Chereads / Bukan Stasiun Terakhir / Chapter 9 - Memulai

Chapter 9 - Memulai

Tahun ajaran baru pun dimulai. Pagi ini Luna dan sepeda barunya sudah siap memulai hari yang baru dengan semangat yang menggebu. Lastri sudah menunggu sejak sepuluh menit yang lalu di teras rumah Nini.

"Lama banget dandannya?" keluh Lastri saat wajah Luna kini telah dihadapannya.

Sembari menggiring sepedanya Luna hanya membalas keluhan Lastri dengan sebuah senyuman yang menjengkelkan Lastri.

"Ayo!" ajak Luna yang mulai mengayuhkan sepedanya mendahului jalannya Lastri.

Dengan masih merasa dongkol, Lastri mengikuti Luna di belakangnya.

Semilir angir berhembus dengan lembutnya, seolah ikut mengantarkan semangat untuk mereka yang mulai beraktivitas hari ini, tak terkecuali untuk Luna dan semua murid baru tahun ini. Jalan desa yang biasanya lengang pun kini dipenuhi sepeda-sepeda yang dikayuh dengan canda ria penggunanya satu sama lain.

Luna mengayuh sepedanya dengan lambat, ini pengalaman yang baru ia rasakan dan sungguh mengesankan.

"Jangan lambat banget Lun, nanti kita terlambat!" seru Lastri yang tiba-tiba sudah berada beriringan disebelahnya.

"Oh, hmm ... iya," balas Luna gugup sekaligus terkejut.

Tak butuh waktu yang lama, Luna, dan Lastri telah tiba di stasiun, menantikan kedatangan kereta yang akan membawa mereka ke pusat kota, tempat dimana sekolah baru mereka berada.

Disekitaran desa Luna memang tak memiliki sekolah lanjutan menengah atas, fasilitas yang ada hanya sampai sekolah menengah pertama.

Untuk mereka yang ingin melanjutkan pendidikannya harus bersusah payah ke kota dengan biaya yang tentunya tidak sedikit.

Tak lama waktu berselang hingga akhirnya kereta yang mereka nantikan datang. Suara khas kedatangan kereta yang sangat familiar ditelinga seperti menjadi bahan bakar untuk Luna menjalani hari pertamanya sekolah.

***

Sebuah gedung tua kuno yang difungsikan sebagai sekolah kini ada dihadapan Luna. Ia memandangnya dengan sangat kagum, hingga suara bel yang berdering membuyarkan ketertarikannya pada bangunan yang mulai hari ini akan menjadi tempatnya menimba ilmu.

Lastri yang semula telah berada beberapa langkah di depannya terpaksa berhenti untuk menantikan langkah sahabat sekaligus sepupunya itu untuk mengarah kepadanya.

"Cepaat Lun," serunya menahan kekesalan yang sejak berangkat sekolah tadi telah Luna sulutkan di hatinya.

"Hmm ... oh, iya" dengan tergugup Luna menjawab dan lantas berjalan dengan langkah yang lebih panjang dari sebelumnya.

Lastri, dan Luna berjalan berpegangan tangan, beriringan layaknya anak kembar yang tak terpisah hingga tiba di barisan yang telah lebih dulu mengular tepat di lapangan basket sekolah.

Seorang pria paruh baya yang belakangan Luna ketahui adalah kepala sekolahnya, tengah berkeliling mengawasi tiap barisan siswa-siswanya, sebelum akhirnya upacara penyambutan siswa baru di mulai.

Luna kembali mengedarkan bola mata indahnya menikmati suasana sekolah barunya itu. Memperhatikan tiap detail struktur bangunan yang begitu khas dan klasik. Luna sungguh menyukainya.

Sesaat setelahnya pandangan matanya terbelalak melihat seseorang yang pernah membuatnya lari tunggang langgang hingga nafasnya ingin terlepas.

'Apa benar itu dia? Hantu itu? Sekolah?'

Pertanyaan-pertanyaan absurd kembali mengganggu pikiran Luna. Beberapa kali Luna mengucek matanya, memastikan bahwa apa yang dilihatnya bukan fatamorgana atau halusinasi semata.

Lastri yang melihat kegelisahan Luna yang berada disampingnya turut memindai apa yang tengah Luna perhatikan, matanya ikut menerka-nerka arah pandangan Luna yang tak mampu ia dapati. "Hush...ada apa?" akhirnya Lastri menginterupsi perhatian Luna, ingin tahu apa yang membuat Luna begitu khusyuk memandang kearah jam sepuluh dari tempat mereka berbaris itu.

Luna masih belum menyadari pertanyaan Lastri, pandangannya masih tetap lekat pada objek yang semakin membuat Lastri penasaran."Lun...Lunaa...Lunaaa" kembali Lastri memanggil Luna dengan suara pekik yang tertahan karena di depan sedang ada pengarahan dari kepala sekolah kepada para murid baru.

