Tubuh Alluna seolah beku, kaku, seperti ada perekat yang membuatnya membatu di tempat ia berdiri saat ini, memandangi seseorang yang sangat ingin ia peluk akhir-akhir ini, dan sekarang telah ada di hadapannya.
Perlahan sosok itu melangkah mendekat ke arah Alluna, mengulurkan tangannya ke pipi putih mulus Alluna, seakan menyampaikan rasa yang sama seperti yang hati Luna punya saat itu "RINDU".
Alluna masih bergeming hingga akhirnya sebuah kehangatan terasa merengkuhnya masuk kedalam hatinya, membuat Alluna seketika membalas pelukan yang tak ingin ia lepaskan lagi.
Tetesan hangat kembali Alluna rasakan menetes menembus kain pembatas kulit pundaknya, dan kulit pipi seseorang yang tengah memeluknya kini. Hingga setelahnya juga ada isak disana.
"Ma ... ma, Mama" bisik Alluna lirih, akhirnya lidah kelunya mampu menyiarkan kata itu, meyakinkan Alluna bahwa saat ini tengah berada dalam pelukan wanita yang paling ingin ia adui tentang segala beban hatinya yang akhir-akhir ini nyaris membuatnya ingin meninggalkan dunia ini beserta dengan semua kesedihan yang tak tertangguhkan lagi.
Wanita empat puluhan tahun yang Alluna panggil mama itupun tak kunjung bersuara menjawab, hanya anggukan kecil yang samar Alluna rasakan, pelukannya pun masih enggan terurai, membuat Alluna semakin mengeratkannya, seraya terus menangis di sana.
Terlena dalam hangat, dan heningnya pelukan ini hingga sebuah suara yang juga tak kalah Alluna rindukan menginterupsi, dan mampu memecahkan keharuan yang melingkupi pelukan antara keduanya
"Mbaak!" Arsen berseru girang sembari berlari ke arah Alluna, minta di peluk juga.
Pipi Alluna yang masih basah karena genangan air mata sesaat sebelumnya, dihapus dengan tangan mungilnya, untuk kemudian ia cium sayang.
"Arsen kangen, Mbak dari mana aja?" cicitnya kemudian.
Alluna membelai surai rambut hitamnya, sembari menarik nafas panjang sebelum akhirnya menjawab tanya anak lelaki kecil yang usianya baru genap lima tahun itu. "Mbak juga kangen, tadi main ke stasiun tua sama mbak Lastri sebentar."
"Sudah maghrib, ayo salat dulu, nanti lanjut ngobrolnya" tegur Nini yang kini sudah berdiri dihadapan kami, lengkap dengan mukenanya menginterupsi pertemuan haru antara ibu, dan anak-anaknya tersebut.
Alluna, dan sang ibu mengangguk bersama, diikuti suara seruan adik laki-laki Alluna yang terlihat tak kalah bersenmangat, dan bahagia. "Ayo kita salat!"
***
Suasana malam ini begitu ceria, tak seperti biasanya yang hanya akan ada Nini di rumah ini. Arsen yang masih enggan beranjak dari pangkuan Alluna itupun akhirnya tertidur. Sementara Alluna, Ibunya, dan sang Nini yang masih terus bersenda gurau, tertawa seolah tak ada hari kemarin yang membuat mereka rapuh, dan kesepian.
Sungguh Alluna tidak pernah menyangka bahwa akan ada malam ini setelah hari-hari yang melelahkan batin kemarin, dan Alluna harap ini akan menjadi awal yang baik untuk hidup bahagia keluarga kecil mereka setelahnya. Hingga rasa kantuk yang mulai menyerang Nini, akhirnya berhasil membubarkan obrolan hangat penuh rindu ini.
"Masih ada esok, ayo kita istirahat," ajak Nini sembari beranjak dari duduknya. Mama membantu Nini bangkit, dan mengantarkannya ke kamar yang ada di sudut ruang tamu.
"Bantuin bawa Arsen ke kamar mama ya kak," perintah sang ibu ada Alluna yang bersiap mengangkat tubuh mungil sang adik yang begitu ia sayang, dan rindukan. Meskipun kadang sesekali hatinya terbakar cemburu, karena Arsen selalu saja dapat tinggal, dan hidup bersama dengan wanita yang paling ia inginkan perhatiannya itu.
"Enggak deh Ma, malam ini Mama sama Arsen tidur di kamar Luna, Luna pengen kita ngumpul, Luna kangen tidur bareng-bareng," pinta Alluna, menolak permintaan Adriana, ibunya.
