemana.
"Gak mikirin apa-apa, capek aja," balas Luna datar tanpa ekspresi berlebihan, dan itu sangat menjengkelkan bagi Lastri.
"Kamu gak lagi ngambek sama aku kan Lun?"
"Dikit lah, habisnya kamu lama banget sih." Aku Luna.
"Yaaah Lunaaa, jangan gitu dong, aku minta maaf ya," rengek Lastri. Tadi pagi juga lama banget.
Luna yang melihat tingkah Lastri yang kekanak-kanakan itu tersenyum jahil, tak membalas permohonan Lastri, dan meneruskan langkahnya menuju parkiran sepeda.
Lastri masih saja merengek memohon pengampunan Luna sembari mengayuh sepedanya mengikuti gerak sepeda Luna. Sementara itu, Luna yang merasa memiliki kesempatan menjahili sahabatnya itu pun, bertingkah cuek dengan tindakan Lastri, melanjutkan sandiwaranya.
"Namanya juga hari pertama Lun, ayoolah maafkan aku, besok-besok aku gak bakalan buat kamu nunggu sebegitu lama deh Lun, janji aku ini." Pujuk Lastri.
Luna hampir melepaskan tawanya dengan keras, bila saja sebuah sepeda yang tiba-tiba mendahuluinya tidak mengalihkan pandangannya dari Lastri.
Arah pandangan Luna seketika berbalik dari Lastri, saat seolah angin yang bertiup dari arah sebelah kanan nya sedikit menjadi lebih kencang. (Read: wuuuzzzzzz 😁).
Luna menghentikan laju sepedanya, sejenak menetralkan setiurnya akibat salipan dari sepeda yang melaju kencang itu.
"Kamu gak apa-apa kan Lun?" tanya Lastri khawatir melihat Luna yang berhenti mendadak karena ulah pengguna sepeda yang lain itu.
Luna menggelengkan kepalanya, dan segera mengayuhkan sepedanya lagi. "Kamu tau itu siapa Tri?" tanya Luna akhirnya. Berharap Lastri melihat dan mengenali pengguna sepeda itu yang Luna yakini adalah orang yang sama dengan murid laki-laki yang membuat kepalanya pusing dengan memikirkan nyata atau tidaknya keberadaan si murid misterius itu.
"Lah, diakan sekelas sama kamu?" Lastri membalas pertanyaan Luna yang membuatnya mengerutkan dahi.
"Siapa?" tanya Luna masih dengan rasa penasaran.
"Kamu tadi ngapain aja?"
"Gak ikut kenalan sama anak-anak kelas lain?"
Bertubi-tubi Lastri kembali melontarkan pertanyaan juga, bukannya malah menjawab apa yang Luna tanyakan sedari tadi.
Luna yang malas berpanjang lebar pun hanya menjawab dengan gelengan kepala, ya sekali lagi hanya gelengan kepala.
"Haissss ...," desah Lastri panjang sebelum akhirnya melanjutkan informasinya tentang siapa gerangan anak laki-laki itu. "Dia itu Alvian, keponakan kepala dusun sebelah." terang Lastri.
Ada sebuah kelegaan yang menghampiri Luna bahwa saat ini ia tidak sedang dibayang-bayangi hantu, karena Lastri juga melihat apa yang dia lihat, dan itu artinya anak laki-laki itu bukan hantu.
"Woii...! Ih, malah bengong, ayook jalan." seru Lastri membuyarkan lamunan Luna.
Luna dan Lastri kembali mengayuhkan sepeda dalam hening hingga akhirnya mereka berpisah di persimpangan jalan, karena memang arah rumah mereka yang berbeda.
***
Luna merebahkan tubuhya yang teasa sangat letih dihari pertama sekolahnya diatas kasur empuk kesayangannya. Pikirannya kini menerawang pada kenangannya di stasiun tua beberapa waktu yang lalu. Sebuah senyum simpul terurai tatkala Luna kembali mengingat betapa ketakutannya dia hingga lari tunggang langgang menjauh dari gerbong kereta tua yang dia pikir rumah bagi sosok hantu yang ternyata keponakan kepala dusun desa sebelah.
'Hmmm ... ada-ada saja,' pikirnya bermonolog.
"Capek kak?" suara sang ibu menyadarkan Luna dari pikirannya yang tengah melanglang buana.
Mata Luna yang nyaris terpejam, kembali terbuka saat suara sang ibu kembali menyapa gendang telinganya. Mama mengangsurkan sebuah piring berisikan nasi dan lauk pauknya, sebab sedari Luna pulang tadi, Luna langsung masuk ke kamarnya dan tak kunjung keluar lagi, hal tersebut tak luput dari perhatian sang ibu, hingga dengan penuh perhatian kini sang ibu mengantarkan makanan untuk Luna ke kamarnya. "Mama, gak mau kamu sakit, padahal baru hari pertama masuk sekolah." ujar Mama yang dibalas senyum manja Luna.
Luna menyantap makan siangnya dengan lahap, memang sedari tadi perutnya sudah terasa lapar, namun badannya yang belum terbiasa dengan perjalanan panjang menuju ke sekolah itu sepertinya lebih meminta untuk segera direbahkan, dan jadilah Luna memilih untuk berbaring sembari melamun di dalam kamarnya hingga nyaris tertidur, sebelum mendapati makan siangnya. Beruntung kini ia tinggal satu rumah dengan sang Ibu, sehingga Luna tak melewatkan makan siangnya.
"Jauh banget sekolahnya Ma?" keluh Luna sembari mengunyah makanannya.
Mama membelai lembut surai Luna, dia tahu Luna belum terbiasa dengan kondisi yang seperti ini. "Bersabarlah, nanti kalau kamu sudah berhasil, bangun sekolah di tanah Nini sebelah, biar semua orang kampung yang ingin melanjut, tak harus jauh ke kota." hibur sang Ibu menyemangati.
Luna terkekeh kecil mendengar jawaban Ibunya yang terdengar seperti meledek, dan segera menandaskan makanannya.