Chereads / Bukan Stasiun Terakhir / Chapter 8 - Go On

Chapter 8 - Go On

Pagi yang cerah, secerah harapan yang kiranya mulai tumbuh subur ditanah yang sempat tandus, dan tanpa terasa sudah sebulan sejak terakhir kali Luna, dan ibunyanya saling mencurahkan isi hati, dan permohonan maaf. Keduanya kini hidup dengan bahagia di rumah Nini di desa. Di tanah kelahiran Alluna, dan sang ibunda.

Usaha yang dirintis Adriana tidak berjalan dengan baik, sehingga Adriana juga memutuskan untuk membuka usaha kecil-kecilan di desa, agar tetap dapat berdampingan dengan kedua buah hatinya tercinta. Ia tak lagi ingin hidup terpisah, apalagi meninggalkan Alluna yang semakin beranjak dewasa, dan membutuhkan perhatiannya.

Hari itu, Luna harus melakukan pendaftaran ulang karena tahun ajaran baru akan segera dimulai. Sejak semalam Luna berpikir keras untuk mengatakan biaya sekolahnya kepada sang Ibu. Tahun ini bukan hanya dirinya yang akan melanjutkan sekolah, melainkan adiknya juga, dan Luna tahu kondisi perekonomian mereka tidak dalam kondisi yang baik. Rencananya hari ini Luna akan menjual handphone miliknya, satu-satunya alat komunikasi miliknya untuk tetap terhubung dengan teman-temannya dan juga Om Fajar, yang hingga kini masih terjalin dengan baik.

Sebelum pergi ke kota untuk menjual handphonenya, Luna sengaja memberi kabar kepada teman-teman terdekatnya tak terkecuali Andre.

"Puas-puasin denger suara gue, handphonenya mau gue jual siang ini, entah kapan bisa beli lagi," terang Luna pada Andre yang ada di seberang sambungan telepon itu.

"Whaaat? Are you seriously Lun?" dengan suara yang melengking Andre membalas dengan penuh keterkejutan. "Jangan bercanda deh Lun, iya kali lu jual handphone sebijik-bijiknya itu?" timpalnya lagi masih tidak percaya.

Luna yang mendengar keterkejutan Andre itu terkekeh kecil sebelum akhirnya menjelaska alasannya menjual handphone yang menjadi alat penghubung antara dirinya dan Andre selama berjauhan saat ini.

"Aku butuh uang buat lanjutin sekolah Ndre, barang gue yang bisa dijual cuma ini, kasian Mama kalau harus terbebani sama kebutuhan aku ini. Kamu kan tahu ekonomi keluargaku lagi sulit?" keluh Luna akhirnya.

Andre mendengarkan dengan seksama setiap kata yang Luna keluhkan, buliran kristal bening berselancar bebas dari matanya tanpa Luna tahu diseberang sambungan telepon mereka, sejenak dirinya tertegun memikirkan apa kiranya cara yang dapat ia lakukan untuk membantu pujaan hatinya itu. Hingga sebuah ide pun muncul di kepalanya.

Andre tahu Luna pasti tidak akan mau menerima bantuan berbentuk uang darinya, dirinya pasti akan menolak mentah-mentah.

"Lun, kamu masih simpan cincin yang aku kasih ke kamu waktu perpisahan itu gak?"

"Masih"

"Kenapa gak itu aja yang kamu jual, harganya lebih lumayan dari handphone butut kamu itu."

Andre berusaha memprovokasi Luna untuk melakukan sarannya.

"Suratnya ada di bawah busa cincinnya. Selain untuk biaya sekolah kamu, uangnya juga bisa buat modal usaha, untuk nambah-nambah tabungan kamu kedepannya," kembali Andre menerangkan idenya.

Luna mendengarkan dengan seksama ide yang Andre utarakan, sejenak ia memikirkan bahwa itu bukan sebuah saran yang buruk.

