"Aku pernah mengeluh terus menerus tentang apa yang terjadi akhir-akhir ini. Tentang takdir tuhan yang sepertinya sangat membenci ku. Rasa putus asa yang nyaris tak menemukan jalan pulangnya, membuat ku seringkali berpikiran pendek untuk memutus rantai ekosistem antara aku dan penghuni bumi lainnya. Bersyukur, Tuhan tidak sedang benar-benar ingin aku pulang ke rumah-Nya dengan cara paling rendah yang dimiliki oleh makhluk dengan akal diatas rata-rata dari ciptaan-Nya yang lain, hingga pagi ini aku masih diberi kesempatan untuk menikmati arunika sebagai penyejuk mata. Sebuah tidur yang sangat nyaman membuat tubuhku yang akhir-akhir ini bekerja dengan giatnya terasa begitu segar. Tulang belulang yang kemarin sempat seperti tidak berada pada posisi yang benar kini kembali ke asalnya," batin Alluna bermonolog, sembari memandang langit, dengan semilir angin pagi yang begitu segar, dan menenangnkan
***
Matahari sudah meninggi saat akhirnya Luna keluar dari kamarnya dengan perut yang sudah meronta minta diisi. Padahal biasanya lewat dari jam lima pagi dia keluar dari kamar, sudah akan ada genderang perang bertalu ditelinganya. Namun, kali ini berbeda dengan Utinya di kota, Nini jauh lebih lemah lembut memperlakukannya ketika ia bangun lebih siang seperti saat ini.
"Sudah bangun Lun?" Bik Yani menyambutnya dengan senyum mengembang, sembari menggeser salah satu kursi makan terdekat untuknya.
"Iya Bik, maaf aku kesiangan ya?" sesal Luna.
Bik Yani yang mendengarnya kembali mendekat membelai lembut punggung anak adik sepupunya tersebut, "kamu pasti kelelahan karena perjalanan semalam, istirahatlah lebih banyak," tuturnya lembut penuh pengertian.
Luna kembali tersenyum, mengangguk pelan dan mulai memperhatikan hidangan yang tertata di atas meja.
"Menggiurkan!"
Bik Yani yang memperhatikan tingkah Luna, dengan sigap menyiapkan segala sajian tersebut untuk Luna nikmati, mulai dari mengambilkan nasi nya , hingga bertanya dan memilihkan makanan yang akan ia santap. Sebuah sikap yang berbanding terbalik saat Luna masih ada dirumah Utinya.
Kembali Luna termangu, dalam kelebatan kenangan yang kembali membuatnya merasa ngilu di hati. Hingga suara renta Nini menegur indera pendengarannya untuk kembali menatap piring yang sudah lengkap dengan keinginannya.
"Makan yang banyak Luna. Nini sengaja tidak membangunkanmu, karena pasti kamu kelelahan setelah perjalanan kemarin," ucapnya penuh kasih Luna kembali menganggukkan kepalanya, dan mulai menikmati hidangan yang bisa dibilang sebagai brunch buatnya.
***
Hari telah beranjak sore. Sejak pagi memang tak banyak kegiatan yang Luna lakukan, selain istirahat dan merapikan barang-barang bawaanya kemarin, Luna menata kamarnya dengan rapi.
Hingga suara ketukan pintu mengalihkan perhatiannya dari tumpukan buku-buku yang tengah ia rapikan diatas meja belajar tua bekas milik bibinya yang kini di luar negeri tinggal bersama sang suami.
"Tok ... tok ... tok," suara ketukan pintu berulang minta segera dibuka.
Luna berjalan membuka knop pintu, perlahan menarik daun pintu dan menjulurkan kepalanya, melihat siapa gerangan yang menginterupsi kegiatannya sore hari ini.
"Aluuuuunaaaaaaaa ….!" Pekik Lastri girang, berhambur memeluk Aluna yang tak kalah terkejut dengan sikap Lastri yang cukup histeris.
Luna merasa sesak dalam tarikan napasnya, dekapan erat Lastri sungguh membuatnya tak mampu mengoperasikan paru-parunya dengan baik. "Uhuk … uhuk," suara batuk Luna yang kemudian menyadarkan Lastri untuk menguraikan pelukannya, agar tidak kembali menyakiti Luna.
"Hehee … maaf Luna, aku terlalu bahagia mendengar kamu datang," ucapnya canggung, tapi bercampur senang.