Adriana tersenyum mendengar penolakkan Alluna, sang putri. "Kakak aja yang tidur dikamar mama, tempat tidur kamu kan kecil, mana bisa untuk kita bertiga," ujarnya kemudian.
Alluna yang baru sadar dengan ukuran kasur single bed-nya dikamar itupun kembali memutarkan badan berbalik arah, menuju ke kamar sang ibu yang bersebelahan dengan kamarnya sendiri itu.
"Huuuu … berat juga kamu ya Sen?" keluh Alluna sembari meletakkannya diatas kasur yang akan dijadikan tempat istirahat mereka bertiga.
Hingga detik selanjutnya suara pintu yang ditutup mengalihkan pandangan Alluna untuk melihat kebelakang,
"Berat Arsen kak?" tanya Adriana tak melepaskan senyumnya yang selalu Alluna rindu.
"He'eh, udah gede sih," balas Alluna sembari membelai punggung sang adik, yang kelihatannya kembali gelisah karena baru saja di letakkan.
Adriana memandang Alluna, dna Arsenio bergantian, matanya yang berkaca-kaca kembali membuatnya memeluk sang putri yang akhir-akhir ini ia abaikan.
"Kami akan baik-baik saja Ma," ucap Alluna yang seolah tahu apa yang tengah sang ibu pikirkan, meyakinkan sang ibu bahwa ia masih kuat, dan mmapu bertahan hingga kini. Meski keluarha sang ayah membuatnya begitu terluka.
Sang ibu kembali menundukkan kepalanya saat Alluna menguraikan pelukan keduanya, tak mampu menatap mata sang putri, tangisnya kembali pecah. Namunn, dnegan sabar Alluna masih memberikan waktu untuk Adriana melampiaskan emosi yang mungkin selama ini dipendamnya sendiri. 'Biarlah kali ini segalanya tumpah ruwah dalam cawan kesedihannya, agar esok hari kelegaan menyambut hari baru kami,' batin Alluna, mencoba mengerti apa yang ibunya kini butuhkan. Karena pada dasarnya ia juga selalu melakukan hal yang sama untuk meredakan sebah yang ada dalam hatinya, ketika beban itu mendadak menyerang bertubi-tubi. Entah itu rasa putus asa, ataupun kecewa karena sebuah kegagalan yang entah mengapa terasa terus menyertai meskipun semua cara untuk berhasil, bahagia telah dilakukan.
Hampir tiga puluh menit Alluna mendampingi sang ibu dalam tangisnya yang perlahan kini mulai reda. Alluna masih terus membelai dengan lembut punggung Adriana, agar merasa lebih tenang, hingga pandangannya yang sedari tadi merunduk itupun mulai beralih menatap manik mata sang putri yang selalu berhasil membuatnya dalam rasa bersalah yang berkepanjangan. Adriana tahu Alluna juga tidak mudah melewati hari-hariya selama beruda di rumah keluarga ayah kandungnya sendiri tersebut. Namun, sebagai seorang wanita yang tidak memiliki banyka keterampilan, di tambah lagi ia merupakan menantu yang tidak di harapkan oleh keuarga suaminya sendiri itupun Adriana tidak memiliki pilihan lain, selain mengikuti kemauan mertuanya kala itu yang menginginkan Alluna tinggal di sana.
Awalnya Adriana sendiri tidak menyangka mereka akan memperlakukan sang putri setega itu, mengingat Alluna adalah daging mereka yang juga berhak mendapatkan perhatian, dan kasih sayang. Bukan hanya melaksanakan perintah yang di titahkan padanya seperti selama beberapa tahun terakhir ini.
"Mama minta maaf ya kak, mama terlalu pengecut untuk untuk melewati ini semua."
"Luna gak pernah nyalahin Mama, Luna ngerti kok, semua ini bukan kemauan kita, terima kasih sudah kembali menemani Luna."
Kembali ibu, dan anak itu berpelukan, bertemankan desir angin malam yang menyelinap, dan suara jangkrik yang bahagia, malam ini berakhir dengan penuh kelegaan dalam hati Alluna dan Adriana. Saatnya bagi keduanya memulai hidup yang baru bersama, dengan kenyataan bahwa kini tidak ada lagi Papa sebagai pelindung, dan penguat. Hingga keduanya pun sepakat bahwa kini merekalah lah yang harus selalu saling menguatkan.
'Semoga bahagia setelah ini.'