Luna tahu harga cincin yang Andre berikan tidak lah murah, ia bisa membuat sebuah usaha kecil yang akan mulai dirintisnya, agar ke depannya ia tidak akan memusingkan biaya sekolahnya.

"Kamu gak apa-apa cincinnya aku jual Ndre?" tanya Luna ragu-ragu.

"Ya enggak lah Lun, ini kan saran dari aku juga, aku lebih keberatan kamu gak kasih aku kabar berhari-hari. Kalau cincin mah gampang, nanti kalau aku udah kerja, aku beliin sepuluh yang lebih dari itu." yakinnya lagi.

"Hmmm ... oke deh, maafin aku ya Ndre, gak bisa jaga kenang-kenangan dari kamu" sesal Luna dengan suara lirih.

Andre kembali menghibur Luna yang terdengar kembali bersedih diseberang telepon, "Its oke Lun, aku gak pernah kecewa karena itu, yang penting kamu baik-baik disana, bahagia."

"Makasih banget Ndre, you are the best friend for me, so best!"

"Hahaa ..."

Andre yang mendengar semangat Luna pun hanya membalasnya dengan tawa renyahnya. Dalam hati Andre ingin sekali membalas ucapan

'Luna, you are the best in my heart Lun.'

***

Siang tadi Luna telah menjual cincin pemberian Andre, dan telah menyelesaikan administrasi sekolahnya. Luna tidak menyangka bahwa cincin pemberian Andre memiliki harga yang sangat tinggi, bahkan tadi pemilik toko emas yang Luna datangi sempat menelpon toko tempat Andre membeli cincin tersebut, memastikan bahwa Luna tidak sedang mencurinya. Syukurlah Andre telah memberi kabar kepada pemilik toko tersebut terlebih dahulu, sehingga Luna berhasil menjualnya.

Sebagian uang yang di dapatkannya itu ia tabung setelah sebelumnya ia ambil untuk kebutuhannya, Luna takut memegang uang dalam bentuk fisik dengan jumlah yang besar.

Luna juga mulai berpikir untuk merencanakan usaha apa yang akan ia buat untuk memutar modal yang ada, agar kedepannya ia bisa mandiri dan tidak merepotkan sang Ibu.

"Luna, kamu gak makan malam?" suara Mama yang tiba-tiba, membuyarkan lamunan Luna.

"Hmm ... oh ... iya, makan Ma" Luna menjawab dengan gugup dan bergegas beranjak dari tempatnya menyusul sang Ibu ke meja makan.

Luna mendapati menu kesukaannya kini tersusun di meja makan, dengan penuh semangat Luna menikmati makan malamnya. Nini, Mama, dan Arsen yang melihat cara makan Luna hanya tersenyum penuh pengertian. "Hati-hati kak, gak ada yang rebut makanan kamu," tegur Adriana akhirnya.

Luna yang ditegur hanya membalas dengan anggukan dan cengirannya yang absurd, sembari melanjutkan makannya.

***

Kegiatan makan malam pun telah usai, setelah tadi sempat berbincang hangat dengan Nini, Mama, dan Arsen, Luna memutuskan untuk langsung masuk ke dalam kamarnya. Luna berencana kembali merancang usaha yang akan ia jalankan untuk membantu sang ibu.

Luna berniat menghubungi Andre lagi, namun sudah dua kali panggilannya, Andre tidak juga menjawab.

Apa Andre masih makan sama keluarganya ya? atau udah tidur?

Luna tidak lagi melanjutkan panggilannya, karena biasanya Andre akan menghubunginya kembali bila ia melihat panggilan Luna tidak terjawab sebelumnya.

Luna yang masih memandangi handphonenya, kembali dikejutkan dengan suara sang Ibu yang tanpa ia sadari sudah duduk di tepi tempat tidur, berdampingan dengannya.

"Kenapa Andre, kak? tanya Mama, dengan pandangan mata yang sama tertuju pada handphone yang kini di pegang Luna.