Luna yang melihat tingkah teman kecilnya itu membalas dengan senyum, dan kembali mengulurukan tangannya untuk mengajak Lastri masuk kedalam kamarnya melanjutkan perbincangan mereka.
"Sebenarnya sudah sejak pagi tadi aku ingin mengunjungimu, tapi ibuku melarangnya," ujar Lastri membuka cerita. "Takut mengganggu waktu istirahatmu," timpalnya lagi.
"Heh ... aku sudah cukup beristirahat hari ini, terima kasih sudah mengunjungi ku," balas Luna tanpa melepaskan senyumnya.
Lastri menautkan jarinya pada tangan Luna. "Jangan sungkan, kita sudah berteman sejak kecil, aku sungguh-sungguh senang mendapatimu akan tinggal, dan bersekolah disini. Kita bisa melakukan banyak petualangan yang lebih seru daripada saat kamu hanya datang berlibur dengan kedua orang tua mu dulu." tutur Lastri dengan penuh semangat.
Namun sedetik setelahnya tiba-tiba saja wajah Lastri berubah murung, menimbulkan tanya yang ingin segera ia tau penyebabnya, "Kenapa Tri?" kali ini Luna kembali memegang lembut bahu teman kecil sekaligus saudara sepupu dihadapannya itu.
Lastri yang ditanya bukan nya menjawab melainkan meringsekkan tubuhnya ke dalam pelukan Luna, untuk sesaat terdengar isaknya hingga kemudian Lastri kembali berucap, "Aku turut berduka untuk papamu, maafkan aku tak disana saat itu terjadi," ungkapnya penuh sesal dengan suara gemetar.
Luna lantas mengangsurkan tangannya mengelus lembut pundak Lastri, "Terima kasih, aku sudah baik-baik saja sekarang," balas Luna lagi menenangkannya.
Lastri mengangkat wajahnya, memandang lekat manik indah bola mata Luna yang tengah tersenyum kepadanya. Melihat ketenangan yang tak dibuat-buat di sana, membuatnya sedikit lebih tenang.
"Sudah lah, apa kamu datang kesini hanya untuk mengenang kesedihan?" tanya Luna
"Haisss ... ya enggak lah, sebenarnya aku kesini mau ajakin kamu keliling desa, udah lama kan kita gak teriak-teriak di stasiun tua." Terang Lastri bersemangat. Luna mengalihkan pandangannya pada jam yang melingkar ditangannya, "udah jam 15:20 wib Tri," balas Luna ragu, "Apa gak kesorean?" tanyanya lagi.
Lastri hening sejenak, menautkan kedua alisnya seolah tengah berpikir, sebelum akhirnya kembali berujar, "Masih sempat kok, kalau kamu mau?" yakinnya kemudian.
Luna pun mengangguk tanda setuju dengan usul Lastri, senyuman kembali tersungging dari wajah manisnya, "Setelah ashar kita berangkat ya," putusnya kemudian.
"Oke, kamu sholadt lah dulu, aku mau ambil sepeda," pungkas Lastri sembari beranjak dari kamar Luna, bergegas mengambil sepeda.
***
Semilir angin sore menyapa indera perasa Luna yang dengan bahagia mengayuh sepeda pinjaman milik kakak Lastri menuju stasiun tua, yang menjadi tempat tujuan mereka.
Sejak kecil, Luna dan Lastri memang sering bermain ke stasiun tua, pemandangan yang ada disana cukup indah, ditambah lagi dengan adanya bukit diujung barat tempat itu yang biasanya dijadikan tempat orang-orang menepi, dari penatnya hari mereka, suara teriakkan, tangisan dibawah pohon pinus yang tumbuh bersisian seringkali menjadi melodi pilu yang justru menarik untuk dinikmati.
Luna, dan Lastri tiba disana setelah dua puluh menit bersepeda santai dari rumah Nini. Dengan mata yang sungguh berbinar Luna melepaskan pandangan sejauh matanya mampu menjangkau, menghirup napas panjang untuk kemudian lamat-lamat ia keluarkan melepaskan kelegaan yang luar biasa mampu mendamaikan segala fungsi organ tubuhnya.