Bahu Luna terguncang oleh gerakan tangan Lastri yang kini melekat pada salah satu sisi pundaknya dan seketika Luna beralih pandang kepada Lastri yang sedari tadi menahan rasa penasarannya.

"Hmmm ... ada apa?" tanya Luna tak acuh dengan tindakan Lastri yang mengusik proses pemindaiannya pada murid laki-laki yang sejak tadi menjadi perhatiannya.

"Kamu yang kenapa? Dari tadi lihatnya ke arah sana terus, gak takut leher kram?" gerutu Lastri sembari mengedikkan dagunya ke arah Luna memandang.

Sejenak Luna mencerna pertanyaan Lastri untuk detik berikutnya dijawab hanya dengan gelengan kepala yang sontak mendapat protes dari Lastri.

"Ckck ... dasar"

***

Pembagian kelas yang telah diputuskan beberapa waktu yang lalu menyisakan perpisahan antara Lastri dan Luna, karena perbedaan nilai mereka yang cukup signifikan, Luna berhasil masuk di kelas unggulan sedangkan Lastri harus puas di kelas reguler.

"Jaga diri baik-baik, nanti pulang kita ketemuan di gerbang ya" pesan Lastri bak orangtua yang akan melepaskan kepergian sang anak ke negeri antahbrantah mana.

"Hehe ... iya mak e" balas Luna dengan gurauan.

Lastri yang mendengar candaan Luna ikut tertular tertawa bersama, dan setelah nya beranjak dari kelas Luna. Lastri memang sengaja mengantarkan Luna ke kelasnya terlebih dahulu sebelum dirinya menemukan kelasnya sendiri.

Dengan langkah kecil Luna perlahan masuk kedalam ruangan yang setahun kedepan akan menjadi tempatnya menimba ilmu. Dengan seksama ia memindai setiap sudut kelas yang terbilang cukup luas untuk berbagi dengan dua puluh sembilan murid lainnya. Tersusun dengan rapi masing-masing sepasang meja dan kursi yang saling bersisian.

Syukurlah aku tidak harus berbagi tempat dengan siswa lain,' pikir Luna

Karena pengaturannya di kelas unggulan satu orang siswa mendapati satu pasang meja dan kursi. Luna memilih bangku pada urutan ke empat dari depan pada deret ke dua dari sudut kelasnya. Dengan kondisinya yang tidak mengenal siapa pun di kelas itu, dirinya merasa tak terlalu nyaman bila harus memilih duduk di bangku paling depan. Padahal kebiasaannya di sekolah yang terdahulu, Luna akan dengan senang hati memilih duduk di bangku paling depan, tepat di depan meja guru dan papan tulis.

"Nina ..." sebuah tangan terjulur di depan wajah Luna sesaat setelah dirinya meletakkan bokongnya pada bangku pilihannya itu.

Luna menengadahkan kepalanya sesaat sebelum akhirnya meraih uluran tangan murid perempuan bernama Nina tersebut. Dengan senyuman yang tak kalah bersahabat Luna membalas uluran tangan itu sembari menyiarkan namanya, "Alluna".

Nina kemudian menarik bangkunya mendekat ke tempat Luna duduk untuk melakukan interview lanjutan agaknya. "Dari desa mana?" tanyanya ramah. "Aku dari desa A", timpalnya lagi sebelum Luna menjawab pertanyaannya.

"Aku dari desa S." balas Luna

"Waah ... kita tetanggaan dong," serunya semakin bersemangat.

"Tapi aku gak pernah lihat kamu? Kamu dari SMP mana?" Kembali Nina melayangkan pertanyaan sembari menautkan kedua alisnya mecoba berpikir, mengingat-ingat keberadaan Luna.

"Aku pindahan dari kota M,"jawab Luna yang berhasil membuat Nina membulatkan matanya.

"Anak kota!" Pekiknya histeris, membuat seisi kelas mengarahkan pandangannya kepada kedua siswa perempuan yang tengah berkenalan itu.

"Ooopss ... maaf" serunya kemudian sembari mengatupkan kedua tangannya ke arah semua penghuni kelas yang menyaksikan kehebohannya.

Luna yang melihat tingkah teman barunya itu hanya tersenyum simpul, sebegitu girangnya dia mendengar nama kota, pikir Luna. Udik.

Nina masih memandang Luna dengan ke kaguman yang tak di tutup-tutupi.

"Pantesan aja ya, aku lihat kamu cantiknya beda, gayanya juga beda." Pujinya lagi.

Kembali Luna membalas ungkapan Nina dengan senyum, sembari mengeluarkan beberapa buku tulis dan alat-alat tulisnya.

"Senang berkenalan denganmu Aluna, aku akan duduk di depanmu ini." pungkasnya sembari beranjak ke tempat duduknya sendiri.

Tanpa keduanya sadari, sedari tadi ada sepasang mata dan telinga yang mengawasi semua percakapan mereka duduk tepat di belakang paling sudut kelas.