Luna yang terkejut menyadari sang Ibu kini sudah ada disampingnya mengubah posisi duduknya sehingga berhadapan dengan Ibunya, "Hmmm...gak kenapa-kenapa kok Ma. Luna cuma pengen ngomong sama Andre, tapi teleponnya gak diangkat, mungkin dia masih makan sama keluarganya, atau malah udah tidur." Akunya kemudian pada sang Ibu.

"Ooh, kirain Mama kamu bertengkar sama Andre."

"Gak lah Ma, Andre kan sahabat baik Luna, Andre itu teman yang gak pernah berdebat sama Luna, dia selalu ngalah sama Luna, jadi kita gak pernah ribut-ribut gitu" terang Luna lagi.

Sang Ibu hanya mengangguk paham dengan penjelasan anak gadisnya itu.

"Kak, Mama mau ngasi ini untuk kamu daftar ulang," ujar sang Ibu sembari mengangsurkan beberapa lembar uang seratusan ribu kepada Luna. "Masih belum terlambat kan kak?" tanyanya lagi kemudian.

Luna memandangi uang pemberian sang Ibu sembari tersenyum, Luna menyerahkan kembali uang tersebut kepada sang Ibu.

"Kenapa kak? Apa sudah terlambat?" Sang Ibu terlihat panik mendapati Luna menolak uang pemberiannya.

Luna kembali memberikan senyum manis kepada sang Ibu, sembari menggelengkan kepalanya Luna menjelaskan pada sang ibu.

"Gak terlambat kok Ma, Luna udah bayar tadi siang Ma."

"Udah bayar?" sang Ibu kembali menautkan kedua alisnya bingung dengan penjelasan anak perempuannya ini.

"Tadi siang Luna kan udah izin ke Mama mau ke pasar kota sama Lastri, sebenernya Luna pergi buat jual cincin yang Andre berikan ke Luna sebagai kenang-kenangan waktu kita lulus kemarin Ma," terang Luna akhirnya.

Sang ibu yang mendengar penjelasan anak gadisnya tersebut tercengang, mencerna setiap kata yang Luna ucapkan padanya. Tidak tahu apa yang harus ia katakan pada Luna saat ini, perasaannya bercampur aduk. Ada rasa bersalah karena harus membiarkan Luna menjual barang kenangan dari sahabatnya, ada perasaan gagal sebagai orangtua yang tidak mampu memenuhi kebutuhan anaknya dengan baik.

Luna melihat semburat kesedihan sang Ibu, terpancar jelas dari manik mata wanita yang paling ia sayangi itu kesedihan dan penyesalan. Samar-samar ia melihat kedua bola mata itu berkaca-kaca hendak menumpahkan kristal beningnya.

"Ma, Luna gak apa-apa kok, lagian Andre juga udah setuju, malahan dia yang memberikan saran sama Luna buat jual cincin itu tadi pagi." Luna kembali menjelaskan, menenangkan sang ibu yang kini telah menundukkan pandangannya, tak berani menatap manik mata Luna.

Luna meraup tubuh sang Ibu kedalam pelukannya, "Luna sayang sama Mama, Luna hanya ingin mengurangi beban Mama. Mama jangan pikirkan sekolah Luna, Luna janji akan lakukan yang terbaik dari yang Luna mampu." Pungkasnya kemudian.

Sang Ibu mengurai pelukannya dari Luna, "Maafkan Mama ya kak, Mama gak bisa jadi orangtua yang terbaik buat kamu" sesalnya.

"Sudah lah Ma, kakak gak pernah berpikir begitu, Mama adalah orangtua terbaik dan terhebat buat Luna." kembali Luna meyakinkan sang ibu.

Keduanya pun kembali berpelukan dalam pikiran dan perasaannya masing-masing, satu hal yang mereka sadari adalah mereka saling meyayangi dan ingin membahagiakan satu sama lain.