Isi kepala yang akhir-akhir ini sungguh berat untuk dibawa kemana-mana, berhasil menguar sejalan dengan karbondioksida yang ia hasilkan dari segarnya oksigen yang ia hirup sesaat lalu, hingga terasa jauh begitu ringan. Luna berjalan, dan sesekali berlari kecil layaknya seorang balita yang datang ke sebuah wahana bermain, Luna begitu bahagia di alam bebas dengan padang rumput, dan ilalang yang tumbuh diantaranya.
"Ya ampun, ada anak kota kampungan banget yaa lihat ilalang aja," cela Lastri tersenyum melihat ulah Luna yang berlari ke sana ke mari menghampiri ilalang dan mengejar kupu-kupu.
Luna yang menjadi bahan ledekan Lastri hanya membalasanya dengan tawa kecil, tanpa menghiraukan ucapannya, Luna terus berjalan hingga ke ujung timur stasiun tua, tempat gerbong-gerbong penumpang yang sudah tak layak pakai. Teronggok menjadi rongsokan besi tua.
Entah sudah berapa kali Luna diajak Lastri menyinggahi tempat ini. Namun, baru kali ini ia menemukan tempat ini, biasanya Luna dan Lastri hanya akan bermain di sekitaran padang rumput ilalang, atau bila waktunya cukup, mereka akan naik ke bukit pinus hanya sekedar untuk berteriak sepuas hati selayaknya orang dewasa yang tengah dirundung beban hidup tak terselesaikan.
Luna begitu terpesona dengan apa yang sedang ada dihadapannya kini begitu memanjakan matanya, dibawah sinar matahari sore keemasan Luna merasa sedang de javu berdiri diantara peron-peron yang sudah tidak digunakan sesuai fungsinya.
"Aku seperti sedang berada dalam satu narasi buku Toto-Chan," gumam Luna pelan dengan senyum yang kini tercetak diwajahnya.
Luna berjalan mengelilingi peron-peron yang saling berkait satu sama lain itu masih dengan kekagumannya, hingga samar-samar indera pendengaran Luna menerima pantulan nada dari petikan gitar yang dimainkan dengan melodi penuh pilu, hingga siapa pun yang mendengarkan akan tau bahwa pencipta nada tersebut tidak dalam suasana hati yang baik.
Luna melangkah ragu masuk kedalam peron kedua dari rangkaian gerbong-gerbong yang ada, matanya kini menjelajah isi peron dari samping kanan dan kirinya.
Betapa terkejutnya Luna saat melihat sesosok bayangan tubuh seseorang yang dia yakini pria itu, berada di depan pintu terakhir peron tengah memainkan gitar dengan pandangan yang terlihat kosong.
Membuat bulu-bulu halus di sekujur tubuh Luna meremang, merasakan hawa dingin yang entah dari mana asalnya, mendadak degup jantung Luna berdetak sangat kencang, Luna memaku hingga mata yang sejak awal tertutup itu terbuka menatap ke manik mata Luna seolah ingin melumatnya habis menyadarkan Luna dari keterpakuannya hingga mampu berseru, "Hantuuuuu!" Luna berteriak sambil berlari kencang dengan segenap tenaga yang ia punya, tak peduli nafasnya yang nyaris lepas dari persemayamannya.
Hingga sesaat setelahnya tubuh Luna bertumburan dengan Lastri yang sudah kebingungan mencarinya sedari tadi.
"Kamu kenapa Lun?" tanya Lastri kebingungan melihat Luna dengan wajah pucat, penuh keringat dan nafas yang tersengal dan gemetar.
Luna yang ditanyai tidak mampu mengeluarkan sepatah katapun, tubuhnya terasa lemah, tulang belulang dan sendi-sendinya terasa lepas dari tempatnya, tubuhnya merosot sampai ke tanah terduduk, yang terdengar kini isak tangisnya saja.
Lastri sungguh tidak mengerti dengan situasi yang ada dihadapannya kini, Luna yang ditanyai semakin terisak, hingga akhirnya Lastri membujuk Luna pulang, membantunya bangkit dan berjalan menuju tempat mereka meletakkan sepeda mereka.
Untung saja Luna masih mampu mengayuh sepedanya, bila Luna pingsan, Lastri pasti akan dalam masalah yang besar dihadapan Nini.
Suara adzan maghrib telah berkumandang saat Luna tiba kembali di rumah Nininya, dengan lemah Luna mengucap salam sembari membuka kenop pintu, hingga sekali lagi ia dikejutkan dengan sesosok orang yang kini ada dihadapannya memandangnya penuh rindu.